FALL: IBU, TENGOKLAN
KAMI!
Analisa Narasi (Labov)
Atas Karya Mutaroh Akmal
1.
Abstraksi
Ragil
adalah anak bungsu dari empat bersaudara dalam keluarga Pak Pandi (13). Sebagai
seorang anak, ia sangat senang memiliki teman sepermainan. Teman sepermainannya
adalah Suci yang rumahnya bersebelahan dengan rumah Ragil (10). Kehadiran Suci
dalam keseharian Ragil sungguh memberikan suasana kasih sayang sebagai
pengganti kasih sayang orang tuanya yang kadang jarang ditemui.
Pak
Pandi dan Bu Pandi adalah orang yang sibuk sehingga mereka jarang sekali
memiliki waktu untuk bercengkerama dengan keempat anak mereka (secara
berurutan: Darma, Dewi, Meity dan Ragil). Bagi Ragil, ia merindukan kehadiran
ayah dan ibunya seperti yang dialami oleh Suci. Keadaan tersebut membuatnya iri
terhadap Suci, “Aku malah ingin seperti kamu, Ci” (9). Kebersamaan dengan kedua
orang tua merupakan dambaan Ragil dan ketiga kakaknya. Namun karena pulang
larut malam dan berangkat pagi-pagi buta,
menyebabkan kejengkelan hati dalam diri mereka, yang salah satunya diungkapkan
Meity, “Yaa… pulang nggak pulang kan sama saja. Nggak ada
bedanya” (12). Bagi Ragil, perjumpaan dengan kedua orang tua merupakan sebuah
kerinduan, “Padahal aku kan beneran
pengen ketemu Bapak sama Ibu….”; “Buk…. Ragil kangen…. Pengen ditemenin tidur” (15).
2.
Orientasi
Kerinduan
untuk mengalami kasih dari orang tua sebagaimana anak-anak kebanyakan,
merupakan kerinduan empat bersaudara itu: Darma, Dewi, Meity dan Ragil. Hanya
saja, dibutuhkan usaha untuk mencari jalan yang terbaik. Salah satunya adalah
usaha yang dilontarkan Dewi, “Hei! Siapa yang tahu besok minggu depan ulang
tahun siapa…” (12)? Hal itu disadari Ragil, “Ulang tahunmu, Mbak. Memang
kenapa” (12)? Namun karena merasa bahwa hal itu merupakan jalan yang sia-sia,
Darma kemudian mengejeknya, “Jangan harap, deh….”
(13). Ungkapan itu muncul karena Darma merasa bahwa ayah dan ibu mereka juga
tidak merayakan ulang tahunnya, bahkan memberikan kado pun tidak: “Kenapa?
Memang bener kan. Ulang tahunku
kemaren aja nggak dirayain sama
sekali, kok! Dikasih hadiah juga enggak. Ya kan” (13).
3.
Komplikasi
Keesokan
harinya, Dewi bangun sangat pagi-pagi
sekali agar dapat berbicara dengan ibunya (16) mengenai harapan supaya Pak
Pandi dan Bu Pandi merayakan hari ulang tahunnya. Rasanya Dewi tahu bahwa sosok
sang ibu merupakan kunci berhasil atau tidaknya rencana. Dengan penuh rengekan,
Dewi memohon kepada ibunya, “Bu… ayo, dong!
Masa’ ultahku nggak dirayain”
(16). Bu Pandi ternyata menolak permintaan Dewi, “Nggak bisa! Berkali-kali juga nggak
bisa” (16); “Pokoknya enggak! Titik”
(17)! Melihat bahwa sang suami, Pak Pandi, bertanya mengapa mereka berdua ribut,
Bu Pandi menolak dengan tegas permintaan Dewi, “Ini si Dewi kepengen ngerayain ultah. Kita kan nggak ada dana buat kayak gituan. Ya kan, Pak” (17)!
Kerinduan
untuk mengalami kasih dari kedua orang tua merupakan harapan keempat anak itu,
setidaknya diperlihatkan oleh Dewi yang memperjuangkan perayaan hari ulang
tahunnya. Kerinduan itu pupus seketika hanya karena masalah ekonomi yang tidak
memungkinkan Bu Pandi mengeluarkan uang untuk mengadakan pesta (19).
Ada
sebuah harapan, harapan untuk mengalami kasih orang tua ketika keluarga Pak
Pandi pindah ke Jogjakarta (26). Usaha untuk menjadi keluarga yang bahagia –
setidaknya dalam hal ekonomi – membulatkan niat Pak Pandi dan Bu Pandi untuk
memulai usaha di Jogja. Awalnya kelurga itu hanya memiliki rumah kecil seperti
warung (32). Namun, karena usaha kerja yang keras, Pak Pandi dan istrinya mampu
membeli rumah yang baru dan lebih besar dari sebelumnya (46). Rumah itu
kemudian dipakai sebagai usaha warung makan dengan nama “Lesehan Pesona Wisata”
(47).
Keluarga
itu semakin berkecukupan. Bahkan, pegawai Pesona Wisata bertambah dari 8 orang
menjadi 24 orang (48). Bu Pandi menjadi pengelola utama usaha keluarga itu,
sedangkan Pak Pandi sendiri lebih mengalah dan memilih untuk menjadi orang
nomor dua dalam pengelolaan warung lesehan. Pak Pandi merasa kalah dari
istrinya yang mengurusi begitu banyak bisnis, sementara dirinya hanya menunggui
lesehan (157).
Kesuskesan
keluarga dalam mengelola usaha warung lesehan, memampukan keluarga tersebut
membeli rumah yang baru lagi beserta dengan seisinya Hal itu sungguh memberikan
kebahagiaan bagi Darma, Dewi, Meity dan terlebih Ragil (67). Kesuksesan itu
tidak hanya memberikan dampak positif bagi kehidupan ekonomi keluarga, tetapi
juga memiliki dampak negatif. Dampak negatif bagi keluarga adalah bahwa ayah
dan ibu mereka semakin sibuk dan sibuk (47). Ketiga kakak Ragil juga sama (47),
mereka mencari kesibukan masing-masing sebab tidak ada yang perlu dipikirkan
oleh karena keadaan ekonomi yang berkelimpahan. Nampaknya, kehidupan ekonomi
yang lebih baik tidak menjamin untuk mengalami kasih orang tua. Hal itu
dirasakan oleh Darma, Dewi, Meity dan Ragil. Mereka sibuk sendiri-sendiri
sehingga melupakan kebersamaan dalam keluarga.
Kesibukan
meliputi keluarga Pak Pandi, terlebih ia dan istrinya. Mereka berdua sangat
sibuk karena mengurusi pengelolaan warung lesehan (47). Hal yang sangat kentara
terlihat dalam diri Bu Pandi. Sebagai seorang ibu, ia lebih menghabiskan waktu
hanya dengan kerjanya dan melupakan betapa pentingnya untuk berada dengan suami
serta keempat anaknya. Untuk saat itu, ia sibuk pada persiapan acara promosi
warung lesehan Pesona Wisata – diganti nama menjadi “Lesehan Bu Pandi” (100) –
dengan mengadakan maraton berskala nasional di Malioboro (86).
Kesibukan
kerja dan hasil yang diperoleh pada kenyataannya dapat meningkatkan
kesejahteraan ekonomi. Hanya saja, sentuhan sebagai seorang ibu kepada
anak-anak dilupakan oleh Bu Pandi. Ia merasa bahwa anak-anaknya sudah besar
(87). Ia telah memberi mereka kebutuhan materi yang lebih dari cukup, juga
pendidikan yang baik (87). Sesekali ibu mereka pulang ke rumah hanya untuk
melihat keadaan rumah, setelah itu meninggalkan anak-anak lagi. “Ibu mau kerja
lagi. Kalian rawat rumah baik-baik, ngerti”,
perintah Bu Pandi kepada Meity dan Ragil yang kemudian meninggalkan rumah tanpa
menoleh lagi (110).
Keadaan
ekonomi yang baik karena kesuksesan dalam pengelolaan usaha warung lesehan
ternyata juga berakibat buruk bagi keempat anak itu. Bagi Darma, Dewi, Meity
dan Ragil, kesibukan orang tua menjauhkan mereka untuk memiliki kesempatan
bertemu atau untuk mengalami kasih langsung dari orang tua. Pak Pandi dan Bu
Pandi jarang di rumah dan lebih banyak menghabiskan waktu di tempat usaha.
Rasanya, harapan keempat anak itu untuk mengalami kasih orang tua, terlebih
dari sang ibu, hanyalah harapan belaka. Sepertinya mereka tidak memiliki orang
tua yang senantiasa menjaga.
Kesibukan
dalam pengelolaan usaha warung lesehan itu ternyata juga memberi dampak negatif
pada hubungan perkawinan Pak Pandi dan Bu Pandi. Kesibukan Bu Pandi dalam
mencurahkan hampir seluruh waktu, ternyata mengabaikan kehadiran sang suami:
“Ibu (Bu Pandi) tidak pernah meminta izin Bapak (Pak Pandi) atau berusaha untuk
mendiskusikan dengan Bapak untuk hal apapun juga. Padahal dia seorang istri.
Ibu berjalan sendiri” (157). Karena alasan itu, Pak Pandi lebih mencari
perempuan lain yang bisa menghargai dan membuatnya merasa benar-benar sebagai seorang suami (157). Keputusan Pak Pandi itu
ditentang keras Bu Pandi. “Mereka bertengkar hebat; Penuh dengan kata-kata
kotor” (141), hingga akhirnya, pertengkaran tersebut berujung pada perceraian
(156).
Perceraian
itu ternyata awal dari keruntuhan keluarga. Selang beberapa waktu kemudian,
bangunan warung lesehan Bu Pandi akan digusur (148). Ia bersama para pemilik
usaha kecil dan menengah yang mendapat peringatan penggusuran melakukan aksi
protes kepada pemerintah (149). Namun, usahanya itu tanpa arti setelah
mengetahui bahwa aksi tersebut tidak membuahkan hasil. Akhirnya, penggusuran
pun terjadi (159). Darma, Dewi, Meity dan Ragil memandangi dinding Pesona
Wisata roboh satu persatu. Bu Pandi melihat dengan ratapan tak berdaya (159).
Pemerintah memberikan sedikit ganti rugi, tapi itu belum cukup untuk menutupi
hutang-hutangnya di bank; setengahnya saja tidak. Bu Pandi terpaksa menjual
semua hartanya untuk menutupi hutang-hutang itu dan juga untuk memberikan
pesangon pada karyawan (159).
4.
Resolusi
Peristiwa
kebangkrutan Bu Pandi memaksanya untuk berpindah, “Besok kita pindah, Rumah ini
sudah ibu jual” (159). Melihat hal itu, Darma sebagai anak sulung, lebih
memilih untuk tidak ikut dengan ibunya dan berusaha akan hidup mandiri (159).
Kini tinggallah Dewi (yang saat itu sedang hamil karena pergaulan bebas), Meity
dan Ragil yang bersama dengan Bu Pandi. Mereka tinggal dalam sebuah rumah kecil
di Mangkubumi (162). Bu Pandi menggunakan sebagian rumah itu untuk membuka
warung makan (162). Di balik peristiwa kebangkrutan itu, sebenarnya Bu Pandi
memiliki kesempatan untuk tinggal bersama anak-anaknya. Harapan anak-anak untuk
mengalami kasih dari sang ibu berada di depan mata!
Berada
pada situasi yang sangat sederhana bersama dengan keempat anaknya, ternyata
membentuk sikap dan tindakan Bu Pandi menjadi kasar dan mudah marah. Kemarahan
itu memuncak pada Meity yang membuat anak ketiga itu lebih memilih untuk pergi
dari ibunya (163-164). “Bagus! Minggat
sana! Ibu tidak butuh anak malas seperti kamu!”, teriak Bu Pandi bagai
kesetanan atas kepergian Meity (164). Kepergian Meity atas kekasaran dan sikap
yang mudah marah itu juga membujuk Dewi untuk pergi (164). Hingga pada
akhirnya, Ragil pun juga meninggalkan ibunya: “Tanpa pikir panjang lagi, Ragil
melarikan diri. Ia berlari sekuat tenaga hingga nafasnya seolah habis dan
lehernya terasa tercekik” (167).
5.
Evaluasi
Meninggalkan
Bu Pandi merupakan keputusan bulat keempat anaknya. Darma memang lebih memilih
untuk hidup mandiri ketimbang hidup bersama sang ibu (159). Meity tinggal
bersama Cakra, teman dekatnya (164). Dewi dan Ragil tinggal bersama dengan
kakak laki-laki mereka, Darma.
Lima
tahun pun berlalu atas peristiwa itu. Sekarang, Darma sudah menikah, begitu
juga dengan Dewi (175). Bahkan Meity telah mendahului mereka berdua (175). Kini
tinggallah Ragil yang belum menikah. Kapan ia menyusul menikah seperti kakak-kakanya?
Ia sendiri tidak tahu. Semua ia pasrahkan kepada Tuhan. Meski tidak dapat ia
pungkiri, terdapat perasaan bimbang dan cemas mengenai hal itu. Ia cemas jika
nanti berakhir seperti ayah dan ibunya. Cemas bila menjadi hilang kendali
seperti ibunya. Kenangan akan sosok ibu ternyata membekas dalam diri Ragil.
Bila mengingatnya, kesedihan dan kebencian menyergapnya. Membuat tubuhnya
terasa nyeri. Ia teringat perlakuan ibunya.
Tentang
ibu, Ragil mendengar bahwa ibunya tinggal dengan seorang pria (175). Tidak ada
yang tahu apakah ibunya itu menikah secara sah atau tidak. Mengingat tentang
ibu, memunculkan perasaan sedih dan benci dalam sudut ruang hatinya yang paling
gelap. Ia tidak membiarkan orang lain mengetahui kesedihan dan kebencian akan
ibunya. Ia menyimpan rapat dan hanya untuk dirinya sendiri (175). Sebenarnya,
Ragil-lah yang mampu meredam ketidak-sukaan pada ibunya dibandingkan dengan
kakak-kakanya. “Bohong kalau ia tidak ingin pergi. Ia ingin sekali ke sebuah
tempat yang bisa membuatnya merasa nyaman. Tapi jika ia pergi, ke mana ia harus
pergi? Tak mungkin ia mengikuti kakaknya, Darma, karena ia tidak mau menambah
beban kakaknya lagi. Tak mungkin pula ia mengikuti Meity, karena hidupnya juga
sudah susah. Ayahnya? Dari lubuk hatinya yang paling dalam, terbesit rasa tidak
suka pada ayahnya yang telah meninggalkannya itu. Sebesar rasa benci pada sikap
ibunya yang makin tidak sanggup ia hadapi lagi” (166).
6.
Coda
Akhirnya,
Ragil tinggal bersama dengan Darma. Ia memilih untuk tetap tidak tinggal dengan
ibunya. Bahkan, untuk bertemu dengan ibunya pun ia enggan (175). Ibunya telah
memperlakukan Ragil dengan sangat kasar. Hal itulah yang sungguh membekas dalam
hati Ragil, seperti juga anak-anak lain yang memiliki luka batin atas tindakan
kasar orang tua mereka.
Dalam
seluruh kisah, sosok Ragil mewakili ketiga kakaknya yang kehilangan asa untuk
mengalami kasih orang tua dalam keluarga. Dengan tinggal bersama Darma,
kakaknya tertua, ia mengalami kebahagian karena “tinggal di sebuh tempat yang
bisa membuatnya merasa nyaman” (166). Itulah kebahagian seorang anak yang
seharusnya ia dapatkan dari ayah dan ibu.
Copas: Kerinduan untuk mengalami kasih dari kedua orang tua merupakan harapan
BalasHapus