Gereja
dipanggil untuk membangun masyarakat yang manusiawi berdasarkan prinsip
demokratis dan keadilan sosial, serta mendukung anggotanya dalam berpolitik,
menuju kesejahteraan bersama.
A.
Konteks
Tesis
ini menghadirkan Gereja di tengah pelbagai peristiwa dunia sekarang. Dalam
situasi dunia yang ditandai dengan rendahnya penghargaan antar manusia, Gereja
dipanggil untuk membangun masyarakat yang manusiawi.Panggilan itu sebagai tugas
yang perlu dilaksanakan dengan menggunakan prinsip etis dalam praskis
berpolitik, yakni: prinsip demokratis
dan keadilan sosial.Untuk mengusahakan panggilannya itu, Gereja perlu untuk
mendorong dan mendukung anggota-anggotanya agar terjun dalam dunia
perpolitikan. Dengan demikian harapannya adalah bahwa cita-cita untuk mengupayakan
kesejahteraan bersama dapat tercapai.
B.
Pokok-pokok
Masalah
Untuk
dapat menjelaskan tesis itu, ada beberapa pokok permasalahan yang menjadi
acuan:
1. Bagaimana
langkah Gereja dalam membangun masyarakat yang manusiawi?
2. Bagaimana
mewujudkan masyarakat yang manusiawi dengan menggunakan prinsip demokratis dan
keadilan sosial?
3. Bagaimana
cara Gereja dalam mendorong anggotanya untuk berpolitik?
4. Apa
tujuan Gereja dalam keterlibatannya di tengah dunia?
C.
Pembagian
Penjelasan Tesis
Berdasarkan
pokok-pokok permasalahan, penjelasan tesis akan dibagi ke dalam empat
pembahasan:
1. Gereja
dipanggil untuk membangun masyarakat yang manusiawi
2. Berdasarkan
prinsip demokratis dan keadilan sosial
3. Gereja
mendukung anggotanya dalam berpolitik
4. Gereja
mengupayakan kesejahteraan bersama.
Pada
penjelasan tesis bagian akhir akan disajikan sebuah kesimpulan. Kesimpulan
tersebut akan menjadi rangkaian pokok dari penjelasan-penjelasan tesis yang
telah diuraikan. Dengan demikian, rangkaian penjelasan-penjelasan tesis akan
menjadi kesatuan pembahasan yang mengarah pada tesis umum.
D. Penjelasan Tesis
1.
Gereja
dipanggil untuk membangun masyarakat yang manusiawi
a)
Gereja
Kata “gereja” berasal
dari bahasa Portugis: igreja. Kata igreja merupakan terjemahan dari kata
Latin: ecclesia, yang berakar dari
kata ekklesia (Yunani). Kata ekklesia adalah sebuah pertemuan yang
sering diadakan (ekkalein) oleh
sejumlah orang. Kata itu ditemukan di dalam Septuaginta sebagai sebuah
terjemahan dari kata Ibrani, qahal,
yang mengacu pada arti: pertemuan jemaat Allah[1].
Dalam konsep itu, kata “gereja” mengarah pada “jemaat Allah”.
Pada
Perjanjian Lama, jemaat Allah (Yahwe) dikumpulkan dalam sebuah pertemuan karena
panggilan Sabda Ilahi. Sabda Ilahi itu mengajak orang-orang Israel, sebagai
jemaat pilihan Allah, untuk mengadakan pertemuan bersama. Beberapa pertemuan
itu di antaranya adalah: ketika Hukum Allah di sampaikan oleh Musa di Gunung
Sinai (Kej 19); pembaruan perjanjian dalam perayaan korban Paskah (2 Raj 23);
dan peribadatan bersama kepada Yahwe (Ul 9:10; Hak 21:5.8).
Pada
masa jemaat perdana, istilah “gereja” dimaknai sebagai perkumpulan jemaat Allah
yang dibentuk melalui pewartaan Injil dan iman yang menerima pewartaan itu
dengan kekuatan Roh (1 Kor 2:4)[2].
Selain itu, Gereja juga dimaknai
sebagai jemaat Allah yang percaya akan Yesus Kristus dan yang disatukan karena
kematian serta kebangkitan-Nya (Kol 3:11; Gal 3:28). Gereja dalam arti jemaat
Allah inilah yang hingga kini terus berjiarah di tengah dunia. Dalam arti ini,
Gereja dapat dipandang sebagai persekutuan umat beriman; mereka adalah
persekutuan dari murid-murid Kristus.
b)
Panggilan Gereja untuk membangun masyarakat yang
manusiawi
Di tengah situasi masyarakat dunia yang diwarnai
dengan pelbagai kasus kemanusiaan yang melukai hati manusia, kiranya hal itu
menggerakkan Gereja, yakni para murid Kristus. Pada jaman sekarang, maraknya
kasus korupsi, penyuapan, pelecehan terhadap kebebasan beragama dan pelbagai
kasus kemanusiaan lainnya di Indonesia menjadi bahan berita yang biasa. Banyak
orang yang dirugikan karena adanya segelintir orang yang ingin mencari
keuntungan dengan memperkaya diri sendiri atau mementingkan kelompoknya sendiri.
Banyak orang yang telah miskin dan menderita di negeri ini menjadi
lebih miskin dan menderita. Itulah tanda kehidupan manusia yang sudah tidak
manusiawi lagi. Lantas bagaimana sikap Gereja, yakni para murid Kristus berhadapan
dengan situasi demikian?
Gereja sebagai persekutuan umat beriman yang
disatukan dalam Kristus merupakan suatu komunitas hidup yang tinggal dalam
masyarakat dunia. Oleh karena itu, apa yang dialami dan dirasakan oleh
masyarakat luas merupakan bagian para murid Kristus pula. Dalam Konstitusi
Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini (Gaudium Et Spes) dituliskan: “Kegembiraan dan harapan, duka dan
kecemasan orang-orang jaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang
menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid
Kristus juga” (GS 1). Dokumen tersebut menjadi sebuah acuan bagi perjuangan
hidup yang seharusnya dilakukan oleh para murid Kristus, Gereja-Nya. Itulah
sebuah panggilan Gereja dalam membangun masyarakat yang manusiawi.
c)
Tugas untuk untuk membangun masyarakat yang
manusiawi
Pembicaraan mengenai
masyarakat yang manusiawi tidak terlepas dengan topik hak-hak asasi manusia.
Hak-hak itu melekat dalam diri manusia sejak ia lahir di dunia. Dengan hak-hak
yang dimilikinya, manusia memiliki pelindung dari penyalahgunaan kekuatan
politik, sosial, ekonomi, kultural dan ideologiyang akan melindasnya.
Pembangunan masyarakat
yang manusiawi akan dapat tercapai jika pemenuhan akan penghormatan manusia,
terlebih karena hak-hak asasi yang dimilikinya, dapat terlaksana. Hormat
terhadap manusia berarti: mengakui kedudukannya yang sama, tidak
memperlakukannya sebagai objek perencanaan, berorientasi pada
harapan-harapannya dan tidak mengorbankan pihak yang satu demi keuntungan pihak
yang lain.
Membangun masyarakat
yang manusiawi memiliki makna: menolak terhadap tiga kesesatan yang sudah
banyak menuntuk korban. Tiga kesesatan itu adalah kolektivitas,
totalitarianisme dan pendewaan terhadap negara[3]:
-
Kolektivitas itu sesat karena memperalat
manusia demi suatu keseluruhan. Martabat manusia merupakan sesuatu yang tidak
dapat dibagi-bagi. Apabila martabat satu manuia direndahkan dan dianggap
sebagai sarana bagi yang lain-lain, itu berarti bahwa semua orang direndahkan
menjadi sarana.
-
Totalitarianisme itu sesat karena melupakan
kewajiban negara yang harus melayani kebutuhan masyarakat.
-
Pendewaan terhadap negara itu sesat
karena segala bentuk apapun di dunia ini tidak boleh didewakan. Hal itu akan
memberi celah terhadap pelecehan hak-hak manusiawi dari para warganya.
Penentangan
terhadap kolektivitas, totalitarianisme dan pendewaan terhadap negara berarti
sebuah usaha untuk menentang sikap-sikap yang menunjang adanya privilese
kelompok berkuasa yang merasa berhak untuk menentukan kehidupan masyarakat
menurut kepentingan mereka sendiri[4].
Berhadapan dengan situasi hidup
bernegara jaman sekarang yang menuntut adanya perjuangan terhadap hak-hak
manusia dan perlawanan terhadap ideologi-ideologi yang melukai kemanusiaan,
Gereja seharusnya tidak tinggal diam. Sebagai persekutuan manusia yang
disatukan oleh karena pengakuan iman akan Yesus Kristus, Gereja juga memiliki
tugas untuk mewartakan keselamatan kepada dunia: “Sebab persekutuan mereka
terdiri dari orang-orang yang dipersatukan dalam Kristus, dibimbing oleh Roh
Kudus dalam pejiarahan mereka menuju Kerajaan Bapa, dan telah menerima warta
keselamatan untuk disampaikan kepada semua orang” (GS 1). Dengan demikian, iman
dalam Gereja bukan hanya sebatas pada tataran teori saja. Iman berarti juga
memiliki pengaruh nyata dalam praksis hidup. Untuk itu, kesadaran untuk
memperjuangkan hak-hak manusia dan penolakan terhadap pelbagai ideologi yang
mencederai rasa kemanusiaan, kiranya menjadi tugas yang diemban Gereja agar
dapat menciptakan situasi yang mendukung kepercayaan bahwa Allah telah menebus
dunia. Hal itu dapat diwujudkan dengan menciptakan masyarakat yang damai, adil
dan sejahtera.
2.
Berdasarkan
prinsip demokratis dan keadilan sosial
Untuk mewujudkan komunitas masyarakat yang
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang akan dilakukan oleh Gereja,
diperlukan adanya kesadaran akan prinsip-prinsip etis. Prinsip-prinsip yang
dimaksudkan adalah sarana dalam mengupayakan suatu pembangunan masyarakat yang
manusiawi. Prinsip-prinsip itu adalah: prinsip demokratis dan keadilan sosial.
a) Prinsip demokratis
Kata “demokrasi” berasal dari
bahasa Yunani: demos (rakyat) dan kratein (memerintah)[5].
Secara umum, prinsip demokratis dalam sistim kenegaraan berarti pemerintahan
oleh rakyat. Dalam masyarakat Yunani, demokrasi dipandang sebagai bentuk
politik di mana rakyat sendiri memiliki dan menjalankan seluruh kekuasaan
politik. Konsep demokrasi ini pula yang mendasari adanya pemikiran kedaulatan
rakyat yang menekankan “pemerintahan oleh rakyat melalui wakil-wakil yang telah
dipilih”.
Prinsip demokratis merupakan salah
satu unsur dalam pembangunan kemanusiaan dalam suatu negera. Hal ini terjadi
karena prinsip demokratis memuat implikasi penentuan bahwa manusia sebagai
tujuan dalam praktik perpolitikan.Untuk itu, perjuangan untuk mengupayakan
kesejahteraan manusia, warga negara, merupakan aspek utama.
Pemerintahaan demokratis lebih
memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya sebab suara rakyat memiliki
tempat dalam penentuan kebijakan. Dalam pemerintahan yang menggunakan prinsip
ini, satu hal paling penting ialah agar di segala tingkat, masyarakat
dilibatkan dalam pengambilan keputusan-keputusan yang menyangkut (kebutuhan)
mereka sendiri[6].
Semakin kuat suara rakyat dalam menentukan kebijakan, semakin besar pula
kemungkinan kebijakan itu mencerminkan keinginan dan aspirasi-aspirasi mereka.
Demokratisasi dalam sistim
pemerintahan merupakan sebuah bentuk perlawanan terhadap monopoli kaum
politisi, pejabat dan teknokrat untuk begitu saja menentukan apa yang baik bagi
masyarakat. Betapapun baiknya niat para penguasa, jika mereka menafikan pengaruh
atau kendali rakyat, maka ada dua kemungkinan buruk yang terjadi: yang pertama,
kebijakan-kebijakan mereka (penguasa) tidak sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan
rakyat; dan kemungkinan kedua, yang lebih buruk, yaitu kebijakan-kebijakan itu
korup dan hanya melayani kepentingan penguasa itu sendiri[7].
Dalam ranah ini, prinsip demokratis memiliki peran untuk mengontrol jalannya sistim
pemerintahan.
b)
Prinsip
keadilan sosial
Pembangunan masyarakat yang
manusiawi menuntut adanya perjuangan untuk memberikan rasa keadilan kepada
seluruh manusia atau masyarakat. Hal itu dapat tercapai dengan mengusahakan
keadilan sosial dalam segala aspek kehidupan bersama. Dengan demikian, keadilan
sosial akan menjadi prinsip bersama dan berakar erat dalam rangka pembangunan
masyarakat yang manusiawi.Lantas yang menjadi pertanyaannya adalah: apa maksud
dari keadilan sosial?
Sebuah usaha pembangunan masyarakat
mempunyai tujuan untuk menciptakan prasarana-prasarana kesejahteraan segenap
anggota masyarakat. Prasarana-prasarana itu pertama-tama harus diciptakan bagi
mereka yang paling lemah. Mereka yang paling lemah mendapat tempat yang sangat
istimewa karena keterbatasan mereka dalam memiliki sarana pencapaian
kesejahteraan yang kurang memadai. Keadaan demikianlah yang dituntut oleh
keadilan sosial.
Dalam praksis hidup, pelaksanaan
keadilan sosial bukanlah hal yang mudah untuk direalisasikan. Pelaksanaannya
harus bersinggungan dengan pelbagai aspek kehidupan yang meliputi kehidupan
bersama dalam suatu masyarakat. Aspek-aspek kehidupan itu di antaranya adalah
struktur politik, sosial dan ekonomi masyarakat seluruhnya. Maka, untuk
menciptakan keadilan sosial harus dimulai dengan membangun atau mengubah
struktur proses-proses politik, sosial dan ekonomi sehingga setiap anggota
masyarakat dapat memperoleh keadilan; dan itu berarti: setiap anggota masyarakat mempunyai kemungkinan yang seoptimal mungkin
untuk memperoleh apa yang menjadi haknya serta untuk mendapat bagian yang wajar[8].
Prinsip keadilan sosial menuntut
adanya sikap yang adil. Prinsip keadilan ini diperlukan untuk menghentikan
semua bentuk manajemen politik dan ekonomi yang hanya menguntungkan segelintir
penguasa, elite politik, atau siapa pun yang mempunyai akses kepada kekuasaan
politik-sosial dan ekonomi[9].
Dengan kata lain, prinsip keadilan sosial merupakan sebuah usaha untuk
membubarkan atau membongkar “manajemen koruptif” yang masih dipraktikkan oleh
para penguasa dalam kehidupan bersama. Manajemen koruptif inilah yang perlu
untuk terus ditentang sebab sistim itu memberikan prioritas bagi keuntungan
beberapa orang atau kelompok tertentu saja, seraya mengabaikan kepentingan
dasar orang banyak atau kesejahteraan bersama[10].
Pembangunan masyarakat yang berlandaskan
pada prinsip keadilan – di tengah situasi ketidakadilan seperti yang terjadi
pada jaman sekarang – menandakan adanya keharusan serius untuk membongkar
praktik ketidakadilan. Dalam hal ini, diperluakan adanya usaha pencapaian agar
keadilan sosial sungguh dialamai oleh masyarakat secara keseluruhan. Salah satu
usaha itu adalah dengan menegakkan prinsip demokratis yang memberikan ruang
partisipasi seluruh warga dalam penentuan kebijakan-kebijakan publik. Dengan
langkah tersebut, para penguasa hendaknya dapat membuka pintu dan mendengarkan
aspirasi warganya. Adanya langkah pembaruan yang timbal-balik itu kiranya dapat
meminimalisasi praktik manajemen koruptif para penguasa dan kembali pada tujuan
pemerintahan yang sejati, yakni: demi masyarakat luas secara adil dan merata.
3.
Gereja
mendukung anggotanya dalam berpolitik
a)
Akar
pandangan Gereja terhadap negara
Kata “politik” berasal dari bahasa
Yunani: politicos (menyangkut warga
negara)[11].
Kata “politik” dapat dimengerti sebagai “segala macam kegiatan yang dilakukan
penguasa dalam sebuah pemerintahan”. Selain itu, kata tersebut juga dapat
dimengerti sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan permasalahan kehidupan
bersama dalam suatu masyarakat.Berdasarkan penjelasan tersebut, “berpolitik”
dimengerti sebagai segala macam penggunaan kekuasaan untuk menentukan sebuah
keputusan tertentu yang menyangkut kehidupan warga masyarakat, kehidupan
bersama.
Topik pembicaraan mengenai tugas Gereja
dalam mendukung anggotanya untuk berpolitik merupakan sebuah misi keterlibatan.
Misi keterlibatan berpolitik itu adalah tugas Gereja berhadapan dengan
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Akar pandangan Gereja terhadap negara
dapat ditelusuri dari sikap, penghayatan dan praktik hidup Gereja berhadapan
dengan dunia. Pada intinya, refleksi yang tumbuh dari praktik hidup Gereja
berpangkal dan terarah sepenuhnya pada dua penekanan utama.
Pertama,
hidup Gereja berpangkal dan terarah sepenuhnya pada Allah[12].
Pada awal kehidupan Gereja, penghayatan akan prinsip tersebut sangat
memengaruhi hidup Gereja, sehingga seringkali menimbulkan sikap yang negatif
terhadap negara/dunia. Hal itu misalnya terungkap dalam tulisan Paulus kepada
jemaat di Roma: “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini” (Rom 12:2).
Pandangan yang sama juga dapat ditemukan dalam tulisan Markus yang menegaskan
kepada pembacanya melalui mulut Yesus yang bersabda: “Apa gunanya seorang
memperoleh seluruh dunia, tetapi kehilangan nyawanya?” (Mrk 8:36).
Kedua,
meski pandangan negatif mengenai negara dan dunia pada awalnya sangat dominan,
persentuhan Gereja dengan masyarakat dan negara tidak dapat dihindari, karena
Gereja hidup di tengah dunia[13].
Dari persentuhan itu kemudian melahirkan sikap yang semakin positif terhadap
dunia pada umumnya dan terhadap negara/masyarakat pada khususnya. Hal itu
menjadi nyata karena Gereja memiliki misi utama di tengah dunia ini. Misi utama
Gereja adalah tanda dan sarana keselamatan yang terwujud dalam solidaritas
dengan mereka yang tidak diuntungkan pada arus perubahan, pembebasan manusia
dari semua bentuk ketidakadilan, penindasan dan kekerasan dari berbagai bentuk
dehumanisasi.Dalam ranah ini, adanya
dorongan dari Gereja dalam mendorong anggota jemaatnya untuk terlibat dalam
kegiatan berpolitik merupakan suatu hal yang diperlukan.
b)
Dasar
Gereja untuk mendorong anggotanya terlibat dalam berpolitik
Pandangan yang lebih positif mengenai
hubungan Gereja dan negara dapat dilihat dalam dokumen-dokumen Konsili Vatikan
II serta pelbagai ensiklik yang muncul setelah Konsili Vatikan II. Hubungan
antara Gereja dan negara yang terangkum dalam dokumen-dokumen Gereja memuat
upaya dan dukungan Gereja yang mengarahkan anggotanya dalam berpolitik. Arahan
itulah yang diharapkan dapat menggerakkan anggota-anggota Gereja agar dapat
menjadi “tokoh-tokoh perubahan” masyarakat menuju ke hidup yang lebih baik. Arahan
itu semakin dibutuhkan tatkala dunia masyarakat sekitar, tempat Gereja tinggal,
diliputi krisis kemanusiaan. Pembahasan mengenai dasar Gereja dalam mendorong
anggotanya untuk berpolitik dapat dilihat dari tiga aspek utama: pertama, hakikat Gereja sebagai Sakramen
di tengah dunia; kedua, pengakuan
otonomi; ketiga, keterlibatan Gereja
pada nasib manusia.
Pertama,
pandangan Gereja sebagai Sakramen dapat ditemukan dalam Sacrosanctum Concilium, sebuah konstitusi yang berbicara tentang
liturgi. Dalam konstitusi itu, Gereja lahir sebagai Sakramen dari lambung
Kristus yang wafat di salib (SC 5) dan sebagai Sakramen kesatuan (SC 26). Yang
menjadi topik penting adalah: apa yang dimaksudkan dengan Gereja sebagai
Sakramen? Jawabannya dapat ditemukan dalam Lumen
Gentium yang menjelaskan bahwa “Gereja itu dalam Kristus bagaikansakramen,
yakni tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat
manusia” (LG 1). Dari LG 1 tampak bahwa kebahagiaan sejati di mana keselamatan
abadi dirumuskan sebagai persatuan vertikal dan horisontal, yakni sebagai
persatuan manusia dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia.Dalam rangka
keselamatan itu, Gereja memiliki dua tugas pokok: sebagai tanda dan sarana. Dengan
istilah tanda, memiliki maksud bahwa
kehadiran Gereja harus dapat dialami dan dilihat sebagai bentuk kesatuan
konkrit antara Allah dan manusia serta kesatuan seluruh manusia. Dengan istilah
sarana, dimaksudkan bahwa keselamatan
bagi manusia dari Allah itu hadir dan dialami melalui Gereja. Dengan demikian,
pandangan Gereja sebagai tanda dan sarana berarti bahwa Gereja serentak
memperlihatkan serta menyalurkan keselamatan hakiki bagi seluruh umat manusia.
Pandangan bahwa keselamatan yang
dihadirkan Gereja mempunyai dimensi horisontal memiliki arti yang dalam.
Dimensi itu dimaksudkan bahwa keselamatan yang dihadirkan Gereja harus
diwujudkan dan dimulai dalam masyarakat dunia. Itu dapat berupa penghargaan
akan martabat manusia, keadilan sosial, kemerdekaan dari penjajahan politis,
kebebasan dari belenggu kemiskinan ekonomi dan yang terdalam yaitu kebebasan
dari perbudakan dosa[14].
Kedua,
otonomi Gereja dan dunia dipertegas dalam Konsili Vatikan II. Salah satu
dokumen yang memberi perhatian terhadap hubungan Gereja dan negara adalah Gaudium et Spes. Hal ini sudah jelas
dari judul bab empat GS, yaitu: Hidup Bernegara. Berturut-turut mulai dari GS
73 sampai GS 76 menunjukkan pandangan Gereja mengenai kehidupan umum jaman
sekarang (GS 73), hakikat dan tujuan negara (GS 74), kerjasama semua orang
dalam kehidupan umum (GS 75) dan hubungan negara serta Gereja (GS 76). Pandangan
mengenai otonomi Gereja dan dunia meruncing pada GS 76: “…, sangat pentinglah
bahwa orang-orang mempunyai pandangan yang tepat tentang hubungan antara negara
dan Gereja, dan bahwa ada pembedaan yang jelas antara apa yang dijalankan oleh
umat Kristen, entah sebagai perorangan entah secara kolektif, atas nama mereka
sendiri selaku warga negara di bawah bimbingan suara hati Kristiani, dan di
lain pihak apa yang mereka jalankan atas nama Gereja bersama para Gembala mereka”.
Pernyataan itu ingin menegaskan bahwa Gereja berdasarkan tugas dan wewenangnya
sama sekali tidak boleh dicampuradukkan dengan masyarakat politik, yaitu negara
dan tidak terikat pada satu sistim politik apa pun[15].
Walau demikian, Gereja dan negera memiliki visi yang sama, yakni: melayani
masyarakat manusia.
Ketiga,
Para Bapa Konsili Vatikan II telah meletakkan dasar yang kuat bagi para
pemimpin Gereja selanjutnya untuk semakin berpandangan positif dalam
merefleksikan keterlibatan Gereja pada nasib umat manusia, khususnya dalam
suatu negera. Pandangan-pandangan itu dapat ditemukan dalam beberapa Ajaran
Sosial Gereja (ASG). Paus Paulus VI adalah salah seorang pemimpin Gereja
Katolik yang mengembangkan pandangan tersebut. Dalam Populum Progressio (1967), beliau membahas permasalahan tentang
perkembangan bangsa-bangsa yang merupakan pokok perhatian dan kepedulian yang
mendalam bagi Gereja (PP 1). Secara lebih khusus lagi, beliau membahas
masalah-masalah politik negara dalam Surat Apostolik Octogesima Adveniens (1971). Penekanan terhadap kewajiban untuk
mengemban tugas politis merupakan salah satu misi warga Gereja untuk
menciptakan kehidupan yang lebih baik: “…, umat Kristiani yang diundang untuk
menjalankan kegiatan politik harus berusaha menentukan pilihan-pilihan mereka
secara konsisten dengan Injil, …, memberi kesaksian pribadi maupun kolektif
akan kesungguhan iman mereka dengan melayani sesama secara efektif dan tanpa
pamrih” (OA 46).
Selain dokumen Konsili Vatikan II dan
beberapa ASG, perhatian para uskup sedunia yang mengadakan sinode pada tahun
1971 dan menghasilkan pernyataan yang berjudul Iustitia in Mundo juga merupakan hal yang menarik untuk
diperhatikan. Harapan para uskup mengenai hubungan Gereja dan negara, mendorong
mereka untuk memikirkan peran umat Allah – dalam hal ini adalah Gereja – menuju
pemajuan keadilan demi keselamatan (IM 1-2). Keterlibatan itu hendaknya juga
disatukan dengan tugas pewartaan Kabar Gembira agar keselamatan Allah dapat
dialami bagi dunia: “Bagi kami, keterlibatan demi keadilan dan partisipasi
dalam perubahan dunia merupakan unsur konstitutif dari pewartaan kabar gembira,
yaitu pengutusan Gereja untuk penebusan umat manusia dan untuk pembebasannya
dari segala keadaan penindasan” (IM 6).
Lebih tegas dari yang direfleksikan
dalam IM, ada sebuah refleksi dari para uskup Amerika Latin dalam pertemuan di
Puebla (1979). Ketegasan yang terasa dari sidang itu adalah penekanan pada
pentingnya iman yang pribadi dan keterlibatan umat beriman secara pribadi dalam
kehidupan politis, sehingga iman berpraksis dalam politik[16].
Ensiklik yang lebih modern dan pantas
untuk disebutkan dalam pembahasan di sini adalah Cantesimus Annus (1991) yang dikeluarkan oleh Paus Yohanes Paulus
II. Dalam ensiklik itu, Paus Yohanes Paulus II menekankan pentingnya sistim
pemerintahan yang demokratis. Itulah juga yang diharapkan oleh Gereja: “Gereja
menghargai sistim demokrasi, karena membuka wewenang yang luas bagi warga
negara untuk berperanserta dalam penentuan kebijakan-kebijakan politik” (CA
46).
c)
Berpolitik
praktis
Peranan Van Lith yang telah memulai
karya misi di tanah Jawa merupakan titik awal upaya Gereja dalam melepaskan
diri dari indentifikasi dengan negara kolonial Belanda. Hal itu menjadi jelas
dalam ungkapan muridnya, yakni: Mgr, Soegijopranata dengan selogan: “100%
Katolik dan 100% Indonesia”. Sikap Gereja yang muncul dari ungkapan
Soegijapranata mendapatkan wujud politisnya dalam perjuangan di bidang politis,
yaitu: tokoh-tokoh partai politik. Salah satu tokoh politik yang terkenal pada
jaman itu adalah I. J. Kasimo yang memiliki selogan: Salus Populi Suprema Lex (kesejahteraan rakyat adalah hukum yang
tertinggi).
Undangan untuk berjuang dan terjun dalam
dunia politik di Indonesia telah dilakukan – di antaranya – oleh Mgr.
Soegijapranata dan I. J. Kasimo. Kini, undangan itu juga ditujukan oleh Gereja
sekarang, yakni para anggotanya, untuk juga berani dan terjun langsung dalam
dunia perpolitikan. Keterlibatan ini dapat dilakukan, baik dalam tingkat
struktur pemerintahan yang paling rendah hingga ke yang tertinggi; mulai dari
tingkat RW (Rukun Warga) – RT (Rukun Tetangga) hingga ke struktur pemerintahan
tingkat nasional. Harapannya adalah akan ada kolaborasi harmonis antara Gereja
dan negara yang menghasilkan perjuangan pencapaian kesejahteraan bagi seluruh
masyrakat.
4.
Gereja
mengupayakan kesejahteraan bersama
Dalam
karyanya yang berjudul Ethica,
Aristoteles menandaskan bahwa manusia, dalam semua perbuatannya selalu mengejar
sesuatu yang baik[17].
Hal tersebut menandaskan bahwa perjuangan setiap manusia dalam tataran
kehidupan praksis merupakan sebuah usaha untuk mencapai kebaikan; dan kebaikan
ituadalah kesejahteraan untuk bersama (common
good/bonum commune). Perjuangan
itu mencakup pelbagai bidang kehidupan, di antaranya adalah kegiatan
berpolitik.
Setiap
kegiatan politik bertujuan untuk mencapai kesejahteraan bagi rakyat. Secara
tradisional, prinsip ini mengusahakan kondisi kondusif yang memungkinkan setiap
orang atau kelompok dapat mencapai apa yang baik bagi kesejahteraannya. Dalam
konteks etika politik, prinsip itu dapat diterjemahkan sebagai arah untuk
mengusahakan dan mencapai hidup baik bersama dan untuk orang lain. Artinya
adalah bahwa etika politik menghendaki upaya-upaya pencapaian hidup yang lebih
baik secara manusiawi, tidak secara egosentris, tetapi bersama sesama warga
masyarakat. Jadi, the common good sebagai
prinsip etika politik mewajibkan setiap warga negara atau warga masyarakat
untuk menganggap jabatan publik dan institusi sosial-politik (dan ekonomi)
sebagai instrumen untuk mengupayakan hidup baik bersama dan untuk setiap orang[18].
Konsep
the common good atau kesejahteraan
bersama ini mengandung beberapa tuntutan:
- Prinsipthe common good menentang identitas
sempit, yakni partai atau program politik yang hanya memperjuangkan kepentingan
atau kesejahteraan bagi kelompok indentitas tertentu;
- Prinsipthe common good sebagai prinsip etika
politik melawan politik simbolis, yakni politik yang mengandalkan daya simbolis
dari sesuatu yang berkaitan dengan agama atau unsur kebudayaan tertentu;
- Prinsipthe common good mewajibkan semua lembaga
pemerintahan dan lembaga perwakilan rakyat untuk sungguh dekat dengan rakyat,
memahami kondisi real masyarakat dan mengambil kebijakan-kebijakan yang memihak
kepentingan rakyat;
- Prinsipthe common good dapat menjadi dasar
moral bagi para birokrat atau pegawai negeri dalam meningkatkan efisiensi dan
efektivitas pelayanan publik.
Secara
umum, tuntutan dari prinsipthe common
good mendorong adanya usaha pembaruan sistim pemerintahan dalam suatu
komunitas masyarakat dan negara. Pembaruan itu mengarah pada kepentingan
seluruh anggota dan bukan sebatas pada kepentingan egosentris pihak tertentu
saja.
Salah satu bagian dari laporan hasil
Sidang Agung KWI-Umat Katolik tahun 1995 menandaskan: “Umat Katolik mendukung
segala usaha positif pemerintah, tetapi sebagai warga negara yang
bertanggungjawab akan menyatakan kritik dan koreksi seperlunya demi kebaikan
bangsa dan kepentingan umum”. Hasil sidang itu menandaskan bahwa Gereja, yang
terdiri dari anggota-anggotanya, memiliki tugas dan hak untuk ikut dalam
praksis hidup berpolitik. Dengan terjun dan masuk dalam dunia politik, setiap
anggota Gereja diharapkan memberikan sumbangan tenaga mereka dalam mengusahakan
pencapaian tujuan pemerintahan yang sejati, yakni: kesejahteraan bersama.
5.
Kesimpulan
Situasi dunia sekarang diwarnai dengan
pelbagai fakta dehumanisasi manusia. Berhadapan dengan situasi demikian, Gereja
dipanggil untuk membangun masyarakat yang manusiawi, yakni: sebuah komunitas
masyarakat yang menjunjung tinggi penghargaan martabat kemanusiaan.Pelaksanaan
tugas panggilan itu juga perlu di-barengi
dengan menggunakan prinsip etis dalam praskis berpolitik, yakni: prinsip demokratis
dan keadilan sosial. Kedua prinsip ini memungkinkan adanya peran serta anggota
Gereja untuk berpartisipasi dalam praksis politik dan memperjuangkan keadilan
seluruh aspek kehidupan bagi semua masyarakat.
Untuk mengusahakan panggilannya itu,
Gereja perlu untuk mendorong dan mendukung anggota-anggotanya agar terjun dalam
dunia perpolitikan. Adanya dokumen dan ajaran sosial Gereja menjadi salah satu
dasar pijakan bagi anggota Gereja untuk semakin diteguhkan dan diarahkan selama
terjun dalam suatu sistim pemerintahan.Dengan demikian harapannya adalah bahwa
cita-cita untuk mengupayakan kesejahteraan bersama dapat tercapai.
[1]Louis Bouyer, Dictionary Of Theology, Desclee Co.,
Inc., U.S.A. 1965, 81.
[2]Louis Bouyer, Dictionary Of Theology, 82.
[3] Franz Magnis-Suseno, Kuasa dan Moral, Gramedia, Jakarta 1986,
19.
[4]Franz Magnis-Suseno, Kuasa dan Moral, 19.
[5] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta 1996, 154.
[6]Franz Magnis-Suseno, Kuasa dan Moral, 41.
[8] Franz Magnis-Suseno, Kuasa dan Moral, 41-42.
[9]Yong Ohoitimur, “Pelaksanaan
Otonomi Daerah: Berpeganglah pada Etika Politik”, dalam Etos & Moralitas Politik: Seni Pengabdian untuk Kesejahteraan Umum,
Kanisius, Yogyakarta 2004,218.
[10]Yong Ohoitimur, “Pelaksanaan
Otonomi Daerah: Berpeganglah pada Etika Politik”, 218.
[12] Komisi Kepemudaan – Konferensi
Waligereja Indonesia, Catatan Aksi Sosial
Politik Dinamika Gereja-Negara, Komisi Kepemudaan – Konferensi Waligereja
Indonesia dan Wacana Multimedia, Jakarta 1995, 54.
[13] Komisi Kepemudaan – Konferensi
Waligereja Indonesia, Catatan Aksi Sosial
Politik Dinamika Gereja-Negara, 54.
[14]Komisi Kepemudaan – Konferensi
Waligereja Indonesia, Catatan Aksi Sosial
Politik Dinamika Gereja-Negara, 56.
[15]Komisi Kepemudaan – Konferensi
Waligereja Indonesia, Catatan Aksi Sosial
Politik Dinamika Gereja-Negara, 57.
[16] Komisi Kepemudaan – Konferensi
Waligereja Indonesia, Catatan Aksi Sosial
Politik Dinamika Gereja-Negara, 57.
[17] W. Poespoprodjo, Filsafat Moral: Kesusilaan dalam Teori dan
Praktik, Pustaka Grafika, Bandung 1999, 34.
[18] Yong Ohoitimur, “Pelaksanaan
Otonomi Daerah: Berpeganglah pada Etika Politik”, 221.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar