“Misalkan, di
NTT dan Papua,
paroki-paroki
tidak memakai prodiakones.
Budaya
patriarkal yang kuat di sana
menempatkan
perempuan sebagai warga kelas dua”.
Awalan dalam tulisan ini merupakan
bagian sajian utama dalam Majalah Hidup(tahun ke-67, 3 November 2013, hal. 11).
Dengan mengetengahkan tema utama Prodiakones:
Perempuan Pelayan Altar, memicu inspirasi untuk mendiskusikan sebuah
pembicaraan tentang kemanusiaan. Setidaknya bagi saya, tema tersebut membawa
pada isu kesetaraan gender seputar pelayanan di sekitar altar Tuhan dan
pelayanan non-sakramental lainnya.
Prodiakones – sebutan prodiakon (pelayan
laki-laki) bagi kaum hawa – merupakan pelayan di sekitar altar.Mereka adalah
pelayan liturgi awam yang juga memberikan pelayanan non-sakramental. Dalam Pedoman Umum Misale Romawi (PUMR)
artikel 100 ditulis: “…, pelayan awam dapat diberi tugas melayani altar dan
membantu imam serta diakon. Mereka dapat membawa salib, lilin, pedupaan, roti,
anggur dan air. Mereka juga dapat diberi tugas membagikan komuni sebagai
pelayan tak lazim”. Sekalipun dalam teori, kehadiran para pelayan liturgi awam,
termasuk prodiakones, dimintahanya kalau sangat amat dibutuhkan, namun dalam
praktik, kehadiran mereka sangatlah diperlukan. Kehadiran mereka bukan sebatas
tampil di hadapan publik, tetapi hadir secara aktif di sekitar altar dengan
melayani imam dan beberapa pelayanan non-sakramental.
Sebagai asisten imam dan pelayan liturgi
awam, prodiakones memiliki tugas yang sama dengan prodiakon. Mereka diangkat
oleh uskup melalui Surat Keputusan untuk tempat dan jangka waktu tertentu. Dengan
hadir di hadapan publik dan mendaku diri sebagai pelayan Tuhan bagi anggota
jemaat lain menjadikan mereka sebagai “pemimpin” umat.
Konsep “pemimpin” di kalangan masyarakat
dan budaya Indonesia sarat dengan warna patriarkal; dan hal itu juga secara
terselubung merasuk dalam budaya Gereja. Konsep “pemimpin” membawa kepada
sebuah pemahaman bahwa seseorang yang disebut sebagai pemimpin haruslah seorang
laki-laki. Hal tersebut dapat dikaitkan dengan budaya ke-bapak-an, kepala keluarga,
yang menjadi mental budaya mayoritas dalam sistem kemasyarakatan. Pemahaman itu
menjadi semakin komplek bila menghadapkannya dengan sistem patriarkal yang
mewarnai Gereja dengan klerikalisme otoriternya. Dalam titik inilah, kehadiran
para prodiakones sebagai pelayan kaum hawa berada pada situasi ambang batas: di
satu sisi ingin melayani, namun di sisi lain berhadapan dengan sistem dan
budaya yang menafikan mereka!
Persoalan-persoalan yang muncul karena
kehadiran prodiakones di tengah budaya yang kental dengan sistem patriarkal
telah dirasa. Kehadiran perempuan asisten imam yang mendaku diri sebagai jemaat
yang berkurban demi kepentingan Gereja, kini menjadi isu pembicaraan. Banyak
orang, bahkan kaum klerikal Gereja, menilai kehadiran mereka bukanlah sebuah
kemendesakan bagi pemenuhan kebutuhan pelayanan Gereja,alih-alih untuk menutupi alasan utama bahwa mereka tidak layak
untuk menjadi “pemimpin” umat. Dalam hal ini, perhatian utama sebenarnya
terarah pada ketidakadilan gender yang ditujukan pada kaum hawa yang
seyogiannya juga memiliki hak sama dengan kaum adam. Awalan dalam tulisan ini
mengarahkan realitas ketidakadilan itu dalam dua tempat berbeda (di NTT dan
Papua). Bisa saja, kedua tempat tersebut mewakili ratusan Gereja Katolik yang
tersebar di seluruh nusantara.
Saya melihat adanya kebutuhan untuk
mengkaji isu tersebut sebagai kemendesakan untuk menghadirkan paras Gereja yang
adil, setidaknya bagi anggota-anggotanya. Apakah realitas ketidakadilan gender
dalam Gereja menyingkap fakta masih adanya penilaian rendah bagi kaum hawa?
Bukankan mereka yang mendaku diri sebagai prodiakones memiliki hak yang sama
sebagai manusia untuk membaktikan diri bagi Gereja? Sumber rujukan manakah yang
dapat digunakan untuk mendorong terciptanya kesetaraan gender dalam tugas
pelayanan Gereja?
Keterlibatan
kaum hawa
Beberapa pertanyaan di atas mengingatkan
saya pada sosok teolog feminis Asia, Kwok Pui-lan, dan kajian teologisnya
mengenai kehadiran perempuan dalam Gereja. Berawal dari identitasnya sebagai
perempuan Kristen Cina yang hidup di tepian sejarah dan Gereja, ia melihat
tepian sebagai titik berangkat ideal dalam berteologi. Hidup di tengah desakan
dan himpitan sebagai seorang perempuan, memampukannya untuk melihat tepian
secara positif sebagai tempat untuk mengawali perjuangan kajian teologi
feminisnya. Perjuangan yang memuat kajian teologisnya itu secara khusus termuat
dalam Introducing Asian Feminist Theology
yang mengetengahkan tema: Women and the Church
(perempuan dan Gereja). Dalam karyanya itu, ia menarik relevansi kajian
teologis untuk memperjuangkan nilai luhur kaum hawa yang hendak mengabdikan
diri bagi tugas pelayanan Gereja.
Kwok Pui-lan menghargai perjuangan para
perempuan untuk menjadi pelayan seputar altar dan non-sakramental. Kehadiran
mereka merupakan kehadiran pengabdian yang sejatinya ditujukan kepada Tuhan
Yesus dalam Perayaan Ekaristi dan perayaan-perayaan non-sakramental. Sebagai prodiakones,
mereka memberikan diri untuk melayani kehadiran Yang Ilahi agar umat dapat
mengalami keselamatan dalam perayaan rohanidan beberapa pelayanan
non-sakramental. Pui-lan menghargai para prodiakones sebagai individu yang
menghidupi etos pelayanan sebagaimana telah ditunjukkan oleh para perempuan
pada jaman Yesus.
Dengan mengembangkan pendapat para
teolog feminis lain, Pui-lan memandang prodiakones seperti para wanita yang
berada di antara para pengikut yang mendengarkan pengajaran Yesus dan melayani
kelompok itu dengan apa yang mereka miliki. Hal itu mereka lakukan di antara
dua belas murid Yesus yang semuanya adalah laki-laki. Mereka itu adalah Maria
yang disebut Magdalena, Yohana isteri Khuza bendahara Herodes, Susana dan
banyak perempuan lain (Luk.8:2-3). Kisah perempuan lain yang hadir di sekitar
Yesus adalah ibu mertua Simon: “Ibu mertua Simon terbaring karena sakit demam.
Mereka segera memberitahukan keadaannya kepada Yesus.Ia pergi ke tempat
perempuan itu, dan sambil memegang tangannya Ia membangunkan dia, lalu lenyaplah
demamnya. Kemudian perempuan itu melayani mereka” (Mark.1:30-31). Kehadiran
mertua Simon – setelah kesembuhan – untuk melayani Yesus dan komunitas-Nya,
menggambarkan realitas nyata dan kemungkinan bahwa kaum hawa juga memiliki
kesempatan untuk berada serta melayani Yesus sebagaimana yang dilakukan oleh kedua-belas
murid.
Kehadiran kaum hawa di sekitar Yesus
juga terlihat dengan sosok perempuan Samaria (Yoh.4). Perjalanan Yesus dan
kelompok dari Yudea ke Galilea memberikan kesempatan bagi wanita Samaria.
Perjumpaan dengan Yesus merupakan kesempatan berharga baginya di mana ia dapat
mendengarkan pengajaran. Kesempatan untuk berada dekat dengan Yesus memberikan
pengalaman pemaknaan hidup yang menyegarkan jiwanya. Karena keberadaan bersama
dengan Yesus dan mendengarkan pengajaran-Nya, menggerakkan diri untuk
mewartakan kehadiran Orang Nazareth itu ke komunitasnya: “Maka perempuan itu
meninggalkan tempayannya di situ lalu pergi ke kota dan berkata kepada orang-orang
yang di situ:Mari, lihat! Di sana ada seorang yang mengatakan kepadaku segala
sesuatu yang telah kuperbuat. Mungkinkah Dia Kristus itu?” (Yoh.4:28-29).
Pewartaan perempuan Samaria merupakan salah satu bentuk pelayanan-perutusan agar
kabar Yesus didengar oleh banyak orang.
Pengalaman kehadiran kaum hawa di
sekitar Yesus mencapai puncaknya di saat mereka dilibatkan dalam misteri pusat
hidup Yesus. Pelbagai peristiwa itu di antaranya: ketika Maria menerima kabar
gembira dari malaikat Allah bahwa ia akan mengandung dari Roh (Luk.1:26-38);
kehadiran Maria dalam petistiwa mukjizat pertama di Kana (Yoh.2:1-11);
peristiwa penyingkapan Yesus sebagai Mesias oleh pengakuan iman Marta
(Yoh.11:27); di sekitar kematian Yesus pada kayu salib (Mat.27:45-56,
Mrk.15:33-41, Luk.23:44-49,Yoh.19:16b-27); dan peristiwa seputar kebangkitan
Yesus di mana para perempuan-lah yang pertama kali mendapatkan kabar bahwa Ia
bangkit (Mat.28:1-10, Mrk.16:1-8, Luk.24:1-12, Yoh.20:1-10).
Peristiwa-peristiwa tersebut membawa kepada sebuah pemaknaan bahwa dalam jaman
Yesus, peran kaum hawa dalam pelayanan dan pewartaan, memiliki tempat penting. Kehadiran
mereka di seputar hidup Yesus layak untuk diperhitungkan sebagai wujud dari
nilai luhur yang secara struktural dinomor-duakan. Akan tetapi, dengan
memberikan kesempatan untuk hadir bersama dan dengan-Nya, Yesus memperhitungkan
kesejajaran mereka dengan para murid lain yang notabene adalah laki-laki.
Menunjuk pada praktik “penepian” kaum
hawa dalam konteks tugas pelayan sekitar altar dan pelayanan non-sakramental
lainnya menjadi kemendesakan yang perlu dikaji dengan peka. Adanya sistem
patriarkal dalam kemasyarakan dan yang mewarnai Gereja dengan klerikalisme
otoriternya menambah perlunya untuk mengkaji isu gender tersebut. Di beberapa
Gereja, sudah ada keterlibatan kaum hawa untuk melibatkan diri menjadi pelayan
altar, menjadi prodiakones. Namun, tidak dipungkiri bahwa masih banyak Gereja
yang masih memperhitungkan kehadiran mereka hanya karena sistem-sistem yang
membelenggu pola pikir. Akibatnya adalah, etos para kaum hawa untuk mengabdikan
diri sebagai prodiakones pupus seketika karena berhadapan dengan sistem yang
(seharusnya) patut dikaji kelayakannya.
Yang menjadi tantangan ke depan adalah
perlunya menghidupkan kesadaran bahwa kaum hawa sudah selayaknya hadir dan
mendapatkan tempat yang adil. Hal itu sejalan dengan historitas perjalanan
hidup karya Yesus yang memberikan kesempatan kepada mereka. Kesulitannya, harus
ada tekad untuk memulai cara pandang baru ini berhadapan dengan pola pikir
klasik yang rentan bila ditatapkan dengan isu gender dalam Gereja. Untuk itu,
dengan menyadari kemendesakan dalam menghidupkan cara pandang baru, diperlukan
adanya sikap terbuka di tengah kakunya sistem patriarkal dalam mencapai sebuah
transformasi.
Power-with-others
Untuk memperkaya kandungan cara pandang
baru tersebut, saya akan menghadirkan kembali pemikiran Pui-lan. Ia melihat adanya
kemendesakan untuk memperjuangkan hak sama bagi para perempuan yang menjadi prodiakones.
Pui-lan melihat bahwa perempuan Katolik adalah anggota Gereja yang telah
dibaptis. Titik inilah yang seharusnya menjadi perjuangan kesamaan hak dengan
kaum adam karena baptis memampukan mereka dapat berpartisipasi dalam kehidupan
menggereja, baik sebagai pemimpin maupun pelayan.
Dasar pertimbangan lain Pui-lan adalah
bahwa dalam diri setiap orang, Allah telah menganugerahkan rahmat-Nya. Oleh
karena itu, Gereja dituntut untuk terbuka terhadap rahmat Allah yang ada dalam
setiap anggotanya, termasuk kaum hawa. Hal itu tentunya akan menjadi modal bagi
pertumbuhan dan perkembangan Gereja. Sependapat dengan pandangan teolog feminis
lain, Rebera, Pui-lan menekankan bahwa sudah saatnya bagi Gereja untuk
membangun power-with-others. Konsep
ini mau mengajak Gereja untuk menggandeng kaum hawa dan membuka pintu kesempatan
bagi mereka. Power-with-others
merupakan bentuk harapan dalam membangun stuktur baru yang berciri komunal,
menghargai adanya keragaman dan perbedaan anggotanya serta memperjuangkan
keadilan bagi semua. Pemahaman ini sebenarnya ingin melawan praktik power-over-others dalam Tubuh Gereja
Katolik yang ditandai dengan adanya kekuatan untuk mendominasi dan mengontrol
yang dilakukan oleh individu atau sekelompok orang. Tidak menutup kemungkinan
bahwa konsep ini masih dan terus berjalan dalam kelanggengan yang sulit untuk
dipertanyaakan atau diganggu gugat. Adanya kesadaran yang didasari dengan
semangat terbuka untuk adanya sebuah pembaruan sangatlah dibutuhkan agar konsep
power-over-others secara perlahan
menuju power-with-others.
Cara pandang baru yang diperkaya dengan kesadaran
adanya rahmat Allah yang mengundang untuk membangun kebersamaan dengan para
perempuan (power-with-others),
kiranya menjadi modal dalam memperkenalan kebangkitan kaum hawa berhadapan
dengan pola pikir androsentrisme. Sejalan dengan arahan Bapa Paus Fransiskus
yang menekankan kesempatan perempuan dalam pewartaan peristiwa iman: “…, di
dalam Injil, perempuan memiliki peran utama dan mendasar….Para penginjil
hanya menceritakan apa yang terjadi: para wanita adalah saksi pertama.
Ini mengatakan kepada kita bahwa Tuhan tidak memilih sesuai dengan
kriteria manusia”, Gereja diundang memberikan ruang bagi mereka untuk dapat
mengaktualisasikan niat demi pelayanan umat Allah. Dengan demikian, harapan
yang muncul adalah bahwa perjuangan dan etos kaum hawa untuk menjadi pelayan
Tuhan di sekitar altar dan perayaan-perayaan non-sakramental mendapatkan tempat;
dan realitas “saat kaum hawa memimpin” dengan menjadi seorang prodiakones
merupakan sesuatu yang seharusnya terjadi. Itu semua demi satu tujuan mulia,
yakni: pelayanan kepada Allah dan umat-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar