Selasa, 18 April 2017





FALL: IBU, TENGOKLAN KAMI!
Analisa Narasi (Labov)
Atas Karya Mutaroh Akmal






1.      Abstraksi
Ragil adalah anak bungsu dari empat bersaudara dalam keluarga Pak Pandi (13). Sebagai seorang anak, ia sangat senang memiliki teman sepermainan. Teman sepermainannya adalah Suci yang rumahnya bersebelahan dengan rumah Ragil (10). Kehadiran Suci dalam keseharian Ragil sungguh memberikan suasana kasih sayang sebagai pengganti kasih sayang orang tuanya yang kadang jarang ditemui.
Pak Pandi dan Bu Pandi adalah orang yang sibuk sehingga mereka jarang sekali memiliki waktu untuk bercengkerama dengan keempat anak mereka (secara berurutan: Darma, Dewi, Meity dan Ragil). Bagi Ragil, ia merindukan kehadiran ayah dan ibunya seperti yang dialami oleh Suci. Keadaan tersebut membuatnya iri terhadap Suci, “Aku malah ingin seperti kamu, Ci” (9). Kebersamaan dengan kedua orang tua merupakan dambaan Ragil dan ketiga kakaknya. Namun karena pulang larut malam dan berangkat pagi-pagi buta, menyebabkan kejengkelan hati dalam diri mereka, yang salah satunya diungkapkan Meity, “Yaa… pulang nggak pulang kan sama saja. Nggak ada bedanya” (12). Bagi Ragil, perjumpaan dengan kedua orang tua merupakan sebuah kerinduan, “Padahal aku kan beneran pengen ketemu Bapak sama Ibu….”; “Buk…. Ragil kangen…. Pengen ditemenin tidur” (15).

2.      Orientasi
Kerinduan untuk mengalami kasih dari orang tua sebagaimana anak-anak kebanyakan, merupakan kerinduan empat bersaudara itu: Darma, Dewi, Meity dan Ragil. Hanya saja, dibutuhkan usaha untuk mencari jalan yang terbaik. Salah satunya adalah usaha yang dilontarkan Dewi, “Hei! Siapa yang tahu besok minggu depan ulang tahun siapa…” (12)? Hal itu disadari Ragil, “Ulang tahunmu, Mbak. Memang kenapa” (12)? Namun karena merasa bahwa hal itu merupakan jalan yang sia-sia, Darma kemudian mengejeknya, “Jangan harap, deh….” (13). Ungkapan itu muncul karena Darma merasa bahwa ayah dan ibu mereka juga tidak merayakan ulang tahunnya, bahkan memberikan kado pun tidak: “Kenapa? Memang bener kan. Ulang tahunku kemaren aja nggak dirayain sama sekali, kok! Dikasih hadiah juga enggak. Ya kan” (13).

3.      Komplikasi
Keesokan harinya, Dewi bangun sangat pagi-pagi sekali agar dapat berbicara dengan ibunya (16) mengenai harapan supaya Pak Pandi dan Bu Pandi merayakan hari ulang tahunnya. Rasanya Dewi tahu bahwa sosok sang ibu merupakan kunci berhasil atau tidaknya rencana. Dengan penuh rengekan, Dewi memohon kepada ibunya, “Bu… ayo, dong! Masaultahku nggak dirayain” (16). Bu Pandi ternyata menolak permintaan Dewi, “Nggak bisa! Berkali-kali juga nggak bisa” (16); “Pokoknya enggak! Titik” (17)! Melihat bahwa sang suami, Pak Pandi, bertanya mengapa mereka berdua ribut, Bu Pandi menolak dengan tegas permintaan Dewi, “Ini si Dewi kepengen ngerayain ultah. Kita kan nggak ada dana buat kayak gituan. Ya kan, Pak” (17)!
Kerinduan untuk mengalami kasih dari kedua orang tua merupakan harapan keempat anak itu, setidaknya diperlihatkan oleh Dewi yang memperjuangkan perayaan hari ulang tahunnya. Kerinduan itu pupus seketika hanya karena masalah ekonomi yang tidak memungkinkan Bu Pandi mengeluarkan uang untuk mengadakan pesta (19).
Ada sebuah harapan, harapan untuk mengalami kasih orang tua ketika keluarga Pak Pandi pindah ke Jogjakarta (26). Usaha untuk menjadi keluarga yang bahagia – setidaknya dalam hal ekonomi – membulatkan niat Pak Pandi dan Bu Pandi untuk memulai usaha di Jogja. Awalnya kelurga itu hanya memiliki rumah kecil seperti warung (32). Namun, karena usaha kerja yang keras, Pak Pandi dan istrinya mampu membeli rumah yang baru dan lebih besar dari sebelumnya (46). Rumah itu kemudian dipakai sebagai usaha warung makan dengan nama “Lesehan Pesona Wisata” (47).
Keluarga itu semakin berkecukupan. Bahkan, pegawai Pesona Wisata bertambah dari 8 orang menjadi 24 orang (48). Bu Pandi menjadi pengelola utama usaha keluarga itu, sedangkan Pak Pandi sendiri lebih mengalah dan memilih untuk menjadi orang nomor dua dalam pengelolaan warung lesehan. Pak Pandi merasa kalah dari istrinya yang mengurusi begitu banyak bisnis, sementara dirinya hanya menunggui lesehan (157).
Kesuskesan keluarga dalam mengelola usaha warung lesehan, memampukan keluarga tersebut membeli rumah yang baru lagi beserta dengan seisinya Hal itu sungguh memberikan kebahagiaan bagi Darma, Dewi, Meity dan terlebih Ragil (67). Kesuksesan itu tidak hanya memberikan dampak positif bagi kehidupan ekonomi keluarga, tetapi juga memiliki dampak negatif. Dampak negatif bagi keluarga adalah bahwa ayah dan ibu mereka semakin sibuk dan sibuk (47). Ketiga kakak Ragil juga sama (47), mereka mencari kesibukan masing-masing sebab tidak ada yang perlu dipikirkan oleh karena keadaan ekonomi yang berkelimpahan. Nampaknya, kehidupan ekonomi yang lebih baik tidak menjamin untuk mengalami kasih orang tua. Hal itu dirasakan oleh Darma, Dewi, Meity dan Ragil. Mereka sibuk sendiri-sendiri sehingga melupakan kebersamaan dalam keluarga.
Kesibukan meliputi keluarga Pak Pandi, terlebih ia dan istrinya. Mereka berdua sangat sibuk karena mengurusi pengelolaan warung lesehan (47). Hal yang sangat kentara terlihat dalam diri Bu Pandi. Sebagai seorang ibu, ia lebih menghabiskan waktu hanya dengan kerjanya dan melupakan betapa pentingnya untuk berada dengan suami serta keempat anaknya. Untuk saat itu, ia sibuk pada persiapan acara promosi warung lesehan Pesona Wisata – diganti nama menjadi “Lesehan Bu Pandi” (100) – dengan mengadakan maraton berskala nasional di Malioboro (86).
Kesibukan kerja dan hasil yang diperoleh pada kenyataannya dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi. Hanya saja, sentuhan sebagai seorang ibu kepada anak-anak dilupakan oleh Bu Pandi. Ia merasa bahwa anak-anaknya sudah besar (87). Ia telah memberi mereka kebutuhan materi yang lebih dari cukup, juga pendidikan yang baik (87). Sesekali ibu mereka pulang ke rumah hanya untuk melihat keadaan rumah, setelah itu meninggalkan anak-anak lagi. “Ibu mau kerja lagi. Kalian rawat rumah baik-baik, ngerti”, perintah Bu Pandi kepada Meity dan Ragil yang kemudian meninggalkan rumah tanpa menoleh lagi (110).
Keadaan ekonomi yang baik karena kesuksesan dalam pengelolaan usaha warung lesehan ternyata juga berakibat buruk bagi keempat anak itu. Bagi Darma, Dewi, Meity dan Ragil, kesibukan orang tua menjauhkan mereka untuk memiliki kesempatan bertemu atau untuk mengalami kasih langsung dari orang tua. Pak Pandi dan Bu Pandi jarang di rumah dan lebih banyak menghabiskan waktu di tempat usaha. Rasanya, harapan keempat anak itu untuk mengalami kasih orang tua, terlebih dari sang ibu, hanyalah harapan belaka. Sepertinya mereka tidak memiliki orang tua yang senantiasa menjaga.
Kesibukan dalam pengelolaan usaha warung lesehan itu ternyata juga memberi dampak negatif pada hubungan perkawinan Pak Pandi dan Bu Pandi. Kesibukan Bu Pandi dalam mencurahkan hampir seluruh waktu, ternyata mengabaikan kehadiran sang suami: “Ibu (Bu Pandi) tidak pernah meminta izin Bapak (Pak Pandi) atau berusaha untuk mendiskusikan dengan Bapak untuk hal apapun juga. Padahal dia seorang istri. Ibu berjalan sendiri” (157). Karena alasan itu, Pak Pandi lebih mencari perempuan lain yang bisa menghargai dan membuatnya merasa benar-benar sebagai seorang suami (157). Keputusan Pak Pandi itu ditentang keras Bu Pandi. “Mereka bertengkar hebat; Penuh dengan kata-kata kotor” (141), hingga akhirnya, pertengkaran tersebut berujung pada perceraian (156).
Perceraian itu ternyata awal dari keruntuhan keluarga. Selang beberapa waktu kemudian, bangunan warung lesehan Bu Pandi akan digusur (148). Ia bersama para pemilik usaha kecil dan menengah yang mendapat peringatan penggusuran melakukan aksi protes kepada pemerintah (149). Namun, usahanya itu tanpa arti setelah mengetahui bahwa aksi tersebut tidak membuahkan hasil. Akhirnya, penggusuran pun terjadi (159). Darma, Dewi, Meity dan Ragil memandangi dinding Pesona Wisata roboh satu persatu. Bu Pandi melihat dengan ratapan tak berdaya (159). Pemerintah memberikan sedikit ganti rugi, tapi itu belum cukup untuk menutupi hutang-hutangnya di bank; setengahnya saja tidak. Bu Pandi terpaksa menjual semua hartanya untuk menutupi hutang-hutang itu dan juga untuk memberikan pesangon pada karyawan (159).

4.      Resolusi
Peristiwa kebangkrutan Bu Pandi memaksanya untuk berpindah, “Besok kita pindah, Rumah ini sudah ibu jual” (159). Melihat hal itu, Darma sebagai anak sulung, lebih memilih untuk tidak ikut dengan ibunya dan berusaha akan hidup mandiri (159). Kini tinggallah Dewi (yang saat itu sedang hamil karena pergaulan bebas), Meity dan Ragil yang bersama dengan Bu Pandi. Mereka tinggal dalam sebuah rumah kecil di Mangkubumi (162). Bu Pandi menggunakan sebagian rumah itu untuk membuka warung makan (162). Di balik peristiwa kebangkrutan itu, sebenarnya Bu Pandi memiliki kesempatan untuk tinggal bersama anak-anaknya. Harapan anak-anak untuk mengalami kasih dari sang ibu berada di depan mata!
Berada pada situasi yang sangat sederhana bersama dengan keempat anaknya, ternyata membentuk sikap dan tindakan Bu Pandi menjadi kasar dan mudah marah. Kemarahan itu memuncak pada Meity yang membuat anak ketiga itu lebih memilih untuk pergi dari ibunya (163-164). “Bagus! Minggat sana! Ibu tidak butuh anak malas seperti kamu!”, teriak Bu Pandi bagai kesetanan atas kepergian Meity (164). Kepergian Meity atas kekasaran dan sikap yang mudah marah itu juga membujuk Dewi untuk pergi (164). Hingga pada akhirnya, Ragil pun juga meninggalkan ibunya: “Tanpa pikir panjang lagi, Ragil melarikan diri. Ia berlari sekuat tenaga hingga nafasnya seolah habis dan lehernya terasa tercekik” (167).

5.      Evaluasi
Meninggalkan Bu Pandi merupakan keputusan bulat keempat anaknya. Darma memang lebih memilih untuk hidup mandiri ketimbang hidup bersama sang ibu (159). Meity tinggal bersama Cakra, teman dekatnya (164). Dewi dan Ragil tinggal bersama dengan kakak laki-laki mereka, Darma.
Lima tahun pun berlalu atas peristiwa itu. Sekarang, Darma sudah menikah, begitu juga dengan Dewi (175). Bahkan Meity telah mendahului mereka berdua (175). Kini tinggallah Ragil yang belum menikah. Kapan ia menyusul menikah seperti kakak-kakanya? Ia sendiri tidak tahu. Semua ia pasrahkan kepada Tuhan. Meski tidak dapat ia pungkiri, terdapat perasaan bimbang dan cemas mengenai hal itu. Ia cemas jika nanti berakhir seperti ayah dan ibunya. Cemas bila menjadi hilang kendali seperti ibunya. Kenangan akan sosok ibu ternyata membekas dalam diri Ragil. Bila mengingatnya, kesedihan dan kebencian menyergapnya. Membuat tubuhnya terasa nyeri. Ia teringat perlakuan ibunya.
Tentang ibu, Ragil mendengar bahwa ibunya tinggal dengan seorang pria (175). Tidak ada yang tahu apakah ibunya itu menikah secara sah atau tidak. Mengingat tentang ibu, memunculkan perasaan sedih dan benci dalam sudut ruang hatinya yang paling gelap. Ia tidak membiarkan orang lain mengetahui kesedihan dan kebencian akan ibunya. Ia menyimpan rapat dan hanya untuk dirinya sendiri (175). Sebenarnya, Ragil-lah yang mampu meredam ketidak-sukaan pada ibunya dibandingkan dengan kakak-kakanya. “Bohong kalau ia tidak ingin pergi. Ia ingin sekali ke sebuah tempat yang bisa membuatnya merasa nyaman. Tapi jika ia pergi, ke mana ia harus pergi? Tak mungkin ia mengikuti kakaknya, Darma, karena ia tidak mau menambah beban kakaknya lagi. Tak mungkin pula ia mengikuti Meity, karena hidupnya juga sudah susah. Ayahnya? Dari lubuk hatinya yang paling dalam, terbesit rasa tidak suka pada ayahnya yang telah meninggalkannya itu. Sebesar rasa benci pada sikap ibunya yang makin tidak sanggup ia hadapi lagi” (166).

6.      Coda
Akhirnya, Ragil tinggal bersama dengan Darma. Ia memilih untuk tetap tidak tinggal dengan ibunya. Bahkan, untuk bertemu dengan ibunya pun ia enggan (175). Ibunya telah memperlakukan Ragil dengan sangat kasar. Hal itulah yang sungguh membekas dalam hati Ragil, seperti juga anak-anak lain yang memiliki luka batin atas tindakan kasar orang tua mereka.
Dalam seluruh kisah, sosok Ragil mewakili ketiga kakaknya yang kehilangan asa untuk mengalami kasih orang tua dalam keluarga. Dengan tinggal bersama Darma, kakaknya tertua, ia mengalami kebahagian karena “tinggal di sebuh tempat yang bisa membuatnya merasa nyaman” (166). Itulah kebahagian seorang anak yang seharusnya ia dapatkan dari ayah dan ibu.


1 komentar:

  1. Copas: Kerinduan untuk mengalami kasih dari kedua orang tua merupakan harapan

    BalasHapus

La présence de Dieu qui accompagne toujours nos vies est un mystère. Sa présence réelle qu'Il soit là ou ici, nous ne pourrons peut-être...