KELUAR DARI ZONA NYAMAN
Luk 8: 19-21
Terdengar begitu jelas jawaban Yesus: “Ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku ialah
mereka yang mendengarkan Sabda Allah dan melaksanakannya”. Jawaban Yesus
sebagai tanggapan atas pemberitahuan yang diberikan kepada-Nya tentu
mengejutkan orang-orang. Mungkin beberapa orang di sekitarnya bertanya dalam
diri: “Mengapa Ia tidak mau bertemu dengan Ibu beserta saudara-saudara-Nya”?
Atau bahkan ada yang bertanya: “Apakah ada masalah antara Yesus dengan Ibu
serta keluarga-Nya yang menyebabkan Ia tidak mau untuk bertemu”?
Tentu, Yesus sendiri ketika dihadapkan dengan situasi
tersebut, sudah secara mendalam memilih apa yang tepat. Rasanya Ia sudah
memeriksa diri – kehadiran dan misi-Nya – dan akan menentukan pilihan apa yang
akan diambil-Nya. Jawaban Yesus terhadap situasi itu menunjukkan bahwa Ia lebih
memilih untuk menemani orang banyak yang sedang mendengarkan Dia bersabda. Mungkin
pilihan ini terasa konyol dan tidak masuk akal. Bukankah kerinduan untuk
bertemu dengan orang-orang yang dicintai (dalam hal ini adalah keluarga),
setelah lama tidak berjumpa, ada di dalam hati setiap manusia; tanpa terkecuali
dengan Yesus? Namun, itulah pilihan yang diambil Yesus, sebuah keputusan
radikal. Keputusan itu menunjukkan keberanian Yesus untuk keluar dari zona
nyaman – kebersamaan dengan keluarga – demi pencapaian tujuan misi-Nya.
Adalah baik bagi kita untuk dapat belajar dari Yesus;
tentunya tidak harus dengan konteks yang sama dengan-Nya. Kita bisa membawa
sikap dan keberanian pemilihan keputusan yang dibuat Yesus dalam hidup
keseharian sebagai orang Kristiani. Kadang dalam menjalani hidup, entah dalam
setiap tugas perutusan atau pun karya, kita berada dalam situasi keragu-raguan
dan ketidaknyamanan ketika dihadapkan pada suatu pilihan. Misalnya saja, ketika
di lingkungan kerja kita dibujuk untuk melakukan tindakan penyelewengan
penggunaan keuangan oleh teman atau atasan. Berhadapan dengan itu, nyaman
memang jika kita menuruti apalagi jika kita mendapatkan “bagian”. Meski demikian,
kita tetap harus berani mengambil sikap seperti yang Yesus lakukan: berani
menolak dan bahkan mengingatkan teman atau atasan kita. Itu hanya sekadar
contoh saja; mungkin dalam kenyataan kita memiliki pengalaman yang hampir sama.
Untuk itu, sekarang marilah kita hening sejenak; mengingat
kembali pengalaman hidup, apakah kita pernah berhadapan atau dihadapkan pada
situasi semacam itu? Kalau memang pernah, tindakan apa yang dibuat? Ke depan,
beranikah kita, atau saya pribadi, bertindak radikal – memilih keputusan yang
baik – seperti yang pernah Yesus buat?
Tuhan memberkati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar