Sabtu, 25 April 2020


Perjalanan ke Emaus
Sebuah undangan menjadi saksi Kristus

Kis 2 : 14. 22b-28 ; 1Ptr 1 : 17-21
Luk 24 : 13-35

Kleopas, itulah nama dari salah satu dari kedua murid yang berjalan menuju Emaus. Narasi dalam Injil yang baru saja kita dengar ini mendiskripsikan perjumpaan perjalanan dua murid ke Emaus ketika mereka bertemu dan berjalan bersama Yesus yang sudah bangkit. Dikisahkan bahwa mereka tidak mengenali Yesus. Dan dalam perjalanan itu, mereka mencurahakan kesedihan mereka seputar peristiwa-peristiwa yang belum lama terjadi berkaitan dengan Yesus, Guru mereka. Mereka menceritakan tentang orang dan kepada orang yang sama, yakni Yesus. Mereka kemudian membujuk-Nya untuk tinggal bersama mereka, dan akhirnya mereka mengenali Dia pada saat acara makan bersama.
Meskipun dapat dikatakan bahwa pokoh bahasan utamanya adalah membuktikan peristiwa kebangkitan melalui penampakan atau kemunculan Yesus, namun narasi itu tampaknya tidak menekankan secara radikal pembuktian itu. Di lain pihak, narasi ini dapat dipahami atau dapat dikatakan, menawarkan suatu pemaparan tentang isu penting, yang secara khusus berfokus pada pertanyaan : “Bagaimana seseorang mengenali Kristus yang bangkit dan kemudian bersaksi tentang-Nya”? Dapat dikatakan bahwa narasi Emaus berkaitan dengan proses kesadaran kedua murid, dari keputusasaan karena kematian Kristus menuju keimanan akan kebangkitan-Nya. Pengalaman terhadap Yesus, yakni keputusan iman, membawa kedua murid itu untuk percaya bahwa Guru mereka sungguh bangkit. Itu membuat mereka tergerak untuk kembali ke Yerusalem dan bertemu dengan kesebelas murid yang lain.
Dalam perjumpaan dengan para murid yang lain, mereka menceriterakan apa yang terjadi di tengah jalan, dan bagaimana mereka mengenal Yesus pada waktu Ia memecah-mecahkan roti. Mereka berbagi pengalaman iman. Dapat dikatakan bahwa itu menjadi bentuk kesaksian yang menguatkan para murid yang lain tentang kebangkitan Yesus. Dalam bacaan pertama pada hari ini, kita mendengar Santo Petrus dan para rasul, dipenuhi dengan Roh Kudus, berbicara di hadapan banyak orang yang berkumpul di Yerusalem. Mereka bangkit dan menyatakan iman kepada Kristus yang Bangkit : Kristus yang sama yang telah mati di kayu Salib tidak tetap mati dan di dalam kubur, tetapi Ia telah bangkit dari antara orang mati. Bahkan, Petrus pun semakin radikal dalam mewartakan Krsitus yang bangkit ini, secara khusus dalam suratnya yang barus saja kita dengar tadi ; Kristus sebagai sumber keselamatan bagi umat manusia berkat pengorbanan-Nya.
Kita kembali dengan narasi perjalanan kedua murid ke Emaus. Narasi ini menunjuk pada pertumbuhan rohani kedua murid, yang kemudian dipandang sebagai suatu model perjalanan atau peziarahan seorang murid menuju keimanan yang lebih dalam, dan kembalinya mereka ke Yerusalam untuk memberikan kesaksian, merupakan sebuah jalan untuk membantu orang lain yang melakukan perjalanan yang sama. Saya memandang bahwa di sini terdapat makna spiritual dari narasi ini. Singkatnya, jika kita menempatkannya dalam kehadiran Gereja sekarang ini, narasi itu memuat sebuah panggilan bagi setiap umat kristiani untuk memberikan kesaksian bagi umat kristiani lainnya, atau bahkan juga untuk dunia.
Panggilan untuk memberi kesaksian tentang iman ini, saya teringat dengas seorang romoIndonesia yang bernama Romo Paulus Sarmono. Sekarang ia adalah anggota dari dewan propinsi Indonesia. Selama hampir selama satu tahun, kami berkerja di sebuah paroki yang sama. Hal inspiratif yang saya dapatkan dari pribadi ini adalah bagaimana ia menjadi pewarta kristiani dengan mempromosikan semangat bahwa Tuhan mencintai dunia; dan dunia ini adalah manusia dalam alam juga. Romo ini, dengan kapasitas yang dimiliki, mempromosikan pupuk organik untuk menggantikan pupuk kimia. Banyak umat yang tertarik dan belajar darinya. Dan itu, tidak hanya umat katolik, tetapi juga ada orang islam dan hindu yang datang ke paroki untuk belajar darinya. Satu pertanyaan pernah saya ajukan padanya: “Romo, apa yang menjadi salah satu tujuan Anda melakukan itu”? Dia menjawab saya: “Dengan melakukan itu, saya dapat mewartakan Kristus kepada semua orang”.
Sahabat yang terkasih, mengkonkritkan semangat spiritual dari kisah atau narasi dua murid dalam perjalanan ke Emaus ini merupakan sebuah panggilan bagi kita sebagai orang-orang yang percaya pada Kristus. Jika kedua murid itu memberikan kesaksian tentang Yesus yang bangkit kepada para rasul, maka kita pun diundang untuk memberi kesaksian yang sama pada jaman ini. Tentunya, hal itu dengan kapasitas dan cara yang berbeda satu dengan yang lain, karena Allah memberikan rahmat yang beragam dalam diri kita masing-masing.

Jumat, 10 April 2020


Renungan: Pemakaman Yesus Kristus


Meneladan Yusuf dari Arimatea

Yusuf akan menjadi penduduk Yerusalem pada saat kematian Yesus, tetapi ia dilahirkan dan hidup sebelumnya di kota Yudea yang disebut Arimatea. Letak secara tepat Arimatea ini masih menjadi bahan perdebatan, namun beberapa ahli menempatkannya di daerah Ramathaim-Zophim di wilayah perbukitan Efraim, di mana di sana nabi Samuel dilahirkan.
Yusuf dari Arimatea adalah salah satu anggota Sanhedrin (dewan Yahudi yang sangat menonjol dan terhormat dan dipimpin oleh para imam besar). Tujuh puluh satu anggota Sanhedrin adalah orang-orang terkaya dan terkuat di Yerusalem dan di wilayah sekitarnya. Matius menyebut bahwa Yusuf adalah seorang yang kaya. Alkitab memang tidak memberikan indikasi apa yang ia lakukan untuk mencari nafkah, namun, dari informasi yang didapat menyatakan bahwa Yusuf adalah seorang pedagang barang-barang logam.
Informasi dari Alkitab yang dapat membantu kita untuk mengenal pribadi ini adalah bahwa Injil mengkonfirmasi Yusuf sebagai murid Yesus Kristus. Meskipun dalam hal ini, Yohanes menekankan bahwa Yusuf menunjukkan jati dirinya sebagai murid dengan cara diam-diam karena takut kepada orang-orang Yahudi (Yoh 19: 38) sampai pada pemakaman Kristus.
Untuk memastikan Yesus menerima pemakaman yang layak, Yusuf dari Arimatea dengan berani meminta Pilatus untuk mendapatkan hak pemakaman jenazah Yesus. Keinginannya itu berhadapan dengan risiko. Dia tidak hanya mengambil risiko kenajisan ritual dengan memasuki tempat para penyembah berhala (orang-orang Romawi pada waktu itu), tetapi bersama dengan Nikodemus, anggota Sanhedrin lainnya, ia juga berisiko mencemari dirinya di bawah hukum Musa, dengan menyentuh jenazah. Meski berisiko, namun ia menunjukkan itu sebagai kasih tulusnya bagi Yesus, seorang Pribadi yang telah menyentuh seluruh kemanusiannya.
Sabahat yang terkasih, pelajaran hidup dari Yusuf Arimatea yang dapat kita renungkan di sini adalah kadang-kadang iman kita kepada Yesus Kristus pun sangat menuntut pengorbanan dan risiko. Tidak diragukan bahwa Yusuf akan dijauhi oleh teman-temannya karena merawat tubuh Yesus. Namun, ia tetap mengikuti apa yang menjadi kata hati atau keyakinannya. Melakukan hal yang benar bagi Allah dapat mendatangkan penderitaan dan pengorbanan dalam hidup ini, tetapi itu akan membawa imbalan kekal di kehidupan selanjutnya.
Amin.



Rabu, 08 April 2020


Renungan: Jumat Agung [10 April 2020]

Pengorbanan Yesus
Rekonsiliasi Allah dan Manusia

[Yoh 18, 1 – 19, 42]

Sahabat yang terkasih, marilah kita mengingat permintaan Yakobus dan Yohanes, anak-anak Zebedeus, kepada Yesus, perihal keinginan mereka untuk duduk di sebalah kanan dan kiri dalam kemuliaan di kehidupan yang akan datang. Jawaban Tuhan, berkaitan dengan permintaan mereka memberikan pencerahan kepada semua murid, tidak hanya kedua anak Zebedeus itu. Dalam Markus 10 : 45, Tuhan mengatakan : “Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang“. Jawaban Tuhan ini menunjuk pada misi penyelamatan Bapa-Nya bagi manusia di dunia. Dan misi itu, pada hari ini, pada saat ini kita rayakan bersama. Itu adalah sebuah misi penyelamatan Allah yang membuahkan rekonsiliasi antara Allah dan manusia.
Harapan-harapan yang diungkapkan dalam kritik para nabi tentang penyembahan di Bait Suci, dan khususnya dalam Mazmur, sekarang dipenuhi: Tuhan tidak ingin dimuliakan melalui pengorbanan lembu dan kambing, yang darahnya tidak berdaya untuk memurnikan dan membuat pendamaian bagi manusia. Ibadah baru yang telah lama ditunggu-tunggu kini menjadi kenyataan. Di kayu salib, persembahan yang sejati kini sungguh terjadi, yakni : penebusan Kristus yang dilakukan untuk dunia. "Anak Domba Allah" menanggung dosa dunia dan menghapuskannya. Melaui pengorbanan dan persembahan diri ini, hubungan Allah dengan dunia atau manusia, yang sebelumnya terdistorsi oleh dosa, sekarang diperbarui. Rekonsiliasi telah tercapai.
Peristiwa salib dan kematian Yesus Kristus adalah sebuah rekonsiliasi antara Allah dan manusia. Pribadi Yesus sebagai rekonsiliator merupakan pribadi yang sangat penting dan berarti. Ia adalah penengah antara Allah dan manusia. Bahkan dalam peristiwa salib pun, kekhususan dari Pribadi Kudus ini ditunjukkan. Dalam Injil, Yohanes menceritakan bagaimana para prajurit membuang undi atas jubah Yesus, sebagai penggenapan atas apa yang telah tertulis dalam Kitab Suci: “Mereka membagi-bagi pakaian-Ku di antara mereka, dan membuang undi atas jubah-Ku”. Jubah itu tidak berjahit, dari atas ke bawah merupakan satu tenunan utuh. Referensi pada jubah Yesus yang tidak berjahit, dari atas ke bawah berupa satu tenunan utuh, diformulasikan dengan sangat terperinci oleh Yohanes karena ia ingin menyampaikan sesuatu. Beberapa ekseget membuat hubungan itu dengan sedikit informasi yang dibuat oleh Flavius Josephus, seorang histograf (dalam Antiquitates Judaicae). Dalam laporannya, jubah sebagaimana yang dipakai oleh Yesus adalah model jubah atau pakaian dari imam agung. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Yohanes di sini ingin menunjukkan figur Yesus sebagai “Imam Agung Ilahi” yang menyelesaikan tugas pengorbanan yang sejati di mata Allah dan bagi keselamatan manusia. Tugas pengorbanan sejati itu dilakukan-Nya dengan sempurna ketika Ia menyerukan ini: “Sudah selesai”!
Sahabatku yang terkasih, peristiwa salib Tuhan kita, Yesus Kristus, merupakan sebuah jalan keselamatan yang membuahkan rekonsiliasi antara Allah dengan manusia. Manusia yang terkurung karena dosa kini telah mendapatkan jaminan pengampunan dan pembebasan untuk dapat menjalin relasi kembali dengan Allah. Kita, adalah bagian dari umat manusia yang telah ditebus oleh Kristus. Kita yang adalah orang-orang yang percaya pada nama-Nya yang juga adalah orang-orang yang memiliki jaminan untuk dapat memiliki relasi erat dengan Allah. Untuk itu, mari kita menanggapi pengorbanan Kristus dengan menjalin hubungan baik dengan Allah dan juga menjadi nabi-nabi rekonsiliasi dengan sesama pada jaman ini.
Amin.

La présence de Dieu qui accompagne toujours nos vies est un mystère. Sa présence réelle qu'Il soit là ou ici, nous ne pourrons peut-être...