Jumat, 14 Oktober 2016

Sakramen Tobat: Makna Pertobatan, Buah-buah dan Pelayan Sakramen Tobat dalam Gereja Katolik



Di dalam masyarakat kita,
dosa hampir menghilang dari perbendaharaan kata
dan pengalaman sehari-hari orang kebanyakan[1].

Kutipan di atas memuat sebuah pernyataan penting yang ingin mengatakan bahwa manusia pada zaman sekarang tidak menghiraukan keberadaan dosa. Rasanya apa yang dituliskan George A. Maloney dalam bukunya, Your Sins Are Forgiven You, ingin mengajak secara khusus umat Katolik untuk menyadari keberadaan dosa yang telah merasuk dalam setiap segi kehidupan manusia. Keberadaan dosa itu tidak hanya merasuk, mungkin juga telah menyatu dengan manusia sehingga dosa bukan lagi menjadi sesuatu yang harus disadari dan ditolak, melainkan menjadi sesuatu hal yang lumrah saja. Dalam hal ini, manusia dapat dinilai bahwa ia telah kehilangan rasa kedosaan.
Hilangnya rasa kedosaan dalam diri banyak manusia – secara khusus dalam diri umat Katolik - mengundang penulis untuk mengangkat tema tentang sakramen tobat atau rekonsiliasi dalam Gereja Katolik. Tema tersebut menarik karena memiliki keterkaitan langsung dengan konsep tentang dosa.
Jalan pikiran yang menjadi rangkaian dalam tulisan ini adalah: 1) manusia perlu bertobat atas realitas kedosaan yang dimiliki; 2) pertobatan itu nyata dalam penerimaan sakramen tobat atau rekonsiliasi; 3) dalam sakramen itu, umat yang bertobat mendapatkan buah-buah atau manfaat-manfaat rohani; 4) di lain pihak, penting pula untuk memahami pelayan sakramen tobat atau rekonsiliasi. Maka, ada beberapa pertanyaan pokok yang akan diuraikan: Apa makna pertobatan? Mengapa sakramen tobat atau rekonsiliasi diperlukan? Apa buah-buah sakramen tobat? Siapakah pelayannya? Semua rangkaian penjelasannya merupakan satu kesatuan dengan pokok bahasan utama, yakni sakramen tobat atau rekonsiliasi.

1.    Makna Pertobatan
Bila kita berbicara tentang sakramen tobat atau rekonsiliasi, maka topik tentang dosa dan pertobatan akan menjadi sebuah satu rangkaian yang saling terkait. Dosa memang diyakini sebagai bagian dari kesalahan manusia yang harus dihapus. Dosa juga dapat dikatakan sebagai kejahatan yang mencemari diri manusia. Untuk itu, jalan untuk menghapus dan membersihkan diri patut untuk dilaksanakan agar manusia lepas dari dosa. Jalan itu dapat dilakukan dengan salah satu cara, yakni melalui pertobatan.
A.  Pertobatan dalam Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian Baru (PB)
Konsep pertobatan dalam PL diungkapkan dengan pelbagai istilah dengan tekanan yang berbeda-beda. Istilah-istilah yang dipakai di antaranya “mencari Tuhan” (Am 5: 4; Hos 10: 12), “mencari wajah-Nya” (Hos 5: 15; Mzm 24: 6; 27: 8) dan “merendahkan diri di hadirat-Nya” (1 Raj 21: 29; 2 Raj 22: 19). Di antara itu semua, istilah yang paling lazim adalah shub, yang berarti “berubah haluan”, “datang lagi”, “kembali kepada langkah-langkahnya”. Dalam konteks hidup religius, kata itu berarti berputar arah (berbalik) meninggalkan yang jahat menuju Tuhan; itu dapat dimengerti sebagai orientasi baru manusia seutuhnya[2]. Orientasi baru itu merupakan usaha manusia untuk meninggalkan kesalahannya (dosa) dan bertobat menuju kembali kepada Allah.
Dalam PL, dosa dipahami dalam konteks perjanjian. Kegagalan dalam menghidupi perjanjian dapat merusak dan mengancam hubungan manusia dengan Allah. Bila hal itu terjadi, seluruh umat harus memulihkannya dengan jalan menghukum mereka yang bersalah, mungkin pula dengan menghukum mati (Kel 32: 25-28; Bil 25: 7). Itulah salah satu bentuk pertobatan. Selain itu, ada juga ungkapan pertobatan dengan praktek-praktek asketis dan doa-doa tobat, puasa (Hak 20: 26; 1 Raj 21: 28), pakaian yang disobek-sobek (1 Raj 20: 31; 2 Raj 6: 30; 19: 1; Yes 22: 12) dan pengakuan dosa secara umum (Hak 10: 10; 1 Sam 7: 6)[3]. Pelbagai bentuk pertobatan itu merupakan bentuk tobat dalam konteks ibadat. Para nabi menyerukan agar bentuk pertobatan dalam konteks ibadat juga harus disertai dengan pertobatan batin yang tampak dalam dimensi sosial: “Berpuasa yang Kukehendaki ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman dan melepaskan tali-tali kuk supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya... supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi yang lapar....” (Yes 58: 6-7).
Dalam PB, konsep pertobatan tidak terlepas dari tokoh Yesus Kristus yang mewartakan datangnya Kerajaan Allah. Sikap tobat dan perubahan hati menjadi tuntutan untuk bisa masuk ke dalam Kerajaan Allah sebagaimana yang diwarktakan oleh Yesus sendiri (Mat 4: 17; Mrk 1: 15). Pewartaan Yesus berkaitan dengan tuntutan untuk beriman terhadap pewartaan dan pribadi-Nya: “bertobatlah dan percayalah kepada Injil” (Mrk 1: 15). Ajakan Yesus untuk bertobat itu berhubungan dengan iman. Ungkapan kepercayaan iman ini diwujudkan dengan mengikuti Yesus sebagaiamana ditampakkan dalam peristiwa ketika Yesus memanggil murid-murid-Nya yang pertama (Mrk 1: 16-20; Mat 4: 18-22; Luk 5: 1-11). Panggilan kepada para murid menjadi referensi bagi pemahaman tentang arti pertobatan dan permandian. Salah satu efek dari pertobatan dan rahmat baptisan adalah bahwa manusia diampuni dosa-dosanya dan disucikan. Dalam Kis 2: 38 Petrus menyerukan: “Bertobatlah dan hendaklah kamu masing-masing memberi dirimu dibaptis dalam nama Yesus Kristus untuk pengampunan dosamu”.
Pertobatan yang diwujudkan dengan percaya kepada Injil juga harus diikuti oleh sikap dan tindakan moral: “Kami ada di sini untuk memberitakan Injil kepada kamu supaya kamu meninggalkan perbuatan sia-sia ini dan berbalik kepada Allah yang hidup” (Kis 14: 15). Sikap dan tindakan moral sebagai pengejawantahan buah pertobatan untuk memulai hidup yang baru karena proses pertobatan tidak hanya berarti meninggalkan hidup lama (dalam kedosaan), membalik kepada Allah dan menyerahkan diri kepada Allah, tetapi juga memulai hidup yang baru (Kis 26: 20)[4].
B.  Dosa dan Dimensi-dimensinya
Sikap pertobatan diperlukan karena berkaitan dengan dosa yang ada dalam diri manusia. Dosa dapat dikatakan sebagai perlawanan kehendak manusia terhadap kehendak Allah atau berpalingnya kehendak manusia dari kehendak Allah[5]. Dalam Katekismus Gereja Katolik artikel 1140, dosa dipahami sebagai perlawanan kepada Allah dan sebuah faktor retaknya persekutuan antara manusia dengan Dia. Pengertian itu sejalan dengan Monika K Hellwig dalam bukunya, Sign of Reconciliation and Conversion: “Dosa tampak sebagai kondisi atau kenyataan tujuan-tujuan yang berseberangan dengan Allah, menemukan makna hidup tanpa mengarahkan secara mutlak kepada Allah[6]”. Dalam hal ini, dosa pertama-tama mengancam relasi antara manusia itu sendiri dengan Allah. Dosa juga dapat meretakkan hubungan dengan sesama sebab akar dosa berada pada tindakan manusia atas sesama. Maka, setiap perbuatan dosa selalu menyangkut relasi manusia dengan dirinya sendiri, sesama dan Allah. Itulah hubungan relasi yang menunjuk pada dimensi-dimensi dosa.
·      Dimensi teologis
Dalam Kitab Suci, dosa dilukiskan sebagai pemalingan diri, membelakangi Tuhan. Pada konteks perjanjian, dosa dikaitkan dengan pelanggaran perintah Allah dan hukum-Nya. Dosa menjadi wujud ketidaksetiaan Israel pada ikatan perjanjian yang intinya mengenal dan mengakui Tuhan sebagai satu-satunya Allah. Dosa itu semakin nyata ketika Isreal berpaling dari Allah dan menyembah berhala; itu adalah sebuah “percabulan” (Hos 1: 2; 2; 18; Hak 2: 17; 8: 27; Yes 1: 21). Selain itu, dosa juga berarti melawan Kerajaan Allah, melawan Allah sendiri (Mat 10: 33; 11: 20-24; 12: 38-42; Yoh 15: 18. 23-25) dan Roh Kudus (Mrk 3: 28).
Dosa sebenarnya menunjuk pada relasi antara Allah dan manusia. Dosa menjadi faktor penghancur hubungan itu karena membuat manusia menjadi terasing dari Allah. Terasing artinya bahwa hubungan antara manusia dengan Allah tidak menghilang tetapi diisolasikan di samping prioritas-prioritas kehidupan yang besar[7]; manusia semakin jauh dalam menjalin hubungan dengan Allah. Manusia semakin lupa pada salah satu prioritas yang menjadi tujuan dalam kehidupannya.
·      Dimensi personal
Dosa merupakan sebuah tindakan konkret manusia secara personal, terkait dengan identitas dirinya yang dianugerahi akal budi dan kebebasan. Maka, tidak ada dosa tanpa kesadaran, tanpa kebebasan dan tanpa perbuatan bebas[8]. Dosa bersifat personal karena berakar dalam hati manusia dan terarah pada sikap penolakan terhadap Tuhan.
Apa yang dilakukan seseorang secara lahiriah sebenarnya terlebih dahulu sudah dilakukan secara batiniah dalam bentuk niat-niat, kamauan, maksud dan rencana-rencana. Dosa adalah tindakan lahiriah yang berhubungan erat dengan hidup batin manusia[9]. Berkaitan dengan hal tersebut, Yesus memberikan perumpamaan tentang hubungan antara pohon dan buah. Yesus menegaskan bahwa pohon yang baik akan menghasilkan buah yang baik, demikian pula dengan sebaliknya (Luk 6: 43-45). Karena dosa berdimensi personal, setiap pendosa mesti mengakui dosanya di hadapan Tuhan: “Saya mengakui dosaku, ya Tuhan”! Dengan demikian, pertobatan sejati atas dosa berasal dari hati manusia. Hati yang menyesal adalah sebuah kondisi yang Tuhan tuntut bagi kelahiran kembali si pendosa kepada hidup yang baru[10].
·      Dimensi sosial-eklesial
Dimensi sosial-eklesial dari dosa dapat dipahami dari gagasan Paulus tentang Gereja sebagai Tubuh Mistik Kristus. Paulus menegaskan bahwa masing-masing orang Kristiani adalah anggota tubuh (1 Kor 12: 27) yang semuanya saling tergantung satu sama lain sehingga apabila salah satu anggota sakit atau tidak berfungsi, maka semua (yang lain) akan turut menderita (1 Kor 12: 26).
Dimensi sosial-eklesial dari dosa ini juga ditegaskan Paus Yohanes Paulus II dalam On Reconcilliation and Penance. Dalam dokumen tersebut, Paus menjelaskan arti dari dimensi sosial-eklesial dosa yang menyentuh segi sosial. Pertama, setiap dosa individu dalam beberapa hal berdampak pada yang lain. Kedua, dosa melawan dan melukai sesama atau dalam hukum Kristus dosa berarti melawan perintah kedua: “Kasihilah sesamamu manusia....” (Mat 22: 39). Ketiga, dosa sosial menunjuk pada hubungan antara pelbagai macam komunitas manusia. Hubungan ini tidak selalu sesuai dengan rencana Allah, yang menghendaki bahwa ada keadilan di dunia, dan kebebasan serta damai di antara individu-individu, kelompok-kelompok dan masyarakat[11].
C.  Pertobatan (sebagai perlawanan terhadap dosa) dalam Sakramen Tobat
Dalam Kitab Suci, penyakit yang sedang diderita oleh seseorang sering dihubungkan dengan dosa. Menurut PB, hal tersebut menunjuk pada hubungan antara pengampunan dosa dengan penyembuhan. Contoh yang konkret dapat dilihat pada peristiwa ketika Yesus menyembuhkan orang lumpuh (Mrk 2: 1-12). Ketika membuat mukjizat penyembuhan atas orang lumpuh, Ia berkata, “Hai anak-Ku, dosamu sudah diampuni” (ay 5). Ayat tersebut menunjukkan bahwa Yesus tidak hanya menyambuhkan orang itu secara fisik saja, melainkan juga secara rohani: pengampunan atas dosa. Atas kesembuhan itu, Yesus berpesan kepadanya: “Engkau telah sembuh, jangan berbuat dosa lagi, supaya padamu jangan terjadi yang lebih buruk” (Yoh 5: 14). Itu dapat menjadi gambaran bahwa orang yang disembuhkan dari dosa melalui sikap dan pertobatan mempunyai tanggung jawab dalam melawan dosa secara terus menerus.
Dalam tradisi Gereja Katolik, perwujudan konkret pertobatan secara liturgis-sakramental terlaksana dalam penerimaan sakramen tobat. Pada sakramen tobat, Allah hadir dan mencintai manusia, yang telah dibaptis dan jatuh lagi dalam dosa namun bertobat, dengan mengampuni kembali dosa-dosanya, memulihkan hubungan dengan-Nya dan dengan sesamanya[12]. Sakramen tobat dapat dimaknai sebagai ungkapan kesadaran dari kelemahan, kerapuhan dan kedosaan manusia. Selain itu, sakramen ini juga dimaknai sebagai keyakinan pada Allah yang Maha Rahim, yang mengasihi dan mengampuni manusia.

2.    Buah-buah Sakramen Tobat
Sakramen tobat atau rekonsiliasi dipahami sebagai sakramen pengampunan atas dosa. Disebut demikian karena sakramen ini memiliki makna yang mendalam untuk membangun kembali sebuah hubungan atau relasi yang telah rusak. Di dalamnya, manusia sebagai pendosa menyesali kedosaan dengan bentuk pengakuan. Atas dasar gerak personal itu, manusia mendapatkan pengampunan. Di sini terjadi gerak pembangunan kembali atas hubungan yang telah rusak – rekonsiliasi – sebagai dinamika pembaruan hidup yang lebih baik. Maka, sakramen tobat atau rekonsiliasi memiliki buah-buah rohani yang kaya, yakni: rekonsiliasi dengan Allah, rekonsiliasi dengan Gereja dan rekonsiliasi dengan semua makhluk serta alam ciptaan.
A.  Rekonsiliasi dengan Allah
Sakramen tobat atau rekonsiliasi mendamaikan kembali kita (manusia yang berdosa) dengan Allah, sehingga kita hidup dalam rahmat[13]. Dari pihak Allah, Ia selalu menawarkan pendamaian kepada manusia. Tawaran pendamaian itu terjadi melalui tindakan-Nya dalam mengutus Yesus Kristus, Putera-Nya. Berkat wafat dan kebangkitan Kristus, manusia diperdamaikan kembali dengan Allah. Itulah sebabnya, dalam rumusan absolusi dinyatakan: “Allah Bapa yang berbelas kasih telah mendamaikan dunia dengan diri-Nya melalui wafat dan kebangkitan Putera-Nya”. Dengan demikian, sakramen tobat atau rekonsiliasi menghadirkan misteri wafat dan kebangkitan Kristus sebagai peristiwa yang mendamaikan manusia dengan Allah[14].
Sakramen ini memberikan kembali rahmat Allah kepada manusia dan menyatukan manusia dengan-Nya dalam persahabatan yang erat. Tujuan dan hasil pokok dari sakramen ini adalah pendamaian manusia dengan Allah. Sakramen tobat mengakibatkan sebuah kebangkitan rohani, yakni penempatan kembali peniten ke dalam martabat dan kekayaan kehidupan anak-anak Allah. Gambaran suasana pendamaian itu tampak dalam kisah perumpamaan anak yang hilang yang ditunjukkan dalam kebaikan hati seorang bapa (Luk 15: 11-32). Gambaran tersebut ingin menunjukkan bahwa keterpisahan dari Allah membuat manusia sungguh menderita (ay 17); dan pilihan untuk berbalik kepada Allah berbuah rahmat pendamaian, yakni dipulihkannya kembali identitas sebagai anak Allah. Melalui sakramen rekonsiliasi, kebersamaan dan kedamian dengan Allah yang telah diterima melalui baptisan diperoleh kembali. Dengan sakramen tobat, manusia kembali menjadi anak-anak Allah dan mengambil bagian di dalam kehidupan Allah[15].
B.  Rekonsiliasi dengan Gereja
Dosa tidak hanya memutuskan relasi antara manusia dengan Allah, tetapi juga dengan Gereja. Dengan dosa, hubungan seseorang tidak hanya diputuskan dari Allah, tetapi juga dari sesamanya, khususnya seluruh warga Gereja. Hal tersebut dapat dilihat dengan membandingkan kembali gambaran Gereja menurut Paulus. Paulus menggambarkan Gereja sebagai Tubuh Mistik Kristus, yakni satu tubuh dengan banyak anggota dengan Kristus sebagai Kepalanya (1 Kor 12: 12-31). Tubuh adalah sebuah kesatuan organis yang tidak terpisahkan antara yang satu dengan yang lain. Oleh karenanya, “jika satu anggota menderita, semua anggota ikut menderita; jika satu anggota dihormati, semua anggota turut bersuka cita” (ay 26). Maka, dosa setiap anggota Gereja dapat melukai seluruh Tubuh Kristus. Dosa salah satu anggota Gereja dapat melukai Gereja secara konkret. Kesucian Gereja yang dirugikan (oleh salah satu anggota yang berdosa) adalah kesucian/kesempurnaan kelompok orang-orang tertentu yang konkret[16].
Sebagaimana dosa berdampak eklesial, demikian pula dengan pertobatan dalam sakramen rekonsiliasi. Dalam sakramen itu, seorang peniten tidak hanya didamaikan dengan Allah saja, tetapi juga dengan Gereja: “Mereka yang menerima sakramen tobat memperoleh pengampunan dari belas kasih Allah atas penghinaan mereka terhadap-Nya, sekaligus mereka didamaikan dengan Gereja yang telah mereka lukai dengan berdosa, ....” (LG 11). Memang, dosa peniten melukai Gereja tetapi tidak memisahkan peniten dengan Gereja. Dengan sakramen tobat, peniten diperdamaikan dengan Gereja. Hubungan tobat sebagai pendamaian dengan Gereja dan pemulihan hubungan dengan Allah pertama-tama dilihat dalam realitas bahwa seluruh Gereja adalah “di dalam Kristus bagaikan sakramen yaitu tanda dan sarana persatuan mesra umat manusia dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia” (LG 1)[17].
C.  Rekonsiliasi dengan semua makhluk dan alam ciptaan
Dosa juga merusak hubungan antara manusia dengan semua makhluk serta seluruh alam lingkungan. Realitas kerusakan lingkungan hidup yang menjadi isu ekologi sekarang ini antara lain disebabkan oleh manusia yang mengeksploitasi alam secara berlebihan; hal tersebut dapat dikaitkan dengan perintah dalam Kitab Kejadian, “... penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, ....” (Kej 1: 28). Paulus menunjukkan bagaimana pada zaman ini semua makhluk “sama-sama mengeluh dan sama-sama merasa sakit bersalin” (Rm 8: 19-22). Segala makhluk dan alam lingkungan mengeluh mengingat dosa keserakahan manusia yang menguras habis sumber-sumber alam tanpa memperhitungkan dampak negatif bagi lingkungan.
Atas kedosaan, manusia perlu untuk senantiasa bertobat. Pertobatan manusia seharusnya juga berdampak pada pembangunan kembali alam lingkungan. Dalam hal ini, sakramen tobat atau rekonsiliasi mengingatkan manusia yang berdosa bahwa pendamaian itu juga mesti merangkum seluruh tata relasi manusia dengan alam sekitarnya. Langkah pertama yang perlu dimiliki adalah sebuah kesadaran bahwa dosa manusia ikut merusak lingkungan hidup. Selanjutnya, mungkin baik bilaman pertobatan itu diwujudkan dengan sikap yang ramah pada lingkungan hidup[18].

3.    Pelayan Sakramen Tobat
Sakramen tobat memberikan ilham kepada seluruh anggota Gereja dangan pengetahuan yang mendalam tentang keinginan untuk melaksanakan hukum Tuhan, penyembuhan dari sengsara dosa dan pengadilan sejati agar terhindar dari siksaan abadi pada pengadilan terakhir. Sakramen ini mempunyai aspek liturgis, yakni penyembahan akan Allah yang tertinggi sebagai satu ekspresi iman dan kasih kepada Bapa Surgawi[19]. Atas dasar demikian, perlu juga untuk lebih mendalami siapa pelayan sakramen tobat atau rekonsiliasi.
A.  Allah sendiri yang mengampuni dosa
Gereja yakin dan percaya bahwa yang berkuasa – termasuk dalam sakramen tobat atau rekonsiliasi – untuk mengampuni dosa adalah Allah. Keyakinan ini secara historis berakar dari keyakinan dalam umat Perjanjian Lama. Pada zaman itu, umat meyakini bahwa Allah adalah Allah yang pencemburu (Kel 20: 5), tetapi juga sekaligus Allah yang mengampuni. Hal tersebut terlihat ketika Israel murtad dan layak dibinasakan, Allah tetap menunjukkan belas kasih dan kerahiman-Nya (Kel 32: 30-35). Ketika Israel terus berbuat dosa, Musa tetap memohonkan belas kasihan dan pengampunan dari Allah atas dosa-dosa umat-Nya: “Bangsa ini suatu bangsa yang tegar tengkuk, tetapi ampunilah kesalahan dan dosa kami, ambillah kami menjadi milik-Mu” (Kel 34: 9).
Musa (dan bangsa Israel) tidak jemu untuk selalu memohon belas kasih serta pengampunan Allah. Keyakinan itu merupakan sebuah kenyataan terhadap fakta bahwa Allah adalah pengasih dan pengampun. Allah bersedia mengampuni para pendosa yang mengakukan kesalahan mereka (Mzm 32: 5) dan tidak menghendaki kebinasaan mereka (Mzm 78: 38). Ia membersihkan mereka dan memenuhi hati mereka yang penuh sesal dengan kegembiraan (Mzm 51: 10-14. 19). Bahkan setelah peristiwa pembuangan, Yahwe – Allah yang benar dan satu-satunya – disebut sebagai “Allah pengampunan” (Neh 9: 17) dan “belaskasihan” (Dan 9: 9) yang selalu bersedia untuk membatalkan malapetaka yang diancamkan-Nya kepada pendosa dengan syarat mau bertobat[20].
Sikap dan tindakan Allah yang bersedia untuk mengampuni nyata dalam kehadiran Putera-Nya, yakni Yesus Kristus. Hidup dan karya Yesus mengarah pada penghadiran belas kasih Allah kepada manusia. Ia melaksanakan kuasa pengampunan: “Dosamu sudah diampuni” (Mrk 2: 5; Luk 7: 48); Ia diutus untuk menjadi penyelamat, bukan hanya sebagai hakim (Yoh 3: 17; 12: 47). Selain itu, Ia mengajar banyak orang supaya bertobat (Luk 5: 32) dengan mewahyukan bahwa Allah itu Bapa yang senang mengampuni (Luk 15) serta menghendaki agar jangan ada manusia yang binasa (Mat 18: 12)[21]. Dengan demikian, tujuan kedatangan Yesus adalah untuk mewartakan Kerajaan Allah yang berisi misi penyelamatan manusia. Poin utama pelaksanaannya adalah “dengan mengampuni[22]”.
B.  Kristus memberikan otoritas kepada Para Rasul
Pewartaan pertobatan dilakukan oleh Yesus dan diwujudnyatakan dalam sikap serta tindakannya ketika mengampuni dosa. Pewartaan pengampunan itu diajarkan kepada para murid-Nya: “Aku berkata kepadamu; bukan sampai tujuh kali melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali” (Mat 18: 22). Dalam perintah-Nya itu, Yesus sebenarnya dengan jelas menghendaki bahwa pengampunan dan tobat seharusnya menjadi sesuatu yang penting serta mesti dihidupi oleh para rasul.
Kristus juga menghendaki bahwa Gereja bisa menjadi tanda dan sarana pengampunan serta belas kasih Allah. Kehendak tersebut diwujudkan dengan pendelegasian kuasa untuk ‘mengikat’ dan ‘melepaskan’[23]. Hal itu dapat dikaitkan dengan kata-kata Yesus kepada Petrus: “Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Surga. Apa yang kau ikat di dunia ini akan terikat di surga dan apa yang kau lepaskan di dunia ini akan terlepas di surga” (Mat 16: 19). Kuasa itu tentunya juga berlaku untuk para rasul yang lain. Tugas itu ditegaskan Yesus kembali sebelum kenaikan-Nya ke surga: “Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang dosanya diampuni dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada” (Yoh 20: 22-23). Kuasa untuk mengikat dan melepaskan itu menjadi legitimasi teologis dan yuridis bagi para imam untuk mengampuni dosa[24].
C.  Imam sebagai representasi Gereja
Pertobatan dan pendamaian bukan hanya menyangkut relasi antara manusia dengan Allah, tetapi juga menyangkut relasi dengan Gereja. Dosa memiliki dimensi sosial-eklesial, yakni bila salah satu anggota Gereja berdosa, hal tersebut dapat melukai Gereja sendiri. Dalam ranah ini, Gereja dipahami sebagai kesatuan Tubuh Kristus: “... jika satu anggota menderita, semua anggota turut menderita....” (1 Kor 12: 26). Untuk itu, setiap anggota Gereja yang berdosa dituntut untuk melakukan pertobatan sebagai pemulihan kembali relasi antara pendosa dengan Gereja. Rekonsiliasi antara anggota Gereja yang berdosa dengan Gereja secara nyata terjadi melalui sakramen tobat di hadapan imam yang bertindak sebagai representasi dari Gereja dan sekaligus juga sebagai pelayan sakramen. Imam adalah simbol Kristus karena ia adalah pemimpin komunitas yang mempresentasikan Allah dan Tubuh Kristus[25]. Atas dasar itu, peristiwa pendamaian yang berlangsung dalam sakramen tobat, Kristus sendiri yang bertindak.
Imam bertindak in persona Christi dalam memberikan pelayanan sakramen pengampunan. Pelayanan imam atas sakramen ini merrupakan ungkapan tertinggi dari belaskasihan Tuhan lewat pelayanan Gereja dan sangat menentukan bagi kebahagiaan jiwa di dunia ini dan akan datang[26]. Dalam Presbyterorum Ordinis (PO) ditegaskan bahwa salah satu tugas dari imam adalah pelayanan sakramen tobat: “Dengan sakramen tobat, mereka (para imam) mendamaikan para pendosa dengan Allah dan dengan Gereja” (PO 5). Pengertian dari tugas pelayanan itu mencakup pula tugas untuk mengajar umat agar dengan kesungguhan mereka mengakukan dosa-dosanya kepada Gereja sehingga mereka semakin berpaling kepada Tuhan sembari mengingat amanat-Nya: “Bertobatlah, sebab sudah dekatlah Kerajaan Surga” (Mat 4: 17). Para imam disatukan dengan cinta Kristus, “bila mereka tampak bersedia sepenuhnya dan selalu untuk melayani sakramen tobat” (PO 13).
D.  Peran imam sebagai Bapa pengakuan
Dosa manusia yang menuntut sebuah pertobatan dipahami sebagai sesuatu yang berdimensi eklesial. Hal itu terjadi karena Gereja adalah Tubuh Mistik Kristus di mana bila salah satu anggota atau bagiannya “menderita” karena berbuat dosa, maka semua anggota tubuh juga ikut menderita (1 Kor 12: 26).
Dosa dan pertobatan adalah sebuah kepingan uang yang terdiri dari dua sisi yang tak terpisahkan. Dosa yang melukai Gereja juga menuntut pertobatan yang memulihkan kembali relasi antara pendosa dengan Gereja; dalam hal ini terjadilah rekonsiliasi. Rekonsiliasi terjadi dalam sakramen tobat di hadapan seorang imam, sebagaimana yang diatur dalam Kitab Hukum Kanonik: “Dalam sakramen tobat umat beriman mengakukan dosa-dosanya kepada pelayan legitim, menyesalinya serta berniat untuk memperbaiki diri, lewat absolusi yang diberikan oleh pelayan itu, memperoleh ampun dari Allah atas dosa-dosa yang telah dilakukannya sesudah dibaptis, dan sekaligus diperdamaikan kembali dengan Gereja yang mereka lukai dengan berdosa” (Kan 959); pelayan itu secara eksplisit adalah imam: “Pelayan sakramen tobat hanyalah imam” (Kan 965). Maka, ada lima tugas mendasar dari imam sebagai bapa pengakuan dalam pelaksanan sakramen tobat atau rekonsiliasi.
·      Imam sebagai wakil Kristus
Dalam konteks pelaksanaan pelayanan sakramen rekonsiliasi, imam meneruskan dan melaksanakan amanat Yesus kepada para murid-Nya: “Damai sejahtera bagi kamu! Sama seperti Bapa mengutus Aku demikian juga sekarang Aku mengutus kamu” (Yoh 20: 21). Hal itu dikaitkan dengan pertanyaan: “Apa dasar atau motivasi utama Allah mengutus Putera-Nya ke dunia”? Jawabannya adalah bahwa karena kasih-Nya yang besar kepada dunia: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal” (Yoh 3: 16). Yesus menghendaki agar kasih dari Bapa itu dapat terus sampai kepada manusia, bahkan pada zaman sekarang.
Perutusan imam adalah melanjutkan perutusan Kristus. Maka, tugas pokok dari imam dalam pelaksanaan sakramen tobat adalah memperlihatkan dan menghadirkan kebaikan Allah Bapa. Dengan demikian, imam diberi kesempatan untuk menyatakan damai Tuhan[27]. Damai Tuhan menjadi bentuk konkret dari kebaikan Allah. Damai itu menjadikan peniten diperbolehkan mengalami Kristus sebagai Raja Pendamaian yang memasukkan pendosa ke dalam persekutuan kembali dengan-Nya.
·      Imam sebagai bapa
Imam dalam melaksanakan sakramen tobat menjadi figur seorang bapa (pengakuan) yang menjadi sumber hidup dan kekuatan, sumber evaluasi sekaligus pendukung, seorang yang mencintai anaknya dan menginginkan anaknya bertumbuh lebih baik. Model bapa pengakuan yang baik dapat dibandingkan dengan sikap bapa terhadap anak bungsu dalam kisah perumpamaan anak yang hilang (Luk 15: 11-32). Figur seorang bapa yang baik tidak hanya mengampuni anak yang bersalah lalu sibuk dengan pekerjaan yang lain sehingga melupakan lagi anaknya. Figur bapa yang baik adalah bapa yang ketika melihat anaknya yang hilang sedang berjalan kembali, langsung menyongsong, menyambut, memeluk dan menciumnya. Sikap dan tindakan itu membuat si bungsi merasa diampuni dan diterima, identitas dan kedudukannya dipulihkan kembali[28].
Sebagai bapa rohani atau bapa pengakuan, imam diharap membimbing peniten ke arah jalan kebenaran dengan arahan yang penuh kehangatan. Untuk itu, imam dalam pelaksanaan sakramen tobat atau rekonsiliasi perlu untuk menjadi bapa yang menawarkan semangat bapa yang baik hati, yakni dengan bertindak secara bijaksana dan tegas agar peniten dapat melakukan serta menghayati pertobatannya dengan baik.
·      Imam sebagai guru
Dengan menjadi guru, imam membimbing umat berdosa kepada terang dan kebenaran sejati. Ia diharapkan mampu untuk mengajar peniten, umatnya gembalaannya, tentang hal-hal yang perlu diketahui agar mampu hidup secara Kristiani. Maka, imam dituntut untuk membekali dan mempelajari dengan teliti teologi moral dan teologi pastoral yang selaras dengan ajaran (magisterium) Gereja. Ia terutama harus mempelajari unsur-unsur pokok yang menentukan moralitas tindakan manusia, hakikat dari dosa, hal-hal yang menentukan berat dan ringannya dosa, situasi yang mendorong ke arah dosa, prinsip-prinsip mengenai keharusan restitusi dan hal-hal yang dapat menimbulkan sandungan bagi orang lain[29].
Berdasarkan kemampuan yang dimiliki, bapa pengakuan harus mengundang umat yang bertobat untuk lebih menyadari bimbingan Roh Kudus yang bekerja di kedalaman hatinya dan membimbingnya secara mendalam untuk lebih menjadi orang Kristiani yang sejati, berdedikasi dan total[30]. Dengan demikian, bersama dengan daya Roh Kudus, bapa pengakuan mengarahkan pertobatan umat beriman. Ia adalah “instrumen dari Roh Kudus[31]”.
·      Imam sebagai hakim
Karena pengakuan dosa memiliki aspek yudisial, maka imam juga berperan sebagai hakim. Kehadirannya sebagai hakim mengambil bagian dalam Diri Kristus yang adalah Hakim Sejati. Kristus sebagai Hakim diwartakan oleh para rasul dalam kaitannya dengan kedatangan-Nya yang kedua (paraousia): “Ia menugaskan kepada kami memberitakan kepada seluruh bangsa dan bersaksi bahwa Dialah yang ditentukan Allah untuk menjadi Hakim atas orang-orang hidup dan orang-orang mati” (Kis 10: 42). Figur Kristus sebagai Hakim dihubungkan dengan peranan-Nya sebagai Penyelamat yang memuncak dalam peristiwa kematian-Nya di salib untuk menebus manusia dari kuasa dosa. Oleh sebab itu, umat manusia sebagai orang-orang berdosa dapat mengharapkan serta menantikan kedatangan Kristus dengan penuh harapan dan kegembiraan karena meskipun Ia datang sebagai Hakim, Ia sekaligus datang sebagai Penyelamat. Ia adalah Hakim yang menyelamatkan[32].
Dalam pelaksanaan pelayanan sakramen tobat atau rekonsiliasi, imam sebagai bapa pengakuan ikut ambil bagian dalam peran Kristus sebagai Hakim dan Penyelamat. Dengan memberikan sebuah keputusan dalam pengakuan dosa, imam memberikan sebuah absolusi, yakni keputusan yang membebaskan dan menyembuhkan[33]. Tindakakan tersebut didasarkan pada perikop Yoh 20: 23 yang berbicara tentang kuasa untuk mengampuni dosa atau menyatakan dosa seseorang tetap ada; karena tindakan absolusi menampakkan rahmat dan kasih Allah sendiri.
·      Imam sebagai penyembuh
Misi penyelamatan Yesus ditunjukkan melalui hidup dan karya-Nya yang mewartakan kabar gembira dengan menyembuhkan orang-orang sakit. Ia menghubungkan keadaan sakit seseorang dengan dosa sehingga kerap kali dalam Sabda penyembuhan-Nya Ia berkata: “Dosamu sudah diampuni” (Mat 9: 2). Hal itu berhubungan dengan tugas pokok-Nya, yakni untuk membawa keselamatan dan kesembuhan bagi orang-orang berdosa: “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib tetapi orang sakit, Aku datang bukan untuk memanggil orang benar melainkan orang berdosa” (Mrk 2: 17). Cara dan semangat hidup Kristus itulah yang juga menjadi cara dan semangat imam dalam melaksanakan fungsinya sebagai pelayan sakramen rekonsiliasi. Untuk itu, imam diharapkan mampu berperan sebagia tabib atau penyembuh kerohanian umat yang merindukan penyembuhan rohani.
Sebagai penyembuh, imam bukan untuk menghukum umat yang bertobat. Imam dituntut untuk mampu mengenali kondisi rohani peniten, yakni umat yang bertobat, sehingga ia mampu pula untuk memberikan ‘terapi rohani’ yang tepat dan efektif. Hal itu bertujuan agar umat yang bertobat dibantu untuk menghindari dosa-dosa dan memupuk keutamaan-keutamaan diri dalam melawan dosa. Dalam ranah ini, seorang imam mesti juga belajar untuk mendengarkan dengan penuh perhatian tanpa menghakimi, menyampaikan sebuah sikap penerimaan dan harapan, memampukan peniten untuk melihat secara jelas tanggung jawabnya serta kebutuhan untuk berkembang[34].

4.    Penutup
George A. Maloney dalam bukunya, Your Sins Are Forgiven You menulis: “Kekurangan untuk mengakui adanya kehadiran dosa, membuat kita susah untuk melihat kebutuhan untuk mengakukannya (dalam sakramen tobat)”[35]. Untuk itu, dibutuhkan sebuah kesadaran bahwa dosa ada dalam diri. Kesadaran atas dosa yang dimiliki dapat menjadi mentalitas utama bagi setiap umat Kristiani sebagai modal dasar untuk bertobat. Kesadaran atas dosa yang mengarahkan diri kepada pertobatan terwujud dalam penerimaan sakramen tobat atau rekonsiliasi.
Dalam sakramen tersebut, umat yang bertobat mendapatkan buah-buah rohani atas pengampunan dosa. Pengamunan dosa itu menjadi dasar rekonsiliasi dengan Allah, Gereja, semua makhluk dan alam ciptaan. Terjadinya rekonsiliasi atas pengampuna dosa merupakan konsekuensi dari sakramen tobat karena yang mengampuni adalah Allah dalam diri imam. Untuk itu, sakramen ini sebenarnya adalah sakramen cinta kasih Allah yang dianugerahkan kepada umat-Nya yang ingin bertobat dan kembali dalam persekutuan dengan-Nya.


*     *     *


























Daftar Pustaka

Al. Purwa Hadiwardoyo,
2007    Pertobatan dalam Tradisi Katolik, Pertobatan dalam Tradisi Katolik, Kanisius, Yogyakarta. Sebuah ringkasan dari John F. McDonald, The Sacrament in The Christian Life, St. Paul Publication, Slough, 1983.
Albertus Sujoko,
2008    Praktek Sakramen ertobatan dalam Gereja Katolik, Kanisius, Yogyakarta.
Anicetus B. Sinaga,
2007    Imam Triniter: Pedoman Hidup Imam, Obor, Jakarta.
CB. Kusmaryanto,
2014    Sakramen Rekonsiliasi: Perayaan Belaskasihan Allah, Program Pasca Sarjana Magister Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
E. Martasudjita,
2003    Sakramen-sakramen Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis dan Pastoral, Kanisius, Yogyakarta.
Francis J. Buckley,
1972    “I Confess” The Sacrament of Penance Today, Ave Maria Press, Indiana.
George A. Maloney,
1993    Your Sins Are Forgiven You, Alba House, New York.
John Paul II,
1984    On Reconcilliation and Penance, St. Paul Edition.
Kees Maas,
1999    Teologi Moral Tobat, Nusa Indah, Ende.
Lawrance E. Mick,
1987    Penance:The Once and Future Sacrament, The Liturgical Press, Minessota.
Louis Bouyer,
1965    Dictionary of Theology, U.S.A..
Monika K Hellwig,
1982    Sin of Reconciliation and Conversion, Michael Glazier Inc, Wilmington.
Nico Syukur Dister,
2004    Teologi Sistematika 2, Kanisius, Yogyakarta.
Paul Anciaux,
1962    The Sacrament of Penance, Charles Birchall & Sons LTD, London.

Petrus Murwanto,
2011    Sakramen Tobat sebagai Sarana Rekonsiliasi antara Manusia dengan Allah dan Gereja: Penelitian atas Pemahaman dan Praksis Sakramen Tobat pada Orang Muda Katolik (OMK) di Paroki St. Fransiskus Xaverius Kidul Loji, Yogyakarta, Tesis, Fakultas Teologi-Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
R. Hardawiryana,
1970    Sakramen Tobat, IFT, Yogyakarta.
T. Jacobs,
1987    Rahmat bagi Manusia Lemah: Sakramen Tobat, Sakramen Pengurapan Orang Sakit, Kanisius Yogyakarta.
........................,
            2009    Kitab Hukum Kanonik, Konferensi Waligereja Indonesia, Jakarta.





[1] George A. Maloney, Your Sins Are Forgiven You, Alba House, New York 1993, 5.
[2] Kees Maas, Teologi Moral Tobat, Nusa Indah, Ende 1999, 30.
[3] Petrus Murwanto, Sakramen Tobat sebagai Sarana Rekonsiliasi antara Manusia dengan Allah dan Gereja: Penelitian atas Pemahaman dan Praksis Sakramen Tobat pada Orang Muda Katolik (OMK) di Paroki St. Fransiskus Xaverius Kidul Loji, Yogyakarta, Tesis, Fakultas Teologi-Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta 2011, 15.
[4] Petrus Murwanto, Sakramen Tobat sebagai Sarana Rekonsiliasi antara Manusia dengan Allah dan Gereja: Penelitian atas Pemahaman dan Praksis Sakramen Tobat pada Orang Muda Katolik (OMK) di Paroki St. Fransiskus Xaverius Kidul Loji, Yogyakarta, 17.
[5] Louis Bouyer, Dictionary of Theology, U.S.A., 1965, 410.
[6] Monika K Hellwig, Sin of Reconciliation and Conversion, Michael Glazier Inc, Wilmington 1982, 14.
[7] Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika 2, Kanisius, Yogyakarta 2004, 112.
[8] T. Jacobs, Rahmat bagi Manusia Lemah: Sakramen Tobat, Sakramen Pengurapan Orang Sakit, Kanisius Yogyakarta 1987, 47.
[9] Albertus Sujoko, Praktek Sakramen ertobatan dalam Gereja Katolik, Kanisius, Yogyakarta 2008, 114.
[10] Paul Anciaux, The Sacrament of Penance, Charles Birchall & Sons LTD, London 1962, 17.
[11] John Paul II, On Reconcilliation and Penance, St. Paul Edition, 1984, 107.
[12] Lawrance E. Mick, Penance:The Once and Future Sacrament, The Liturgical Press, Minessota 1987, 77.
[13] E. Martasudjita, Sakramen-sakramen Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis dan Pastoral, Kanisius, Yogyakarta 2003, 323.
[14] E. Martasudjita, Sakramen-sakramen Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis dan Pastoral, 324.
[15] E. Martasudjita, Sakramen-sakramen Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis dan Pastoral, 324.
[16] Kees Maas, Teologi Moral Tobat, 75.
[17] T. Jacobs, Rahmat bagi Manusia Lemah: Sakramen Tobat, Sakramen Pengurapan Orang Sakit, 86.
[18] E. Martasudjita, Sakramen-sakramen Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis dan Pastoral, 326.
[19] Kees Maas, Teologi Moral Tobat, 78.
[20] R. Hardawiryana, Sakramen Tobat, IFT, Yogyakarta 1970, 21.
[21] Petrus Murwanto, Sakramen Tobat sebagai Sarana Rekonsiliasi antara Manusia dengan Allah dan Gereja: Penelitian atas Pemahaman dan Praksis Sakramen Tobat pada Orang Muda Katolik (OMK) di Paroki St. Fransiskus Xaverius Kidul Loji, Yogyakarta, 77.
[22] CB. Kusmaryanto, Sakramen Rekonsiliasi: Perayaan Belaskasihan Allah, Program Pasca Sarjana Magister Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta 2014, 36.
[23] Petrus Murwanto, Sakramen Tobat sebagai Sarana Rekonsiliasi antara Manusia dengan Allah dan Gereja: Penelitian atas Pemahaman dan Praksis Sakramen Tobat pada Orang Muda Katolik (OMK) di Paroki St. Fransiskus Xaverius Kidul Loji, Yogyakarta, 77.
[24] Petrus Murwanto, Sakramen Tobat sebagai Sarana Rekonsiliasi antara Manusia dengan Allah dan Gereja: Penelitian atas Pemahaman dan Praksis Sakramen Tobat pada Orang Muda Katolik (OMK) di Paroki St. Fransiskus Xaverius Kidul Loji, Yogyakarta, 78.
[25] Lawrance E. Mick, Penance: The Once and Future Sacrament, 30.
[26] Anicetus B. Sinaga, Imam Triniter: Pedoman Hidup Imam, Obor, Jakarta 2007, 174.
[27] Kees Maas, Teologi Moral Tobat, 86.
[28] Francis J. Buckley, “I Confess” The Sacrament of Penance Today, Ave Maria Press, Indiana 1972, 29.
[29] Al. Purwa Hadiwardoyo, Pertobatan dalam Tradisi Katolik, Pertobatan dalam Tradisi Katolik, Kanisius, Yogyakarta 2007, 75. Sebuah ringkasan dari John F. McDonald, The Sacrament in The Christian Life, St. Paul Publication, Slough, 1983.
[30] Francis J. Buckley, “I Confess” The Sacrament of Penance Today, 27.
[31] Kees Maas, Teologi Moral Tobat, 82.
[32] Kees Maas, Teologi Moral Tobat, 83.        
[33] Dalah hal ini, Konsili Trente mengajarkan bahwa absolusi merupakan “tindakan hakim” (actus iudicialis).
[34] Francis J. Buckley, “I Confess” The Sacrament of Penance Today, 25.
[35] George A. Maloney, Your Sins Are Forgiven You, 6.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

La présence de Dieu qui accompagne toujours nos vies est un mystère. Sa présence réelle qu'Il soit là ou ici, nous ne pourrons peut-être...