Di dalam masyarakat kita,
dosa hampir menghilang dari perbendaharaan kata
Kutipan
di atas memuat sebuah pernyataan penting yang ingin mengatakan bahwa manusia
pada zaman sekarang tidak menghiraukan keberadaan dosa. Rasanya apa yang
dituliskan George A. Maloney dalam bukunya, Your
Sins Are Forgiven You, ingin mengajak secara khusus umat Katolik untuk
menyadari keberadaan dosa yang telah merasuk dalam setiap segi kehidupan
manusia. Keberadaan dosa itu tidak hanya merasuk, mungkin juga telah menyatu
dengan manusia sehingga dosa bukan lagi menjadi sesuatu yang harus disadari dan
ditolak, melainkan menjadi sesuatu hal yang lumrah saja. Dalam hal ini, manusia
dapat dinilai bahwa ia telah kehilangan rasa kedosaan.
Hilangnya
rasa kedosaan dalam diri banyak manusia – secara khusus dalam diri umat Katolik
- mengundang penulis untuk mengangkat tema tentang sakramen tobat atau
rekonsiliasi dalam Gereja Katolik. Tema tersebut menarik karena memiliki
keterkaitan langsung dengan konsep tentang dosa.
Jalan
pikiran yang menjadi rangkaian dalam tulisan ini adalah: 1) manusia perlu
bertobat atas realitas kedosaan yang dimiliki; 2) pertobatan itu nyata dalam
penerimaan sakramen tobat atau rekonsiliasi; 3) dalam sakramen itu, umat yang
bertobat mendapatkan buah-buah atau manfaat-manfaat rohani; 4) di lain pihak,
penting pula untuk memahami pelayan sakramen tobat atau rekonsiliasi. Maka, ada
beberapa pertanyaan pokok yang akan diuraikan: Apa makna pertobatan? Mengapa
sakramen tobat atau rekonsiliasi diperlukan? Apa buah-buah sakramen tobat?
Siapakah pelayannya? Semua rangkaian penjelasannya merupakan satu kesatuan
dengan pokok bahasan utama, yakni sakramen tobat atau rekonsiliasi.
1.
Makna
Pertobatan
Bila
kita berbicara tentang sakramen tobat atau rekonsiliasi, maka topik tentang
dosa dan pertobatan akan menjadi sebuah satu rangkaian yang saling terkait.
Dosa memang diyakini sebagai bagian dari kesalahan manusia yang harus dihapus.
Dosa juga dapat dikatakan sebagai kejahatan yang mencemari diri manusia. Untuk
itu, jalan untuk menghapus dan membersihkan diri patut untuk dilaksanakan agar
manusia lepas dari dosa. Jalan itu dapat dilakukan dengan salah satu cara,
yakni melalui pertobatan.
A. Pertobatan dalam Perjanjian Lama
(PL) dan Perjanjian Baru (PB)
Konsep
pertobatan dalam PL diungkapkan dengan pelbagai istilah dengan tekanan yang
berbeda-beda. Istilah-istilah yang dipakai di antaranya “mencari Tuhan” (Am 5: 4;
Hos 10: 12), “mencari wajah-Nya” (Hos 5: 15; Mzm 24: 6; 27: 8) dan “merendahkan
diri di hadirat-Nya” (1 Raj 21: 29; 2 Raj 22: 19). Di antara itu semua, istilah
yang paling lazim adalah shub, yang
berarti “berubah haluan”, “datang lagi”, “kembali kepada langkah-langkahnya”.
Dalam konteks hidup religius, kata itu berarti berputar arah (berbalik)
meninggalkan yang jahat menuju Tuhan; itu dapat dimengerti sebagai orientasi
baru manusia seutuhnya[2].
Orientasi baru itu merupakan usaha manusia untuk meninggalkan kesalahannya
(dosa) dan bertobat menuju kembali kepada Allah.
Dalam
PL, dosa dipahami dalam konteks perjanjian. Kegagalan dalam menghidupi
perjanjian dapat merusak dan mengancam hubungan manusia dengan Allah. Bila hal
itu terjadi, seluruh umat harus memulihkannya dengan jalan menghukum mereka
yang bersalah, mungkin pula dengan menghukum mati (Kel 32: 25-28; Bil 25: 7).
Itulah salah satu bentuk pertobatan. Selain itu, ada juga ungkapan pertobatan
dengan praktek-praktek asketis dan doa-doa tobat, puasa (Hak 20: 26; 1 Raj 21: 28),
pakaian yang disobek-sobek (1 Raj 20: 31; 2 Raj 6: 30; 19: 1; Yes 22: 12) dan
pengakuan dosa secara umum (Hak 10: 10; 1 Sam 7: 6)[3].
Pelbagai bentuk pertobatan itu merupakan bentuk tobat dalam konteks ibadat.
Para nabi menyerukan agar bentuk pertobatan dalam konteks ibadat juga harus
disertai dengan pertobatan batin yang tampak dalam dimensi sosial: “Berpuasa
yang Kukehendaki ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman dan
melepaskan tali-tali kuk supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya...
supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi yang lapar....” (Yes 58: 6-7).
Dalam
PB, konsep pertobatan tidak terlepas dari tokoh Yesus Kristus yang mewartakan
datangnya Kerajaan Allah. Sikap tobat dan perubahan hati menjadi tuntutan untuk
bisa masuk ke dalam Kerajaan Allah sebagaimana yang diwarktakan oleh Yesus
sendiri (Mat 4: 17; Mrk 1: 15). Pewartaan Yesus berkaitan dengan tuntutan untuk
beriman terhadap pewartaan dan pribadi-Nya: “bertobatlah dan percayalah kepada
Injil” (Mrk 1: 15). Ajakan Yesus untuk bertobat itu berhubungan dengan iman. Ungkapan
kepercayaan iman ini diwujudkan dengan mengikuti Yesus sebagaiamana ditampakkan
dalam peristiwa ketika Yesus memanggil murid-murid-Nya yang pertama (Mrk 1: 16-20;
Mat 4: 18-22; Luk 5: 1-11). Panggilan kepada para murid menjadi referensi bagi
pemahaman tentang arti pertobatan dan permandian. Salah satu efek dari
pertobatan dan rahmat baptisan adalah bahwa manusia diampuni dosa-dosanya dan
disucikan. Dalam Kis 2: 38 Petrus menyerukan: “Bertobatlah dan hendaklah kamu
masing-masing memberi dirimu dibaptis dalam nama Yesus Kristus untuk
pengampunan dosamu”.
Pertobatan
yang diwujudkan dengan percaya kepada Injil juga harus diikuti oleh sikap dan
tindakan moral: “Kami ada di sini untuk memberitakan Injil kepada kamu supaya
kamu meninggalkan perbuatan sia-sia ini dan berbalik kepada Allah yang hidup”
(Kis 14: 15). Sikap dan tindakan moral sebagai pengejawantahan buah pertobatan
untuk memulai hidup yang baru karena proses pertobatan tidak hanya berarti
meninggalkan hidup lama (dalam kedosaan), membalik kepada Allah dan menyerahkan
diri kepada Allah, tetapi juga memulai hidup yang baru (Kis 26: 20)[4].
B. Dosa dan Dimensi-dimensinya
Sikap
pertobatan diperlukan karena berkaitan dengan dosa yang ada dalam diri manusia.
Dosa dapat dikatakan sebagai perlawanan kehendak manusia terhadap kehendak
Allah atau berpalingnya kehendak manusia dari kehendak Allah[5]. Dalam
Katekismus Gereja Katolik artikel 1140, dosa dipahami sebagai perlawanan kepada
Allah dan sebuah faktor retaknya persekutuan antara manusia dengan Dia. Pengertian
itu sejalan dengan Monika K Hellwig dalam bukunya, Sign of Reconciliation and Conversion: “Dosa tampak sebagai kondisi
atau kenyataan tujuan-tujuan yang berseberangan dengan Allah, menemukan makna
hidup tanpa mengarahkan secara mutlak kepada Allah[6]”.
Dalam hal ini, dosa pertama-tama mengancam relasi antara manusia itu sendiri
dengan Allah. Dosa juga dapat meretakkan hubungan dengan sesama sebab akar dosa
berada pada tindakan manusia atas sesama. Maka, setiap perbuatan dosa selalu
menyangkut relasi manusia dengan dirinya sendiri, sesama dan Allah. Itulah
hubungan relasi yang menunjuk pada dimensi-dimensi dosa.
· Dimensi teologis
Dalam
Kitab Suci, dosa dilukiskan sebagai pemalingan diri, membelakangi Tuhan. Pada
konteks perjanjian, dosa dikaitkan dengan pelanggaran perintah Allah dan
hukum-Nya. Dosa menjadi wujud ketidaksetiaan Israel pada ikatan perjanjian yang
intinya mengenal dan mengakui Tuhan sebagai satu-satunya Allah. Dosa itu
semakin nyata ketika Isreal berpaling dari Allah dan menyembah berhala; itu
adalah sebuah “percabulan” (Hos 1: 2; 2; 18; Hak 2: 17; 8: 27; Yes 1: 21).
Selain itu, dosa juga berarti melawan Kerajaan Allah, melawan Allah sendiri
(Mat 10: 33; 11: 20-24; 12: 38-42; Yoh 15: 18. 23-25) dan Roh Kudus (Mrk 3: 28).
Dosa
sebenarnya menunjuk pada relasi antara Allah dan manusia. Dosa menjadi faktor
penghancur hubungan itu karena membuat manusia menjadi terasing dari Allah.
Terasing artinya bahwa hubungan antara manusia dengan Allah tidak menghilang
tetapi diisolasikan di samping prioritas-prioritas kehidupan yang besar[7];
manusia semakin jauh dalam menjalin hubungan dengan Allah. Manusia semakin lupa
pada salah satu prioritas yang menjadi tujuan dalam kehidupannya.
· Dimensi personal
Dosa
merupakan sebuah tindakan konkret manusia secara personal, terkait dengan
identitas dirinya yang dianugerahi akal budi dan kebebasan. Maka, tidak ada
dosa tanpa kesadaran, tanpa kebebasan dan tanpa perbuatan bebas[8]. Dosa
bersifat personal karena berakar dalam hati manusia dan terarah pada sikap
penolakan terhadap Tuhan.
Apa
yang dilakukan seseorang secara lahiriah sebenarnya terlebih dahulu sudah
dilakukan secara batiniah dalam bentuk niat-niat, kamauan, maksud dan rencana-rencana.
Dosa adalah tindakan lahiriah yang berhubungan erat dengan hidup batin manusia[9].
Berkaitan dengan hal tersebut, Yesus memberikan perumpamaan tentang hubungan
antara pohon dan buah. Yesus menegaskan bahwa pohon yang baik akan menghasilkan
buah yang baik, demikian pula dengan sebaliknya (Luk 6: 43-45). Karena dosa
berdimensi personal, setiap pendosa mesti mengakui dosanya di hadapan Tuhan:
“Saya mengakui dosaku, ya Tuhan”! Dengan demikian, pertobatan sejati atas dosa
berasal dari hati manusia. Hati yang menyesal adalah sebuah kondisi yang Tuhan
tuntut bagi kelahiran kembali si pendosa kepada hidup yang baru[10].
· Dimensi sosial-eklesial
Dimensi
sosial-eklesial dari dosa dapat dipahami dari gagasan Paulus tentang Gereja
sebagai Tubuh Mistik Kristus. Paulus menegaskan bahwa masing-masing orang
Kristiani adalah anggota tubuh (1 Kor 12: 27) yang semuanya saling tergantung
satu sama lain sehingga apabila salah satu anggota sakit atau tidak berfungsi,
maka semua (yang lain) akan turut menderita (1 Kor 12: 26).
Dimensi
sosial-eklesial dari dosa ini juga ditegaskan Paus Yohanes Paulus II dalam On Reconcilliation and Penance. Dalam
dokumen tersebut, Paus menjelaskan arti dari dimensi sosial-eklesial dosa yang
menyentuh segi sosial. Pertama, setiap dosa individu dalam beberapa hal
berdampak pada yang lain. Kedua, dosa melawan dan melukai sesama atau dalam
hukum Kristus dosa berarti melawan perintah kedua: “Kasihilah sesamamu
manusia....” (Mat 22: 39). Ketiga, dosa sosial menunjuk pada hubungan antara
pelbagai macam komunitas manusia. Hubungan ini tidak selalu sesuai dengan
rencana Allah, yang menghendaki bahwa ada keadilan di dunia, dan kebebasan
serta damai di antara individu-individu, kelompok-kelompok dan masyarakat[11].
C. Pertobatan (sebagai perlawanan
terhadap dosa) dalam Sakramen Tobat
Dalam
Kitab Suci, penyakit yang sedang diderita oleh seseorang sering dihubungkan
dengan dosa. Menurut PB, hal tersebut menunjuk pada hubungan antara pengampunan
dosa dengan penyembuhan. Contoh yang konkret dapat dilihat pada peristiwa ketika
Yesus menyembuhkan orang lumpuh (Mrk 2: 1-12). Ketika membuat mukjizat penyembuhan
atas orang lumpuh, Ia berkata, “Hai anak-Ku, dosamu sudah diampuni” (ay 5).
Ayat tersebut menunjukkan bahwa Yesus tidak hanya menyambuhkan orang itu secara
fisik saja, melainkan juga secara rohani: pengampunan atas dosa. Atas
kesembuhan itu, Yesus berpesan kepadanya: “Engkau telah sembuh, jangan berbuat
dosa lagi, supaya padamu jangan terjadi yang lebih buruk” (Yoh 5: 14). Itu
dapat menjadi gambaran bahwa orang yang disembuhkan dari dosa melalui sikap dan
pertobatan mempunyai tanggung jawab dalam melawan dosa secara terus menerus.
Dalam
tradisi Gereja Katolik, perwujudan konkret pertobatan secara liturgis-sakramental
terlaksana dalam penerimaan sakramen tobat. Pada sakramen tobat, Allah hadir
dan mencintai manusia, yang telah dibaptis dan jatuh lagi dalam dosa namun
bertobat, dengan mengampuni kembali dosa-dosanya, memulihkan hubungan
dengan-Nya dan dengan sesamanya[12].
Sakramen tobat dapat dimaknai sebagai ungkapan kesadaran dari kelemahan,
kerapuhan dan kedosaan manusia. Selain itu, sakramen ini juga dimaknai sebagai
keyakinan pada Allah yang Maha Rahim, yang mengasihi dan mengampuni manusia.
2.
Buah-buah
Sakramen Tobat
Sakramen
tobat atau rekonsiliasi dipahami sebagai sakramen pengampunan atas dosa.
Disebut demikian karena sakramen ini memiliki makna yang mendalam untuk
membangun kembali sebuah hubungan atau relasi yang telah rusak. Di dalamnya,
manusia sebagai pendosa menyesali kedosaan dengan bentuk pengakuan. Atas dasar
gerak personal itu, manusia mendapatkan pengampunan. Di sini terjadi gerak
pembangunan kembali atas hubungan yang telah rusak – rekonsiliasi – sebagai
dinamika pembaruan hidup yang lebih baik. Maka, sakramen tobat atau
rekonsiliasi memiliki buah-buah rohani yang kaya, yakni: rekonsiliasi dengan
Allah, rekonsiliasi dengan Gereja dan rekonsiliasi dengan semua makhluk serta
alam ciptaan.
A. Rekonsiliasi dengan Allah
Sakramen tobat atau rekonsiliasi mendamaikan kembali
kita (manusia yang berdosa) dengan Allah, sehingga kita hidup dalam rahmat[13].
Dari pihak Allah, Ia selalu menawarkan pendamaian kepada manusia. Tawaran
pendamaian itu terjadi melalui tindakan-Nya dalam mengutus Yesus Kristus,
Putera-Nya. Berkat wafat dan kebangkitan Kristus, manusia diperdamaikan kembali
dengan Allah. Itulah sebabnya, dalam rumusan absolusi dinyatakan: “Allah Bapa
yang berbelas kasih telah mendamaikan dunia dengan diri-Nya melalui wafat dan
kebangkitan Putera-Nya”. Dengan demikian, sakramen tobat atau rekonsiliasi
menghadirkan misteri wafat dan kebangkitan Kristus sebagai peristiwa yang
mendamaikan manusia dengan Allah[14].
Sakramen ini memberikan kembali rahmat Allah kepada manusia
dan menyatukan manusia dengan-Nya dalam persahabatan yang erat. Tujuan dan
hasil pokok dari sakramen ini adalah pendamaian manusia dengan Allah. Sakramen
tobat mengakibatkan sebuah kebangkitan rohani, yakni penempatan kembali peniten
ke dalam martabat dan kekayaan kehidupan anak-anak Allah. Gambaran suasana
pendamaian itu tampak dalam kisah perumpamaan anak yang hilang yang ditunjukkan
dalam kebaikan hati seorang bapa (Luk 15: 11-32). Gambaran tersebut ingin
menunjukkan bahwa keterpisahan dari Allah membuat manusia sungguh menderita (ay
17); dan pilihan untuk berbalik kepada Allah berbuah rahmat pendamaian, yakni
dipulihkannya kembali identitas sebagai anak Allah. Melalui sakramen
rekonsiliasi, kebersamaan dan kedamian dengan Allah yang telah diterima melalui
baptisan diperoleh kembali. Dengan sakramen tobat, manusia kembali menjadi
anak-anak Allah dan mengambil bagian di dalam kehidupan Allah[15].
B. Rekonsiliasi dengan Gereja
Dosa
tidak hanya memutuskan relasi antara manusia dengan Allah, tetapi juga dengan
Gereja. Dengan dosa, hubungan seseorang tidak hanya diputuskan dari Allah,
tetapi juga dari sesamanya, khususnya seluruh warga Gereja. Hal tersebut dapat
dilihat dengan membandingkan kembali gambaran Gereja menurut Paulus. Paulus
menggambarkan Gereja sebagai Tubuh Mistik Kristus, yakni satu tubuh dengan
banyak anggota dengan Kristus sebagai Kepalanya (1 Kor 12: 12-31). Tubuh adalah
sebuah kesatuan organis yang tidak terpisahkan antara yang satu dengan yang
lain. Oleh karenanya, “jika satu anggota menderita, semua anggota ikut
menderita; jika satu anggota dihormati, semua anggota turut bersuka cita” (ay
26). Maka, dosa setiap anggota Gereja dapat melukai seluruh Tubuh Kristus. Dosa
salah satu anggota Gereja dapat melukai Gereja secara konkret. Kesucian Gereja
yang dirugikan (oleh salah satu anggota yang berdosa) adalah
kesucian/kesempurnaan kelompok orang-orang tertentu yang konkret[16].
Sebagaimana
dosa berdampak eklesial, demikian pula dengan pertobatan dalam sakramen
rekonsiliasi. Dalam sakramen itu, seorang peniten tidak hanya didamaikan dengan
Allah saja, tetapi juga dengan Gereja: “Mereka yang menerima sakramen tobat
memperoleh pengampunan dari belas kasih Allah atas penghinaan mereka
terhadap-Nya, sekaligus mereka didamaikan dengan Gereja yang telah mereka lukai
dengan berdosa, ....” (LG 11). Memang, dosa peniten melukai Gereja tetapi tidak
memisahkan peniten dengan Gereja. Dengan sakramen tobat, peniten diperdamaikan
dengan Gereja. Hubungan tobat sebagai pendamaian dengan Gereja dan pemulihan
hubungan dengan Allah pertama-tama dilihat dalam realitas bahwa seluruh Gereja
adalah “di dalam Kristus bagaikan sakramen yaitu tanda dan sarana persatuan
mesra umat manusia dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia” (LG 1)[17].
C. Rekonsiliasi dengan semua makhluk
dan alam ciptaan
Dosa juga merusak hubungan antara manusia dengan
semua makhluk serta seluruh alam lingkungan. Realitas kerusakan lingkungan
hidup yang menjadi isu ekologi sekarang ini antara lain disebabkan oleh manusia
yang mengeksploitasi alam secara berlebihan; hal tersebut dapat dikaitkan
dengan perintah dalam Kitab Kejadian, “... penuhilah bumi dan taklukkanlah itu,
....” (Kej 1: 28). Paulus menunjukkan bagaimana pada zaman ini semua makhluk
“sama-sama mengeluh dan sama-sama merasa sakit bersalin” (Rm 8: 19-22). Segala
makhluk dan alam lingkungan mengeluh mengingat dosa keserakahan manusia yang
menguras habis sumber-sumber alam tanpa memperhitungkan dampak negatif bagi
lingkungan.
Atas kedosaan, manusia perlu untuk senantiasa
bertobat. Pertobatan manusia seharusnya juga berdampak pada pembangunan kembali
alam lingkungan. Dalam hal ini, sakramen tobat atau rekonsiliasi mengingatkan
manusia yang berdosa bahwa pendamaian itu juga mesti merangkum seluruh tata
relasi manusia dengan alam sekitarnya. Langkah pertama yang perlu dimiliki
adalah sebuah kesadaran bahwa dosa manusia ikut merusak lingkungan hidup.
Selanjutnya, mungkin baik bilaman pertobatan itu diwujudkan dengan sikap yang
ramah pada lingkungan hidup[18].
3.
Pelayan
Sakramen Tobat
Sakramen tobat
memberikan ilham kepada seluruh anggota Gereja dangan pengetahuan yang mendalam
tentang keinginan untuk melaksanakan hukum Tuhan, penyembuhan dari sengsara
dosa dan pengadilan sejati agar terhindar dari siksaan abadi pada pengadilan
terakhir. Sakramen ini mempunyai aspek liturgis, yakni penyembahan akan Allah
yang tertinggi sebagai satu ekspresi iman dan kasih kepada Bapa Surgawi[19].
Atas dasar demikian, perlu juga untuk lebih mendalami siapa pelayan sakramen
tobat atau rekonsiliasi.
A. Allah sendiri yang mengampuni dosa
Gereja yakin dan percaya bahwa yang berkuasa –
termasuk dalam sakramen tobat atau rekonsiliasi – untuk mengampuni dosa adalah
Allah. Keyakinan ini secara historis berakar dari keyakinan dalam umat
Perjanjian Lama. Pada zaman itu, umat meyakini bahwa Allah adalah Allah yang
pencemburu (Kel 20: 5), tetapi juga sekaligus Allah yang mengampuni. Hal
tersebut terlihat ketika Israel murtad dan layak dibinasakan, Allah tetap
menunjukkan belas kasih dan kerahiman-Nya (Kel 32: 30-35). Ketika Israel terus
berbuat dosa, Musa tetap memohonkan belas kasihan dan pengampunan dari Allah
atas dosa-dosa umat-Nya: “Bangsa ini suatu bangsa yang tegar tengkuk, tetapi
ampunilah kesalahan dan dosa kami, ambillah kami menjadi milik-Mu” (Kel 34: 9).
Musa (dan bangsa Israel) tidak jemu untuk selalu
memohon belas kasih serta pengampunan Allah. Keyakinan itu merupakan sebuah
kenyataan terhadap fakta bahwa Allah adalah pengasih dan pengampun. Allah
bersedia mengampuni para pendosa yang mengakukan kesalahan mereka (Mzm 32: 5) dan
tidak menghendaki kebinasaan mereka (Mzm 78: 38). Ia membersihkan mereka dan
memenuhi hati mereka yang penuh sesal dengan kegembiraan (Mzm 51: 10-14. 19).
Bahkan setelah peristiwa pembuangan, Yahwe – Allah yang benar dan satu-satunya
– disebut sebagai “Allah pengampunan” (Neh 9: 17) dan “belaskasihan” (Dan 9: 9)
yang selalu bersedia untuk membatalkan malapetaka yang diancamkan-Nya kepada
pendosa dengan syarat mau bertobat[20].
Sikap dan tindakan Allah yang bersedia untuk
mengampuni nyata dalam kehadiran Putera-Nya, yakni Yesus Kristus. Hidup dan
karya Yesus mengarah pada penghadiran belas kasih Allah kepada manusia. Ia
melaksanakan kuasa pengampunan: “Dosamu sudah diampuni” (Mrk 2: 5; Luk 7: 48);
Ia diutus untuk menjadi penyelamat, bukan hanya sebagai hakim (Yoh 3: 17; 12: 47).
Selain itu, Ia mengajar banyak orang supaya bertobat (Luk 5: 32) dengan
mewahyukan bahwa Allah itu Bapa yang senang mengampuni (Luk 15) serta menghendaki
agar jangan ada manusia yang binasa (Mat 18: 12)[21]. Dengan
demikian, tujuan kedatangan Yesus adalah untuk mewartakan Kerajaan Allah yang
berisi misi penyelamatan manusia. Poin utama pelaksanaannya adalah “dengan
mengampuni[22]”.
B. Kristus memberikan otoritas kepada
Para Rasul
Pewartaan pertobatan dilakukan oleh Yesus dan
diwujudnyatakan dalam sikap serta tindakannya ketika mengampuni dosa. Pewartaan
pengampunan itu diajarkan kepada para murid-Nya: “Aku berkata kepadamu; bukan
sampai tujuh kali melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali” (Mat 18: 22).
Dalam perintah-Nya itu, Yesus sebenarnya dengan jelas menghendaki bahwa
pengampunan dan tobat seharusnya menjadi sesuatu yang penting serta mesti
dihidupi oleh para rasul.
Kristus juga menghendaki bahwa Gereja bisa menjadi
tanda dan sarana pengampunan serta belas kasih Allah. Kehendak tersebut
diwujudkan dengan pendelegasian kuasa untuk ‘mengikat’ dan ‘melepaskan’[23].
Hal itu dapat dikaitkan dengan kata-kata Yesus kepada Petrus: “Kepadamu akan
Kuberikan kunci Kerajaan Surga. Apa yang kau ikat di dunia ini akan terikat di
surga dan apa yang kau lepaskan di dunia ini akan terlepas di surga” (Mat 16: 19).
Kuasa itu tentunya juga berlaku untuk para rasul yang lain. Tugas itu
ditegaskan Yesus kembali sebelum kenaikan-Nya ke surga: “Terimalah Roh Kudus.
Jikalau kamu mengampuni dosa orang dosanya diampuni dan jikalau kamu menyatakan
dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada” (Yoh 20: 22-23). Kuasa untuk mengikat
dan melepaskan itu menjadi legitimasi teologis dan yuridis bagi para imam untuk
mengampuni dosa[24].
C. Imam sebagai representasi Gereja
Pertobatan dan pendamaian bukan hanya menyangkut
relasi antara manusia dengan Allah, tetapi juga menyangkut relasi dengan
Gereja. Dosa memiliki dimensi sosial-eklesial, yakni bila salah satu anggota
Gereja berdosa, hal tersebut dapat melukai Gereja sendiri. Dalam ranah ini,
Gereja dipahami sebagai kesatuan Tubuh Kristus: “... jika satu anggota
menderita, semua anggota turut menderita....” (1 Kor 12: 26). Untuk itu, setiap
anggota Gereja yang berdosa dituntut untuk melakukan pertobatan sebagai
pemulihan kembali relasi antara pendosa dengan Gereja. Rekonsiliasi antara
anggota Gereja yang berdosa dengan Gereja secara nyata terjadi melalui sakramen
tobat di hadapan imam yang bertindak sebagai representasi dari Gereja dan
sekaligus juga sebagai pelayan sakramen. Imam adalah simbol Kristus karena ia
adalah pemimpin komunitas yang mempresentasikan Allah dan Tubuh Kristus[25].
Atas dasar itu, peristiwa pendamaian yang berlangsung dalam sakramen tobat,
Kristus sendiri yang bertindak.
Imam bertindak in
persona Christi dalam memberikan pelayanan sakramen pengampunan. Pelayanan
imam atas sakramen ini merrupakan ungkapan tertinggi dari belaskasihan Tuhan
lewat pelayanan Gereja dan sangat menentukan bagi kebahagiaan jiwa di dunia ini
dan akan datang[26].
Dalam Presbyterorum Ordinis (PO)
ditegaskan bahwa salah satu tugas dari imam adalah pelayanan sakramen tobat:
“Dengan sakramen tobat, mereka (para imam) mendamaikan para pendosa dengan
Allah dan dengan Gereja” (PO 5). Pengertian dari tugas pelayanan itu mencakup
pula tugas untuk mengajar umat agar dengan kesungguhan mereka mengakukan
dosa-dosanya kepada Gereja sehingga mereka semakin berpaling kepada Tuhan
sembari mengingat amanat-Nya: “Bertobatlah, sebab sudah dekatlah Kerajaan
Surga” (Mat 4: 17). Para imam disatukan dengan cinta Kristus, “bila mereka
tampak bersedia sepenuhnya dan selalu untuk melayani sakramen tobat” (PO 13).
D. Peran imam sebagai Bapa pengakuan
Dosa manusia yang menuntut sebuah pertobatan
dipahami sebagai sesuatu yang berdimensi eklesial. Hal itu terjadi karena
Gereja adalah Tubuh Mistik Kristus di mana bila salah satu anggota atau
bagiannya “menderita” karena berbuat dosa, maka semua anggota tubuh juga ikut
menderita (1 Kor 12: 26).
Dosa dan pertobatan adalah sebuah kepingan uang yang
terdiri dari dua sisi yang tak terpisahkan. Dosa yang melukai Gereja juga
menuntut pertobatan yang memulihkan kembali relasi antara pendosa dengan
Gereja; dalam hal ini terjadilah rekonsiliasi. Rekonsiliasi terjadi dalam
sakramen tobat di hadapan seorang imam, sebagaimana yang diatur dalam Kitab
Hukum Kanonik: “Dalam sakramen tobat umat beriman mengakukan dosa-dosanya
kepada pelayan legitim, menyesalinya serta berniat untuk memperbaiki diri,
lewat absolusi yang diberikan oleh pelayan itu, memperoleh ampun dari Allah
atas dosa-dosa yang telah dilakukannya sesudah dibaptis, dan sekaligus
diperdamaikan kembali dengan Gereja yang mereka lukai dengan berdosa” (Kan
959); pelayan itu secara eksplisit adalah imam: “Pelayan sakramen tobat
hanyalah imam” (Kan 965). Maka, ada lima tugas mendasar dari imam sebagai bapa
pengakuan dalam pelaksanan sakramen tobat atau rekonsiliasi.
· Imam sebagai wakil Kristus
Dalam
konteks pelaksanaan pelayanan sakramen rekonsiliasi, imam meneruskan dan
melaksanakan amanat Yesus kepada para murid-Nya: “Damai sejahtera bagi kamu!
Sama seperti Bapa mengutus Aku demikian juga sekarang Aku mengutus kamu” (Yoh
20: 21). Hal itu dikaitkan dengan pertanyaan: “Apa dasar atau motivasi utama
Allah mengutus Putera-Nya ke dunia”? Jawabannya adalah bahwa karena kasih-Nya
yang besar kepada dunia: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini
sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal” (Yoh 3: 16). Yesus
menghendaki agar kasih dari Bapa itu dapat terus sampai kepada manusia, bahkan
pada zaman sekarang.
Perutusan
imam adalah melanjutkan perutusan Kristus. Maka, tugas pokok dari imam dalam
pelaksanaan sakramen tobat adalah memperlihatkan dan menghadirkan kebaikan
Allah Bapa. Dengan demikian, imam diberi kesempatan untuk menyatakan damai
Tuhan[27].
Damai Tuhan menjadi bentuk konkret dari kebaikan Allah. Damai itu menjadikan
peniten diperbolehkan mengalami Kristus sebagai Raja Pendamaian yang memasukkan
pendosa ke dalam persekutuan kembali dengan-Nya.
· Imam sebagai bapa
Imam
dalam melaksanakan sakramen tobat menjadi figur seorang bapa (pengakuan) yang
menjadi sumber hidup dan kekuatan, sumber evaluasi sekaligus pendukung, seorang
yang mencintai anaknya dan menginginkan anaknya bertumbuh lebih baik. Model
bapa pengakuan yang baik dapat dibandingkan dengan sikap bapa terhadap anak
bungsu dalam kisah perumpamaan anak yang hilang (Luk 15: 11-32). Figur seorang
bapa yang baik tidak hanya mengampuni anak yang bersalah lalu sibuk dengan
pekerjaan yang lain sehingga melupakan lagi anaknya. Figur bapa yang baik
adalah bapa yang ketika melihat anaknya yang hilang sedang berjalan kembali,
langsung menyongsong, menyambut, memeluk dan menciumnya. Sikap dan tindakan itu
membuat si bungsi merasa diampuni dan diterima, identitas dan kedudukannya
dipulihkan kembali[28].
Sebagai
bapa rohani atau bapa pengakuan, imam diharap membimbing peniten ke arah jalan
kebenaran dengan arahan yang penuh kehangatan. Untuk itu, imam dalam
pelaksanaan sakramen tobat atau rekonsiliasi perlu untuk menjadi bapa yang
menawarkan semangat bapa yang baik hati, yakni dengan bertindak secara
bijaksana dan tegas agar peniten dapat melakukan serta menghayati pertobatannya
dengan baik.
· Imam sebagai guru
Dengan
menjadi guru, imam membimbing umat berdosa kepada terang dan kebenaran sejati.
Ia diharapkan mampu untuk mengajar peniten, umatnya gembalaannya, tentang
hal-hal yang perlu diketahui agar mampu hidup secara Kristiani. Maka, imam
dituntut untuk membekali dan mempelajari dengan teliti teologi moral dan
teologi pastoral yang selaras dengan ajaran (magisterium) Gereja. Ia terutama
harus mempelajari unsur-unsur pokok yang menentukan moralitas tindakan manusia,
hakikat dari dosa, hal-hal yang menentukan berat dan ringannya dosa, situasi
yang mendorong ke arah dosa, prinsip-prinsip mengenai keharusan restitusi dan
hal-hal yang dapat menimbulkan sandungan bagi orang lain[29].
Berdasarkan
kemampuan yang dimiliki, bapa pengakuan harus mengundang umat yang bertobat
untuk lebih menyadari bimbingan Roh Kudus yang bekerja di kedalaman hatinya dan
membimbingnya secara mendalam untuk lebih menjadi orang Kristiani yang sejati,
berdedikasi dan total[30].
Dengan demikian, bersama dengan daya Roh Kudus, bapa pengakuan mengarahkan
pertobatan umat beriman. Ia adalah “instrumen dari Roh Kudus[31]”.
· Imam sebagai hakim
Karena
pengakuan dosa memiliki aspek yudisial, maka imam juga berperan sebagai hakim.
Kehadirannya sebagai hakim mengambil bagian dalam Diri Kristus yang adalah
Hakim Sejati. Kristus sebagai Hakim diwartakan oleh para rasul dalam kaitannya
dengan kedatangan-Nya yang kedua (paraousia):
“Ia menugaskan kepada kami memberitakan kepada seluruh bangsa dan bersaksi
bahwa Dialah yang ditentukan Allah untuk menjadi Hakim atas orang-orang hidup
dan orang-orang mati” (Kis 10: 42). Figur Kristus sebagai Hakim dihubungkan
dengan peranan-Nya sebagai Penyelamat yang memuncak dalam peristiwa
kematian-Nya di salib untuk menebus manusia dari kuasa dosa. Oleh sebab itu,
umat manusia sebagai orang-orang berdosa dapat mengharapkan serta menantikan
kedatangan Kristus dengan penuh harapan dan kegembiraan karena meskipun Ia
datang sebagai Hakim, Ia sekaligus datang sebagai Penyelamat. Ia adalah Hakim
yang menyelamatkan[32].
Dalam
pelaksanaan pelayanan sakramen tobat atau rekonsiliasi, imam sebagai bapa
pengakuan ikut ambil bagian dalam peran Kristus sebagai Hakim dan Penyelamat.
Dengan memberikan sebuah keputusan dalam pengakuan dosa, imam memberikan sebuah
absolusi, yakni keputusan yang membebaskan dan menyembuhkan[33].
Tindakakan tersebut didasarkan pada perikop Yoh 20: 23 yang berbicara tentang
kuasa untuk mengampuni dosa atau menyatakan dosa seseorang tetap ada; karena
tindakan absolusi menampakkan rahmat dan kasih Allah sendiri.
· Imam sebagai penyembuh
Misi
penyelamatan Yesus ditunjukkan melalui hidup dan karya-Nya yang mewartakan
kabar gembira dengan menyembuhkan orang-orang sakit. Ia menghubungkan keadaan
sakit seseorang dengan dosa sehingga kerap kali dalam Sabda penyembuhan-Nya Ia
berkata: “Dosamu sudah diampuni” (Mat 9: 2). Hal itu berhubungan dengan tugas
pokok-Nya, yakni untuk membawa keselamatan dan kesembuhan bagi orang-orang
berdosa: “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib tetapi orang sakit, Aku
datang bukan untuk memanggil orang benar melainkan orang berdosa” (Mrk 2: 17).
Cara dan semangat hidup Kristus itulah yang juga menjadi cara dan semangat imam
dalam melaksanakan fungsinya sebagai pelayan sakramen rekonsiliasi. Untuk itu,
imam diharapkan mampu berperan sebagia tabib atau penyembuh kerohanian umat
yang merindukan penyembuhan rohani.
Sebagai
penyembuh, imam bukan untuk menghukum umat yang bertobat. Imam dituntut untuk
mampu mengenali kondisi rohani peniten, yakni umat yang bertobat, sehingga ia
mampu pula untuk memberikan ‘terapi rohani’ yang tepat dan efektif. Hal itu
bertujuan agar umat yang bertobat dibantu untuk menghindari dosa-dosa dan
memupuk keutamaan-keutamaan diri dalam melawan dosa. Dalam ranah ini, seorang
imam mesti juga belajar untuk mendengarkan dengan penuh perhatian tanpa
menghakimi, menyampaikan sebuah sikap penerimaan dan harapan, memampukan peniten
untuk melihat secara jelas tanggung jawabnya serta kebutuhan untuk berkembang[34].
4.
Penutup
George
A. Maloney dalam bukunya, Your Sins Are
Forgiven You menulis: “Kekurangan untuk mengakui
adanya kehadiran dosa, membuat kita susah untuk melihat kebutuhan untuk mengakukannya
(dalam sakramen tobat)”[35]. Untuk
itu, dibutuhkan sebuah kesadaran bahwa dosa ada dalam diri. Kesadaran atas dosa
yang dimiliki dapat menjadi mentalitas utama bagi setiap umat Kristiani sebagai
modal dasar untuk bertobat. Kesadaran atas dosa yang mengarahkan diri kepada
pertobatan terwujud dalam penerimaan sakramen tobat atau rekonsiliasi.
Dalam sakramen tersebut, umat yang bertobat mendapatkan buah-buah
rohani atas pengampunan dosa. Pengamunan dosa itu menjadi dasar rekonsiliasi
dengan Allah, Gereja, semua makhluk dan alam ciptaan. Terjadinya rekonsiliasi
atas pengampuna dosa merupakan konsekuensi dari sakramen tobat karena yang
mengampuni adalah Allah dalam diri imam. Untuk itu, sakramen ini sebenarnya
adalah sakramen cinta kasih Allah yang dianugerahkan kepada umat-Nya yang ingin
bertobat dan kembali dalam persekutuan dengan-Nya.
* *
*
Daftar Pustaka
Al. Purwa Hadiwardoyo,
2007 Pertobatan dalam Tradisi Katolik, Pertobatan dalam Tradisi Katolik,
Kanisius, Yogyakarta. Sebuah ringkasan dari John F. McDonald, The Sacrament in The Christian Life, St.
Paul Publication, Slough, 1983.
Albertus Sujoko,
2008 Praktek
Sakramen ertobatan dalam Gereja Katolik, Kanisius, Yogyakarta.
Anicetus B. Sinaga,
2007 Imam
Triniter: Pedoman Hidup Imam, Obor, Jakarta.
CB. Kusmaryanto,
2014 Sakramen Rekonsiliasi: Perayaan Belaskasihan
Allah, Program Pasca Sarjana Magister Teologi Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta.
E. Martasudjita,
2003 Sakramen-sakramen Gereja: Tinjauan Teologis,
Liturgis dan Pastoral, Kanisius, Yogyakarta.
Francis J. Buckley,
1972 “I
Confess” The Sacrament of Penance Today, Ave Maria Press, Indiana.
George A. Maloney,
1993 Your
Sins Are Forgiven You, Alba House, New York.
John Paul II,
1984 On
Reconcilliation and Penance, St. Paul Edition.
Kees Maas,
1999 Teologi
Moral Tobat, Nusa Indah, Ende.
Lawrance E. Mick,
1987 Penance:The
Once and Future Sacrament, The Liturgical Press, Minessota.
Louis Bouyer,
1965 Dictionary
of Theology, U.S.A..
Monika K Hellwig,
1982 Sin of
Reconciliation and Conversion, Michael Glazier Inc, Wilmington.
Nico Syukur Dister,
2004 Teologi
Sistematika 2, Kanisius, Yogyakarta.
Paul Anciaux,
1962 The
Sacrament of Penance, Charles Birchall & Sons LTD, London.
Petrus Murwanto,
2011 Sakramen Tobat sebagai Sarana Rekonsiliasi
antara Manusia dengan Allah dan Gereja: Penelitian atas Pemahaman dan Praksis Sakramen
Tobat pada Orang Muda Katolik (OMK) di Paroki St. Fransiskus Xaverius Kidul
Loji, Yogyakarta, Tesis, Fakultas Teologi-Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta.
R. Hardawiryana,
1970 Sakramen
Tobat, IFT, Yogyakarta.
T. Jacobs,
1987 Rahmat bagi Manusia Lemah: Sakramen Tobat,
Sakramen Pengurapan Orang Sakit, Kanisius Yogyakarta.
........................,
2009 Kitab Hukum Kanonik, Konferensi
Waligereja Indonesia, Jakarta.
[1] George A. Maloney, Your Sins Are Forgiven You, Alba House,
New York 1993, 5.
[2] Kees Maas, Teologi Moral Tobat, Nusa Indah, Ende 1999, 30.
[3] Petrus Murwanto, Sakramen Tobat sebagai Sarana Rekonsiliasi
antara Manusia dengan Allah dan Gereja: Penelitian atas Pemahaman dan Praksis
Sakramen Tobat pada Orang Muda Katolik (OMK) di Paroki St. Fransiskus Xaverius
Kidul Loji, Yogyakarta, Tesis, Fakultas Teologi-Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta 2011, 15.
[4] Petrus Murwanto, Sakramen Tobat sebagai Sarana Rekonsiliasi
antara Manusia dengan Allah dan Gereja: Penelitian atas Pemahaman dan Praksis
Sakramen Tobat pada Orang Muda Katolik (OMK) di Paroki St. Fransiskus Xaverius
Kidul Loji, Yogyakarta, 17.
[5] Louis Bouyer, Dictionary of Theology, U.S.A., 1965,
410.
[6] Monika K Hellwig, Sin of Reconciliation and Conversion,
Michael Glazier Inc, Wilmington 1982, 14.
[7] Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika 2, Kanisius,
Yogyakarta 2004, 112.
[8] T. Jacobs, Rahmat bagi Manusia Lemah: Sakramen Tobat, Sakramen Pengurapan Orang
Sakit, Kanisius Yogyakarta 1987, 47.
[9] Albertus Sujoko, Praktek Sakramen ertobatan dalam Gereja
Katolik, Kanisius, Yogyakarta 2008, 114.
[10] Paul Anciaux, The Sacrament of Penance, Charles
Birchall & Sons LTD, London 1962, 17.
[11] John Paul II, On Reconcilliation and Penance, St. Paul
Edition, 1984, 107.
[12] Lawrance E. Mick, Penance:The Once and Future Sacrament,
The Liturgical Press, Minessota 1987, 77.
[13] E. Martasudjita, Sakramen-sakramen Gereja: Tinjauan Teologis,
Liturgis dan Pastoral, Kanisius, Yogyakarta 2003, 323.
[14] E. Martasudjita, Sakramen-sakramen Gereja: Tinjauan Teologis,
Liturgis dan Pastoral, 324.
[15] E. Martasudjita, Sakramen-sakramen Gereja: Tinjauan Teologis,
Liturgis dan Pastoral, 324.
[16] Kees Maas, Teologi Moral Tobat, 75.
[17] T. Jacobs, Rahmat bagi Manusia Lemah: Sakramen Tobat, Sakramen Pengurapan Orang
Sakit, 86.
[18] E. Martasudjita, Sakramen-sakramen Gereja: Tinjauan Teologis,
Liturgis dan Pastoral, 326.
[19] Kees Maas, Teologi Moral Tobat, 78.
[20] R. Hardawiryana, Sakramen Tobat, IFT, Yogyakarta 1970,
21.
[21]
Petrus Murwanto, Sakramen Tobat sebagai Sarana Rekonsiliasi
antara Manusia dengan Allah dan Gereja: Penelitian atas Pemahaman dan Praksis
Sakramen Tobat pada Orang Muda Katolik (OMK) di Paroki St. Fransiskus Xaverius
Kidul Loji, Yogyakarta, 77.
[22] CB. Kusmaryanto, Sakramen Rekonsiliasi: Perayaan Belaskasihan
Allah, Program Pasca Sarjana Magister Teologi Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta 2014, 36.
[23] Petrus Murwanto, Sakramen Tobat sebagai Sarana Rekonsiliasi
antara Manusia dengan Allah dan Gereja: Penelitian atas Pemahaman dan Praksis
Sakramen Tobat pada Orang Muda Katolik (OMK) di Paroki St. Fransiskus Xaverius
Kidul Loji, Yogyakarta, 77.
[24] Petrus Murwanto, Sakramen Tobat sebagai Sarana Rekonsiliasi
antara Manusia dengan Allah dan Gereja: Penelitian atas Pemahaman dan Praksis
Sakramen Tobat pada Orang Muda Katolik (OMK) di Paroki St. Fransiskus Xaverius
Kidul Loji, Yogyakarta, 78.
[25] Lawrance E. Mick, Penance: The Once and Future Sacrament,
30.
[26] Anicetus B. Sinaga, Imam Triniter: Pedoman Hidup Imam, Obor,
Jakarta 2007, 174.
[27] Kees Maas, Teologi Moral Tobat, 86.
[28] Francis J. Buckley, “I Confess” The Sacrament of Penance Today,
Ave Maria Press, Indiana 1972, 29.
[29] Al. Purwa Hadiwardoyo, Pertobatan dalam Tradisi Katolik, Pertobatan dalam Tradisi Katolik,
Kanisius, Yogyakarta 2007, 75. Sebuah ringkasan dari John F. McDonald, The Sacrament in The Christian Life, St.
Paul Publication, Slough, 1983.
[30] Francis J. Buckley, “I Confess” The Sacrament of Penance Today,
27.
[31] Kees Maas, Teologi Moral Tobat, 82.
[32] Kees Maas, Teologi Moral Tobat, 83.
[33] Dalah hal ini, Konsili Trente
mengajarkan bahwa absolusi merupakan “tindakan hakim” (actus iudicialis).
[34] Francis J. Buckley, “I Confess” The Sacrament of Penance Today,
25.
[35] George A. Maloney, Your Sins Are Forgiven You, 6.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar