Jumat, 21 April 2017

Renungan Singkat Dehonian (26 Februari 2017)
Yoh 3: 16-21

Sahabat dehonian yang terkasih, setelah beberapa waktu Yesus memulai pelayanan-Nya di bumi, Nikodemus mengakui Yesus ‘sebagai guru yang datang dari Allah’. Terkesan oleh mukjizat-mukjizat yang Yesus lakukan belum lama berselang di Yerusalem, Nikodemus datang malam-malam, untuk menyatakan keyakinannya kepada Yesus dan mempelajari lebih banyak tentang Sang Guru ini. Sebagai tanggapan, Yesus – Sang Guru – memberi tahu Nikodemus suatu kebenaran yang maknanya dalam tentang perlunya seseorang ”dilahirkan kembali” agar dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah. ‘Dilahirkan kembali dalam air dan Roh’ menunjuk pada semangat pembabtisan dalam nama Bapa, Putera dan Roh yang membuat setiap pribadi menjadi manusia baru; manusia yang dibenarkan dan diutus untuk menjadi pewarta keselamatan.
Pada kesempatan itu juga, Yesus mengucapkan kata-kata: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal”. Pernyataan Yesus ini mau mengatakan bahwa kasih Allah itu ditunjukkan juga kepada Nekodemus, yang pada saat itu berhadapan dengan Sang Putera. Dalam hal ini, Nekodemus pun tidak hanya mendengar warta keselamatan, tetapi juga mendapat tawaran untuk ‘meng-amini’ undangan keselamatan.
Betapa menakjubkan prospek yang terbentang di hadapan Nikodemus! Ia bisa menjadi rekan akrab Yesus; dapat secara langsung menyaksikan berbagai aspek kehidupan Yesus. Sebagai seorang penguasa masyarakat Yahudi dan guru di Israel, Nikodemus memiliki pengetahuan yang luas tentang Firman Allah. Ia juga memiliki pemahaman yang tajam, sebagaimana terlihat dari sapaan yang ia gunakan untuk Yesus, yakni ‘Guru, Utusan Allah’. Nikodemus berminat pada perkara-perkara rohani, dan kerendahan hatinya sangatlah luar biasa. Pasti sangat sulit bagi seorang anggota mahkamah tertinggi Yahudi untuk mengakui seorang putera tukang kayu rendahan sebagai pribadi yang diutus oleh Allah! Semua sifat pribadi ini sangat bernilai untuk dapat diteladani bagi mereka semua yang ingin menjadi murid Yesus, termasuk kita semua.
Belajar dari Nikodemus, kita pun diundang untuk datang kepada Yesus dengan membangun relasi intim dengan-Nya. Usaha untuk berada dekat dengan Sang Guru mengingatkan kita pada saat di mana Nekodemus datang malam-malam, memilih waktu yang sepi dan tenang. Gambaran ini sebenarnya menunjuk pada saat tepat di mana kita dapat menjalin relasi dengan Dia, Allah kita.
Pertemuan dengan Tuhan, di mana kita dapat dengan jelas mengalami kehadiran-Nya, dapat dilakukan dengan salah satu cara ini, yakni berdoa. Berdoa merupakan jembatan bagi kita untuk berjumpa dengan Tuhan. Doa merupakan sarana komunikasi yang efektif untuk berdialog dengan Tuhan. Sarana ini sangat murah dan mudah dilakukan. Tapi, sayang kita sering mengabaikannya. Kita terlalu sibuk dengan urusan kita saja; dan lupa untuk sejenak berdoa kepada Tuhan memohon hikmat dan bimbingan-Nya. Oleh sebab itu siapkanlah waktu, kapan, dimana saja dan dalam keadaan apa saja, selalu-lah ingat untuk berdoa kepada Tuhan.
Paulus ketika berbicara tentang doa, ia selalu memberi nasihat, motivasi dan bimbingan supaya setiap orang Kristen pada segala zaman, di semua tempat di seluruh dunia, agar senantiasa berdoa kepada Tuhan. Kepada jemaat di Efesus, Paulus menulis demikian: “…dalam segala doa dan permohonan. Berdoalah setiap waktu di dalam Roh dan berjaga-jagalah di dalam doamu itu dengan permohonan yang tak putus-putusnya untuk segala orang kudus” (Ef 6:18).
Doa adalah tempat dimana kita dapat berkomunikasi dengan Tuhan. Di dalam doa kita bisa bersyukur, bahkan curhat dengan Tuhan. Di saat kita berdoa, Tuhan tahu situasi dan keadaan kita; bahwa kita sedang berusaha, berharap, sedih atau bergembira. Dan saat itulah, Tuhan mengerti bahwa kita sebagai anaknya sedang mengandalkan Dia.
Tuhan memberkati.


Selasa, 18 April 2017





FALL: IBU, TENGOKLAN KAMI!
Analisa Narasi (Labov)
Atas Karya Mutaroh Akmal






1.      Abstraksi
Ragil adalah anak bungsu dari empat bersaudara dalam keluarga Pak Pandi (13). Sebagai seorang anak, ia sangat senang memiliki teman sepermainan. Teman sepermainannya adalah Suci yang rumahnya bersebelahan dengan rumah Ragil (10). Kehadiran Suci dalam keseharian Ragil sungguh memberikan suasana kasih sayang sebagai pengganti kasih sayang orang tuanya yang kadang jarang ditemui.
Pak Pandi dan Bu Pandi adalah orang yang sibuk sehingga mereka jarang sekali memiliki waktu untuk bercengkerama dengan keempat anak mereka (secara berurutan: Darma, Dewi, Meity dan Ragil). Bagi Ragil, ia merindukan kehadiran ayah dan ibunya seperti yang dialami oleh Suci. Keadaan tersebut membuatnya iri terhadap Suci, “Aku malah ingin seperti kamu, Ci” (9). Kebersamaan dengan kedua orang tua merupakan dambaan Ragil dan ketiga kakaknya. Namun karena pulang larut malam dan berangkat pagi-pagi buta, menyebabkan kejengkelan hati dalam diri mereka, yang salah satunya diungkapkan Meity, “Yaa… pulang nggak pulang kan sama saja. Nggak ada bedanya” (12). Bagi Ragil, perjumpaan dengan kedua orang tua merupakan sebuah kerinduan, “Padahal aku kan beneran pengen ketemu Bapak sama Ibu….”; “Buk…. Ragil kangen…. Pengen ditemenin tidur” (15).

2.      Orientasi
Kerinduan untuk mengalami kasih dari orang tua sebagaimana anak-anak kebanyakan, merupakan kerinduan empat bersaudara itu: Darma, Dewi, Meity dan Ragil. Hanya saja, dibutuhkan usaha untuk mencari jalan yang terbaik. Salah satunya adalah usaha yang dilontarkan Dewi, “Hei! Siapa yang tahu besok minggu depan ulang tahun siapa…” (12)? Hal itu disadari Ragil, “Ulang tahunmu, Mbak. Memang kenapa” (12)? Namun karena merasa bahwa hal itu merupakan jalan yang sia-sia, Darma kemudian mengejeknya, “Jangan harap, deh….” (13). Ungkapan itu muncul karena Darma merasa bahwa ayah dan ibu mereka juga tidak merayakan ulang tahunnya, bahkan memberikan kado pun tidak: “Kenapa? Memang bener kan. Ulang tahunku kemaren aja nggak dirayain sama sekali, kok! Dikasih hadiah juga enggak. Ya kan” (13).

3.      Komplikasi
Keesokan harinya, Dewi bangun sangat pagi-pagi sekali agar dapat berbicara dengan ibunya (16) mengenai harapan supaya Pak Pandi dan Bu Pandi merayakan hari ulang tahunnya. Rasanya Dewi tahu bahwa sosok sang ibu merupakan kunci berhasil atau tidaknya rencana. Dengan penuh rengekan, Dewi memohon kepada ibunya, “Bu… ayo, dong! Masaultahku nggak dirayain” (16). Bu Pandi ternyata menolak permintaan Dewi, “Nggak bisa! Berkali-kali juga nggak bisa” (16); “Pokoknya enggak! Titik” (17)! Melihat bahwa sang suami, Pak Pandi, bertanya mengapa mereka berdua ribut, Bu Pandi menolak dengan tegas permintaan Dewi, “Ini si Dewi kepengen ngerayain ultah. Kita kan nggak ada dana buat kayak gituan. Ya kan, Pak” (17)!
Kerinduan untuk mengalami kasih dari kedua orang tua merupakan harapan keempat anak itu, setidaknya diperlihatkan oleh Dewi yang memperjuangkan perayaan hari ulang tahunnya. Kerinduan itu pupus seketika hanya karena masalah ekonomi yang tidak memungkinkan Bu Pandi mengeluarkan uang untuk mengadakan pesta (19).
Ada sebuah harapan, harapan untuk mengalami kasih orang tua ketika keluarga Pak Pandi pindah ke Jogjakarta (26). Usaha untuk menjadi keluarga yang bahagia – setidaknya dalam hal ekonomi – membulatkan niat Pak Pandi dan Bu Pandi untuk memulai usaha di Jogja. Awalnya kelurga itu hanya memiliki rumah kecil seperti warung (32). Namun, karena usaha kerja yang keras, Pak Pandi dan istrinya mampu membeli rumah yang baru dan lebih besar dari sebelumnya (46). Rumah itu kemudian dipakai sebagai usaha warung makan dengan nama “Lesehan Pesona Wisata” (47).
Keluarga itu semakin berkecukupan. Bahkan, pegawai Pesona Wisata bertambah dari 8 orang menjadi 24 orang (48). Bu Pandi menjadi pengelola utama usaha keluarga itu, sedangkan Pak Pandi sendiri lebih mengalah dan memilih untuk menjadi orang nomor dua dalam pengelolaan warung lesehan. Pak Pandi merasa kalah dari istrinya yang mengurusi begitu banyak bisnis, sementara dirinya hanya menunggui lesehan (157).
Kesuskesan keluarga dalam mengelola usaha warung lesehan, memampukan keluarga tersebut membeli rumah yang baru lagi beserta dengan seisinya Hal itu sungguh memberikan kebahagiaan bagi Darma, Dewi, Meity dan terlebih Ragil (67). Kesuksesan itu tidak hanya memberikan dampak positif bagi kehidupan ekonomi keluarga, tetapi juga memiliki dampak negatif. Dampak negatif bagi keluarga adalah bahwa ayah dan ibu mereka semakin sibuk dan sibuk (47). Ketiga kakak Ragil juga sama (47), mereka mencari kesibukan masing-masing sebab tidak ada yang perlu dipikirkan oleh karena keadaan ekonomi yang berkelimpahan. Nampaknya, kehidupan ekonomi yang lebih baik tidak menjamin untuk mengalami kasih orang tua. Hal itu dirasakan oleh Darma, Dewi, Meity dan Ragil. Mereka sibuk sendiri-sendiri sehingga melupakan kebersamaan dalam keluarga.
Kesibukan meliputi keluarga Pak Pandi, terlebih ia dan istrinya. Mereka berdua sangat sibuk karena mengurusi pengelolaan warung lesehan (47). Hal yang sangat kentara terlihat dalam diri Bu Pandi. Sebagai seorang ibu, ia lebih menghabiskan waktu hanya dengan kerjanya dan melupakan betapa pentingnya untuk berada dengan suami serta keempat anaknya. Untuk saat itu, ia sibuk pada persiapan acara promosi warung lesehan Pesona Wisata – diganti nama menjadi “Lesehan Bu Pandi” (100) – dengan mengadakan maraton berskala nasional di Malioboro (86).
Kesibukan kerja dan hasil yang diperoleh pada kenyataannya dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi. Hanya saja, sentuhan sebagai seorang ibu kepada anak-anak dilupakan oleh Bu Pandi. Ia merasa bahwa anak-anaknya sudah besar (87). Ia telah memberi mereka kebutuhan materi yang lebih dari cukup, juga pendidikan yang baik (87). Sesekali ibu mereka pulang ke rumah hanya untuk melihat keadaan rumah, setelah itu meninggalkan anak-anak lagi. “Ibu mau kerja lagi. Kalian rawat rumah baik-baik, ngerti”, perintah Bu Pandi kepada Meity dan Ragil yang kemudian meninggalkan rumah tanpa menoleh lagi (110).
Keadaan ekonomi yang baik karena kesuksesan dalam pengelolaan usaha warung lesehan ternyata juga berakibat buruk bagi keempat anak itu. Bagi Darma, Dewi, Meity dan Ragil, kesibukan orang tua menjauhkan mereka untuk memiliki kesempatan bertemu atau untuk mengalami kasih langsung dari orang tua. Pak Pandi dan Bu Pandi jarang di rumah dan lebih banyak menghabiskan waktu di tempat usaha. Rasanya, harapan keempat anak itu untuk mengalami kasih orang tua, terlebih dari sang ibu, hanyalah harapan belaka. Sepertinya mereka tidak memiliki orang tua yang senantiasa menjaga.
Kesibukan dalam pengelolaan usaha warung lesehan itu ternyata juga memberi dampak negatif pada hubungan perkawinan Pak Pandi dan Bu Pandi. Kesibukan Bu Pandi dalam mencurahkan hampir seluruh waktu, ternyata mengabaikan kehadiran sang suami: “Ibu (Bu Pandi) tidak pernah meminta izin Bapak (Pak Pandi) atau berusaha untuk mendiskusikan dengan Bapak untuk hal apapun juga. Padahal dia seorang istri. Ibu berjalan sendiri” (157). Karena alasan itu, Pak Pandi lebih mencari perempuan lain yang bisa menghargai dan membuatnya merasa benar-benar sebagai seorang suami (157). Keputusan Pak Pandi itu ditentang keras Bu Pandi. “Mereka bertengkar hebat; Penuh dengan kata-kata kotor” (141), hingga akhirnya, pertengkaran tersebut berujung pada perceraian (156).
Perceraian itu ternyata awal dari keruntuhan keluarga. Selang beberapa waktu kemudian, bangunan warung lesehan Bu Pandi akan digusur (148). Ia bersama para pemilik usaha kecil dan menengah yang mendapat peringatan penggusuran melakukan aksi protes kepada pemerintah (149). Namun, usahanya itu tanpa arti setelah mengetahui bahwa aksi tersebut tidak membuahkan hasil. Akhirnya, penggusuran pun terjadi (159). Darma, Dewi, Meity dan Ragil memandangi dinding Pesona Wisata roboh satu persatu. Bu Pandi melihat dengan ratapan tak berdaya (159). Pemerintah memberikan sedikit ganti rugi, tapi itu belum cukup untuk menutupi hutang-hutangnya di bank; setengahnya saja tidak. Bu Pandi terpaksa menjual semua hartanya untuk menutupi hutang-hutang itu dan juga untuk memberikan pesangon pada karyawan (159).

4.      Resolusi
Peristiwa kebangkrutan Bu Pandi memaksanya untuk berpindah, “Besok kita pindah, Rumah ini sudah ibu jual” (159). Melihat hal itu, Darma sebagai anak sulung, lebih memilih untuk tidak ikut dengan ibunya dan berusaha akan hidup mandiri (159). Kini tinggallah Dewi (yang saat itu sedang hamil karena pergaulan bebas), Meity dan Ragil yang bersama dengan Bu Pandi. Mereka tinggal dalam sebuah rumah kecil di Mangkubumi (162). Bu Pandi menggunakan sebagian rumah itu untuk membuka warung makan (162). Di balik peristiwa kebangkrutan itu, sebenarnya Bu Pandi memiliki kesempatan untuk tinggal bersama anak-anaknya. Harapan anak-anak untuk mengalami kasih dari sang ibu berada di depan mata!
Berada pada situasi yang sangat sederhana bersama dengan keempat anaknya, ternyata membentuk sikap dan tindakan Bu Pandi menjadi kasar dan mudah marah. Kemarahan itu memuncak pada Meity yang membuat anak ketiga itu lebih memilih untuk pergi dari ibunya (163-164). “Bagus! Minggat sana! Ibu tidak butuh anak malas seperti kamu!”, teriak Bu Pandi bagai kesetanan atas kepergian Meity (164). Kepergian Meity atas kekasaran dan sikap yang mudah marah itu juga membujuk Dewi untuk pergi (164). Hingga pada akhirnya, Ragil pun juga meninggalkan ibunya: “Tanpa pikir panjang lagi, Ragil melarikan diri. Ia berlari sekuat tenaga hingga nafasnya seolah habis dan lehernya terasa tercekik” (167).

5.      Evaluasi
Meninggalkan Bu Pandi merupakan keputusan bulat keempat anaknya. Darma memang lebih memilih untuk hidup mandiri ketimbang hidup bersama sang ibu (159). Meity tinggal bersama Cakra, teman dekatnya (164). Dewi dan Ragil tinggal bersama dengan kakak laki-laki mereka, Darma.
Lima tahun pun berlalu atas peristiwa itu. Sekarang, Darma sudah menikah, begitu juga dengan Dewi (175). Bahkan Meity telah mendahului mereka berdua (175). Kini tinggallah Ragil yang belum menikah. Kapan ia menyusul menikah seperti kakak-kakanya? Ia sendiri tidak tahu. Semua ia pasrahkan kepada Tuhan. Meski tidak dapat ia pungkiri, terdapat perasaan bimbang dan cemas mengenai hal itu. Ia cemas jika nanti berakhir seperti ayah dan ibunya. Cemas bila menjadi hilang kendali seperti ibunya. Kenangan akan sosok ibu ternyata membekas dalam diri Ragil. Bila mengingatnya, kesedihan dan kebencian menyergapnya. Membuat tubuhnya terasa nyeri. Ia teringat perlakuan ibunya.
Tentang ibu, Ragil mendengar bahwa ibunya tinggal dengan seorang pria (175). Tidak ada yang tahu apakah ibunya itu menikah secara sah atau tidak. Mengingat tentang ibu, memunculkan perasaan sedih dan benci dalam sudut ruang hatinya yang paling gelap. Ia tidak membiarkan orang lain mengetahui kesedihan dan kebencian akan ibunya. Ia menyimpan rapat dan hanya untuk dirinya sendiri (175). Sebenarnya, Ragil-lah yang mampu meredam ketidak-sukaan pada ibunya dibandingkan dengan kakak-kakanya. “Bohong kalau ia tidak ingin pergi. Ia ingin sekali ke sebuah tempat yang bisa membuatnya merasa nyaman. Tapi jika ia pergi, ke mana ia harus pergi? Tak mungkin ia mengikuti kakaknya, Darma, karena ia tidak mau menambah beban kakaknya lagi. Tak mungkin pula ia mengikuti Meity, karena hidupnya juga sudah susah. Ayahnya? Dari lubuk hatinya yang paling dalam, terbesit rasa tidak suka pada ayahnya yang telah meninggalkannya itu. Sebesar rasa benci pada sikap ibunya yang makin tidak sanggup ia hadapi lagi” (166).

6.      Coda
Akhirnya, Ragil tinggal bersama dengan Darma. Ia memilih untuk tetap tidak tinggal dengan ibunya. Bahkan, untuk bertemu dengan ibunya pun ia enggan (175). Ibunya telah memperlakukan Ragil dengan sangat kasar. Hal itulah yang sungguh membekas dalam hati Ragil, seperti juga anak-anak lain yang memiliki luka batin atas tindakan kasar orang tua mereka.
Dalam seluruh kisah, sosok Ragil mewakili ketiga kakaknya yang kehilangan asa untuk mengalami kasih orang tua dalam keluarga. Dengan tinggal bersama Darma, kakaknya tertua, ia mengalami kebahagian karena “tinggal di sebuh tempat yang bisa membuatnya merasa nyaman” (166). Itulah kebahagian seorang anak yang seharusnya ia dapatkan dari ayah dan ibu.






FALL: IBU, TENGOKLAN KAMI!
Analisa Narasi (Biasa)
Atas Karya Mutaroh Akmal








Sinopsis Kisah
Novel ini mengisahkan sebuah perjalanan kehidupan keluarga yang berlangsung selama lima tahun, 1990-1995. Perjalanan itu meliputi pelbagai rintangan dan cobaan dalam hidup berkeluarga. Usaha dan gairah untuk menyejahterakan keluarga dengan hidup dan bekerja keras kadang memiliki dua konsekuensi, yakni: kelimpahan dalam bidang ekonomi; atau bahkan kehancuran rumah tangga yang mengakibatkan terbengkalainya anggota keluarga.
Perjalanan kehidupan keluarga Pak Pandi, yang terdiri dari istri dan keempat anaknya, merupakan pusat dari cerita dalam novel yang berjudul Fall, Ibu Tengoklah Kami! Keluarga Pak Pandi yang terdiri dari Bu Pandi dan keempat anaknya (secara berurutan): Darma, Dewi, Meity dan Ragil, awalnya adalah keluarga yang sederhana. Usaha untuk meningkatkan taraf kehidupan ekonomi keluarga untuk menjadi lebih baik mengharuskan Pak Pandi dan Bu Pandi bekerja keras dan menghabiskan hampir seluruh waktu hanya untuk bekerja.
Gairah untuk bekerja terlihat dalam diri Pak Pandi dan Bu Pandi. Demi kerja, mereka melupakan kewajiban sebagai orang tua, yakni memberikan kasih sayang kepada keempat anak mereka. Berangkat pagi dan pulang larut malam sudah menjadi bagian dari rutinitas pasangan itu. Hal tersebut menyebabkan sedikitnya kesempatan – bahkan tidak ada sama sekali – bagi anak-anak untuk berjumpa dengan kedua orang tua mereka. Bagi Darma, Dewi, Meity dan Ragil, hal tersebut tentunya menjadi kesedihan hati karena tidak adanya kesempatan untuk bercengkrama dengan kedua orang tua. Keadaan itulah yang membuat mereka, terlebih Ragil, berusaha mengisi kerinduan hati dengan mencari teman dekat, Suci.
Persahabatan dengan Suci berakhir ketika Ragil dan keluarganya pindah ke Jogjakarta untuk membangun kehidupan ekonomi keluarga agar lebih baik. Hidup di Jogja dengan tempat tinggal yang sangat sederhana mengharuskan keluarga Pak Pandi hidup dengan se-sederhana mungkin. Niat dan gairah bekerja keras tetap mereka miliki, sekalipun mengorbankan waktu kebersamaan dengan anak-anak. Terlebih Bu Pandi, kesempatan bekerja keras baginya merupakan jalan untuk memiliki hidup yang sukses. Walaupun sudah berpindah tempat tinggal, Pak Pandi dan Bu Pandi tetap saja melupakan tugas mereka untuk meluangkan waktu bercengkrama dengan keempat anak mereka dengan alasan biasa: bekerja!
Keadaan inilah yang bagi anak-anak mereka membuat keputusan untuk mencari teman-teman terdekat sebagai pengganti kehadiran orang tua. Darma lebih memilih sering bermain ke tempat teman-temannya; Dewi memilih untuk pergi ke diskotik yang penuh keramaian sebagai pengganti kesepian hatinya; Meity tertarik dengan kehadiran Cakra; dan Ragil, si bungsu, menaruh hati akan kehadiran Shasa yang umurnya selisih jauh dengan dirinya. Kehadiran orang-orang lain dalam diri keempat anak itu sebenarnya bentuk ungkapan kerinduan hati sebagai pengganti kehadiran orang tua, terlebih sang ibu, atas hidup mereka.
Seiring dengan berjalannya waktu, usaha yang ditekuni Pak Pandi dan Bu Pandi dengan mendirikan warung Lesehan Pesona Wisata menuju kesuksesan. Kesuskesan itu membawa keluarga Pak Pandi menuju kesejahteraan ekonomi yang luar biasa. Mereka memiliki rumah  yang bagus dengan beberapa bangunan-warung Lesehan Pesona Wisata. Namun, kesuksesan itu membutakan Bu Pandi terhadap kehadiran Pak Pandi dan keempat anaknya. Kesuksesan itu membawa Bu Pandi pada kesibukan yang menguras seluruh waktu. Keadaan itu membuat Pak Pandi tidak betah dan mengakhiri hubungan dengan istrinya dan meninggalkannya serta menikah dengan perempuan lain. Bagaimana dengan keempat anaknya? Darma, Dewi, Meity dan Ragil berusaha meredam ketidak-nyamanan bersama dengan ibunya, sekalipun sang ibu sibuk dan bersikap keras.
Terjadilah penggusuran! Penggusuran dari pihak pemerintah menggusur semua bangunan warung lesehan Bu Pandi. Penggusuran itu membuatnya mengalami kebangkrutan, beban hutang pada bank, dan hilangnya semua harta. Pengalaman kejatuhan itu membuat Bu Pandi menjadi semakin kasar terhadap anak-anaknya. Setelah ditinggal pergi oleh suami, pada akhirnya keempat anaknya lebih memilih untuk juga pergi dari ibunya seperti yang dilakukan oleh ayah mereka. Sebenarnya, tinggal Bu Pandi-lah harapan akhir Darma, Dewi, Meity dan Ragil untuk mengalami kasih orang tua. Namun, sikap kasar dan kesibukan kerja yang memenuhi kehidupan sang ibu membuat mereka memupuskan harapan itu. “Ibu, tengoklah kami”, rasanya seruan itu hanya sebatas pada rangkaian kata-kata sebagai bentuk harapan belaka.

1.      Eksposisi
Ragil adalah anak bungsu dari empat bersaudara dalam keluarga Pak Pandi (13). Sebagai seorang anak, ia sangat senang memiliki teman sepermainan. Teman sepermainannya adalah Suci yang rumahnya bersebelahan dengan rumah Ragil (10). Kehadiran Suci dalam keseharian Ragil sungguh memberikan suasana kasih sayang sebagai pengganti kasih sayang orang tuanya yang kadang jarang ditemui.
Pak Pandi dan Bu Pandi adalah orang yang sibuk sehingga mereka jarang sekali memiliki waktu untuk bercengkerama dengan keempat anak mereka. Bagi Ragil, ia merindukan kehadiran ayah dan ibunya seperti yang dialami oleh Suci. Keadaan tersebut membuatnya iri terhadap Suci, “Aku malah ingin seperti kamu, Ci” (9). Kebersamaan dengan kedua orang tua merupakan dambaan Ragil dan ketiga kakaknya (Darma, Dewi dan Meity). Namun karena pulang larut malam dan berangkat pagi-pagi buta, menyebabkan kejengkelan hati dalam diri mereka, yang salah satunya diungkapkan Meity, “Yaa… pulang nggak pulang kan sama saja. Nggak ada bedanya” (12). Bagi Ragil, perjumpaan dengan kedua orang tua merupakan sebuah kerinduan, “Padahal aku kan beneran pengen ketemu Bapak sama Ibu….”; “Buk…. Ragil kangen…. Pengen ditemenin tidur” (15).

2.      Momen yang Menggugah (Inciting Moment)
Kerinduan untuk mengalami kasih dari orang tua sebagaimana anak-anak kebanyakan, merupakan kerinduan empat bersaudara itu. Hanya saja, dibutuhkan usaha untuk mencari jalan yang terbaik. Salah satunya adalah usaha yang dilontarkan Dewi, “Hei! Siapa yang tahu besok minggu depan ulang tahun siapa…” (12)? Hal itu disadari Ragil, “Ulang tahunmu, Mbak. Memang kenapa” (12)? Namun karena merasa bahwa hal itu merupakan jalan yang sia-sia, Darma kemudian mengejeknya, “Jangan harap, deh….” (13). Ungkapan itu muncul karena Darma merasa bahwa ayah dan ibu mereka juga tidak merayakan ulang tahunnya, bahkan memberikan kado pun tidak: “Kenapa? Memang bener kan. Ulang tahunku kemaren aja nggak dirayain sama sekali, kok! Dikasih hadiah juga enggak. Ya kan” (13).
Berhadapan dengan pendapat yang menjatuhkan dari kakaknya, Dewi tidak putus harapan. “Pokoknya aku mo dirayain! Aku mo minta ke Ibu” (13). Hal itu tetap saja disanggah oleh Darma, “Coba aja” (13). Dengan tekad yang bulat dan keinginan yang teguh, Dewi tetap tegar dengan kemauannya, “Lihat ntar” (13)! Sependapat dengan kakanya tertua, namun ada sedikit harapan, Meity menilai bahwa usaha Dewi perlu usaha, “Selamat berusaha, deh” (13).

3.      Komplikasi I
Keesokan harinya, Dewi bangun sangat pagi-pagi sekali agar dapat berbicara dengan ibunya (16) mengenai harapan supaya Pak Pandi dan Bu Pandi merayakan hari ulang tahunnya. Rasanya Dewi tahu bahwa sosok sang ibu merupakan kunci berhasil atau tidaknya rencana. Dengan penuh rengekan, Dewi memohon kepada ibunya, “Bu… ayo, dong! Masaultahku nggak dirayain” (16). Bu Pandi ternyata menolak permintaan Dewi, “Nggak bisa! Berkali-kali juga nggak bisa” (16); “Pokoknya enggak! Titik” (17)! Melihat bahwa sang suami, Pak Pandi, bertanya mengapa mereka berdua ribut, Bu Pandi menolak dengan tegas permintaan Dewi, “Ini si Dewi kepengen ngerayain ultah. Kita kan nggak ada dana buat kayak gituan. Ya kan, Pak” (17)!
Merasa usahanya kurang berhasil, di hari selanjutnya, Dewi melancarkan kembali usaha itu. Kali ini ia menggunakan jalan lain, yakni dengan mengobrak-abrik kamar dan isi lemari di ruang tamu (17). Hal itu dilihat oleh Bu Pandi, sang ibu. Ternyata perbuatan Dewi menyulut emosi Bu Pandi (18). Pertengkaran itu dilihat oleh Pak Pandi yang merasa sejak kemarin hal itu berlanjut hingga sekarang, “Apa sih pagi-pagi dari kemarin kok ribut saja”; “Sudahlah, Bu… dikasih saja apa maunya anak” (19). Permintaan Pak Pandi – yang sebenarnya memberikan celah terkabulnya permintaan Dewi – langsung ditolak oleh Bu Pandi, “Bapak ini gimana, sih? Kan nggak ada dana buat itu, Pak. Mending buat bayar sekolahnya anak-anak dari pada pesta-pesta yang nggak ada manfaatnya” (19)!

4.      Titik Puncak dan Titik Balik (Climax and Turning Point)
Kerinduan untuk mengalami kasih dari kedua orang tua merupakan harapan keempat anak itu, setidaknya diperlihatkan oleh Dewi yang memperjuangkan perayaan hari ulang tahunnya. Kerinduan itu pupus seketika hanya karena masalah ekonomi yang tidak memungkinkan Bu Pandi mengeluarkan uang untuk mengadakan pesta (19).
Ada sebuah harapan, harapan untuk mengalami kasih orang tua ketika keluarga Pak Pandi pindah ke Jogjakarta (26). Usaha untuk menjadi keluarga yang bahagia – setidaknya dalam hal ekonomi – membulatkan niat Pak Pandi dan Bu Pandi untuk memulai usaha di Jogja. Awalnya kelurga itu hanya memiliki rumah kecil seperti warung (32). Namun, karena usaha kerja yang keras, Pak Pandi dan istrinya mampu membeli rumah yang baru dan lebih besar dari sebelumnya (46). Rumah itu kemudian dipakai sebagai usaha warung makan dengan nama “Lesehan Pesona Wisata” (47).
Keluarga itu semakin berkecukupan. Bahkan, pegawai Pesona Wisata bertambah dari 8 orang menjadi 24 orang (48). Bu Pandi menjadi pengelola utama usaha keluarga itu, sedangkan Pak Pandi sendiri lebih mengalah dan memilih untuk menjadi orang nomor dua dalam pengelolaan warung lesehan.  Pak Pandi merasa kalah dari istrinya yang mengurusi begitu banyak bisnis, sementara dirinya hanya menunggui lesehan (157).
Kesuskesan keluarga dalam mengelola usaha warung lesehan, memampukan keluarga tersebut membeli rumah yang baru lagi beserta dengan seisinya, hal itu sungguh memberikan kebahagiaan bagi Darma, Dewi, Meity dan terlebih Ragil (67). Kesuksesan itu tidak hanya memberikan dampak positif bagi kehidupan ekonomi keluarga, tetapi juga memiliki dampak negatif. Dampak negatif bagi keluarga adalah bahwa ayah dan ibu mereka semakin sibuk dan sibuk (47). Ketiga kakak Ragil juga sama (47), mereka mencari kesibukan masing-masing sebab tidak ada yang perlu dipikirkan oleh karena keadaan ekonomi yang berkelimpahan. Nampaknya, kehidupan ekonomi yang lebih baik tidak menjamin untuk mengalami kasih orang tua. Hal itu dirasakan oleh Darma, Dewi, Meity dan Ragil. Mereka sibuk sendiri-sendiri sehingga melupakan kebersamaan dalam keluarga.

5.      Komplikasi II
Kesibukan meliputi keluarga Pak Pandi. Mereka berdua sangat sibuk karena mengurusi pengelolaan warung lesehan (47). Hal yang sangat kentara terlihat dalam diri Bu Pandi. Sebagai seorang ibu, ia lebih menghabiskan waktu hanya dengan kerjanya dan melupakan betapa pentingnya untuk berada dengan suami serta keempat anaknya. Untuk saat itu, ia sibuk pada persiapan acara promosi warung lesehan Pesona Wisata – diganti nama menjadi “Lesehan Bu Pandi” (100) – dengan mengadakan maraton berskala nasional di Malioboro (86).
Kesibukan kerja dan hasil yang diperoleh pada kenyataannya dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi. Hanya saja, sentuhan sebagai seorang ibu kepada anak-anak dilupakan oleh Bu Pandi. Ia merasa bahwa anak-anaknya sudah besar (87). Ia telah memberi mereka kebutuhan materi yang lebih dari cukup, juga pendidikan yang baik (87). Sesekali ibu mereka pulang ke rumah hanya untuk melihat keadaan rumah, setelah itu meninggalkan anak-anak lagi. “Ibu mau kerja lagi. Kalian rawat rumah baik-baik, ngerti”, perintah Bu Pandi kepada Meity dan Ragil yang kemudian meninggalkan rumah tanpa menoleh lagi (110).
Keadaan ekonomi yang baik karena kesuksesan dalam pengelolaan usaha warung lesehan ternyata juga berakibat buruk bagi keempat anak itu. Bagi Darma, Dewi, Meity dan Ragil, kesibukan orang tua menjauhkan mereka untuk memiliki kesempatan bertemu atau untuk mengalami kasih langsung dari orang tua. Pak Pandi dan Bu Pandi jarang di rumah dan lebih banyak menghabiskan waktu di tempat usaha. Rasanya, harapan keempat anak itu untuk mengalami kasih orang tua, terlebih dari sang ibu, hanyalah harapan belaka. Sepertinya mereka tidak memiliki orang tua yang senantiasa menjaga.
Kesibukan dalam pengelolaan usaha warung lesehan itu ternyata juga memberi dampak negatif pada hubungan perkawinan Pak Pandi dan Bu Pandi. Kesibukan Bu Pandi dalam mencurahkan hampir seluruh waktu, ternyata mengabaikan kehadiran sang suami: “Ibu (Bu Pandi) tidak pernah meminta izin Bapak (Pak Pandi) atau berusaha untuk mendiskusikan dengan Bapak untuk hal apapun juga. Padahal dia seorang istri. Ibu berjalan sendiri” (157). Karena alasan itu, Pak Pandi lebih mencari perempuan lain yang bisa menghargai dan membuatnya merasa benar-benar sebagai seorang suami (157). Keputusan Pak Pandi itu ditentang keras Bu Pandi. “Mereka bertengkar hebat; Penuh dengan kata-kata kotor” (141), hingga akhirnya, pertengkaran tersebut berujung pada perceraian (156).
Perceraian itu ternyata awal dari keruntuhan keluarga. Selang beberapa waktu kemudian, bangunan warung lesehan Bu Pandi akan digusur (148). Ia bersama para pemilik usaha kecil dan menengah yang mendapat peringatan penggusuran melakukan aksi protes kepada pemerintah (149). Namun, usahanya itu tanpa arti setelah mengetahui bahwa aksi tersebut tidak membuahkan hasil. Akhirnya, penggusuran pun terjadi (159). Darma, Dewi, Meity dan Ragil memandangi dinding Pesona Wisata roboh satu persatu. Bu Pandi melihat dengan ratapan tak berdaya (159). Pemerintah memberikan sedikit ganti rugi, tapi itu belum cukup untuk menutupi hutang-hutangnya di bank; setengahnya saja tidak. Bu Pandi terpaksa menjual semua hartanya untuk menutupi hutang-hutang itu dan juga untuk memberikan pesangon pada karyawan (159).

6.      Resolusi
Peristiwa kebangkrutan Bu Pandi memaksanya untuk berpindah, “Besok kita pindah, Rumah ini sudah ibu jual” (159). Melihat hal itu, Darma sebagai anak sulung, lebih memilih untuk tidak ikut dengan ibunya dan berusaha akan hidup mandiri (159). Kini tinggallah Dewi (yang saat itu sedang hamil karena pergaulan bebas), Meity dan Ragil yang bersama dengan Bu Pandi. Mereka tinggal dalam sebuah rumah kecil di Mangkubumi (162). Bu Pandi menggunakan sebagian rumah itu untuk membuka warung makan (162). Di balik peristiwa kebangkrutan itu, sebenarnya Bu Pandi memiliki kesempatan untuk tinggal bersama anak-anaknya. Harapan anak-anak untuk mengalami kasih dari sang ibu berada di depan mata.
Berada pada situasi yang sangat sederhana, ternyata membentuk sikap dan tindakan Bu Pandi menjadi kasar dan mudah marah. Kemarahan itu memuncak pada Meity yang membuat anak ketiga itu lebih memilih untuk pergi dari ibunya (163-164). “Bagus! Minggat sana! Ibu tidak butuh anak malas seperti kamu!”, teriak Bu Pandi bagai kesetanan atas kepergian Meity (164). Kepergian Meity atas kekasaran dan sikap yang mudah marah itu juga membujuk Dewi untuk pergi (164). Hingga pada akhirnya, Ragil pun juga meninggalkan ibunya: “Tanpa pikir panjang lagi, Ragil melarikan diri. Ia berlari sekuat tenaga hingga nafasnya seolah habis dan lehernya terasa tercekik” (167).

7.      Kesimpulan
Meninggalkan Bu Pandi merupakan keputusan bulat keempat anaknya. Darma memang lebih memilih untuk hidup mandiri ketimbang hidup bersama sang ibu (159). Meity tinggal bersama Cakra, teman dekatnya (164). Dewi dan Ragil tinggal bersama dengan kakak laki-laki mereka, Darma.
Lima tahun pun berlalu atas peristiwa itu. Sekarang, Darma sudah menikah, begitu juga dengan Dewi (175). Bahkan Meity telah mendahului mereka berdua (175). Kini tinggallah Ragil yang belum menikah. Kapan ia menyusul menikah seperti kakak-kakanya? Ia sendiri tidak tahu. Semua ia pasrahkan kepada Tuhan. Meski tidak dapat ia pungkiri, terdapat perasaan bimbang dan cemas mengenai hal itu. Ia cemas jika nanti berakhir seperti ayah dan ibunya. Cemas bila menjadi hilang kendali seperti ibunya. Kenangan akan sosok ibu ternyata membekas dalam diri Ragil. Bila mengingatnya, kesedihan dan kebencian menyergapnya. Membuat tubuhnya terasa nyeri. Ia teringat perlakuan ibunya.
Tentang ibu, Ragil mendengar bahwa ibunya tinggal dengan seorang pria (175). Tidak ada yang tahu apakah ibunya itu menikah secara sah atau tidak. Mengingat tentang ibu, memunculkan perasaan sedih dan benci dalam sudut ruang hatinya yang paling gelap. Ia tidak membiarkan orang lain mengetahui kesedihan dan kebencian akan ibunya. Ia menyimpan rapat dan hanya untuk dirinya sendiri (175). Sebenarnya, Ragil-lah yang mampu meredam ketidak-sukaan pada ibunya dibandingkan dengan kakak-kakanya. “Bohong kalau ia tidak ingin pergi. Ia ingin sekali ke sebuah tempat yang bisa membuatnya merasa nyaman. Tapi jika ia pergi, ke mana ia harus pergi? Tak mungkin ia mengikuti kakaknya, Darma, karena ia tidak mau menambah beban kakaknya lagi. Tak mungkin pula ia mengikuti Meity, karena hidupnya juga sudah susah. Ayahnya? Dari lubuk hatinya yang paling dalam, terbesit rasa tidak suka pada ayahnya yang telah meninggalkannya itu. Sebesar rasa benci pada sikap ibunya yang makin tidak sanggup ia hadapi lagi” (166).
Akhirnya, Ragil masih tetap tinggal bersama dengan Darma. Ia memilih untuk tetap tidak tinggal dengan ibunya. Bahkan, untuk bertemu dengan ibunya pun ia enggan (175). Ibunya telah memperlakukan Ragil dengan sangat kasar. Hal itulah yang sungguh membekas dalam hati Ragil, seperti juga anak-anak lain yang memiliki luka batin atas tindakan kasar orang tua mereka. Dalam seluruh kisah, sosok Ragil mewakili ketiga kakaknya yang kehilangan asa untuk mengalami kasih orang tua dalam keluarga. Dengan tinggal bersama Darma, kakaknya tertua, ia mengalami kebahagian karena “tinggal di sebuh tempat yang bisa membuatnya merasa nyaman” (166). Itulah kebahagian seorang anak yang seharusnya ia dapatkan dari ayah dan ibu.

La présence de Dieu qui accompagne toujours nos vies est un mystère. Sa présence réelle qu'Il soit là ou ici, nous ne pourrons peut-être...