Kamis, 16 Juli 2020


Un jour de sabbat, Jésus vint à passer à travers des champs de blé. Ses disciples eurent faim et se mirent à arracher des épis et à les manger.
(Mt 12, 1)


Parce qu'ils avaient faim, les disciples avaient arraché des épis pour les manger. Le problème c'est que c'était un jour de Sabbat. Ce jour-là, tout travail est interdit. Les pharisiens ne manquent pas de le signaler à Jésus.

C'est vrai que la loi du repos absolu avait été donnée par Dieu. Il s'agissait pour lui d'éduquer son peuple et de le faire grandir. Le Sabbat (samedi) était vraiment le jour du Seigneur.

Malheureusement, les pharisiens n'ont rien compris. Ils sont sans doute très respectueux de la loi. Mais leur cœur est loin de Dieu. Alors, Jésus voudrait les inviter à faire un pas de plus sur le chemin de la conversion. Il n'est pas venu abolir la loi mais l'accomplir. Observer des préceptes ne suffit pas. Le plus important c'est que toute notre vie soit remplie de l'amour qui est en Dieu. Pour cela, dans sa première épitre aux corinthiens, saint Paul quand il parle de l’amour fraternel, dit : "Si je n'ai pas l'amour, je ne suis rien" (1 Co 13).

Aux yeux de Dieu, nous ne sommes pas seulement des "observants" mais des fils qui reproduisent l'image de son Fils bien-aimé. C'est son amour que nous devons prendre au sérieux dans les petites choses de la vie. Il s'agit de passer du devoir à l'amour, de la loi à la présence aimante.


Sabtu, 11 Juli 2020


Homili Minggu Biasa ke-XV

Menumbuhkan Benih Sabda

Yes 55: 10-11; Rom 8: 18-23
Mat 13: 1-23
Pada saat saya masih kecil, sebagian besar waktu bermain, secara khusus di waktu sore, saya habiskan bersama dengan teman-teman. Tempat bermain favorit kami adalah di area persawahan padi yang letaknya sangat dekat dengan perumahan penduduk. Menelusuri jalan-jalan kecil, memancing ikan dan belut, bermain layang-layang merupakan bagian dari kegiatan yang kami buat. Karena sangat begitu dekat dengan situasi area persawahan padi, saya mengamati bahwa keberadaan air memang sesuatu hal yang sangat penting bagi para petani. Ketika musim hujan tiba, di mana air hujan berlimpah dan didukung dengan sistem irigasi yang memadai, membuat para petani tahu bahwa itulah saat untuk menanam padi. Air sebagai bagian dari material alami memberikan efek konkrit bagi proses pertumbuhan padi karena dengan mengairi, ia juga membawa nutrisi yang dibutuhkan. Maka, jika itu semua berlangsung dengan baik, kurang lebih tiga bulan kemudian, musim panen akan tiba.
Dari pengalaman itu, saya kemudian dapat memahami arti penting air hujan dan salju sebagaimana yang disebutkan dalam bacaan pertama tadi. Keduanya menjadi sumber air untuk proses pertumbuhan tanaman dan pada akhirnya memberikan makanan, yakni roti sebagai sumber makanan yang dibutuhkan oleh manusia. Apa yang turun dari langit, yakni air, memberikan pengaruh atau efek nyata. Demikianlah, Yesaya menggambarkan itu sebagai Firman yang keluar dari mulut Allah. Sebagai penyalur sada Allah, nabi berkata: “Demikianlah firman-Ku yang keluar dari mulut-Ku: ia tidak akan kembali kepada-Ku dengan sia-sia, tetapi ia akan melaksanakan apa yang Kukehendaki, dan akan berhasil dalam apa yang Kusuruhkan kepadanya”.
Firman Allah yang keluar dari mulut Allah, di mana Firman itu bertindak aktif dengan memberikan efek nyata, yakni melaksanakan apa yang dikehendaki Allah dan akan berhasil dalam apa yang disuruhkan kepadanya, tak lain menunjuk pada Firman Allah yang menjadi Manusia. Dalam hal ini, Yohanes dalam bagian awal injilnya memberi pewartaan: Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah. Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran” (Yoh 1, 1-2, 14). Dia-lah Yesus Kristus, yang datang ke dunia, masuk ke dalam sejarah manusia, tinggal di tengah manusia, untuk melaksanakan kehendak Bapa dan untuk keselamatan manusia. Pelaksanaan kehendak Bapa yang berbuah pada keselamatan manusia, ditunjukkan-Nya melalui sabda dan karya, hingga pada pengorbanan hidup-Nya di salib. Pelaksanaan kehendak Bapa dan itu berbuah pada keselamatan manusia pada akhirnya menjadi bentuk konkrit dari misi-Nya, yakni menghadirkan Kerajaan Allah di dunia.
Orang-orang yang percaya dalam nama-Nya diselamatkan, yakni mereka yang berkat ke-Putera-an-Nya diangkat menjadi anak-anak Allah. Mereka adalah kita, ya, kita, bagian dari mereka yang percaya pada Sabda yang menjadi Manusia itu. Atas dasar pengangkatan diri kita sebaga anak-anak Allah, Yesus pun mengundang kita untuk melanjutkan misi-Nya, yakni menghadirkan Kerajaan Allah yang membawa keselamatan di dunia kita sekarang ini. Misi itu sebuah panggilan untuk mewujudkan dalam tindakan konkrit sabda (dan juga ajaran) Yesus sendiri yang menghadirkan keselamatan dan kedamian. Memang, untuk melaksankannya, tentu bukan hal yang mudah. Ibarat benih yang tumbuh dalam beberapa situasi atau keadaan, sebagaimana dalam Injil pada hari ini, Kristus ingin mengatakan bahwa demikianlah dengan situasi dalam hidup kita; bahwa ada selalu tantangan untuk menumbuhkan benih dari Sabda Kristus. Dari tiga situasi pertama dari benih, itu mewakili dua tantangan berkaitan dengan pertumbuhan benih Sabda Tuhan, yakni tantangan dari dalam diri dan dari luar.
Tantangan dari dalam diri menunjuk pada keadaan di mana orang berhadapan dengan kurangnya pengenalan dan pemahaman yang mendalam tentang Sabda Krustus. Itu berdampak pada tidak adanya niat untuk mewujudkan sabda Kristus yang sudah ia dengar dalam hidup. Itulah gambaran benih yang ditaburkan di pinggir jalan.
Tantangan dari luar menunjuk pada keadaan di mana orang berhadapan dengan keadaan di mana ia takut untuk memperjuangkan sabda Tuhan, dengan alasan-alasan dari luar sehingga membuatnya untuk meninggalkan Kristus dan sabda-Nya. Itulah gambaran benih yang ditaburkan di tanah yang berbatu-batu. Tantangan dari luar ini juga menunjuk pada keadaan di mana orang tunduk pada tawaran akan kemewahan dan material duniawi di mana itu membawanya kepada pemahaman bahwa harta di dunia ini adalah hal yang penting bagi keselamatan jiwa. Inilah yang kemudian bisa membuat sabda yang sudah tertanam dalam dirinya, tidak dapat berbuah karena ia lebih mencari kepentingan duniawi. Inilah gambaran benih yang ditaburkan di tengah semak duri.
Namun, ada hal yang berbeda dengan benih yang jatuh di tanah yang baik. Sebagai benih yang tumbuh, pasti juga berhadapan dengan tantangan, bagaimana ia tetap harus memunculkan tunas dan daun, bagaimana ia tetap harus mencari air dan cahaya; demikianlah benih itu, di tengah perjuangannya, ia bisa tumbuh dan menghasilkan buah. Inilah gambaran bagaimana orang-orang kristiani, di tengah situas dunia yang penuh tantangan, baik itu dari dalam maupun luar, tetap berjuang untuk mengkonkritkan sabda dan ajaran Kristus agar memberikan buah keselamatan dan kedamaian bagi dunia dan sesama yang berada di sekitarnya. Dan bagi orang-orang ini, akan ada kemuliaan yang akan dinyatakan kepada mereka, yakni sebagai anak-anak Allah yang sejati, dan itulah yang ditekankan oleh Santo Paulus dalam suratnya dalam bacaan kedua.
Dan saya yakin dengan penuh harap bahwa, di antara orang-orang ini, yakni orang-orang dari gambaran benih yang tumbuh di tanah yang baik meski tetap menghadapi tantangan dalam kehidupan; (di antara orang-orang ini) ada kita di dalamnya.
Amin.

Rabu, 24 Juni 2020


Menemukan Sebuah Makna Kebaikan

Matius 8: 1-4.

Kisah penyembuhan yang dibuat Yesus dalam Injil hari ini mengingatkan bahwa ada selalu rahmat di tengah penderitaan: bahwa Allah tidak membiarkan umat-Nya, bahwa Ia berserta dan bersama umat-Nya, bahwa ada kasih yang selalu diberikan kepada umat-Nya. Allah yang begitu menaruh perhatian ini, kita kenal dalam seorang Pribadi yang bergitu Agung, Dia-lah Yesus Kristus, seorang Pribadi yang hadir di tengah sejarah manusia. Pribadi ini adalah Allah sendiri yang hadir di tengah umat-Nya. Tujuannya apa? Tak lain di antaranya adalah bahwa Ia ingin tinggal bersama manusia. Kebersamaan dengan Pribadi Ilahi inilah yang kemudian mendatangkan rahmat; dan rahmat itulah yang menjadi salah satu kisah dalam Injil pada hari ini di mana Ia menyembuthkan orang yang menderita penyakit kusta.
Ada hal yang menarik jika kita mengingat ayat ke-empat dalam Injil hari ini. Setelah disembuhkan dari sakitnya, lalu Yesus berkata kepada orang itu: “Ingatlah, jangan engkau memberitahukan hal ini kepada siapapun, tetapi pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam dan persembahkanlah persembahan yang diperintahkan Musa, sebagai bukti bagi mereka”. Apa yang diperintahkan Yesus ini mengundang orang yang baru disembuhkan itu untuk memegang perintah Musa. Ini dapat kita temukan dalam kitab Imamat bab 13. Intinya adalah bahwa untuk mendapat pengakuan secara publik, orang yang baru sembuh itu harus pergi ke hadapan imam, karena menurut hukum, imamlah yang harus memeriksanya dan memproklamirkan jika ia benar-benar telah sembuh. Dengan demikian, ia pun dapat diterima kembali ke dalam komunitas atau masyarakat. Hal ini mengingat bahwa dalam masyarakat pada waktu itu, orang yang menderita pengyakit kusta harus diasingkan. Orang melihat bahwa penyakit itu sebagai bentuk dari kenajisan.
Dari apa yang diperintahkan oleh Yesus kita dapat melihat bahwa Tuhan kita adalah contoh orang Yahudi yang sejati. Dia memberikan keteladanan dalam mentaati hukum Musa karena Ia melihat bahwa ada nilai-nilai kebaikan yang terkandung di dalamnya. Dengan menunjukkan diri kepada imam, sebagai bagian dari hukum, Yesus melihat bahwa orang itu pada akhirnya dapat diterima kembali oleh masyarakat dan keluarga. Mengapa? Karena ia mendapatkan pengakuan secara resmi dari pejabat keagamaan. Selain menyembuhkan, ternyata Yesus pun memberikan pengajaran kepada orang itu, untuk menjadi umat Allah yang setia, yakni dengan mematuhi perintah-Nya yang diajarkan Musa. Tentunya, satu hal yang menjadi pertimbangan Yesus dalam pelaksanaan hukum ini adalah bahwa ada nilai-nilai kebaikan yang terkandung di dalamnya, secara khusus bagi orang yang baru disembuhkan itu.
Melaksanakan perintah Allah sebagaimana yang disampaikan oleh Musa merupakan salah satu bentuk ketaatan Tuhan Yesus sebagai orang Yahudi yang sejati. Inilah yang kemudian ia ajarkan kepada orang yang disembuhkan-Nya. Hal ini tentunya juga menginspirasi bagi kita untuk mengingat kembali beberapa peraturan dalam Gereja yang menjadi pendukung dalam kehidupan beriman. Kita sebut misalnya ada lima perintah Gereja yang tentunya kita semua mengingatnya. Terinspirasi pada Injil hari ini, kita pun diundang untuk melaksanakan salah satu bagian dari peraturan Gereja Katolik, yakni lima perintah Gereja. Ada nilai-nilai yang terkandung di dalamanya sehingga itu bukan hanya sekadar perintah belaka. Gereja menawarkan agar dalam melaksanakan itu, kita pun terbantu untuk dapat menjalin relasi dengan Allah dan untuk menghidupi iman dalam persektuan umat. Namun, sebelum jauh masuk ke dalamnya ada satu pertanyaan: “Masihkah kita ingat apa saja lima perintah Gereja itu”?

Semoga rahmat Hati Kudus Yesus, selalu merajai di hati kita. Amin!

Sabtu, 25 April 2020


Perjalanan ke Emaus
Sebuah undangan menjadi saksi Kristus

Kis 2 : 14. 22b-28 ; 1Ptr 1 : 17-21
Luk 24 : 13-35

Kleopas, itulah nama dari salah satu dari kedua murid yang berjalan menuju Emaus. Narasi dalam Injil yang baru saja kita dengar ini mendiskripsikan perjumpaan perjalanan dua murid ke Emaus ketika mereka bertemu dan berjalan bersama Yesus yang sudah bangkit. Dikisahkan bahwa mereka tidak mengenali Yesus. Dan dalam perjalanan itu, mereka mencurahakan kesedihan mereka seputar peristiwa-peristiwa yang belum lama terjadi berkaitan dengan Yesus, Guru mereka. Mereka menceritakan tentang orang dan kepada orang yang sama, yakni Yesus. Mereka kemudian membujuk-Nya untuk tinggal bersama mereka, dan akhirnya mereka mengenali Dia pada saat acara makan bersama.
Meskipun dapat dikatakan bahwa pokoh bahasan utamanya adalah membuktikan peristiwa kebangkitan melalui penampakan atau kemunculan Yesus, namun narasi itu tampaknya tidak menekankan secara radikal pembuktian itu. Di lain pihak, narasi ini dapat dipahami atau dapat dikatakan, menawarkan suatu pemaparan tentang isu penting, yang secara khusus berfokus pada pertanyaan : “Bagaimana seseorang mengenali Kristus yang bangkit dan kemudian bersaksi tentang-Nya”? Dapat dikatakan bahwa narasi Emaus berkaitan dengan proses kesadaran kedua murid, dari keputusasaan karena kematian Kristus menuju keimanan akan kebangkitan-Nya. Pengalaman terhadap Yesus, yakni keputusan iman, membawa kedua murid itu untuk percaya bahwa Guru mereka sungguh bangkit. Itu membuat mereka tergerak untuk kembali ke Yerusalem dan bertemu dengan kesebelas murid yang lain.
Dalam perjumpaan dengan para murid yang lain, mereka menceriterakan apa yang terjadi di tengah jalan, dan bagaimana mereka mengenal Yesus pada waktu Ia memecah-mecahkan roti. Mereka berbagi pengalaman iman. Dapat dikatakan bahwa itu menjadi bentuk kesaksian yang menguatkan para murid yang lain tentang kebangkitan Yesus. Dalam bacaan pertama pada hari ini, kita mendengar Santo Petrus dan para rasul, dipenuhi dengan Roh Kudus, berbicara di hadapan banyak orang yang berkumpul di Yerusalem. Mereka bangkit dan menyatakan iman kepada Kristus yang Bangkit : Kristus yang sama yang telah mati di kayu Salib tidak tetap mati dan di dalam kubur, tetapi Ia telah bangkit dari antara orang mati. Bahkan, Petrus pun semakin radikal dalam mewartakan Krsitus yang bangkit ini, secara khusus dalam suratnya yang barus saja kita dengar tadi ; Kristus sebagai sumber keselamatan bagi umat manusia berkat pengorbanan-Nya.
Kita kembali dengan narasi perjalanan kedua murid ke Emaus. Narasi ini menunjuk pada pertumbuhan rohani kedua murid, yang kemudian dipandang sebagai suatu model perjalanan atau peziarahan seorang murid menuju keimanan yang lebih dalam, dan kembalinya mereka ke Yerusalam untuk memberikan kesaksian, merupakan sebuah jalan untuk membantu orang lain yang melakukan perjalanan yang sama. Saya memandang bahwa di sini terdapat makna spiritual dari narasi ini. Singkatnya, jika kita menempatkannya dalam kehadiran Gereja sekarang ini, narasi itu memuat sebuah panggilan bagi setiap umat kristiani untuk memberikan kesaksian bagi umat kristiani lainnya, atau bahkan juga untuk dunia.
Panggilan untuk memberi kesaksian tentang iman ini, saya teringat dengas seorang romoIndonesia yang bernama Romo Paulus Sarmono. Sekarang ia adalah anggota dari dewan propinsi Indonesia. Selama hampir selama satu tahun, kami berkerja di sebuah paroki yang sama. Hal inspiratif yang saya dapatkan dari pribadi ini adalah bagaimana ia menjadi pewarta kristiani dengan mempromosikan semangat bahwa Tuhan mencintai dunia; dan dunia ini adalah manusia dalam alam juga. Romo ini, dengan kapasitas yang dimiliki, mempromosikan pupuk organik untuk menggantikan pupuk kimia. Banyak umat yang tertarik dan belajar darinya. Dan itu, tidak hanya umat katolik, tetapi juga ada orang islam dan hindu yang datang ke paroki untuk belajar darinya. Satu pertanyaan pernah saya ajukan padanya: “Romo, apa yang menjadi salah satu tujuan Anda melakukan itu”? Dia menjawab saya: “Dengan melakukan itu, saya dapat mewartakan Kristus kepada semua orang”.
Sahabat yang terkasih, mengkonkritkan semangat spiritual dari kisah atau narasi dua murid dalam perjalanan ke Emaus ini merupakan sebuah panggilan bagi kita sebagai orang-orang yang percaya pada Kristus. Jika kedua murid itu memberikan kesaksian tentang Yesus yang bangkit kepada para rasul, maka kita pun diundang untuk memberi kesaksian yang sama pada jaman ini. Tentunya, hal itu dengan kapasitas dan cara yang berbeda satu dengan yang lain, karena Allah memberikan rahmat yang beragam dalam diri kita masing-masing.

Jumat, 10 April 2020


Renungan: Pemakaman Yesus Kristus


Meneladan Yusuf dari Arimatea

Yusuf akan menjadi penduduk Yerusalem pada saat kematian Yesus, tetapi ia dilahirkan dan hidup sebelumnya di kota Yudea yang disebut Arimatea. Letak secara tepat Arimatea ini masih menjadi bahan perdebatan, namun beberapa ahli menempatkannya di daerah Ramathaim-Zophim di wilayah perbukitan Efraim, di mana di sana nabi Samuel dilahirkan.
Yusuf dari Arimatea adalah salah satu anggota Sanhedrin (dewan Yahudi yang sangat menonjol dan terhormat dan dipimpin oleh para imam besar). Tujuh puluh satu anggota Sanhedrin adalah orang-orang terkaya dan terkuat di Yerusalem dan di wilayah sekitarnya. Matius menyebut bahwa Yusuf adalah seorang yang kaya. Alkitab memang tidak memberikan indikasi apa yang ia lakukan untuk mencari nafkah, namun, dari informasi yang didapat menyatakan bahwa Yusuf adalah seorang pedagang barang-barang logam.
Informasi dari Alkitab yang dapat membantu kita untuk mengenal pribadi ini adalah bahwa Injil mengkonfirmasi Yusuf sebagai murid Yesus Kristus. Meskipun dalam hal ini, Yohanes menekankan bahwa Yusuf menunjukkan jati dirinya sebagai murid dengan cara diam-diam karena takut kepada orang-orang Yahudi (Yoh 19: 38) sampai pada pemakaman Kristus.
Untuk memastikan Yesus menerima pemakaman yang layak, Yusuf dari Arimatea dengan berani meminta Pilatus untuk mendapatkan hak pemakaman jenazah Yesus. Keinginannya itu berhadapan dengan risiko. Dia tidak hanya mengambil risiko kenajisan ritual dengan memasuki tempat para penyembah berhala (orang-orang Romawi pada waktu itu), tetapi bersama dengan Nikodemus, anggota Sanhedrin lainnya, ia juga berisiko mencemari dirinya di bawah hukum Musa, dengan menyentuh jenazah. Meski berisiko, namun ia menunjukkan itu sebagai kasih tulusnya bagi Yesus, seorang Pribadi yang telah menyentuh seluruh kemanusiannya.
Sabahat yang terkasih, pelajaran hidup dari Yusuf Arimatea yang dapat kita renungkan di sini adalah kadang-kadang iman kita kepada Yesus Kristus pun sangat menuntut pengorbanan dan risiko. Tidak diragukan bahwa Yusuf akan dijauhi oleh teman-temannya karena merawat tubuh Yesus. Namun, ia tetap mengikuti apa yang menjadi kata hati atau keyakinannya. Melakukan hal yang benar bagi Allah dapat mendatangkan penderitaan dan pengorbanan dalam hidup ini, tetapi itu akan membawa imbalan kekal di kehidupan selanjutnya.
Amin.



Rabu, 08 April 2020


Renungan: Jumat Agung [10 April 2020]

Pengorbanan Yesus
Rekonsiliasi Allah dan Manusia

[Yoh 18, 1 – 19, 42]

Sahabat yang terkasih, marilah kita mengingat permintaan Yakobus dan Yohanes, anak-anak Zebedeus, kepada Yesus, perihal keinginan mereka untuk duduk di sebalah kanan dan kiri dalam kemuliaan di kehidupan yang akan datang. Jawaban Tuhan, berkaitan dengan permintaan mereka memberikan pencerahan kepada semua murid, tidak hanya kedua anak Zebedeus itu. Dalam Markus 10 : 45, Tuhan mengatakan : “Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang“. Jawaban Tuhan ini menunjuk pada misi penyelamatan Bapa-Nya bagi manusia di dunia. Dan misi itu, pada hari ini, pada saat ini kita rayakan bersama. Itu adalah sebuah misi penyelamatan Allah yang membuahkan rekonsiliasi antara Allah dan manusia.
Harapan-harapan yang diungkapkan dalam kritik para nabi tentang penyembahan di Bait Suci, dan khususnya dalam Mazmur, sekarang dipenuhi: Tuhan tidak ingin dimuliakan melalui pengorbanan lembu dan kambing, yang darahnya tidak berdaya untuk memurnikan dan membuat pendamaian bagi manusia. Ibadah baru yang telah lama ditunggu-tunggu kini menjadi kenyataan. Di kayu salib, persembahan yang sejati kini sungguh terjadi, yakni : penebusan Kristus yang dilakukan untuk dunia. "Anak Domba Allah" menanggung dosa dunia dan menghapuskannya. Melaui pengorbanan dan persembahan diri ini, hubungan Allah dengan dunia atau manusia, yang sebelumnya terdistorsi oleh dosa, sekarang diperbarui. Rekonsiliasi telah tercapai.
Peristiwa salib dan kematian Yesus Kristus adalah sebuah rekonsiliasi antara Allah dan manusia. Pribadi Yesus sebagai rekonsiliator merupakan pribadi yang sangat penting dan berarti. Ia adalah penengah antara Allah dan manusia. Bahkan dalam peristiwa salib pun, kekhususan dari Pribadi Kudus ini ditunjukkan. Dalam Injil, Yohanes menceritakan bagaimana para prajurit membuang undi atas jubah Yesus, sebagai penggenapan atas apa yang telah tertulis dalam Kitab Suci: “Mereka membagi-bagi pakaian-Ku di antara mereka, dan membuang undi atas jubah-Ku”. Jubah itu tidak berjahit, dari atas ke bawah merupakan satu tenunan utuh. Referensi pada jubah Yesus yang tidak berjahit, dari atas ke bawah berupa satu tenunan utuh, diformulasikan dengan sangat terperinci oleh Yohanes karena ia ingin menyampaikan sesuatu. Beberapa ekseget membuat hubungan itu dengan sedikit informasi yang dibuat oleh Flavius Josephus, seorang histograf (dalam Antiquitates Judaicae). Dalam laporannya, jubah sebagaimana yang dipakai oleh Yesus adalah model jubah atau pakaian dari imam agung. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Yohanes di sini ingin menunjukkan figur Yesus sebagai “Imam Agung Ilahi” yang menyelesaikan tugas pengorbanan yang sejati di mata Allah dan bagi keselamatan manusia. Tugas pengorbanan sejati itu dilakukan-Nya dengan sempurna ketika Ia menyerukan ini: “Sudah selesai”!
Sahabatku yang terkasih, peristiwa salib Tuhan kita, Yesus Kristus, merupakan sebuah jalan keselamatan yang membuahkan rekonsiliasi antara Allah dengan manusia. Manusia yang terkurung karena dosa kini telah mendapatkan jaminan pengampunan dan pembebasan untuk dapat menjalin relasi kembali dengan Allah. Kita, adalah bagian dari umat manusia yang telah ditebus oleh Kristus. Kita yang adalah orang-orang yang percaya pada nama-Nya yang juga adalah orang-orang yang memiliki jaminan untuk dapat memiliki relasi erat dengan Allah. Untuk itu, mari kita menanggapi pengorbanan Kristus dengan menjalin hubungan baik dengan Allah dan juga menjadi nabi-nabi rekonsiliasi dengan sesama pada jaman ini.
Amin.

Sabtu, 21 Maret 2020


[Rengungan Dehonain]

Vivat cor Iesu per cor Mariae
Terpujilah Hati Yesus melalui hati Maria.


Marilah kita merenungkan Sabda Tuhan, yakni dari Injil Yohanes 5 : 31-47.


Sahabat Dehonian yang terkasih, Sabda Tuhan yang menarik untuk direnungkan dalam Injil adalah: “Tetapi Aku mempunyai suatu kesaksian yang lebih penting dari pada kesaksian Yohanes, yaitu segala pekerjaan yang diserahkan Bapa kepada-Ku supaya Aku melaksanakannya. Pekerjaan itu jualah yang sekarang Kukerjakan, dan itulah yang memberi kesaksian tentang Aku, bahwa Bapa yang mengutus Aku”.
Sabda itu mengingatkan kita tentang figur nabi Perjanjian Baru. Dialah Yohanes. Ia adalah keturunan suku Lewi, putera dari Elisabet, saudara sepupu Maria, ibu Yesus. Ayahnya, Zakaria adalah seorang imam dari rombongan Abia yang bertugas di Bait Allah. Yohanes diberi gelar Pembaptis karena pekerjaannya, yaitu membaptis orang-orang Isreal untuk mempersiapkan kedatangan Tuhan Yesus Kristus. Salah satu bagian penting dari hidupnya adalah ketika Yesus datang kepada-Nya untuk dibaptis, Yohanes berseru: “Lihatlah Anak domba Allah yang menghapus dosa dunia”. Demikianlah Yohanes memperkenalkan Yesus kepada para muridnya.
Berkaitan dengan kesaksian Yohanes Pembaptis, Yesus mengatakan bahwa ada kesaksian yang lebih dari itu, yakni segala pekerjaan yang diserahkan Bapa kepada-Nya supaya Ia melaksanakannya. Semasa dalam kehidupan di dunia, Yesus terus berkarya. Karya-Nya yang terwujud dalam Sabda dan tindakan memuat unsur penyelamatan, karena sejatinya, itulah tujuan kehadiran-Nya di dunia. Dan, puncak dari karya-Nya itu pun termanifestasikan dalam peristiwa salib sebagai bentuk penyerahan diri-Nya total kepada Bapa demi keselamatan manusia. Dalam hal ini, iman kita pun menekankan demikian. Maka, tepatlah jika orang-orang dalam kisah ke-empat Injil, yang bertemu dan melihat langsung apa yang dilakukan oleh Yesus mengatakan bahwa Ia adalah Mesias, yang Kudus dari Allah; hingga seruan kepala pasukan dan para prajurit yang menyalibkan Yesus: “Sungguh, Ia ini adalah Anak Allah”.
Sahabat dehonain yang terkasih, Tuhan Yesus melanjutkan Sabda-Nya dalam Injil dengan mengatakan: “Pekerjaan itu jualah yang sekarang Kukerjakan, dan itulah yang memberi kesaksian tentang Aku, bahwa Bapa yang mengutus Aku”. Memang benar jika kita memahami bahwa Sabda itu menunjuk pada karya ketika Yesus hidup 2000 tahun yang lalu. Namun, kita mengakui juga bahwa Yesus pun tetap hadir di dunia, sebagaimana janjinya untuk menyertai kita sampai akhir jaman. Berarti Sabda itu menunjuk pula pada karya Tuhan yang terus berjalan hingga sekarang. Kita pun meyakini bahwa pekerjaan atau karya Yesus merupakan karya yang baik karena mengandung karya Allah. Karya itu pulalah yang terus berjalan dalam diri dan kehidupan kita sebagai orang-orang yang percaya dalam Nama-Nya. Nafas kehidupan, rejeki yang cukup, kebersamaan dengan keluarga, pekerjaan yang mapan, kesehatan yang baik dan beberapa kebaikan dalam hidup merupakan bagian dari karya-Nya. Itu semua adalah anugerah yang Ia kerjakan dan berikan secara gratis untuk kita.
Namun, dibalik pengalaman itu, mungkin kita merasa bahwa kebaikan dari karya Tuhan itu kadang atau tidak selalu kita alami atau dapatkan. Jika yang terjadi adalah demikian, pertanyaan yang dapat kita renungkan adalah: “Apakah selama ini kita sudah mengusahakan untuk dapat menerima karya Allah”? atau dengan pertanyaan lain: “Sudahkan aku juga ikut ambil bagian, berusaha, bekerja untuk mendapatkan rahmat dari Tuhan yang akan ia anugerahkan kepada kita”? Karya kebaikan dari Tuhan sejatinya membutuhkan peran aktif dari kita, dan bukan tindakan pasif menunggu begitu saja.  

Semoga, Hati Kudus Yesus senantiasa merajai hati kita. Amin!

Selasa, 17 Maret 2020


Renungan di awal Masa Pra-Paskah
[Matius 6 : 1-6. 16-18]


Apa yang menjadi poin penting dari pengajaran Yesus terdapat pada bagian awal dari Injil hari ini, yakni ketika Ia mengatakan : « Jangan sampai melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat ».
Kewajiban untuk melakukan perintah atau ajaran yang terdapat dalam agama merupakan sebuah bentuk kesalehan rohani. Dalam hal ini, Tuhan menyebut beberapa contoh yang terdapat dalam masyarakat pada jaman-Nya, misal : dalam hal memberi sedekah, berdoa dan berpuasa. Jika dikaitkan dengan apa yang Ia ajarkan bahwa jangan melakukan kewajiban agama untuk diperlihatkan di depan orang, supaya itu dilihat, Tuhan mengajarkan kepada para pendengar, juga termasuk para murid, untuk tidak memamerkan kewajiban agama yang sedang dibuat. Dan mungkin, apa yang disampaikan oleh Tuhan merupakan sebuah kritik bagi sebagian orang yang pada saat itu melakukan hal demikian.
Sahabat yang terkasih, apa yang diajarkan oleh Tuhan Yesus dalam Injil hari ini merupakan sebuah pengingat bagi kita. Tindakan kesalehan keagamaan merupakan bagian dari iman. Kita pun sebagai orang kristiani, melakuakan pelbagai bentuk tindakan kesalahehan rohani, misalnya : melakukan tindakan sosial (memberikan sedekah), mengikuti perayaan-perayaan sakramen dan sakramental, berpuasa dan juga berpantang. Dengan merenungkan apa yang ditekankan Tuhan dalam Injil hari ini, kita pun diundang untuk memurnikan kembali pelbagai tindakan kesalehan rohani yang sudah kita buat selama ini. Mungkin baik, sebagai jalannya, kita dapat menggali tujuan penting dari semua tindakan atau bentuk kesalehan rohani itu. Dan tujuan dari melakukan tindakan-tindakan kesalehan rohani adalah membangun hubungan intim antara diri kita sendiri dengan Tuhan. Saya merasa bahwa jika kita menyadari sungguh tujuan atau prinsip utama ini, kita pun akan memiliki kepuasan batin jika melakukan tindakan kesalahen rohani. Untuk itu, kita tidak perlu memamerkannya kepada orang lain hanya untuk mencari kepuasan diri sendiri bahwa « aku lebih dari yang lain ».
Sahabat yang terkasih, pada hari ini kita mengawali masa pertobatan dengan merayakan Rabu Abu. Ini merupakan awal dari perjalanan permenungan diri untuk mempersiakan peristiwa iman agung, yakni kebangkitan Tuhan. Dengan merenungkan Injil pada hari ini, sebagai langkah dalam mengawali masa pertobatan, kiranya usaha pertobatan kita dalam tindakan kesalehan rohani (baik itu pantang, puasa, doa, dan lainnya) memiliki motivasi murni, yakni menjalin hubungan dekat dengan Allah.

Semoga, Hati Kudus Yesus senantiasa merajai hati kita. Amin!

Sabtu, 14 Maret 2020


3ème dimanche de Carême
15 mars 2020


Dieu est fidèle. Sa fidélité se fait voir par le respect de son alliance conclue avec son peuple à travers Abraham pour le bénir et aussi bénir tous ses descendants. La fidélité de Dieu à l'alliance a été démontrée en accompagnant le voyage des descendants d'Abraham, le peuple d'Israël, pour quitter l'Égypte. Dieu ne restera pas silencieux si Israël rencontre des problèmes lors de son voyage vers la terre promise. Il agira pour donner le meilleur aux descendants d'Abraham afin qu'ils profitent toujours de l'alliance grâce à son ancêtre.
Dans la première lecture de ce dimanche, nous voyons la fidélité de Dieu où Il est présent au milieu du peuple pour donner de l'eau pour étancher sa soif. Par l'intermédiaire de son prophète Moïse, Dieu a fait un excellent travail en donnant à son peuple ce dont il avait besoin, à savoir l'eau. La lecture du Livre de l’Exode montre comment le peuple de Dieu a soif et grogne quand il n'a pas d'eau pour subvenir à ses besoins physiques. Voyant cette situation, Dieu dit à Moïse : « Passe devant le peuple, emmène avec toi plusieurs des anciens d’Israël, prends en main le bâton avec lequel tu as frappé le Nil, et va ! Moi je serai là, devant toi, sur le rocher du mont Horeb. Tu frapperas le rocher, il en sortira de l’eau, et le peuple boira ! » De cela, nous pouvons voir comment Dieu a ainsi accordé une attention particulière à son peuple et comment il s’est fait sensible à lui, même s'ils étaient « encore incertains » quant à l'inclusion de Dieu. Néanmoins, Dieu reste fidèle. En plus du manque de confiance et d'indécision du peuple, il montre toujours son amour fidèle. Cet amour de Dieu qu'ils ont apprécié en profitant de la fraîcheur de l'eau comme un soulagement de la soif.
Sur la base de l'expérience de l'inclusion de Dieu dans le voyage de libération du peuple d'Israël, le psalmiste a raison de dire que Dieu est comme un bon Berger. La parole du psaume au chapitre 94 verset 7 dit : « Oui, il est notre Dieu ; nous sommes le peuple qu’il conduit, le troupeau guidé par sa main ». L'inclusion de Dieu dans le fait de donner au peuple d'Israël donne non seulement un soulagement physique, mais aussi un soulagement spirituel où ils sont satisfaits de la réalisation que Dieu est avec eux. Ce soulagement spirituel qui les amène à des expériences extraordinaires lorsqu'ils réalisent l'amour de Dieu au moment où leur foi vacille.
Chers frères, en parlant de l'eau que Dieu a donnée à Israël, en première lecture, cela nous amène à réfléchir sur la présence de Jésus dans la lecture de l'Évangile aujourd'hui. Jésus, dont la présence est ressentie par une femme de Samarie, lui fournit une expérience spirituelle non seulement pour puiser de l'eau ordinaire, mais aussi pour puiser de l’« eau vive » qui soulage son âme. L’Évangile nous a fait voir clairement comment sa rencontre et sa conversation avec Jésus lui fournissent une expérience très significative.
Il y a au moins deux choses que nous pouvons saisir de l'expérience de la Samaritaine. Premièrement, elle rencontre le prophète dont elle attend la venue, à savoir Jésus Christ. Cela est démontré quand elle dit à Jésus : « Seigneur, je vois que tu es en prophète ! » Deuxièmement, elle prend conscience de sa situation, grâce à Jésus. Dans l’Évangile, Jésus lui fait prendre conscience en nommant précisément de l'état de sa vie. On voit cela lorsque Jésus lui dit : « Va, appelle ton mari, et reviens. » La femme répliqua : « Je n’ai pas de mari ». Jésus reprit : « Tu as raison de dire que tu n’as pas de mari : des maris, tu en as eu cinq, et celui que tu as maintenant n’est pas ton mari ; là, tu dis vrai. » Cette prise de conscience est susceptible de l'amener au point de se repentir pour améliorer sa vie et croire en Jésus, comme le font certains autres Samaritains qui croient en Jésus (selon l’Évangile).
C'est un soulagement spirituel vécu par cette femme. Le soulagement reçu grâce à la présence de Jésus dans sa vie et aussi quand elle « boit » vraiment la Parole de vie qui sort de Jésus-Christ. Ce soulagement l’amène à comprendre la rencontre avec le Messie. Ce soulagement qui la conduit à la découverte, à l'acceptation et au développement d’une vie nouvelle.
Jésus-Christ comme eau qui soulage, (en particulier le soulagement spirituel,) est la présence de Dieu qui aime fidèlement les humains. Saint Paul, dans la deuxième lecture, déclare : « La preuve que Dieu nous aime, c’est que le Christ est mort pour nous, alors que nous étions encore pécheurs ». La présence de Jésus, à travers ses œuvres et aussi à son sacrifice sur la croix, est un signe d'amour de la présence de Dieu qui veut soulager les personnes qui ont soif de salut.
La Samaritaine avait déjà bu « de l'eau vive » qui lui a donné le salut. Cependant, elle ne s'est pas contentée de cette expérience. De l'expérience du soulagement spirituel qui a apporté le salut, elle est ensuite allée à la ville pour proclamer la présence du Messie aux habitants de la ville. Et grâce à son témoignage, beaucoup crurent à en Jésus.
Mes chers frères, en tant que chrétiens, nous croyons en Jésus-Christ. Ainsi, nous avons également déjà une expérience de soulagement spirituel qui nous donne le salut. Ne nous arrêtons pas à cette expérience. Comme la Samaritaine qui est allée témoigner dans la ville, nous sommes appelés à témoigner de l'expérience du salut dans le monde. Nous sommes invités à faire prendre conscience au monde qu'il y a le salut en Christ. Nous sommes ainsi invités à réveiller ceux qui, dans leur vie, oublient le Christ. Nous sommes également invités à témoigner que nous avons déjà le salut en Christ. Donc, nous devons montrer la mission de salut au monde en préservant la nature et aussi en maintenant la santé ensemble, en particulier dans notre communauté.
Ainsi, la présence de Jésus-Christ, qui assure le salut, continuera son chemin et pourra être vécue par beaucoup de personnes.
Amen.



Jumat, 21 Februari 2020



Sebuah renungan: Rabu Abu

[Matius 6 : 1-6. 16-18]


Apa yang menjadi poin penting dari pengajaran Yesus terdapat pada bagian awal dari Injil hari ini, yakni ketika Ia mengatakan : "Jangan sampai melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat".
Kewajiban untuk melakukan perintah atau ajaran yang terdapat dalam agama merupakan sebuah bentuk kesalehan rohani. Dalam hal ini, Tuhan menyebut beberapa contoh yang terdapat dalam masyarakat pada jaman-Nya, misal : dalam hal memberi sedekah, berdoa dan berpuasa. Jika dikaitkan dengan apa yang Ia ajarkan bahwa jangan melakukan kewajiban agama untuk diperlihatkan di depan orang, supaya itu dilihat, Tuhan mengajarkan kepada para pendengar, juga termasuk para murid, untuk tidak memamerkan kewajiban agama yang sedang dibuat. Dan mungkin, apa yang disampaikan oleh Tuhan merupakan sebuah kritik bagi sebagian orang yang pada saat itu melakukan hal demikian.
Sahabat yang terkasih, apa yang diajarkan oleh Tuhan Yesus dalam Injil hari ini merupakan sebuah pengingat bagi kita. Tindakan kesalehan keagamaan merupakan bagian dari iman. Kita pun sebagai orang kristiani, melakuakan pelbagai bentuk tindakan kesalahehan rohani, misalnya : melakukan tindakan sosial (memberikan sedekah), mengikuti perayaan-perayaan sakramen dan sakramental, berpuasa dan juga berpantang. Dengan merenungkan apa yang ditekankan Tuhan dalam Injil hari ini, kita pun diundang untuk memurnikan kembali pelbagai tindakan kesalehan rohani yang sudah kita buat selama ini. Mungkin baik, sebagai jalannya, kita dapat menggali tujuan penting dari semua tindakan atau bentuk kesalehan rohani itu. Dan tujuan dari melakukan tindakan-tindakan kesalehan rohani adalah membangun hubungan intim antara diri kita sendiri dengan Tuhan. Saya merasa bahwa jika kita menyadari sungguh tujuan atau prinsip utama ini, kita pun akan memiliki kepuasan batin jika melakukan tindakan kesalahen rohani. Untuk itu, kita tidak perlu memamerkannya kepada orang lain hanya untuk mencari kepuasan diri sendiri bahwa "aku lebih dari yang lain".
Sahabat yang terkasih, pada hari ini kita mengawali masa pertobatan dengan merayakan Rabu Abu. Ini merupakan awal dari perjalanan permenungan diri untuk mempersiakan peristiwa iman agung, yakni kebangkitan Tuhan. Dengan merenungkan Injil pada hari ini, sebagai langkah dalam mengawali masa pertobatan, kiranya usaha pertobatan kita dalam tindakan kesalehan rohani (baik itu pantang, puasa, doa, dan lainnya) memiliki motivasi murni, yakni menjalin hubungan dekat dengan Allah.

Semoga, Hati Kudus Yesus senantiasa merajai hati kita. Amin!

La présence de Dieu qui accompagne toujours nos vies est un mystère. Sa présence réelle qu'Il soit là ou ici, nous ne pourrons peut-être...