Rabu, 14 Oktober 2015

Jesus Christ Cyberstar


(Sebuah Kajian Kristologis dalam Tantangan Cyber-Age)


I.     Sebuah Fenomena
Gereja Katolik merupakan paguyuban umat beriman yang bukan terdiri dari suatu entitas yang homogen dan monolit[1]. Hal itu untuk menekankan bahwa paguyuban umat beriman adalah perhimpunan yang bersifat “generasional” dengan aneka macam latar belakang pengalaman, sejarah dan budaya yang dimiliki. Di antara banyak kelompok dari paguyuban umat beriman itu, ada yang termasuk dalam generasi net atau generasi digital.
Kehadiran generasi net (atau juga disebut sebagai generasi digital) dalam Gereja adalah sebuah fenomena yang tak dapat disangkal di tengah arus perkembangan cyber age. Untuk mendukung gagasan tersebut, penulis telah mengadakan semacam penelitian kecil mengenai penggunaan dunia digital (internet). Penelitian ini ditujukan kepada para anggota KMPKS (Keluarga Mahasiswa/i dan Pelajar Katolik Sumatera Bagian Selatan). Para anggota yang dijadikan sampel dalam penelitian adalah para Pengurus Harian KMPKS yang lahir pada tahun 1990-an. Proses penelitiannya adalah sebagai berikut: kuesioner dibuat dan dibagikan kepada responden (sampel), yakni sembilan anggota pengurus harian melalui grup FB KMPKS. Data yang diperoleh kemudian dianalisis. Berikut ini akan ditampilkan data-data yang diperoleh dari penelitian.
Tabel 1: Jumlah jejaring sosial yang dimiliki
Tabel 2: Laman yang sering dikunjungi
No.
Jumlah Jejaring Sosial
Jumlah Orang
No.
Laman
Jumlah Orang
1.
1
2
1.
Google
8
2.
3
1
2.
Tentang Berita
7
3.
4
3
3.
Youtube
4
4.
5
1
4.
Yahoo
1
 5.
7
1
5.
Facebook
1
6.
8
1

Tabel 1 menunjukkan bahwa setiap responden memiliki jejaring sosial dalam dunia internet. Jumlah yang paling tertinggi adalah responden (satu orang) yang memiliki delapan  jejaring sosial; sedangkan dua orang di antaranya hanya memiliki satu jejaring sosial. Tebel 2 menunjukkan bahwa dari beberapa laman yang ditawarkan di internet, ada delapan orang yang memilih laman Google sebagai laman yang sering dipilih atau dikunjungi.

Tabel 3: Jumlah waktu dalam menggunakan internet
Tabel 4: Tema yang dicari dari internet

No.
Jumlah Waktu
Jumlah Orang
No.
Laman
Jumlah Orang


1.
2 jam/hari
5
1.
Hiburan
9

2.
3 jam/hari
3
2.
Studi
6

3.
Lebih dari 3 jam
1
3.
Relasi
3

4.
Iman
2
5.
Refleksi hidup
1


Tabel 3 merupakan tabel yang menunjukkan jumlah waktu yang digunakan responden dalam penggunaan internet. Sejumlah lima responden menggunakan waktu selama dua jam, tiga responden selama tiga jam dan seorang responden selama lebih dari tiga jam dalam sehari. Tabel 4 menunjukkan tema-tema yang dicari ketika responden menggunakan internet. Semua responden menyebutkan bahwa tema yang sering dikunjungi adalah tema tentang hiburan. Beberapa tema selanjutnya secara berturut-turut adalah tentang studi, relasi, iman dan refleksi hidup.
Selain data dari tabel-tabel di atas, data penelitian yang diperoleh juga menunjukkan bahwa dunia digital (ditandai dengan penggunaan jaringan internet) memberikan pengaruh positif. Ada tujuh responden yang menunjukkan bahwa pengaruh positif dari internet adalah adanya kemudahan dalam mendapatkan informasi; sedangkan untuk mendapatkan relasi dan hiburan menempati posisi ke dua setelahnya. Salah satu informasi itu adalah tentang iman Katolik; ada lima responden yang menunjukkan hal tersebut.
Tidak ada satu pun dari mereka (sebagai responden penelitian) yang tidak menggunakan sarana yang disediakan oleh media online sebagaimana yang diberikan oleh internet. Sejalan dengan penelitan tersebut, pernyataan bahwa “kehadiran generasi net (atau juga disebut secara umum sebagai generasi digital) dalam Gereja adalah sebuah fenomena yang tak dapat disangkal” menemukan titik kebenarannya. Hal itu ditunjukkan dengan hasil penelitan yang memperlihatkan bahwa perkembangan teknologi, terlebih dalam dunia digital, menjadikan para anggota KMPKS (kaum muda Gereja) sebagai bagian dari generasi digital di zaman cyber.

II.     Status Questionis
Dari data dan hasil penelitan yang sudah diperoleh, menunjukkan adanya sebuah fenomena bahwa KMPKS merupakan bagian dari generasi net. Atas realitas tersebut, muncul beberapa persoalan yang penting untuk direfleksikan lebih lanjut. Beberapa persoalan itu akan menjadi rangkaian tema besar yang akan dijawab dalam tulisan ini. Persoalan-persoalan itu adalah: 1) Mengapa muncul generasi net sebagaimana ditampakkan oleh para anggota KMPKS?; 2) Kalau Kristus hadir di zaman sekarang (cyber age), bagaimana Dia menanggapi fenomena tersebut?; 3) Bagaimana kita dapat melukiskan peran Kristus dalam realitas kehidupan yang ditandai dengan kehadiran generasi net di zaman digital?; 4) Refleksi Kritologis seperti apa yang dapat dibangun dalam konteks seperti itu?

III.     Antara Manusia dan Teknologi
A.       Manusia yang berelasi
Sebagai salah satu aliran filsafat, eksistensialisme memiliki beberapa ciri[2]. Di antara beberapa ciri itu, ada dua konsep utama yang patut menjadi penekanan: pertama, mengenai konsep “berkesistensi” sebagai “cara manusia berada”; kedua, mengenai cara pandang terhadap manusia sebagai “individu yang memiliki sifat terbuka”. Konsep yang kedua ingin menekankan bahwa manusia adalah realitas yang belum selesai dan yang masih harus dibentuk. Secara hakiki, ia terikat pada dunia sekitar, terutama pada sesamanya, manusia.
Eksistensi manusia sebagai realitas nyata yang bersifat “berada dan berelasi dengan yang lain” dapat dikatakan sebagai pokok pemikiran dari filsafat eksistensialis. Dalam ranah ini, Martin Buber (1878-1965) dapat dimasukkan di dalamnya. Salah satu karyanya yang menonjolkan pemikiran eksistensialis dapat ditemukan dalam buku Aku dan Engkau. Menurut Buber, manusia mempunyai dua relasi yang berbeda secara fundamental: di satu pihak, relasi dengan benda-benda; dan di lain pihak, relasi dengan sesama manusia serta Allah[3]. Relasi yang pertama disebut Ich-Es (I-It) dan relasi yang kedua diberi nama Ich-Du (I-Thou). Dalam bahasa Indonesia, dua relasi itu dapat diterjemahkan sebagai “aku-itu” dan “aku-engkau”.
Bila dikaitkan dengan konsep pemikiran eksistensialis, “aku-engkau” adalah sebuah konsep yang menggambarkan realitas manusia sebagai makhluk sosial, makhluk yang berelasi dengan sesama. Relasi “aku-engkau” menandai dunia dari Beziehung[4], berarti dunia di mana aku menyapa engkau (sesama manusia) dan engkau menyapa aku, sehingga terjadi dialog yang sejati[5]. Dalam cara pikir tersebut, Buber menekankan sifat hakiki manusia sebagai individu yang membutuhkan individu lainnya. Entah untuk pemenuhan kebutuhan hidup ataupun sekadar keinginan untuk berada dengan yang lain, konsep manusia sebagai makhluk berelasi menjadi dasar untuk mengatakan bahwa relasi “aku-engkau” adalah bagian dari eksistensi manusiawi. Lebih lanjut, Buber menjelaskan bahwa relasi “aku-engkau” memuncak dalam relasi “aku dengan Allah” sebagai “Engkau yang abadi”. Melawan tendensi mistik yang ingin meleburkan pribadi manusia ke dalam Allah, Buber menekankan bahwa pada taraf religius sungguh-sungguh terdapat relasi “aku-Engkau (Allah)”[6]. Relasi itu adalah relasi antara manusia dengan Penciptanya.
Dari pemikiran Buber dapat ditarik kesimpulan bahwa realitas eksistensial manusia adalah berelasi. Berelasi yang dimaksud adalah membangun hubungan dengan “yang lain” di luar dirinya. “Yang lain” yang berada di luar dirinya itu – entah sesama manusia atau pun Yang Ilahi – menjadi unsur utama dari keberadaanya sebagai makhluk sosial. Untuk itu, keberadaan “media” sangat dibutuhkan. Media itu adalah sarana komunikasi yang menjadi instrumen pengantara dan menjadi titik temu garis relasi. Bila dikaitkan dengan realitas kehidupan generasi net, media komunikasi di era cyber age menjadi instrumen primer dalam membangun relasi yang bereksistensi. Hal tersebut menjadi poin penting karena melalui media itu, “komunikasi-relasi” dapat dimungkingkan terjadi.
B.       Relasi dalam “cyber” membentuk sebuah komunitas virtual
The cyber age merupakan sebuah zaman yang ditandai dengan karakteristik dari budaya komputer, teknologi informasi dan realitas virtual[7]. Salah satu generasi yang masuk di dalamnya adalah net generation (generasi net). Mereka yang masuk dalam generasi ini adalah yang lahir di antara tahun 1982 dan 2002[8]. Generasi tersebut adalah kelompok yang tumbuh-berkembang dalam zaman digital, secara khusus dunia internet. Don Tapscott menyebut pertama kali istilah “Net Generation” dalam bukunya yang berjudul Growing Up Digital untuk menjelaskan bahwa generasi itu dibentuk oleh sebuah komunikasi dan informasi dunia yang baru, berdasarkan jaringan kerja secara komputerisasi (networked), serta dikontruksikan secara digital[9].
Realitas keberadaan generasi net sebenarnya dipengaruhi oleh adanya dua realitas, yakni kesadaran manusia sebagai homo socialis (makhluk sosial-berelasi) dan perkembangan dunia teknologi. Sebagai makhluk sosial, secara hakiki manusia dalam kediriannya tidak dapat hadir di dunia tanpa kehadiran manusia yang lain. Manusia selalu membutuhkan yang lain dalam memenuhi kebutuhan dan merealisasikan kehendaknya. Dasar inilah yang kemudian mendorong manusia untuk selalu membuat relasi dengan yang lain.
Pada zaman era digital, kebutuhan mendasar manusia itu didukung dengan perkembangan teknologi yang canggih. Salah satu perkembangan teknologi tersebut adalah kemajuan dalam hal penemuan alat komunikasi manusia melalui jejaring virtual. Komunikasi melalui jejaring virtual itu kemudian menjadikan sebagian komunitas manusia di dunia sebagai “komunitas virtual”. Howard Rheingold mendiskripsikan “komunitas virtual” sebagai bentuk “agresi sosial yang muncul dari komunikasi virtual (antar manusia) dan membentuk jaringan relasi-relasi interpersonal dalam cyberspace[10]”. Sebagai contoh, jalinan relasi dalam komunitas itu dapat ditemukan dalam kelompok orang yang disatukan oleh minat atau kepentingan sama yang berinteraksi/menjalin relasi melalui media komunikasi online.
Adanya komunitas virtual dalam dunia digital, membuat manusia dapat dengan mudah membangun interaksi antara yang satu dengan yang lain. Bagi mereka yang termasuk ke dalam komunitas itu (di antaranya adalah generasi net), adanya kemudahan dalam membangun relasi dengan yang lain melalui komunitas virtual (dalam bentuk jejaring sosial atau pun pencarian data) merupakan salah satu alasan untuk tetap menggunakan sarana digital.
Sebagai generasi yang tidak lepas dengan era digital, generasi net tampil sebagai bagian dari komunitas masyarakat dunia. Kenyataan itu ingin menunjukkan bahwa “sepanjang mereka berada dalam keadaan hidup, dunia telah menjadi suatu tempat yang (saling) berhubungan; dan lebih dari generasi terdahulu manapun, mereka (generasi net) sudah menggunakan potensi dari networked media[11]”. Pernyataan tersebut mengerucut pada sebuah penekanan bahwa unsur dasar manusia sebagai makhluk sosial – hal itu ditunjukkan dengan membangun relasi dengan sesamanya – memerlukan media pengantara; dan media yang paling canggih di era cyber age adalah melalui media komunikasi online-internet yang ditawarkan oleh cyberspace.

IV.     Refleksi Biblis (Konsep Kristologis – Cyber Age: JESUS CHRIST CYBERSTAR)
Cyber age, zaman di mana net generation berada sebenarnya menawarkan sebuah peluang bagi manusia untuk menemukan konsep “keabadian” di tengah perjalanan perkembangan budaya dan teknologi. Konsep “keabadian” itu dapat ditemukan dalam penggunaan media yang ditawarkan oleh budaya cyber. Arianna Dagnino mendaku ada konsep Kristologis di balik cyber age dengan mengetengahkan “Jesus Christ Cyberstar”. Konsep “cyberstar” di sini mengarah pada suatu istilah yang berasal dari Jepang, yang menunjuk pada sebuah kemasyuran yang telah bangkit dan unggul melalui cyberspace[12]. Konsep Jesus Christ Cyberstar menunjuk pada kunggulan cyberspace yang “setara” dengan keunggulan yang dimiliki oleh Yesus; itulah kemasyuran yang dimiliki oleh sistem cyber.
Keunggulan dalam dunia cyber dapat ditemukan ketika sistem tersebut menawarkan konsep surgawi. Konsep surgawi yang ditawarkan Yesus pada dua ribu tahun yang silami, kini hadir dalam surga digital di mana orang dapat mengaksesnya melalui sistem jaringan cyber. Arianna Dagnino mengatakan bahwa surga dapat dialami sekarang, tidak di bumi tapi di beyondscreen: “Dua ribu tahun yang lalu mereka (Yesus dan para murid-Nya) menjanjikan kita surga di kehidupan yang lain. Tapi, surga sekarang ada; tidak di kehidupan lain, tapi di dimensi lain; tidak dalam realitas fisik, tapi dalam realitas digital; tidak dalam terra firma, tapi dalam beyondscreen. Surga ada dalam jaringan net[13]”.
Surga dapat ditemukan dalam cyber-system ketika jaringan sistem itu menghubungkan ke-relasi-an antar manusia dalam sebuah komunitas virtual tanpa adanya perbedaan yang kental: “Jika dunia fisik adalah tidak adil (karena dunia fisik membedakan antara yang cantik dan buruk rupa, sehat dan sakit, kuat dan lemah, kaya dan miskin), tapi dunia virtual adalah adil karena prinsip egalitarianismenya. Itulah sebuah dunia di mana kita berhadapan dengan yang lain sebagai yang sama, tanpa ada pembedaan jenis kelamin, ras, umur, bangsa, agama atau budaya[14]”. Dalam ranah ini, Arriana melihat bahwa cyber-system melalui jaringan data atau jaringan sosial digitalnya membuka pintu bagi setiap manusia untuk saling terkoneksi dan berelasi serta membentuk sebuah komunitas virual. Setiap orang memiliki kesempatan sama untuk masuk ke dalam komunitas virtual dengan mengakses Google, Youtube, Facebook, Yahoo dan laman-laman cyber lainnya.
Dasar biblis dari konsep Jesus Christ Cyberstar dapat dikaitkan dengan Yesus sendiri yang mewartakan Kerajaan Surga: “Sejak waktu itulah Yesus memberitakan: Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat” (Mat 4:17). Ungkapan “Kerajaan Surga” hanya dipakai dalam Injil Matius; penginjil lain menggunakan ungkapan “Kerajaan Allah”[15].  Ungkapan “Kerajaan Surga” dapat disamakan dengan “Kerajaan Allah”[16]. Pewartaan Yesus itu merupakan sebuah janji yang diberikan kepada mereka yang percaya kepada-Nya. Pewartaan tersebut berisikan tentang kedatangan Kerajaan Allah di mana hal itu menjadi pusat dari pesan yang dibawa oleh Yesus[17].
Lantas, apa model Kerajaan Sorga yang ditawarkan oleh Yesus? Untuk menjawabnya, Yesus sendiri menegaskan: “Dan orang akan datang dari Timur dan Barat dan dari Utara dan Selatan dan mereka akan makan di dalam Kerajaan Allah” (Luk 13:29). Ayat tersebut menunjuk pada Kerajaan Allah yang sekarang digambarkan sebagai perjamuan eskatologis[18] di mana Kerajaan Allah akan dihadiri oleh “tamu-tamu perjamuan” dari pelbagai penjuru tempat. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam kebaikan-Nya, Allah membuka pintu perjamuan untuk semua orang[19]. Dari ranah ini dapat direfleksikan bahwa perjamuan memuat unsur undangan untuk semua orang – tanpa adanya pembedaan bagi yang diundang – untuk membentuk sebuah “komunitas” yang disatukan atas dasar perjamuan itu sendiri. Unsur yang lain adalah bahwa “komunitas” itu merupakan komunitas yang saling berelasi di mana “yang dari timur, barat, utara dan selatan” disatukan karena memiliki tujuan yang sama.
Penegasan Jesus Christ sebagai pewarta Kerajaan Surga yang nyata dan hakiki yang dicari manusia merupakan kesempatan untuk memberi dasar pada kristologi ini. Seperti cyberspace, Yesus menawarkan undangan bagi semua orang untuk menerima pewartaan tentang Kerajaan Surga. Ia mengundang semua orang untuk masuk ke dalam surga di mana mereka semua disatukan ke dalam sebuah “komunitas” yang menikmati kebersamaan abadi dengan Allah Tritunggal. Sebagaimana cyberspace membuka pintu bagi semua orang untuk masuk ke dalamnya, demikainlah pula dengan Yesus, Ia mewartakan Kerajaan Surga kepada semua orang.

V.     Refleksi Teologis dan Langkah Pastoral
A.       Magisterium
Sampai saat ini, Magisterium menempatkan cyberspace (internet) sebagai instrumen komunikasi yang patut disandingkan dengan Gereja. Dalam dokumen yang dikeluarkan oleh Pontifical Council for Social Communication[20], yang berjudul “Gereja dan Internet” (2002), dikatakan demikian, “Komunikasi di dalam dan oleh Gereja pada dasarnya adalah penyampaian tentang Kabar Gembira Yesus Kristus. Komunikasi tersebut adalah pewartaan Injil sebagai nubuat, sabda yang memerdekakan manusia di zaman sekarang, suatu kesaksian di hadapan sekularisasi radikal tentang kebenaran Ilahi dan tujuan akhir umat manusia; sebuah saksi yang diberikan kepada semua umat beriman di dalam solidaritas untuk melawan segala bentuk konflik dan pemisahan menuju keadilan dan persekutuan di antara orang-orang, bangsa-bangsa, dan budaya” (art 5). Di sini, Gereja memandang internet sebagai instrumen fungsionaris untuk menjalin komunikasi dengan semua orang. Dalam ranah ini, internet (cyberspace) dipahamai sebaga media pewartaan yang dapat digunakan oleh Gereja.
Selanjutunya, Gereja ternyata tidak hanya memandang dunia cyber sebagai instrumen fungsiaris saja, namun juga dapat menjadi sebuah media untuk berteologi. Dalam dokumen ini, Gereja menyadari bahwa layanan yang ditawarkan oleh cyberspace mampu membuat manusia terjalin antara yang satu dengan yang lain: “Internet mempunyai suatu kapasitas luar biasa untuk menghapus jarak dan pengasingan, membawa orang-orang ke dalam kontak dengan orang-orang berkehendak baik yang bergabung dalam komunitas virtual iman yang mendorong dan mendukung satu sama lain” (art 5). Semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk bergabung dalam komunitas virtual tersebut; dalam hal ini konsep Jesus Christ Cyberstar dapat dikaitkan. Gereja mengakui keunggulan dari cyberspace yang mampu membentuk orang-orang ke dalam sebuah “komunitas digital surgawi”. Hanya saya, yang menjadi penekanan Gereja adalah bahwa komunitas virtual yang terbentuk itu harus membentuk “komunias virtual iman”. Artinya adalah bahwa Gereja memandang dengan serius internet – bagian dari budaya cyber age – sebagai locus theologicus: “Internet menawarkan orang-orang untuk mengarahkan dan mengakses segera ke sumber-sumber spiritual dan religius-tempat beribadat dan musium serta perpustakaan yang penting, dokumen-dokumen pengajaran dari Magisterium, tulisan Bapa-bapa (Gereja) dan para doktor Gereja dan kebijaksanaan religius dari pelbagai zaman” (art 5). Gereja melihat peluang dari keunggulan cyberspace dan menjadikannya sebuah jalan untuk mewartakan pesan Injili kepada semua orang.
B.       Pandangan teolog
Orang-orang Kristen terbagi karena beberapa pandangan mereka terhadap banjirnya teknologi media digital (seperti cyberspace) sekarang ini. Secara umum mereka terbagi ke dalam dua kelompok, yakni: kaum determinis dan instrumentalis, ketika topik pembicaraan dikerucutkan pada tema tentang teknologi media. Bagi kaum determinis-intelektual, kehadiran teknologi media harus disertai dengan sikap kehati-hatian karena media itu menawarkan nilai-nilai yang dapat mengikis rasa kemanusiaan. Di lain pihak, kaum instrumentalis memandang teknologi media sebagai sesuatu yang positif. Bagi mereka, media, seperti Facebook dan Twitter, merupakan sarana netral dan berguna bagi pengembangan karya injili.
Andrew Byers, seorang chaplain dan doktor di Universitas Durham, berusaha untuk me-reorientasi dua pandangan tadi. Baginya, jika Allah menciptakan dan menggunakan media, dari situ kemudian muncul suatu logika teologis yang mengandung pelajaran bagi kita untuk bagaimana menghasilkan dan menggunakan teknologi media di zaman sekarang ini. Dalam bukunya yang berjudul TheoMedia: The Media of God and the Digital Age, Byers memberikan sumbangan yang bernilai bagi perkembangan dari pembicaraan tentang iman Kristen dan media digital. Melalui tulisannya itu, dengan amat jelas ia memberikan penghargaan atas penggunaan sarana atau media baru: “Kita tidak bisa berjalan tertatih-tatih dengan sembarangan ke dalam zaman digital dengan harapan bahwa para sejarawan suatu hari nanti memahami apa yang Gereja lakukan, secara tepat atau tidak, ketika media baru menyingsing di atas suatu peristiwa[21]”.
TheoMedia adalah kata kunci utama. TheoMedia dapat dipahami sebagai “media Allah” di mana Ia meng-komunikasi-kan dan menyingkapkan Diri-Nya melalui ciptaan, perkataan Ilahi, tulisan-tulisan yang diinspirasikan karya Ilahi dan simbol-simbol tertentu. Peng-komunikasi-an dan penyingkapan Diri Allah itu menjadi jalan untuk membangun relasi dengan manusia. Dalam PL, Ia menggunakan media “kata-kata Ilahi”, baik secara oral ataupun tertulis. Selain itu, Allah juga berbicara kepada manusia (Abraham, Yakub, Musa dan para nabi sebagai media-Nya) untuk menyampaikan sabda Ilahi kepada manusia. Dengan menggunakan media-media itu, Allah membangun relasi dengan manusia.
Byers memandang bahwa peristiwa inkarnasi merupakan poin penting untuk disebut. Inkarnasi merupakan salah satu puncak dari TheoMedia. Melalui inkarnasi, Allah meng-komunikasikan Diri-Nya dengan membangun relasi dan kedekatan secara fisik dengan umat-Nya; dan peristiwa itu terangkum dalam Diri Yesus: “Peristiwa inkarnasi adalah tentang Allah yang mencapai kemungkinan perluasan yang paling jauh melalui cara yang sangat tidak meragukan untuk membina dan mengalami hubungan persahabatan[22]”.
Jika demikian, apakah Yesus jika hadir di zaman sekarang akan menyapa manusia melalui Facebook, Twitter, Instagram, Blog, Google, cable television dan beberapa media digital lainnya? Seturut dengan pandangan Byers, kita tidak tahu persis jawabannya. Namun, yang patut menjadi pokok refleksi adalah bahwa jika Yesus (Allah) menciptakan dan menggunakan media sebagai sarana penyingkapan Diri, maka kita (orang-orang Kristiani) juga diajak untuk menciptakan dan menggunakan media zaman digital untuk melanjutkan kehadiran Yesus: “Jika diri kita adalah Theomedia, sebagai media di mana Allah meng-komunikasi-kan dan mengungkapkan Diri melalui Roh-Nya; kemudian blog, status updates, kicauan Twitter, gambar artistik, dan komentar online kita harus menjadi produk dari hidup yang ditransformasikan oleh Kristus dan dihidupi oleh Roh-Nya. Seperti orang-orang membawa gambaran yang diperkenalkan kembali, kehadiran dan kegiatan online kita seharusnya menunjukkan kehadiran Allah Triniter[23]”.
Dari pandangan Andrew Byers terlihat jelas bahwa cyberspace dapat direfleksikan sebagai media baru Allah di zaman digital seperti sekarang ini. Kehadiran-Nya dapat saja dipahami sebagai Cyberstar yang menawarkan “konsep surga digital” di mana semua orang dapat mengaksesnya. Dalam hal ini, Byers sejalan dengan pandangan Gereja (seperti dalam The Church and Internet) yang menekankan bahwa keunggulan cyberspace seperti keunggulan Yesus yang mengundang banyak orang untuk masuk ke dalam “tanah surgawi”. Hanya saja, Andrew menekankan bahwa Gereja perlu terbuka dan masuk sebagai figur di balik layar, menjadi operator yang memasukkan nilai spiritual dalam “kumunitas digital surgawi” yang ditawarkan oleh cyberspace: “Sungguh pasti berarti bahwa Gereja perlu menyusup lapisan dari internet[24]”.
C.       Langkah pastoral
Dari pandangan dokumen yang dikeluarkan oleh Pontifical Council for Social Communication, yang berjudul Gereja dan Internet, serta dari pandangan Adrew Bayers sebenarnya memuat beberapa langkah pastoral. Langkah-langkah itu merupakan gerak pastoral Gereja di tengah tantangan cyber age, terlebih bagi para anggota KMPKS (yang termasuk menjadi generasi di dalamnya).
Cyberspace merupakan seperangkat sistem komputer yang terjalin (dengan prinsip egalitarianisme-nya) di mana semua memiliki peluang yang sama untuk dapat memasuki sebuah “komunitas digital surgawi” sebagaiamna yang ditawarkan oleh Arianna Dagnino dengan konsep “Jesus Christ Cyberstar”. Dari sinilah sebenarnya setiap anggota Gereja diundang untuk juga masuk ke dalam komunitas itu sebagai “TheoMedia”, media penghadiran Yesus, yang menjadikan komunitas digital surgawi itu lebih memiliki kekuatan spiritual. Dalam hal ini, ada beberapa langkah pastoral konkrit yang dapat dilakukan[25]:
1.      Facebook dan Twitter: Mulai membuat facebook atau twitter yang di dalamnya  menceritakan bagaimana Kristus hidup dalam kejadian sehari-hari, serta bagaimana merefleksikan bacaan Kitab Suci dalam kehidupan sehari-hari. Lihat contoh twitter dari Vatikan: https://twitter.com/news_va_en;
2.      Website atau BlogDewasa ini, membuat website atau blog pribadi, entah dengan Blogger, WordPress, Joomla dan lainnya sangatlah mudah dan tidak memerlukan biaya banyak. Melalui media itu, semua umat Katolik dapat mulai dengan menceritakan pengalaman-pengalaman iman, sehubungan dengan apa yang dialaminya sehari-hari. Bagi yang mempunyai pengetahuan yang lebih di bidang iman – baik awam maupun klerus – dapat mulai untuk memaparkan iman Katolik secara lebih mendalam. Silakan melihat website Vatikan:http://vatican.va;
3.      Youtube: Salah satu media komunikasi adalah film. Dalam era internet ini, kita semua dapat menampilkan video melalui youtube. Kita dapat mengisinya dengan kesaksian iman, pendalaman iman, kegiatan anak-anak muda dalam paroki maupun dalam tingkat keuskupan. Lebih jauh, media ini juga dapat dimanfaatkan untuk merekam tahap-tahap dalam melakukan katekese, baik secara terstruktur atau per-topik bahasan. Vatikan sendiri mempunyai channel youtubehttp://www.youtube.com/user/vatican.

VI.     Kesimpulan
Kesimpulan dalam bagian akhir tulisan ini ingin merangkum beberapa persoalan dalam status questionis di atas, yang meliputi: 1) Mengapa muncul generasi net sebagaimana ditampakkan oleh para anggota KMPKS?; 2) Kalau Kristus hadir di zaman sekarang (zaman digital), bagaimana Dia menanggapi fenomena tersebut?; 3) Bagaimana kita dapat melukiskan peran Kristus dalam realitas kehidupan yang ditandai dengan kehadiran generasi net di zaman digital?; 4) Refleksi Kritologis seperti apa yang dapat dibangun dalam konteks seperti itu? Penjelasan dari pelbagai persoalan itu difokuskan dalam satu kalimat tesis: Berhadapan dengan realitas cyber age, Yesus yang mewartakan Kerajaan Surga dapat dilukiskan sebagai Cyberstar sehingga kehadiran-Nya dapat dialami secara konkrit.


*      *      *









DAFTAR PUSTAKA

Andrew Byers,
2013    TheoMedia: The Media of God and the Digital Age, Wipf and Stock.
Arianna Dagnino,
2009    Jesus Christ Cyberstar: Heaven Can Wait No Longer, IPOC di Pietro Condemi.
Benedict T. Viviano,
1991    “The Gospel According to Matthew”, dalam Raymond E. Brown (eds.), The New Jerome Biblical Commentary, Geoffrey Chapman, England.
Bob Pletka,
Educating the Net Generation: How to Engange Students in the 21st Century, Santa Monica Press.
C. Putranto,
2012    “Mempertimbangkan Alam Pikiran Awal Abad ke-21 ke dalam Bahasa Pewartaan”, dalam B. A. Rukiyanto, Pewartaan Di Zaman Global, Kanisius, Yogyakarta.
Diana Obliger dan James Oblinger,
2005    “Is It Age or IT: First Steps Toward Understanding the Net Generation”, dalam Diana Oblinger dan James Oblinger (eds.), Educating the Net Generation, Educause.
Howard Rheingold,
1993    The Virtual Community: Homesteading on the Electronic Frontier, Addison-Wesley, New York.
K. Bertens,
1990    Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman, Gramedia, Jakarta.
L. Bagus,
1996    Kamus Filsafat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Lembaga Biblika Indonesia,
1981    Injil Matius: Seri-Tafsir Perjanjian Baru No. 1, Kanisius, Yogyakarta.
2005    Kitab Suci Katolik, Lembaga Biblika Indonesia.
Nico Syukur Dister,
1987    Kristologi: Sebuah Sketsa, Kanisius, Yogyakarta.

Robert J. Karris,
1991    “The Gospel According to Luke”, dalam dalam Raymond E. Brown (eds.), The New Jerome Biblical Commentary, Geoffrey Chapman, England.

Sumber Lain:
-         Pontifical Council for Social Communications, The Church and Internet, diunduh dari http://www.vatican.va/roman_curia/pontifical_councils/pccs/documents/rc_pc_pccs_doc_20020228_church-internet_en.html, 11 Maret 2014.
-         http://www.oxforddictionaries.com/definition/english/cyber, diunduh 17 Mei 2014.




[1] C. Putranto, “Mempertimbangkan Alam Pikiran Awal Abad ke-21 ke dalam Bahasa Pewartaan”, dalam B. A. Rukiyanto, Pewartaan Di Zaman Global, Kanisius, Yogyakarta 2012, 172.
[2] L. Bagus, Kamus Filsafat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1996, 187.
[3] K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman, Gramedia, Jakarta 1990, 163.
[4] Artinya adalah hubungan, tetapi dikhususkan oleh Buber hanya untuk persona-persona.
[5] K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman, 163-164.
[6] K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman, 164.
[8] Bob Pletka, Educating the Net Generation: How to Engange Students in the 21st Century, Santa Monica Press, 27-28.
[9] Bob Pletka, Educating the Net Generation: How to Engange Students in the 21st Century, 28.
[10] Howard Rheingold, The Virtual Community: Homesteading on the Electronic Frontier, Addison-Wesley, New York 1993, 5.
[11] Diana Obliger dan James Oblinger, “Is It Age or IT: First Steps Toward Understanding the Net Generation”, dalam Diana Oblinger dan James Oblinger (eds.), Educating the Net Generation, Educause, 2005, 16.
[14] Arianna Dagnino, Jesus Christ Cyberstar: Heaven Can Wait No Longer, IPOC di Pietro Condemi, 2009, 48.
[15] Nico Syukur Dister, Kristologi: Sebuah Sketsa, Kanisius, Yogyakarta 1987,56.
[16] Lembaga Biblika Indonesia, Injil Matius: Seri-Tafsir Perjanjian Baru No. 1, Kanisius, Yogyakarta 1981, 44.
[17] Benedict T. Viviano, “The Gospel According to Matthew”, dalam Raymond E. Brown (eds.), The New Jerome Biblical Commentary, Geoffrey Chapman, England 1991, 639.
[18] Robert J. Karris, “The Gospel According to Luke”, dalam dalam Raymond E. Brown (eds.), The New Jerome Biblical Commentary, Geoffrey Chapman, England 1991, 706.
[19] Robert J. Karris, “The Gospel According to Luke”, 706.
[21] Andrew Byers, TheoMedia: The Media of God and the Digital Age, Wipf and Stock, 2013, 18.
[22] Andrew Byers, TheoMedia: The Media of God and the Digital Age, 170.
[23] Andrew Byers, TheoMedia: The Media of God and the Digital Age, 196.
[24] Andrew Byers, TheoMedia: The Media of God and the Digital Age, 170.

La présence de Dieu qui accompagne toujours nos vies est un mystère. Sa présence réelle qu'Il soit là ou ici, nous ne pourrons peut-être...