Rabu, 18 Juni 2014

SAAT KAUM HAWA MEMIMPIN Dengan Menjadi Prodiakones



“Misalkan, di NTT dan Papua,
paroki-paroki tidak memakai prodiakones.
Budaya patriarkal yang kuat di sana
menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua”.

Awalan dalam tulisan ini merupakan bagian sajian utama dalam Majalah Hidup(tahun ke-67, 3 November 2013, hal. 11). Dengan mengetengahkan tema utama Prodiakones: Perempuan Pelayan Altar, memicu inspirasi untuk mendiskusikan sebuah pembicaraan tentang kemanusiaan. Setidaknya bagi saya, tema tersebut membawa pada isu kesetaraan gender seputar pelayanan di sekitar altar Tuhan dan pelayanan non-sakramental lainnya.
Prodiakones – sebutan prodiakon (pelayan laki-laki) bagi kaum hawa – merupakan pelayan di sekitar altar.Mereka adalah pelayan liturgi awam yang juga memberikan pelayanan non-sakramental. Dalam Pedoman Umum Misale Romawi (PUMR) artikel 100 ditulis: “…, pelayan awam dapat diberi tugas melayani altar dan membantu imam serta diakon. Mereka dapat membawa salib, lilin, pedupaan, roti, anggur dan air. Mereka juga dapat diberi tugas membagikan komuni sebagai pelayan tak lazim”. Sekalipun dalam teori, kehadiran para pelayan liturgi awam, termasuk prodiakones, dimintahanya kalau sangat amat dibutuhkan, namun dalam praktik, kehadiran mereka sangatlah diperlukan. Kehadiran mereka bukan sebatas tampil di hadapan publik, tetapi hadir secara aktif di sekitar altar dengan melayani imam dan beberapa pelayanan non-sakramental.
Sebagai asisten imam dan pelayan liturgi awam, prodiakones memiliki tugas yang sama dengan prodiakon. Mereka diangkat oleh uskup melalui Surat Keputusan untuk tempat dan jangka waktu tertentu. Dengan hadir di hadapan publik dan mendaku diri sebagai pelayan Tuhan bagi anggota jemaat lain menjadikan mereka sebagai “pemimpin” umat.
Konsep “pemimpin” di kalangan masyarakat dan budaya Indonesia sarat dengan warna patriarkal; dan hal itu juga secara terselubung merasuk dalam budaya Gereja. Konsep “pemimpin” membawa kepada sebuah pemahaman bahwa seseorang yang disebut sebagai pemimpin haruslah seorang laki-laki. Hal tersebut dapat dikaitkan dengan budaya ke-bapak-an, kepala keluarga, yang menjadi mental budaya mayoritas dalam sistem kemasyarakatan. Pemahaman itu menjadi semakin komplek bila menghadapkannya dengan sistem patriarkal yang mewarnai Gereja dengan klerikalisme otoriternya. Dalam titik inilah, kehadiran para prodiakones sebagai pelayan kaum hawa berada pada situasi ambang batas: di satu sisi ingin melayani, namun di sisi lain berhadapan dengan sistem dan budaya yang menafikan mereka!
Persoalan-persoalan yang muncul karena kehadiran prodiakones di tengah budaya yang kental dengan sistem patriarkal telah dirasa. Kehadiran perempuan asisten imam yang mendaku diri sebagai jemaat yang berkurban demi kepentingan Gereja, kini menjadi isu pembicaraan. Banyak orang, bahkan kaum klerikal Gereja, menilai kehadiran mereka bukanlah sebuah kemendesakan bagi pemenuhan kebutuhan pelayanan Gereja,alih-alih untuk menutupi alasan utama bahwa mereka tidak layak untuk menjadi “pemimpin” umat. Dalam hal ini, perhatian utama sebenarnya terarah pada ketidakadilan gender yang ditujukan pada kaum hawa yang seyogiannya juga memiliki hak sama dengan kaum adam. Awalan dalam tulisan ini mengarahkan realitas ketidakadilan itu dalam dua tempat berbeda (di NTT dan Papua). Bisa saja, kedua tempat tersebut mewakili ratusan Gereja Katolik yang tersebar di seluruh nusantara.
Saya melihat adanya kebutuhan untuk mengkaji isu tersebut sebagai kemendesakan untuk menghadirkan paras Gereja yang adil, setidaknya bagi anggota-anggotanya. Apakah realitas ketidakadilan gender dalam Gereja menyingkap fakta masih adanya penilaian rendah bagi kaum hawa? Bukankan mereka yang mendaku diri sebagai prodiakones memiliki hak yang sama sebagai manusia untuk membaktikan diri bagi Gereja? Sumber rujukan manakah yang dapat digunakan untuk mendorong terciptanya kesetaraan gender dalam tugas pelayanan Gereja?

Keterlibatan kaum hawa
Beberapa pertanyaan di atas mengingatkan saya pada sosok teolog feminis Asia, Kwok Pui-lan, dan kajian teologisnya mengenai kehadiran perempuan dalam Gereja. Berawal dari identitasnya sebagai perempuan Kristen Cina yang hidup di tepian sejarah dan Gereja, ia melihat tepian sebagai titik berangkat ideal dalam berteologi. Hidup di tengah desakan dan himpitan sebagai seorang perempuan, memampukannya untuk melihat tepian secara positif sebagai tempat untuk mengawali perjuangan kajian teologi feminisnya. Perjuangan yang memuat kajian teologisnya itu secara khusus termuat dalam Introducing Asian Feminist Theology yang mengetengahkan tema: Women and the Church (perempuan dan Gereja). Dalam karyanya itu, ia menarik relevansi kajian teologis untuk memperjuangkan nilai luhur kaum hawa yang hendak mengabdikan diri bagi tugas pelayanan Gereja.
Kwok Pui-lan menghargai perjuangan para perempuan untuk menjadi pelayan seputar altar dan non-sakramental. Kehadiran mereka merupakan kehadiran pengabdian yang sejatinya ditujukan kepada Tuhan Yesus dalam Perayaan Ekaristi dan perayaan-perayaan non-sakramental. Sebagai prodiakones, mereka memberikan diri untuk melayani kehadiran Yang Ilahi agar umat dapat mengalami keselamatan dalam perayaan rohanidan beberapa pelayanan non-sakramental. Pui-lan menghargai para prodiakones sebagai individu yang menghidupi etos pelayanan sebagaimana telah ditunjukkan oleh para perempuan pada jaman Yesus.
Dengan mengembangkan pendapat para teolog feminis lain, Pui-lan memandang prodiakones seperti para wanita yang berada di antara para pengikut yang mendengarkan pengajaran Yesus dan melayani kelompok itu dengan apa yang mereka miliki. Hal itu mereka lakukan di antara dua belas murid Yesus yang semuanya adalah laki-laki. Mereka itu adalah Maria yang disebut Magdalena, Yohana isteri Khuza bendahara Herodes, Susana dan banyak perempuan lain (Luk.8:2-3). Kisah perempuan lain yang hadir di sekitar Yesus adalah ibu mertua Simon: “Ibu mertua Simon terbaring karena sakit demam. Mereka segera memberitahukan keadaannya kepada Yesus.Ia pergi ke tempat perempuan itu, dan sambil memegang tangannya Ia membangunkan dia, lalu lenyaplah demamnya. Kemudian perempuan itu melayani mereka” (Mark.1:30-31). Kehadiran mertua Simon – setelah kesembuhan – untuk melayani Yesus dan komunitas-Nya, menggambarkan realitas nyata dan kemungkinan bahwa kaum hawa juga memiliki kesempatan untuk berada serta melayani Yesus sebagaimana yang dilakukan oleh kedua-belas murid.
Kehadiran kaum hawa di sekitar Yesus juga terlihat dengan sosok perempuan Samaria (Yoh.4). Perjalanan Yesus dan kelompok dari Yudea ke Galilea memberikan kesempatan bagi wanita Samaria. Perjumpaan dengan Yesus merupakan kesempatan berharga baginya di mana ia dapat mendengarkan pengajaran. Kesempatan untuk berada dekat dengan Yesus memberikan pengalaman pemaknaan hidup yang menyegarkan jiwanya. Karena keberadaan bersama dengan Yesus dan mendengarkan pengajaran-Nya, menggerakkan diri untuk mewartakan kehadiran Orang Nazareth itu ke komunitasnya: “Maka perempuan itu meninggalkan tempayannya di situ lalu pergi ke kota dan berkata kepada orang-orang yang di situ:Mari, lihat! Di sana ada seorang yang mengatakan kepadaku segala sesuatu yang telah kuperbuat. Mungkinkah Dia Kristus itu?” (Yoh.4:28-29). Pewartaan perempuan Samaria merupakan salah satu bentuk pelayanan-perutusan agar kabar Yesus didengar oleh banyak orang.
Pengalaman kehadiran kaum hawa di sekitar Yesus mencapai puncaknya di saat mereka dilibatkan dalam misteri pusat hidup Yesus. Pelbagai peristiwa itu di antaranya: ketika Maria menerima kabar gembira dari malaikat Allah bahwa ia akan mengandung dari Roh (Luk.1:26-38); kehadiran Maria dalam petistiwa mukjizat pertama di Kana (Yoh.2:1-11); peristiwa penyingkapan Yesus sebagai Mesias oleh pengakuan iman Marta (Yoh.11:27); di sekitar kematian Yesus pada kayu salib (Mat.27:45-56, Mrk.15:33-41, Luk.23:44-49,Yoh.19:16b-27); dan peristiwa seputar kebangkitan Yesus di mana para perempuan-lah yang pertama kali mendapatkan kabar bahwa Ia bangkit (Mat.28:1-10, Mrk.16:1-8, Luk.24:1-12, Yoh.20:1-10). Peristiwa-peristiwa tersebut membawa kepada sebuah pemaknaan bahwa dalam jaman Yesus, peran kaum hawa dalam pelayanan dan pewartaan, memiliki tempat penting. Kehadiran mereka di seputar hidup Yesus layak untuk diperhitungkan sebagai wujud dari nilai luhur yang secara struktural dinomor-duakan. Akan tetapi, dengan memberikan kesempatan untuk hadir bersama dan dengan-Nya, Yesus memperhitungkan kesejajaran mereka dengan para murid lain yang notabene adalah laki-laki.
Menunjuk pada praktik “penepian” kaum hawa dalam konteks tugas pelayan sekitar altar dan pelayanan non-sakramental lainnya menjadi kemendesakan yang perlu dikaji dengan peka. Adanya sistem patriarkal dalam kemasyarakan dan yang mewarnai Gereja dengan klerikalisme otoriternya menambah perlunya untuk mengkaji isu gender tersebut. Di beberapa Gereja, sudah ada keterlibatan kaum hawa untuk melibatkan diri menjadi pelayan altar, menjadi prodiakones. Namun, tidak dipungkiri bahwa masih banyak Gereja yang masih memperhitungkan kehadiran mereka hanya karena sistem-sistem yang membelenggu pola pikir. Akibatnya adalah, etos para kaum hawa untuk mengabdikan diri sebagai prodiakones pupus seketika karena berhadapan dengan sistem yang (seharusnya) patut dikaji kelayakannya.
Yang menjadi tantangan ke depan adalah perlunya menghidupkan kesadaran bahwa kaum hawa sudah selayaknya hadir dan mendapatkan tempat yang adil. Hal itu sejalan dengan historitas perjalanan hidup karya Yesus yang memberikan kesempatan kepada mereka. Kesulitannya, harus ada tekad untuk memulai cara pandang baru ini berhadapan dengan pola pikir klasik yang rentan bila ditatapkan dengan isu gender dalam Gereja. Untuk itu, dengan menyadari kemendesakan dalam menghidupkan cara pandang baru, diperlukan adanya sikap terbuka di tengah kakunya sistem patriarkal dalam mencapai sebuah transformasi.

Power-with-others
Untuk memperkaya kandungan cara pandang baru tersebut, saya akan menghadirkan kembali pemikiran Pui-lan. Ia melihat adanya kemendesakan untuk memperjuangkan hak sama bagi para perempuan yang menjadi prodiakones. Pui-lan melihat bahwa perempuan Katolik adalah anggota Gereja yang telah dibaptis. Titik inilah yang seharusnya menjadi perjuangan kesamaan hak dengan kaum adam karena baptis memampukan mereka dapat berpartisipasi dalam kehidupan menggereja, baik sebagai pemimpin maupun pelayan.
Dasar pertimbangan lain Pui-lan adalah bahwa dalam diri setiap orang, Allah telah menganugerahkan rahmat-Nya. Oleh karena itu, Gereja dituntut untuk terbuka terhadap rahmat Allah yang ada dalam setiap anggotanya, termasuk kaum hawa. Hal itu tentunya akan menjadi modal bagi pertumbuhan dan perkembangan Gereja. Sependapat dengan pandangan teolog feminis lain, Rebera, Pui-lan menekankan bahwa sudah saatnya bagi Gereja untuk membangun power-with-others. Konsep ini mau mengajak Gereja untuk menggandeng kaum hawa dan membuka pintu kesempatan bagi mereka. Power-with-others merupakan bentuk harapan dalam membangun stuktur baru yang berciri komunal, menghargai adanya keragaman dan perbedaan anggotanya serta memperjuangkan keadilan bagi semua. Pemahaman ini sebenarnya ingin melawan praktik power-over-others dalam Tubuh Gereja Katolik yang ditandai dengan adanya kekuatan untuk mendominasi dan mengontrol yang dilakukan oleh individu atau sekelompok orang. Tidak menutup kemungkinan bahwa konsep ini masih dan terus berjalan dalam kelanggengan yang sulit untuk dipertanyaakan atau diganggu gugat. Adanya kesadaran yang didasari dengan semangat terbuka untuk adanya sebuah pembaruan sangatlah dibutuhkan agar konsep power-over-others secara perlahan menuju power-with-others.
Cara pandang baru yang diperkaya dengan kesadaran adanya rahmat Allah yang mengundang untuk membangun kebersamaan dengan para perempuan (power-with-others), kiranya menjadi modal dalam memperkenalan kebangkitan kaum hawa berhadapan dengan pola pikir androsentrisme. Sejalan dengan arahan Bapa Paus Fransiskus yang menekankan kesempatan perempuan dalam pewartaan peristiwa iman: “…, di dalam Injil, perempuan memiliki peran utama dan  mendasar….Para penginjil hanya menceritakan apa yang terjadi: para wanita adalah saksi pertama. Ini mengatakan kepada kita bahwa Tuhan tidak memilih sesuai dengan kriteria manusia”, Gereja diundang memberikan ruang bagi mereka untuk dapat mengaktualisasikan niat demi pelayanan umat Allah. Dengan demikian, harapan yang muncul adalah bahwa perjuangan dan etos kaum hawa untuk menjadi pelayan Tuhan di sekitar altar dan perayaan-perayaan non-sakramental mendapatkan tempat; dan realitas “saat kaum hawa memimpin” dengan menjadi seorang prodiakones merupakan sesuatu yang seharusnya terjadi. Itu semua demi satu tujuan mulia, yakni: pelayanan kepada Allah dan umat-Nya.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

La présence de Dieu qui accompagne toujours nos vies est un mystère. Sa présence réelle qu'Il soit là ou ici, nous ne pourrons peut-être...