Sabtu, 21 Maret 2020


[Rengungan Dehonain]

Vivat cor Iesu per cor Mariae
Terpujilah Hati Yesus melalui hati Maria.


Marilah kita merenungkan Sabda Tuhan, yakni dari Injil Yohanes 5 : 31-47.


Sahabat Dehonian yang terkasih, Sabda Tuhan yang menarik untuk direnungkan dalam Injil adalah: “Tetapi Aku mempunyai suatu kesaksian yang lebih penting dari pada kesaksian Yohanes, yaitu segala pekerjaan yang diserahkan Bapa kepada-Ku supaya Aku melaksanakannya. Pekerjaan itu jualah yang sekarang Kukerjakan, dan itulah yang memberi kesaksian tentang Aku, bahwa Bapa yang mengutus Aku”.
Sabda itu mengingatkan kita tentang figur nabi Perjanjian Baru. Dialah Yohanes. Ia adalah keturunan suku Lewi, putera dari Elisabet, saudara sepupu Maria, ibu Yesus. Ayahnya, Zakaria adalah seorang imam dari rombongan Abia yang bertugas di Bait Allah. Yohanes diberi gelar Pembaptis karena pekerjaannya, yaitu membaptis orang-orang Isreal untuk mempersiapkan kedatangan Tuhan Yesus Kristus. Salah satu bagian penting dari hidupnya adalah ketika Yesus datang kepada-Nya untuk dibaptis, Yohanes berseru: “Lihatlah Anak domba Allah yang menghapus dosa dunia”. Demikianlah Yohanes memperkenalkan Yesus kepada para muridnya.
Berkaitan dengan kesaksian Yohanes Pembaptis, Yesus mengatakan bahwa ada kesaksian yang lebih dari itu, yakni segala pekerjaan yang diserahkan Bapa kepada-Nya supaya Ia melaksanakannya. Semasa dalam kehidupan di dunia, Yesus terus berkarya. Karya-Nya yang terwujud dalam Sabda dan tindakan memuat unsur penyelamatan, karena sejatinya, itulah tujuan kehadiran-Nya di dunia. Dan, puncak dari karya-Nya itu pun termanifestasikan dalam peristiwa salib sebagai bentuk penyerahan diri-Nya total kepada Bapa demi keselamatan manusia. Dalam hal ini, iman kita pun menekankan demikian. Maka, tepatlah jika orang-orang dalam kisah ke-empat Injil, yang bertemu dan melihat langsung apa yang dilakukan oleh Yesus mengatakan bahwa Ia adalah Mesias, yang Kudus dari Allah; hingga seruan kepala pasukan dan para prajurit yang menyalibkan Yesus: “Sungguh, Ia ini adalah Anak Allah”.
Sahabat dehonain yang terkasih, Tuhan Yesus melanjutkan Sabda-Nya dalam Injil dengan mengatakan: “Pekerjaan itu jualah yang sekarang Kukerjakan, dan itulah yang memberi kesaksian tentang Aku, bahwa Bapa yang mengutus Aku”. Memang benar jika kita memahami bahwa Sabda itu menunjuk pada karya ketika Yesus hidup 2000 tahun yang lalu. Namun, kita mengakui juga bahwa Yesus pun tetap hadir di dunia, sebagaimana janjinya untuk menyertai kita sampai akhir jaman. Berarti Sabda itu menunjuk pula pada karya Tuhan yang terus berjalan hingga sekarang. Kita pun meyakini bahwa pekerjaan atau karya Yesus merupakan karya yang baik karena mengandung karya Allah. Karya itu pulalah yang terus berjalan dalam diri dan kehidupan kita sebagai orang-orang yang percaya dalam Nama-Nya. Nafas kehidupan, rejeki yang cukup, kebersamaan dengan keluarga, pekerjaan yang mapan, kesehatan yang baik dan beberapa kebaikan dalam hidup merupakan bagian dari karya-Nya. Itu semua adalah anugerah yang Ia kerjakan dan berikan secara gratis untuk kita.
Namun, dibalik pengalaman itu, mungkin kita merasa bahwa kebaikan dari karya Tuhan itu kadang atau tidak selalu kita alami atau dapatkan. Jika yang terjadi adalah demikian, pertanyaan yang dapat kita renungkan adalah: “Apakah selama ini kita sudah mengusahakan untuk dapat menerima karya Allah”? atau dengan pertanyaan lain: “Sudahkan aku juga ikut ambil bagian, berusaha, bekerja untuk mendapatkan rahmat dari Tuhan yang akan ia anugerahkan kepada kita”? Karya kebaikan dari Tuhan sejatinya membutuhkan peran aktif dari kita, dan bukan tindakan pasif menunggu begitu saja.  

Semoga, Hati Kudus Yesus senantiasa merajai hati kita. Amin!

Selasa, 17 Maret 2020


Renungan di awal Masa Pra-Paskah
[Matius 6 : 1-6. 16-18]


Apa yang menjadi poin penting dari pengajaran Yesus terdapat pada bagian awal dari Injil hari ini, yakni ketika Ia mengatakan : « Jangan sampai melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat ».
Kewajiban untuk melakukan perintah atau ajaran yang terdapat dalam agama merupakan sebuah bentuk kesalehan rohani. Dalam hal ini, Tuhan menyebut beberapa contoh yang terdapat dalam masyarakat pada jaman-Nya, misal : dalam hal memberi sedekah, berdoa dan berpuasa. Jika dikaitkan dengan apa yang Ia ajarkan bahwa jangan melakukan kewajiban agama untuk diperlihatkan di depan orang, supaya itu dilihat, Tuhan mengajarkan kepada para pendengar, juga termasuk para murid, untuk tidak memamerkan kewajiban agama yang sedang dibuat. Dan mungkin, apa yang disampaikan oleh Tuhan merupakan sebuah kritik bagi sebagian orang yang pada saat itu melakukan hal demikian.
Sahabat yang terkasih, apa yang diajarkan oleh Tuhan Yesus dalam Injil hari ini merupakan sebuah pengingat bagi kita. Tindakan kesalehan keagamaan merupakan bagian dari iman. Kita pun sebagai orang kristiani, melakuakan pelbagai bentuk tindakan kesalahehan rohani, misalnya : melakukan tindakan sosial (memberikan sedekah), mengikuti perayaan-perayaan sakramen dan sakramental, berpuasa dan juga berpantang. Dengan merenungkan apa yang ditekankan Tuhan dalam Injil hari ini, kita pun diundang untuk memurnikan kembali pelbagai tindakan kesalehan rohani yang sudah kita buat selama ini. Mungkin baik, sebagai jalannya, kita dapat menggali tujuan penting dari semua tindakan atau bentuk kesalehan rohani itu. Dan tujuan dari melakukan tindakan-tindakan kesalehan rohani adalah membangun hubungan intim antara diri kita sendiri dengan Tuhan. Saya merasa bahwa jika kita menyadari sungguh tujuan atau prinsip utama ini, kita pun akan memiliki kepuasan batin jika melakukan tindakan kesalahen rohani. Untuk itu, kita tidak perlu memamerkannya kepada orang lain hanya untuk mencari kepuasan diri sendiri bahwa « aku lebih dari yang lain ».
Sahabat yang terkasih, pada hari ini kita mengawali masa pertobatan dengan merayakan Rabu Abu. Ini merupakan awal dari perjalanan permenungan diri untuk mempersiakan peristiwa iman agung, yakni kebangkitan Tuhan. Dengan merenungkan Injil pada hari ini, sebagai langkah dalam mengawali masa pertobatan, kiranya usaha pertobatan kita dalam tindakan kesalehan rohani (baik itu pantang, puasa, doa, dan lainnya) memiliki motivasi murni, yakni menjalin hubungan dekat dengan Allah.

Semoga, Hati Kudus Yesus senantiasa merajai hati kita. Amin!

Sabtu, 14 Maret 2020


3ème dimanche de Carême
15 mars 2020


Dieu est fidèle. Sa fidélité se fait voir par le respect de son alliance conclue avec son peuple à travers Abraham pour le bénir et aussi bénir tous ses descendants. La fidélité de Dieu à l'alliance a été démontrée en accompagnant le voyage des descendants d'Abraham, le peuple d'Israël, pour quitter l'Égypte. Dieu ne restera pas silencieux si Israël rencontre des problèmes lors de son voyage vers la terre promise. Il agira pour donner le meilleur aux descendants d'Abraham afin qu'ils profitent toujours de l'alliance grâce à son ancêtre.
Dans la première lecture de ce dimanche, nous voyons la fidélité de Dieu où Il est présent au milieu du peuple pour donner de l'eau pour étancher sa soif. Par l'intermédiaire de son prophète Moïse, Dieu a fait un excellent travail en donnant à son peuple ce dont il avait besoin, à savoir l'eau. La lecture du Livre de l’Exode montre comment le peuple de Dieu a soif et grogne quand il n'a pas d'eau pour subvenir à ses besoins physiques. Voyant cette situation, Dieu dit à Moïse : « Passe devant le peuple, emmène avec toi plusieurs des anciens d’Israël, prends en main le bâton avec lequel tu as frappé le Nil, et va ! Moi je serai là, devant toi, sur le rocher du mont Horeb. Tu frapperas le rocher, il en sortira de l’eau, et le peuple boira ! » De cela, nous pouvons voir comment Dieu a ainsi accordé une attention particulière à son peuple et comment il s’est fait sensible à lui, même s'ils étaient « encore incertains » quant à l'inclusion de Dieu. Néanmoins, Dieu reste fidèle. En plus du manque de confiance et d'indécision du peuple, il montre toujours son amour fidèle. Cet amour de Dieu qu'ils ont apprécié en profitant de la fraîcheur de l'eau comme un soulagement de la soif.
Sur la base de l'expérience de l'inclusion de Dieu dans le voyage de libération du peuple d'Israël, le psalmiste a raison de dire que Dieu est comme un bon Berger. La parole du psaume au chapitre 94 verset 7 dit : « Oui, il est notre Dieu ; nous sommes le peuple qu’il conduit, le troupeau guidé par sa main ». L'inclusion de Dieu dans le fait de donner au peuple d'Israël donne non seulement un soulagement physique, mais aussi un soulagement spirituel où ils sont satisfaits de la réalisation que Dieu est avec eux. Ce soulagement spirituel qui les amène à des expériences extraordinaires lorsqu'ils réalisent l'amour de Dieu au moment où leur foi vacille.
Chers frères, en parlant de l'eau que Dieu a donnée à Israël, en première lecture, cela nous amène à réfléchir sur la présence de Jésus dans la lecture de l'Évangile aujourd'hui. Jésus, dont la présence est ressentie par une femme de Samarie, lui fournit une expérience spirituelle non seulement pour puiser de l'eau ordinaire, mais aussi pour puiser de l’« eau vive » qui soulage son âme. L’Évangile nous a fait voir clairement comment sa rencontre et sa conversation avec Jésus lui fournissent une expérience très significative.
Il y a au moins deux choses que nous pouvons saisir de l'expérience de la Samaritaine. Premièrement, elle rencontre le prophète dont elle attend la venue, à savoir Jésus Christ. Cela est démontré quand elle dit à Jésus : « Seigneur, je vois que tu es en prophète ! » Deuxièmement, elle prend conscience de sa situation, grâce à Jésus. Dans l’Évangile, Jésus lui fait prendre conscience en nommant précisément de l'état de sa vie. On voit cela lorsque Jésus lui dit : « Va, appelle ton mari, et reviens. » La femme répliqua : « Je n’ai pas de mari ». Jésus reprit : « Tu as raison de dire que tu n’as pas de mari : des maris, tu en as eu cinq, et celui que tu as maintenant n’est pas ton mari ; là, tu dis vrai. » Cette prise de conscience est susceptible de l'amener au point de se repentir pour améliorer sa vie et croire en Jésus, comme le font certains autres Samaritains qui croient en Jésus (selon l’Évangile).
C'est un soulagement spirituel vécu par cette femme. Le soulagement reçu grâce à la présence de Jésus dans sa vie et aussi quand elle « boit » vraiment la Parole de vie qui sort de Jésus-Christ. Ce soulagement l’amène à comprendre la rencontre avec le Messie. Ce soulagement qui la conduit à la découverte, à l'acceptation et au développement d’une vie nouvelle.
Jésus-Christ comme eau qui soulage, (en particulier le soulagement spirituel,) est la présence de Dieu qui aime fidèlement les humains. Saint Paul, dans la deuxième lecture, déclare : « La preuve que Dieu nous aime, c’est que le Christ est mort pour nous, alors que nous étions encore pécheurs ». La présence de Jésus, à travers ses œuvres et aussi à son sacrifice sur la croix, est un signe d'amour de la présence de Dieu qui veut soulager les personnes qui ont soif de salut.
La Samaritaine avait déjà bu « de l'eau vive » qui lui a donné le salut. Cependant, elle ne s'est pas contentée de cette expérience. De l'expérience du soulagement spirituel qui a apporté le salut, elle est ensuite allée à la ville pour proclamer la présence du Messie aux habitants de la ville. Et grâce à son témoignage, beaucoup crurent à en Jésus.
Mes chers frères, en tant que chrétiens, nous croyons en Jésus-Christ. Ainsi, nous avons également déjà une expérience de soulagement spirituel qui nous donne le salut. Ne nous arrêtons pas à cette expérience. Comme la Samaritaine qui est allée témoigner dans la ville, nous sommes appelés à témoigner de l'expérience du salut dans le monde. Nous sommes invités à faire prendre conscience au monde qu'il y a le salut en Christ. Nous sommes ainsi invités à réveiller ceux qui, dans leur vie, oublient le Christ. Nous sommes également invités à témoigner que nous avons déjà le salut en Christ. Donc, nous devons montrer la mission de salut au monde en préservant la nature et aussi en maintenant la santé ensemble, en particulier dans notre communauté.
Ainsi, la présence de Jésus-Christ, qui assure le salut, continuera son chemin et pourra être vécue par beaucoup de personnes.
Amen.



La présence de Dieu qui accompagne toujours nos vies est un mystère. Sa présence réelle qu'Il soit là ou ici, nous ne pourrons peut-être...