FALL: IBU, TENGOKLAN
KAMI!
Analisa Narasi (Biasa)
Atas Karya Mutaroh Akmal
Sinopsis Kisah
Novel
ini mengisahkan sebuah perjalanan kehidupan keluarga yang berlangsung selama
lima tahun, 1990-1995. Perjalanan itu meliputi pelbagai rintangan dan cobaan
dalam hidup berkeluarga. Usaha dan gairah untuk menyejahterakan keluarga dengan
hidup dan bekerja keras kadang memiliki dua konsekuensi, yakni: kelimpahan
dalam bidang ekonomi; atau bahkan kehancuran rumah tangga yang mengakibatkan
terbengkalainya anggota keluarga.
Perjalanan
kehidupan keluarga Pak Pandi, yang terdiri dari istri dan keempat anaknya,
merupakan pusat dari cerita dalam novel yang berjudul Fall, Ibu Tengoklah Kami! Keluarga Pak Pandi yang terdiri dari Bu
Pandi dan keempat anaknya (secara berurutan): Darma, Dewi, Meity dan Ragil,
awalnya adalah keluarga yang sederhana. Usaha untuk meningkatkan taraf
kehidupan ekonomi keluarga untuk menjadi lebih baik mengharuskan Pak Pandi dan
Bu Pandi bekerja keras dan menghabiskan hampir seluruh waktu hanya untuk
bekerja.
Gairah
untuk bekerja terlihat dalam diri Pak Pandi dan Bu Pandi. Demi kerja, mereka
melupakan kewajiban sebagai orang tua, yakni memberikan kasih sayang kepada
keempat anak mereka. Berangkat pagi dan pulang larut malam sudah menjadi bagian
dari rutinitas pasangan itu. Hal tersebut menyebabkan sedikitnya kesempatan –
bahkan tidak ada sama sekali – bagi anak-anak untuk berjumpa dengan kedua orang
tua mereka. Bagi Darma, Dewi, Meity dan Ragil, hal tersebut tentunya menjadi
kesedihan hati karena tidak adanya kesempatan untuk bercengkrama dengan kedua
orang tua. Keadaan itulah yang membuat mereka, terlebih Ragil, berusaha mengisi
kerinduan hati dengan mencari teman dekat, Suci.
Persahabatan
dengan Suci berakhir ketika Ragil dan keluarganya pindah ke Jogjakarta untuk
membangun kehidupan ekonomi keluarga agar lebih baik. Hidup di Jogja dengan
tempat tinggal yang sangat sederhana mengharuskan keluarga Pak Pandi hidup
dengan se-sederhana mungkin. Niat dan gairah bekerja keras tetap mereka miliki,
sekalipun mengorbankan waktu kebersamaan dengan anak-anak. Terlebih Bu Pandi,
kesempatan bekerja keras baginya merupakan jalan untuk memiliki hidup yang
sukses. Walaupun sudah berpindah tempat tinggal, Pak Pandi dan Bu Pandi tetap
saja melupakan tugas mereka untuk meluangkan waktu bercengkrama dengan keempat
anak mereka dengan alasan biasa: bekerja!
Keadaan
inilah yang bagi anak-anak mereka membuat keputusan untuk mencari teman-teman
terdekat sebagai pengganti kehadiran orang tua. Darma lebih memilih sering
bermain ke tempat teman-temannya; Dewi memilih untuk pergi ke diskotik yang
penuh keramaian sebagai pengganti kesepian hatinya; Meity tertarik dengan
kehadiran Cakra; dan Ragil, si bungsu, menaruh hati akan kehadiran Shasa yang
umurnya selisih jauh dengan dirinya. Kehadiran orang-orang lain dalam diri
keempat anak itu sebenarnya bentuk ungkapan kerinduan hati sebagai pengganti
kehadiran orang tua, terlebih sang ibu, atas hidup mereka.
Seiring
dengan berjalannya waktu, usaha yang ditekuni Pak Pandi dan Bu Pandi dengan
mendirikan warung Lesehan Pesona Wisata menuju kesuksesan. Kesuskesan itu
membawa keluarga Pak Pandi menuju kesejahteraan ekonomi yang luar biasa. Mereka
memiliki rumah yang bagus dengan
beberapa bangunan-warung Lesehan Pesona Wisata. Namun, kesuksesan itu membutakan
Bu Pandi terhadap kehadiran Pak Pandi dan keempat anaknya. Kesuksesan itu
membawa Bu Pandi pada kesibukan yang menguras seluruh waktu. Keadaan itu
membuat Pak Pandi tidak betah dan mengakhiri hubungan dengan istrinya dan
meninggalkannya serta menikah dengan perempuan lain. Bagaimana dengan keempat
anaknya? Darma, Dewi, Meity dan Ragil berusaha meredam ketidak-nyamanan bersama
dengan ibunya, sekalipun sang ibu sibuk dan bersikap keras.
Terjadilah
penggusuran! Penggusuran dari pihak pemerintah menggusur semua bangunan warung lesehan
Bu Pandi. Penggusuran itu membuatnya mengalami kebangkrutan, beban hutang pada
bank, dan hilangnya semua harta. Pengalaman kejatuhan itu membuat Bu Pandi
menjadi semakin kasar terhadap anak-anaknya. Setelah ditinggal pergi oleh
suami, pada akhirnya keempat anaknya lebih memilih untuk juga pergi dari ibunya
seperti yang dilakukan oleh ayah mereka. Sebenarnya, tinggal Bu Pandi-lah
harapan akhir Darma, Dewi, Meity dan Ragil untuk mengalami kasih orang tua.
Namun, sikap kasar dan kesibukan kerja yang memenuhi kehidupan sang ibu membuat
mereka memupuskan harapan itu. “Ibu, tengoklah kami”, rasanya seruan itu hanya
sebatas pada rangkaian kata-kata sebagai bentuk harapan belaka.
1.
Eksposisi
Ragil
adalah anak bungsu dari empat bersaudara dalam keluarga Pak Pandi (13). Sebagai
seorang anak, ia sangat senang memiliki teman sepermainan. Teman sepermainannya
adalah Suci yang rumahnya bersebelahan dengan rumah Ragil (10). Kehadiran Suci
dalam keseharian Ragil sungguh memberikan suasana kasih sayang sebagai
pengganti kasih sayang orang tuanya yang kadang jarang ditemui.
Pak
Pandi dan Bu Pandi adalah orang yang sibuk sehingga mereka jarang sekali
memiliki waktu untuk bercengkerama dengan keempat anak mereka. Bagi Ragil, ia
merindukan kehadiran ayah dan ibunya seperti yang dialami oleh Suci. Keadaan
tersebut membuatnya iri terhadap Suci, “Aku malah ingin seperti kamu, Ci” (9).
Kebersamaan dengan kedua orang tua merupakan dambaan Ragil dan ketiga kakaknya
(Darma, Dewi dan Meity). Namun karena pulang larut malam dan berangkat
pagi-pagi buta, menyebabkan kejengkelan hati dalam diri mereka, yang salah
satunya diungkapkan Meity, “Yaa…
pulang nggak pulang kan sama saja. Nggak ada bedanya” (12). Bagi Ragil, perjumpaan dengan kedua orang
tua merupakan sebuah kerinduan, “Padahal aku kan beneran pengen ketemu Bapak sama Ibu….”; “Buk…. Ragil kangen….
Pengen ditemenin tidur” (15).
2.
Momen
yang Menggugah (Inciting Moment)
Kerinduan
untuk mengalami kasih dari orang tua sebagaimana anak-anak kebanyakan,
merupakan kerinduan empat bersaudara itu. Hanya saja, dibutuhkan usaha untuk
mencari jalan yang terbaik. Salah satunya adalah usaha yang dilontarkan Dewi,
“Hei! Siapa yang tahu besok minggu depan ulang tahun siapa…” (12)? Hal itu
disadari Ragil, “Ulang tahunmu, Mbak. Memang kenapa” (12)? Namun karena merasa
bahwa hal itu merupakan jalan yang sia-sia, Darma kemudian mengejeknya, “Jangan
harap, deh….” (13). Ungkapan itu
muncul karena Darma merasa bahwa ayah dan ibu mereka juga tidak merayakan ulang
tahunnya, bahkan memberikan kado pun tidak: “Kenapa? Memang bener kan. Ulang tahunku kemaren aja nggak dirayain sama sekali, kok! Dikasih hadiah juga enggak. Ya kan” (13).
Berhadapan
dengan pendapat yang menjatuhkan dari kakaknya, Dewi tidak putus harapan.
“Pokoknya aku mo dirayain! Aku mo minta ke Ibu” (13). Hal itu tetap
saja disanggah oleh Darma, “Coba aja”
(13). Dengan tekad yang bulat dan keinginan yang teguh, Dewi tetap tegar dengan
kemauannya, “Lihat ntar” (13)! Sependapat
dengan kakanya tertua, namun ada sedikit harapan, Meity menilai bahwa usaha
Dewi perlu usaha, “Selamat berusaha, deh”
(13).
3.
Komplikasi
I
Keesokan
harinya, Dewi bangun sangat pagi-pagi
sekali agar dapat berbicara dengan ibunya (16) mengenai harapan supaya Pak
Pandi dan Bu Pandi merayakan hari ulang tahunnya. Rasanya Dewi tahu bahwa sosok
sang ibu merupakan kunci berhasil atau tidaknya rencana. Dengan penuh rengekan,
Dewi memohon kepada ibunya, “Bu… ayo, dong!
Masa’ ultahku nggak dirayain”
(16). Bu Pandi ternyata menolak permintaan Dewi, “Nggak bisa! Berkali-kali juga nggak
bisa” (16); “Pokoknya enggak! Titik”
(17)! Melihat bahwa sang suami, Pak Pandi, bertanya mengapa mereka berdua ribut,
Bu Pandi menolak dengan tegas permintaan Dewi, “Ini si Dewi kepengen ngerayain ultah. Kita kan nggak ada dana buat kayak gituan. Ya kan, Pak” (17)!
Merasa
usahanya kurang berhasil, di hari selanjutnya, Dewi melancarkan kembali usaha
itu. Kali ini ia menggunakan jalan lain, yakni dengan mengobrak-abrik kamar dan
isi lemari di ruang tamu (17). Hal itu dilihat oleh Bu Pandi, sang ibu.
Ternyata perbuatan Dewi menyulut emosi Bu Pandi (18). Pertengkaran itu dilihat
oleh Pak Pandi yang merasa sejak kemarin hal itu berlanjut hingga sekarang,
“Apa sih pagi-pagi dari kemarin kok ribut saja”; “Sudahlah, Bu… dikasih
saja apa maunya anak” (19). Permintaan Pak Pandi – yang sebenarnya memberikan
celah terkabulnya permintaan Dewi – langsung ditolak oleh Bu Pandi, “Bapak ini
gimana, sih? Kan nggak ada dana buat itu, Pak. Mending
buat bayar sekolahnya anak-anak dari pada pesta-pesta yang nggak ada
manfaatnya” (19)!
4.
Titik
Puncak dan Titik Balik (Climax and
Turning Point)
Kerinduan
untuk mengalami kasih dari kedua orang tua merupakan harapan keempat anak itu,
setidaknya diperlihatkan oleh Dewi yang memperjuangkan perayaan hari ulang
tahunnya. Kerinduan itu pupus seketika hanya karena masalah ekonomi yang tidak
memungkinkan Bu Pandi mengeluarkan uang untuk mengadakan pesta (19).
Ada
sebuah harapan, harapan untuk mengalami kasih orang tua ketika keluarga Pak
Pandi pindah ke Jogjakarta (26). Usaha untuk menjadi keluarga yang bahagia –
setidaknya dalam hal ekonomi – membulatkan niat Pak Pandi dan Bu Pandi untuk
memulai usaha di Jogja. Awalnya kelurga itu hanya memiliki rumah kecil seperti
warung (32). Namun, karena usaha kerja yang keras, Pak Pandi dan istrinya mampu
membeli rumah yang baru dan lebih besar dari sebelumnya (46). Rumah itu
kemudian dipakai sebagai usaha warung makan dengan nama “Lesehan Pesona Wisata”
(47).
Keluarga
itu semakin berkecukupan. Bahkan, pegawai Pesona Wisata bertambah dari 8 orang
menjadi 24 orang (48). Bu Pandi menjadi pengelola utama usaha keluarga itu, sedangkan
Pak Pandi sendiri lebih mengalah dan memilih untuk menjadi orang nomor dua
dalam pengelolaan warung lesehan. Pak
Pandi merasa kalah dari istrinya yang mengurusi begitu banyak bisnis, sementara
dirinya hanya menunggui lesehan (157).
Kesuskesan
keluarga dalam mengelola usaha warung lesehan, memampukan keluarga tersebut
membeli rumah yang baru lagi beserta dengan seisinya, hal itu sungguh
memberikan kebahagiaan bagi Darma, Dewi, Meity dan terlebih Ragil (67). Kesuksesan
itu tidak hanya memberikan dampak positif bagi kehidupan ekonomi keluarga,
tetapi juga memiliki dampak negatif. Dampak negatif bagi keluarga adalah bahwa
ayah dan ibu mereka semakin sibuk dan sibuk (47). Ketiga kakak Ragil juga sama
(47), mereka mencari kesibukan masing-masing sebab tidak ada yang perlu
dipikirkan oleh karena keadaan ekonomi yang berkelimpahan. Nampaknya, kehidupan
ekonomi yang lebih baik tidak menjamin untuk mengalami kasih orang tua. Hal itu
dirasakan oleh Darma, Dewi, Meity dan Ragil. Mereka sibuk sendiri-sendiri
sehingga melupakan kebersamaan dalam keluarga.
5.
Komplikasi
II
Kesibukan
meliputi keluarga Pak Pandi. Mereka berdua sangat sibuk karena mengurusi
pengelolaan warung lesehan (47). Hal yang sangat kentara terlihat dalam diri Bu
Pandi. Sebagai seorang ibu, ia lebih menghabiskan waktu hanya dengan kerjanya
dan melupakan betapa pentingnya untuk berada dengan suami serta keempat
anaknya. Untuk saat itu, ia sibuk pada persiapan acara promosi warung lesehan
Pesona Wisata – diganti nama menjadi “Lesehan Bu Pandi” (100) – dengan
mengadakan maraton berskala nasional di Malioboro (86).
Kesibukan
kerja dan hasil yang diperoleh pada kenyataannya dapat meningkatkan
kesejahteraan ekonomi. Hanya saja, sentuhan sebagai seorang ibu kepada
anak-anak dilupakan oleh Bu Pandi. Ia merasa bahwa anak-anaknya sudah besar
(87). Ia telah memberi mereka kebutuhan materi yang lebih dari cukup, juga
pendidikan yang baik (87). Sesekali ibu mereka pulang ke rumah hanya untuk
melihat keadaan rumah, setelah itu meninggalkan anak-anak lagi. “Ibu mau kerja
lagi. Kalian rawat rumah baik-baik, ngerti”,
perintah Bu Pandi kepada Meity dan Ragil yang kemudian meninggalkan rumah tanpa
menoleh lagi (110).
Keadaan
ekonomi yang baik karena kesuksesan dalam pengelolaan usaha warung lesehan
ternyata juga berakibat buruk bagi keempat anak itu. Bagi Darma, Dewi, Meity
dan Ragil, kesibukan orang tua menjauhkan mereka untuk memiliki kesempatan
bertemu atau untuk mengalami kasih langsung dari orang tua. Pak Pandi dan Bu
Pandi jarang di rumah dan lebih banyak menghabiskan waktu di tempat usaha. Rasanya,
harapan keempat anak itu untuk mengalami kasih orang tua, terlebih dari sang
ibu, hanyalah harapan belaka. Sepertinya mereka tidak memiliki orang tua yang
senantiasa menjaga.
Kesibukan
dalam pengelolaan usaha warung lesehan itu ternyata juga memberi dampak negatif
pada hubungan perkawinan Pak Pandi dan Bu Pandi. Kesibukan Bu Pandi dalam
mencurahkan hampir seluruh waktu, ternyata mengabaikan kehadiran sang suami:
“Ibu (Bu Pandi) tidak pernah meminta izin Bapak (Pak Pandi) atau berusaha untuk
mendiskusikan dengan Bapak untuk hal apapun juga. Padahal dia seorang istri.
Ibu berjalan sendiri” (157). Karena alasan itu, Pak Pandi lebih mencari
perempuan lain yang bisa menghargai dan membuatnya merasa benar-benar sebagai seorang suami (157). Keputusan Pak Pandi itu
ditentang keras Bu Pandi. “Mereka bertengkar hebat; Penuh dengan kata-kata
kotor” (141), hingga akhirnya, pertengkaran tersebut berujung pada perceraian
(156).
Perceraian
itu ternyata awal dari keruntuhan keluarga. Selang beberapa waktu kemudian,
bangunan warung lesehan Bu Pandi akan digusur (148). Ia bersama para pemilik
usaha kecil dan menengah yang mendapat peringatan penggusuran melakukan aksi
protes kepada pemerintah (149). Namun, usahanya itu tanpa arti setelah
mengetahui bahwa aksi tersebut tidak membuahkan hasil. Akhirnya, penggusuran
pun terjadi (159). Darma, Dewi, Meity dan Ragil memandangi dinding Pesona
Wisata roboh satu persatu. Bu Pandi melihat dengan ratapan tak berdaya (159).
Pemerintah memberikan sedikit ganti rugi, tapi itu belum cukup untuk menutupi
hutang-hutangnya di bank; setengahnya saja tidak. Bu Pandi terpaksa menjual semua
hartanya untuk menutupi hutang-hutang itu dan juga untuk memberikan pesangon
pada karyawan (159).
6.
Resolusi
Peristiwa
kebangkrutan Bu Pandi memaksanya untuk berpindah, “Besok kita pindah, Rumah ini
sudah ibu jual” (159). Melihat hal itu, Darma sebagai anak sulung, lebih
memilih untuk tidak ikut dengan ibunya dan berusaha akan hidup mandiri (159). Kini
tinggallah Dewi (yang saat itu sedang hamil karena pergaulan bebas), Meity dan
Ragil yang bersama dengan Bu Pandi. Mereka tinggal dalam sebuah rumah kecil di
Mangkubumi (162). Bu Pandi menggunakan sebagian rumah itu untuk membuka warung
makan (162). Di balik peristiwa kebangkrutan itu, sebenarnya Bu Pandi memiliki
kesempatan untuk tinggal bersama anak-anaknya. Harapan anak-anak untuk
mengalami kasih dari sang ibu berada di depan mata.
Berada pada
situasi yang sangat sederhana, ternyata membentuk sikap dan tindakan Bu Pandi
menjadi kasar dan mudah marah. Kemarahan itu memuncak pada Meity yang membuat
anak ketiga itu lebih memilih untuk pergi dari ibunya (163-164). “Bagus! Minggat sana! Ibu tidak butuh anak malas
seperti kamu!”, teriak Bu Pandi bagai kesetanan atas kepergian Meity (164). Kepergian
Meity atas kekasaran dan sikap yang mudah marah itu juga membujuk Dewi untuk
pergi (164). Hingga pada akhirnya, Ragil pun juga meninggalkan ibunya: “Tanpa
pikir panjang lagi, Ragil melarikan diri. Ia berlari sekuat tenaga hingga
nafasnya seolah habis dan lehernya terasa tercekik” (167).
7.
Kesimpulan
Meninggalkan
Bu Pandi merupakan keputusan bulat keempat anaknya. Darma memang lebih memilih
untuk hidup mandiri ketimbang hidup bersama sang ibu (159). Meity tinggal
bersama Cakra, teman dekatnya (164). Dewi dan Ragil tinggal bersama dengan
kakak laki-laki mereka, Darma.
Lima
tahun pun berlalu atas peristiwa itu. Sekarang, Darma sudah menikah, begitu
juga dengan Dewi (175). Bahkan Meity telah mendahului mereka berdua (175). Kini
tinggallah Ragil yang belum menikah. Kapan ia menyusul menikah seperti
kakak-kakanya? Ia sendiri tidak tahu. Semua ia pasrahkan kepada Tuhan. Meski
tidak dapat ia pungkiri, terdapat perasaan bimbang dan cemas mengenai hal itu.
Ia cemas jika nanti berakhir seperti ayah dan ibunya. Cemas bila menjadi hilang
kendali seperti ibunya. Kenangan akan sosok ibu ternyata membekas dalam diri
Ragil. Bila mengingatnya, kesedihan dan kebencian menyergapnya. Membuat
tubuhnya terasa nyeri. Ia teringat perlakuan ibunya.
Tentang
ibu, Ragil mendengar bahwa ibunya tinggal dengan seorang pria (175). Tidak ada yang
tahu apakah ibunya itu menikah secara sah atau tidak. Mengingat tentang ibu,
memunculkan perasaan sedih dan benci dalam sudut ruang hatinya yang paling
gelap. Ia tidak membiarkan orang lain mengetahui kesedihan dan kebencian akan
ibunya. Ia menyimpan rapat dan hanya untuk dirinya sendiri (175). Sebenarnya,
Ragil-lah yang mampu meredam ketidak-sukaan pada ibunya dibandingkan dengan
kakak-kakanya. “Bohong kalau ia tidak ingin pergi. Ia ingin sekali ke sebuah
tempat yang bisa membuatnya merasa nyaman. Tapi jika ia pergi, ke mana ia harus
pergi? Tak mungkin ia mengikuti kakaknya, Darma, karena ia tidak mau menambah
beban kakaknya lagi. Tak mungkin pula ia mengikuti Meity, karena hidupnya juga
sudah susah. Ayahnya? Dari lubuk hatinya yang paling dalam, terbesit rasa tidak
suka pada ayahnya yang telah meninggalkannya itu. Sebesar rasa benci pada sikap
ibunya yang makin tidak sanggup ia hadapi lagi” (166).
Akhirnya, Ragil
masih tetap tinggal bersama dengan Darma. Ia memilih untuk tetap tidak tinggal
dengan ibunya. Bahkan, untuk bertemu dengan ibunya pun ia enggan (175). Ibunya
telah memperlakukan Ragil dengan sangat kasar. Hal itulah yang sungguh membekas
dalam hati Ragil, seperti juga anak-anak lain yang memiliki luka batin atas
tindakan kasar orang tua mereka. Dalam seluruh kisah, sosok Ragil mewakili
ketiga kakaknya yang kehilangan asa untuk mengalami kasih orang tua dalam
keluarga. Dengan tinggal bersama Darma, kakaknya tertua, ia mengalami
kebahagian karena “tinggal di sebuh tempat yang bisa membuatnya merasa nyaman”
(166). Itulah kebahagian seorang anak yang seharusnya ia dapatkan dari ayah dan
ibu.