Rabu, 18 Juni 2014

Jalan Kemartiran merupakan dasar Gereja Untuk menjadi Umat Allah yang Serius Mengikuti Kristus, dalam Menanggapi Panggilan kepada Kesucian


(Surat Ignatius dari Antiokhia kepada Jemaat di Roma)

I.       Teks
Surat Santo Ignatius dari Antiokhia kepada jemaat di Roma[1]
Biarkanlah Aku Menjadi Orang Kristen yang Sejati,
dan Bukan Sekadar Pembawa Nama Kristen
Sungguh bukan sifatmu tidak rela melihat orang lain berhasil. Kamu selalu menjadi sumber ajaran bagi orang lain. Apa yang saya inginkan itu membela pokok ajaran yang kamu uraikan. Biarlah saya mempertahankan ajaran iman itu sekarang. Satu-satunya permohonan saya saat ini ialah: Ajarkanlah atas namaku: Semoga aku diberi cukup kekuatan lahir dan batin untuk bersikap tegas dalam perkataan dan perbuatan. Semoga aku menjadi orang Kristen sejati, dan bukan sekadar pembawa nama Kristen. Saya ingin dinyatakan setia dan benar, kalau dunia sudah tidak melihat aku lagi. Sebab kebenaran itu letaknya tidak pada hal yang dilihat oleh mata. Kenyataan bahwa Yesus Kristus sekarang ada di dalam Bapa menjadi sebab kita melihat Dia dengan jauh lebih jelas. Sebab karya yang harus kita kerjakan itu bukan soal meyakinkan dengan kata-kata! Inti agama Kristiani itu menyelesaikan yang agung di hadapan kebencian dunia.
Dari pihak saya, saya menulis kepada semua Gereja dan meyakinkan mereka bahwa saya sungguh bermaksud untuk mati bagi Allah. Maka janganlah kamu sendiri memasang rintangan di jalanku. Saya harus memohon dengan sangat kepadamu, janganlah kamu berbuat baik kepadaku dengan cara yang keliru. Kuminta, biarlah aku menjadi makanan binatang buas, sebab mereka itulah yang dapat memberi aku jalan menuju Tuhan. Aku ini gandum Tuhan; biarlah aku digiling lembut oleh gigi singa untuk dijadikan roti murni bagi Kristus. Lebih baik lagi, galakkanlah makhluk-makhluk itu untuk menjadi makam bagimu; janganlah sepotong daging pun kutinggalkan, betapapun kecilnya, agar aku tidak perlu lagi menjadi beban bagi siapa pun juga, kalau nanti saya jatuh tertidur. Kalau sudah tidak ada sisa tubuhku yang tertinggal di dunia, di situlah saya menjadi murid Kristus Yesus yang sesungguhnya. Maka jadilah pengantara untuk saya, agar mereka menjadi alat untuk mengangkat saya menjadi korban bagi Tuhan. Namun saya tidak memberikan perintah kepadamu, seolah-olah aku ini Petrus dan Paulus. Beliau-beliau ini rasul. Beliau-beliau ini manusia merdeka, sedang saya masih budak (meskipun kalau saya menderita, Yesus Kristus akan memberikan kebebasan kepada saya, dan di dalam Dia aku akan bangkit kembali sebagai manusia merdeka). Untuk sementara belenggu ini melatih saya untuk berangsur-angsur melepaskan keinginan-keinginan dunia.
Dalam pada itu, saya sekarang sudah terlihat dalam pergulatan berat dengan binatang-binatang buas di darat maupun di laut, siang maupun malam, sepanjang jalan dari Syria menuju Roma. Saya ini seakan-akan dirantai dengan sekandang macan liar, yaitu sekelompok serdadu, yang hanya menjadi lebih bengis, kalau mereka diberi kebaikan. Namun, keterlaluan mereka itu sekurang-kurangnya mendorong saya sedikit lebih maju dalam menjadi murid Kristus; meskipun ini tidak berarti bahwa dosa saya seluruhnya sudah dihapus. O, betapa besar kerinduan saya untuk segera bertemu dengan singa-singa yang sesungguhnya, yang sudah disiapkan bagi saya! Seluruh doa permohonan saya adalah agar mereka menerkam cepat. Saya akan menghimbau mereka, agar jangan seperti menghadapi orang celaka lainnya, di mana singa tidak cukup bergairah untuk menyentuhnya. Aku berharap mereka cepat-cepat menelan saya. Dan kalau mereka masih saja enggan, aku akan memaksa mereka. Kamu harus memaafkan saya, tetapi saya tidak tahu, mana yang paling baik bagiku. Inilah tahap pertama bagiku untuk menjadi murid Kristus. Tidak ada kuasa, kelihatan maupun tidak kelihatan, boleh merintangi saya yang mau datang kepada Yesus Kristus. Api, salib, atau pergulatan dengan binatang buas? Dibelah, dipotong-potong, tulang diremuk, atau anggota dipisah-pisah, atau bahkan seluruh badan ditumbuk halus-halus? Biar aniaya setan yang paling mengerikan pun boleh menimpa diri saya, asal saya dapat menemukan jalan menuju Kristus.


Keinginan Duniawi Sudah Disalibkan[2]
Seluruh penjuru bumi, semua kerajaan di dunia ini tidak ada gunanya bagi saya. Bagiku mati dalam Kristus Yesus lebih mulia dari pada menjadi raja yang menguasai batas-batas bumi yang paling jauh. Dia yang telah mati untuk kita, itulah yang kucari! Dia yang bangkit kembali untuk kita, itulah kerinduanku seutuhnya! Sakit bersalin yang kualami! Sabarilah aku, saudara-saudaraku, dan janganlah aku kau tutup dari hidup. Jangan menginginkan aku lahir celaka. Di sini ada orang, yang hanya ingin menjadi milik Tuhan; janganlah dia diberikan lagi kepada dunia. Jangan pula menipu dia dengan barang-barang dari bumi ini. Biarkanlah aku mencapai terang, terang murni yang tak ternodai, sebab saya hanya menjadi manusia sejati kalau saya sudah sampai di sana. Ijinkanlah aku meneladan sengsara Tuhan! Bila ada seseorang di antaramu memiliki Tuhan di dalam dirinya, biarlah ia merasa seperti aku, maka ia akan mengerti kekuatan apa yang menguasai aku.
Penguasa dunia ini mengharapkan dapat mengalahkan aku dan menghancurkan tekadku, yang mengarah kepada Tuhan. Kuminta, janganlah salah seorang di antara kamu membantu dia. Berpihaklah kepadaku, sebab itulah pihak Allah. Janganlah kamu membawa Yesus Kristus pada bibirmu, tetapi menyimpan dunia di dalam hatimu! Janganlah kamu membawa-bawa pikiran kurang rela akan nasibku. Malahan seandainya aku datang dan secara pribadi memohon kepadamu, janganlah kamu menuruti permintaanku! Sebaliknya, hendaklah kamu berpegang pada tulisanku ini. Di sini dan sekarang ini, aku menulis dalam kesadaran penuh bahwa aku rindu akan kematian, dengan segala kerinduan seorang pencinta. Keinginan-keinginan duniawi sudah tersalib! Dalam diriku tidak tertinggal sepelik pun keinginan akan barang-barang duniawi. Hanya gemerciknya air hidup yang berbisik dalam diriku, “Datanglah kepada Bapa”. Aku sudah tidak lagi berniat akan makanan yang dapat binasa, atau akan kesenangan-kesenangan hidup ini. Aku lapar akan roti dari Tuhan, ya akan daging Yesus Kristus, juga benih keturunan Daud. Aku haus akan darah-Nya, cinta yang tak kunjung padam.
Aku tidak lagi menginginkan apa yang lazim disebut hidup. Dan dambaanku akan menjadi kenyataan jika hal ini juga menjadi keinginanmu. Maka aku mohon, biarlah aku mengalami apa yang kuinginkan, hingga kamu nanti ganti mengalami demikian.

II.    Konteks
A.    Konteks Umum
Abad II merupakan titik bagi Gereja (beserta teologinya), berpindah dari lingkungan Palestina ke alam pikir Yahudi. Dengan demikian, Gereja dihadapkan pada masalah inkulturasi: perlu mengungkapkan iman kepercayaan ke dalam suatu “bahasa” yang dapat dimengerti oleh orang yang berbudaya Hellenis (Yunani)[3]. Inkulturasi tadi mengakibatkan bahwa cara bicara alkitabiah (memuat kebenaran Allah dalam sejarah) diganti dengan konsep-konsep metafisis yang berpusatkan pada masalah “mengada”. Hal itu jika diterapkan pada konsep “Allah” berarti bahwa perbedaan antara Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus kiranya dapat diartikan sebagai perbedaan dalam hal ber-hypostatis, artinya berdiri sendiri secara metafisis (kata Yunani hypostatis mengacu pada eksistensi pribadi sendiri: “diri pribadi”)[4].
Pada abad II, muncul sebuah sistem gnostik yang memengaruhi pembentukan ajaran Gereja tentang Allah Tritunggal di kemudian hari. Sistem gnostik itu adalah Doketisme. Mereka yang termasuk dalam Doketisme berpendapat bahwa tubuh Yesus Kristus di bumi ini hanya tubuh yang semu saja (unreal appearance). Paham ini menilai bahwa inkarnasi Yesus hanyalah sebuah ilusi belaka[5]. Pandangan ini bertitik tolak pada pemahaman bahwa materi itu jahat, penyebab dosa; dan oleh karena itu tidak dapat dipersatukan dengan Putera Allah menjadi satu pribadi.
Masa Ignatius menjadi uskup di Antiokhia (abad II), merupakan masa perjuangan untuk mempertahankan iman. Hal itu tentunya menjadi tanggung jawab dari seorang uskup (Antiokhia) dalam memberikan ajaran iman yang benar bagi umat. Selain memberikan ajaran yang benar, situasi perlawanan terhadap imperial dunia Romawi – yang menuntut pengakuan bahwa kaisar adalah dewa – juga memberikan pengaruh bagi praktik hidup umat beriman. Dalam ranah ini, tugas untuk memberikan ajaran benar juga diikuti dengan memberikan teladan hidup (menolak kultus kaisar sebagai dewa yang patut disembah). Pada masa itu, pertaruhan hidup umat beriman sebagai pengikut Kristus dituntut, termasuk Uskup Ignatius sendiri.

B.     Konteks Khusus: Hidup Ignatius dari Antiokhia
Santo Ignatius ( 107), juga dipanggil Theophorus (pembawa Allah), adalah uskup Antiokhia setelah Santo Petrus[6]. Pada zaman itu, Roma, Alexndria dan Antiokhia merupakan tiga kota metropolis dalam Kerajaan Roma. Maka, keuskupan di bawah kepemimpinan Ignatius juga termasuk bagian dari wilayah kekaisaran. Atas dasar itu, perjuangan Uskup Ignatius dalam menggembalakan umat berhadapan dengan Kekaisaran Romawi merupakan tugas penggembalaan yang harus dipikul, sekalipun menjadi martir.
Puncak kemartiran Ignanitus berawal dalam masa pemerintahan Kaisar Trajanus (98-117). Uskup Antiokhia itu ditangkap dan dibawa dari Syria menuju Roma. Perjalanan tersebut merupakan perjalanan menuju kemartiran karena ia akan dihukum mati dengan menjadi mangsa hewan buas di Roma. Dalam perjalanannya, Ignatius menulis tujuh surat; empat surat ditulisnya di Smyrna dan tiga surat lainnya di Troas. Dua kota itu merupakan tempat persinggahan Ignatius di mana ia menulis beberapa suratnya. Di Smyrna, ia menulis surat untuk jemaat di Efesus, Magnesia dan Tralles yang berisikan ucapan terima kasih kepada jemaat yang ada di sana karena memberikan dukungan atas jalan kemartiran yang akan ia hadapi. Dalam surat yang keempat, ia tujukan kepada jemaat di Roma. Surat yang keempat itu berisi permintaan Ignatius agar jemaat di Roma tidak berusaha menyelamatkannya dari jalan kemartiran yang dijatuhkan oleh kekaisaran[7]. Di Troas, Ignatius menulis surat kepada jemaat di Philadelphia dan Smyrna (termasuk kepada Polycarpus, Uskup Smyrna).
Setelah tinggal beberapa lama di Troas, akhirnya para prajurit Romawi membawa Ignatius menuju Roma. Mereka berlayar melalui Filipi, di Yunani, dan dari Filipi ke Roma. Di Roma, Ignatius menghadapi jalan kemartiran untuk mempertahankan iman dengan dilemparkan ke binatang-binatang buas yang ganas di amfiteater.

III. Penjelasan Tesis
A.    Jalan Kemartiran Menjadi Dasar
“Kemartiran” berasal dari kata Yunani: martys yang berarti “saksi”. Dalam dunia kekristenan, kata ini menunjuk pada bentuk kesaksian yang diberikan untuk Kristus oleh orang-orang Kristiani untuk menerima kematian sebagai bantuk kesetian kepada Penyelamat mereka (Yesus Kristus)[8]. Pemahaman tentang kemartiran juga dapat ditemukan dalam Kitab Makabe di mana semangat Yudaisme menuntut orang-orang Israel untuk memperjuangkan kesaksian yang lahir dari kesetiaan iman, sekalipun harus berhadapan dengan penyiksaan dan kematian (2 Mak 6:28; 7:1.7). Maka, dapat dipahami bahwa kemartiran adalah jalan utama menuju kesucian dan menjadi dasar untuk kesucian Kristiani[9].
Ignatius dalam beberapa suratnya mengembangkan pemahaman tentang kemartiran. Baginya, kemartiran menunjukkan jalan dari realitas “kehadiran ekaristis[10]” di mana iman orang-orang Kristen dipupuk. Ia meyakini bahwa jalan kemartiran merupakan jalan menuju persatuan dengan Yesus Kristus. Untuk itu, dalam surat kepada jemaat di Roma, Ignatius meminta agar jemaat di sana tidak berusaha untuk menggagalkan rencana kaisar untuk membunuhnya:
Dari pihak saya, saya menulis kepada semua Gereja dan meyakinkan mereka bahwa saya sungguh bermaksud untuk mati bagi Allah. Maka janganlah kamu sendiri memasang rintangan di jalanku. Saya harus memohon dengan sangat kepadamu, janganlah kamu berbuat baik kepadaku dengan cara yang keliru. Kuminta, biarlah aku menjadi makanan binatang buas, sebab mereka itulah yang dapat memberi aku jalan menuju Tuhan. Aku ini gandum Tuhan; biarlah aku digiling lembut oleh gigi singa untuk dijadikan roti murni bagi Kristus.

Hal itu dapat dimengerti karena dengan jalan itu, Ignatius dapat menuju kesucian Kristiani dengan setia pada Kristus dan akhirnya menuju persatuan dengan-Nya.
Sebagai seorang uskup yang memimpin jemaat dalam sebuah keuskupan, Ignatius memberikan bentuk keteladanan orang Kristiani yang sejati. Berhadapan dengan kekuasaan Romawi, umat tidak hanya membutuhkan ajaran pada tataran teori saja, melainkan juga bukti sebagai bentuk keseriusan dalam mengikuti Kristus. Kemartiran Ignatius menunjukkan bahwa setiap orang Kristiani patut untuk mempertahankan imannya dengan keseriusan dan menerima segala konsekuensi yang harus dihadapi, sekalipun berhadapan dengan kematian. Baginya, jalan itu merupakan jalan untuk menjadi “murid yang nyata” dan “orang Kristen sejati”[11]:
Semoga aku menjadi orang Kristen sejati, dan bukan sekadar pembawa nama Kristen. Saya ingin dinyatakan setia dan benar, kalau dunia sudah tidak melihat aku lagi. Sebab kebenaran itu letaknya tidak pada hal yang dilihat oleh mata. Kenyataan bahwa Yesus Kristus sekarang ada di dalam Bapa menjadi sebab kita melihat Dia dengan jauh lebih jelas. Sebab karya yang harus kita kerjakan itu bukan soal meyakinkan dengan kata-kata! Inti agama Kristiani itu menyelesaikan yang agung di hadapan kebencian dunia.

Dengan memberikan keteladanan kemartiran, Uskup Ignatius ingin mengajak umat beriman Kristiani agar juga meneladan dirinya. Ia berharap bahwa apa yang menjadi kebahagiaan atas semangat kemartiran demi ketaatan iman juga dimiliki dan dialami oleh orang-orang Kristen lainnya:
Aku tidak lagi menginginkan apa yang lazim disebut hidup. Dan dambaanku akan menjadi kenyataan jika hal ini juga menjadi keinginanmu. Maka aku mohon, biarlah aku mengalami apa yang kuinginkan, hingga kamu nanti ganti mengalami demikian.

Keseriusan hidup sebagai orang-orang Kristen merupakan salah satu topik dari semangat kemartiran yang ditawarkan dari peristiwa kemartiran Ignatius. Keseriusan dalam bentuk kesungguhan untuk mengenakan nama “orang Kristen” dalam praktik hidup nyata adalah kerinduan yang diinginkan oleh Ignatius bagi para pengikut Kristus lainnya.

B.     Jalan Kemartiran: Dasar Gereja untuk Menjadi Umat Allah yang Serius Mengikuti Kristus
1)      Gereja sebagai Umat Allah
Kata “gereja” berasal dari bahasa Portugis: igreja. Kata igreja merupakan terjemahan dari kata Latin: ecclesia, yang berakar dari kata ekklesia (Yunani). Kata ekklesia adalah sebuah pertemuan yang sering diadakan (ekkalein) oleh sejumlah orang. Kata itu ditemukan di dalam Septuaginta sebagai terjemahan dari kata Ibrani, qahal, yang mengacu pada arti: pertemuan jemaat Allah[12]. Dalam konsep itu, kata “gereja” mengarah pada “jemaat Allah”.
Pada Perjanjian Lama, jemaat Allah (Yahwe) dikumpulkan dalam sebuah pertemuan karena panggilan Sabda Ilahi. Sabda Ilahi itu mengajak orang-orang Israel, sebagai jemaat pilihan Allah, untuk mengadakan pertemuan bersama. Beberapa pertemuan itu di antaranya adalah: ketika Hukum Allah di sampaikan oleh Musa di Gunung Sinai (Kej 19); pembaruan perjanjian dalam perayaan korban Paskah (2 Raj 23); dan peribadatan bersama kepada Yahwe (Ul 9:10; Hak 21:5.8).
Pada masa jemaat perdana, istilah “gereja” dimaknai sebagai perkumpulan jemaat Allah yang dibentuk melalui pewartaan Injil dan iman dengan kekuatan Roh (1 Kor 2:4)[13]. Selain itu, Gereja juga dimaknai sebagai jemaat Allah yang percaya akan Yesus Kristus dan yang disatukan karena kematian serta kebangkitan-Nya (Kol 3:11; Gal 3:28). Gereja dalam arti jemaat Allah inilah yang hingga kini terus berjiarah di tengah dunia. Atas dasar itu, Gereja dapat dipandang sebagai persekutuan umat beriman; mereka adalah persekutuan dari murid-murid Kristus. Eklesiologi masa kini memiliki paham dasar tentang Gereja sebagai “umat Allah”[14].
2)      Jalan Kemartiran sebagai Dasar Gereja untuk Menjadi Umat Allah yang Serius Mengikuti Kristus
Gambaran Gereja sebagai umat Allah mengarah pada persekutuan orang-orang beriman. Gambaran Gereja itu lebih dijelaskan oleh Ignatius sebagai orang-orang yang diharapkan berani memberi kesaksian atas nama “orang Kristen” yang melekat pada identitas dirinya. Seturut dengan semangat kemartiran Ignatius, umat Allah itu adalah kaum beriman yang diundang untuk mempertahankan iman, sekalipun berhadapan dengan situasi yang mengancam hidup.
Baginya, kemartiran adalah jalan keseriusan untuk mengikuti dan meneladani Yesus Kristus:
Biarkanlah aku mencapai terang, terang murni yang tak ternodai, sebab saya hanya menjadi manusia sejati kalau saya sudah sampai di sana. Injinkanlah aku meneladan sengsara Tuhan”!

Semangat kemartiran yang ditandai dengan keikutsertaan dalam penderitaan Kristus menuju kesucian hidup menjadi dasar Gereja, yakni umat Allah yang serius menjadi pengikut Kristus. Itulah bentuk kesungguhan umat Allah – sebagaimana yang diteladankkan Ignatius – dalam mengikuti Kristus.
Dalam Perjanjian Baru, keseriusan umat Allah dalam mengikuti Kristus dipahami sebagai jalan “kemartiran baru”. Hal dicapai dengan mencari pasangan hidup yang seiman (2Kor 6:14) sampai pada keikutsertaan dalam penderitaan Kristus dan pada kesamaan dalam keadilan yang dituntut dari keikutsertaan dalam Perjamuan Tuhan (1Kor 10-11)[15]. Semangat berbagi juga menjadi bentuk konkrit dari keseriusan umat Allah. Semangat berbagi juga menyangkut kewajiban sosial untuk membantu kebutuhan umat lain sampai pada kesediaan umat Korintus untuk mengirimkan sumbangan ke Yerusalem (2Kor 9:13). Kisah hidup jemaat perdana yang menjadi pola kehidupan paguyuban-paguyuban dalam Gereja juga menunjukkan semangat yang sama. Mereka berbagi dalam hal-hal rahmat, dengan bertekun dalam ajaran para rasul, dalam pemecahan roti dan dalam doa, serta berbagi dalam soal hidup sehari-hari sehingga tidak ada yang kekurangan di antara mereka (Kis 2:42-47)[16].
Kisah hidup umat Allah dalam jemaat perdana menunjukkan adanya kesungguhan mereka untuk menjadi seorang Kristen sejati. Kesungguhan praktik hidup mereka dapat disejajarkan dengan nilai kemartiran Ignatius: “mengikuti keteladanan Tuhan Yesus”. 

C.    Menanggapi Panggilan kepada Kesucian
Kemartiran Ignatius dari Antiokhia merupakan salah satu jalan kesucian. Kemartirannya menunjuk pada kesetiaan untuk memegang teguh iman Kristiani sekalipun mengorbankan nyawa. Kesetiaan itulah yang menjadi dasar baginya untuk semakin yakin bahwa Allah akan mempersatukan ia dengan Diri-Nya: “Biar aniaya setan yang paling mengerikan pun boleh menimpa diri saya, asal saya dapat menemukan jalan menuju Kristus”.
Tuhan Yesus adalah Guru dan Teladan Ilahi segala kesempurnaan. Panggilan kepada kesucian diajarkan-Nya dalam Kitab Suci: “Kamu harus sempurna, seperti Bapa-Mu yang di surga sempurna adanya” (Mat 5:48). Dengan jalan menuju kesucian hidup, yang dikerjakan dan dipenuhi-Nya sendiri, Ia mewartakan kepada semua dan setiap murid-Nya tentang kesucian (LG 40). Pengorbanan salib Kristus merupakan titik pangkalnya dan itu menjadi dasar kemartiran Ignatius menuju kesucian hidup: “Injinkanlah aku meneladan sengsara Tuhan”! Kesediaan untuk menunjukkan keseriusan diri dalam mengikuti Kristus dan akhirnya nanti bersatu dengan-Nya merupakan bentuk kesungguhan Ignatius sebagai orang Kristen sejati. Hal itu memampukannya untuk dapat menghadapi penderitaan kemartiran:
Inilah tahap pertama bagiku untuk menjadi murid Kristus. Tidak ada kuasa, kelihatan maupun tidak kelihatan, boleh merintangi saya yang mau datang kepada Yesus Kristus. Api, salib, atau pergulatan dengan binatang buas? Dibelah, dipotong-potong, tulang diremuk, atau anggota dipisah-pisah, atau bahkan seluruh badan ditumbuk halus-halus? Biar aniaya setan yang paling mengerikan pun boleh menimpa diri saya, asal saya dapat menemukan jalan menuju Kristus.

Semangat kemartiran Uskup Ignatius merupakan bentuk konkrit dari orang Kristen yang sejati. Kemartiranya menjadi salah satu tanda keseriusan seorang pribadi yang secara khusus mengarahkan hidup bagi Kristus. Itulah arah panggilan menuju kesucian hidup, yakni setia pada iman yang memberikan harapan akan persatuan dengan Dia yang dicari:
Dari pihak saya, saya menulis kepada semua Gereja dan meyakinkan mereka bahwa saya sungguh bermaksud untuk mati bagi Allah. Maka janganlah kamu sendiri memasang rintangan di jalanku. Saya harus memohon dengan sangat kepadamu, janganlah kamu berbuat baik kepadaku dengan cara yang keliru. Kuminta, biarlah aku menjadi makanan binatang buas, sebab mereka itulah yang dapat memberi aku jalan menuju Tuhan.

Kesediaan untuk mengalami siksa kemartiran merupakan buah kemendalaman dari cinta mistis akan Kristus. Kerelaan mengorbankan nyawa merupakan bagian dari keseriusan Ignatius untuk setia pada iman. Ia berharap agar keseriusannya dalam menanggapi panggilan kesucian juga menggaung dalam diri orang Kristen yang lain:
Biarkanlah aku mencapai terang, terang murni yang tak ternodai, sebab saya hanya menjadi manusia sejati kalau saya sudah sampai di sana. Ijinkanlah aku meneladan sengsara Tuhan! Bila ada seseorang di antaramu memiliki Tuhan di dalam dirinya, biarlah ia merasa seperti aku, maka ia akan mengerti kekuatan apa yang menguasai aku.

Harapan itu pulalah yang ditawarkannya kepada Gereja – umat Allah – dalam menanggapi panggilan kepada kesucian.

IV. Sumbangan Ignatius dari Antiokhia
Dari uraian bagian-bagian tesis di atas, tulisan Ignatius dari Antiokhia dapat memberikan sumbangan bagi Gereja pada jaman sekarang. Kedalaman relasi dengan Yesus Kristus memampukannya untuk menjadi martir berdarah di Roma. Semangat kemartirannya menjadi dasar bagi terbangunnya Gereja sebagai umat Allah yang serius dalam mengikuti Kristus.
Keseriusan sebagai umat Allah dalam mengikuti Kristus termuat dalam LG 40: “…, hendaklah kaum beriman mengerahkan tenaga yang mereka terima menurut ukuran yang dikaruniakan oleh Kristus supaya dengan mengikuti jejak-Nya dan menyerupai citra-Nya, dengan melaksanakan kehendak Bapa dalam segalanya, mereka dengan segenap jiwa membaktikan diri kepada kemuliaan Allah…”. Nilai kesungguhan dalam LG 40, mengundang Gereja sebagai umat Allah untuk menjadi orang Kristen sejati sebagai tanggapan atas panggilan kepada kesucian.
Nilai keseriusan dari semangat kemartiran Ignatius dari Antiokhia dapat ditempatkan dalam konteks Gereja yang tengah berjuang menuju undangan kesempurnaan-kesucian. Konteks Gereja itu (secara struktur garis besarnya) meliputi tiga pokok pembahasan (sebagaimana dalam LG)[17]: hierarki, hidup membiara dan kaum awam. Dalam dokumen Konsili Vatikan II, keseriusan masing-masing strukutur Gereja sebagai umat Allah dalam mengikuti Kristus termuat dalam pelbagai tugas yang ditawarkan. Beberapa tugas yang ditawarkan adalah:
·         Hierarki
-         Uskup: para uskup selaku pengganti para Rasul menerima perutusan untuk mengajar semua bangsa dan mewartakan Injil kepada segenap makhluk, supaya semua orang, karena iman, baptis dan pelaksanaan perintah-perintah memperoleh keselamatan (LG 24); untuk itu, tugas utama mereka adalah mengajar (LG 25), menguduskan (26) dan menggembalakan ( LG 27).
-         Imam: sebagai pembantu yang arif badan para uskup, sebagai penolong dan organ mereka, para imam dipanggil untuk melayani umat Allah; di bawah kewibawaan uskup, para imam menguduskan dan membimbing bagian kawanan Tuhan yang diserahkan kepada mereka (LG 28).
-         Diakon: pada tingkat hierarki yang lebih rendah terdapat para diakon, yang ditumpangi tangan “bukan untuk imamat, melainkan untuk pelayanan”; sebab dengan diteguhkan rahmat sakramental, mereka mengabdikan diri kepada umat Allah dalam perayaan liturgi, sabda dan amal kasih dalam persekutuan dengan uskup dan para imamnya (LG 29).
·         Hidup Membiara
-         Hendaklah para religius sungguh-sungguh berusaha, supaya melalui mereka, Gereja benar-benar makin hari makin jelas menampilkan Kristus kepada kaum beriman maupun tidak beriman, entah bila ia sedang berdoa di atas bukit, entah bila sedang mewartakan Kerajaan Allah kepada rakyat, entah bila ia sedang menyembuhkan mereka yang sakit dan terluka, serta mempertobatkan kaum pendosa kepada hidup yang baik, atau sedang memberkati kanak-kanak dan berbuat baik terhadap semua orang, senantiasa dalam kepatuhan kepada kehendak Bapa yang mengutus-Nya (LG 46).
·         Kaum Awam
-         Kaum beriman Kristiani, yang berkat baptis telah menjadi anggota Tubuh Kristus, terhimpun menjadi umat Allah, dengan cara mereka sendiri ikut mengemban tugas imamat, kenabian dan rajawi Kristus, dan dengan demikian sesuai dengan kemampuan mereka melaksanakan perutusan segenap umat Kristiani dalam Gereja dan di dunia; berdasarkan panggilan mereka yang khas, kaum awam wajib mencari Kerajaan Allah dengan mengurusi hal-hal yang fana dan mengaturnya seturut kehendak Allah; mereka hidup dalam dunia, artinya menjalankan segala macam tugas dan pekerjaan duniawi, dan berada di tengah kenyataan biasa hidup berkeluarga dan sosial (LG 31).

Pelbagai tugas itu merupakan bentuk kesaksian perwujudan iman yang bila dilaksanakan menunjukkan adanya keseriusan Kristiani. Bila Ignatius melaksanakan keseriusan imannya dengan jalan kemartiran berdarah, kini umat Allah diundang untuk melaksanakan keseriusan akan imannya dengan jalan “kemartiran yang baru”.

V.    Penutup
Kemartiran Santo Ignatius dari Antiokhia memberikan bentuk keteladanan bagi Gereja, umat Allah. Kemartirannya menawarkan terbentuknya umat Allah yang memiliki keseriusan dalam menanggapi panggilan Kristiani: menuju kepada kesucian. Untuk mencapai ke arah itu, umat Allah diundang agar menunjukkan identitas dirinya sebagai orang Kristiani – tidak sekadar menyandang nama Kristen saja – melalui kesungguhan dalam mempertahankan iman.
Pada jaman sekarang, keseriusan untuk menjadi pengikut Kristus yang sejati merupakan ajakan agar Gereja berani memberikan kesaksian akan iman mereka. Keberanian dalam memberikan kesaksian itu menjadi tuntutan bagi mereka yang berada dalam struktur hierarki, hidup membiara dan kaum awam sebagai bentuk kesungguhan terhadap kesetian atas iman. Akhirnya, dengan melaksanakan cara dan tugas mereka masing-masing, jalan panggilan yang menjadi arah Gereja kepada kesucian menjadi jelas.




[1] PWI Liturgi, Bacaan Ofisi Masa Biasa: Pekan X-XIII, Yayasan Kanisius, Yogyakarta 1982, 17-20.
[2] PWI Liturgi, Bacaan Ofisi Masa Biasa: Pekan X-XIII, 26-28.
[3] Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika 1, Kanisius, Yogyakarta 2004,131.
[4] Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika 1, 131.
[5] Louis Bouyer, Dictionary Of Theology, Desclee Co., Inc., U.S.A. 1965, 230.
[6] J. Tixeront, Handbook Of Patrology, Vail-Ballow Press, Inc., Binghamton and New York 1943, 13.
[7] Berthold Altaner, Patrology, Herder, West Germany 1960, 106.
[8] Louis Bouyer, Dictionary Of Theology, 294.
[9] Louis Bouyer, Dictionary Of Theology, 295.
[10] “Kehadiran ekaristis” di sini menunjuk pada partisipasi umat dalam korban salib Yesus Kristus yang secara sakramental dihadirkan dalam Ekaristi. Dengan berani menjadi martir, orang-orang Kristiani disatukan dengan peristiwa salib Yesus Kristus. Maka, kemartiran juga disebut sebagai “partisipasi sakramental”.
[11] Cyril C. Richardson, Early Christian Fathers, Grand Rapids, MI: Christian Classics Ethereal Library, Philadelphia 1953, 58-59.
[12]Louis Bouyer, Dictionary Of Theology, 81.
[13]Louis Bouyer, Dictionary Of Theology, 82.
[14] Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika 2, Kanisius, Yogyakarta 2004, 207.
[15] M. Purwatma, “Persekutuan Paguyuban-paguyuban yang Berbagi dan Berbelarasa” dalam Gereja yang Melayani dengan Rendah Hati, Kanisius, Yogyakarta 2009, 137.
[16] M. Purwatma, “Persekutuan Paguyuban-paguyuban yang Berbagi dan Berbelarasa” dalam Gereja yang Melayani dengan Rendah Hari, 137.
[17] Tom Jacobs, Dinamika Gereja, Kanisius, Yogyakarta 1979, 159-225.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

La présence de Dieu qui accompagne toujours nos vies est un mystère. Sa présence réelle qu'Il soit là ou ici, nous ne pourrons peut-être...