Rabu, 18 Juni 2014

Jalan Kemartiran merupakan dasar Gereja Untuk menjadi Umat Allah yang Serius Mengikuti Kristus, dalam Menanggapi Panggilan kepada Kesucian


(Surat Ignatius dari Antiokhia kepada Jemaat di Roma)

I.       Teks
Surat Santo Ignatius dari Antiokhia kepada jemaat di Roma[1]
Biarkanlah Aku Menjadi Orang Kristen yang Sejati,
dan Bukan Sekadar Pembawa Nama Kristen
Sungguh bukan sifatmu tidak rela melihat orang lain berhasil. Kamu selalu menjadi sumber ajaran bagi orang lain. Apa yang saya inginkan itu membela pokok ajaran yang kamu uraikan. Biarlah saya mempertahankan ajaran iman itu sekarang. Satu-satunya permohonan saya saat ini ialah: Ajarkanlah atas namaku: Semoga aku diberi cukup kekuatan lahir dan batin untuk bersikap tegas dalam perkataan dan perbuatan. Semoga aku menjadi orang Kristen sejati, dan bukan sekadar pembawa nama Kristen. Saya ingin dinyatakan setia dan benar, kalau dunia sudah tidak melihat aku lagi. Sebab kebenaran itu letaknya tidak pada hal yang dilihat oleh mata. Kenyataan bahwa Yesus Kristus sekarang ada di dalam Bapa menjadi sebab kita melihat Dia dengan jauh lebih jelas. Sebab karya yang harus kita kerjakan itu bukan soal meyakinkan dengan kata-kata! Inti agama Kristiani itu menyelesaikan yang agung di hadapan kebencian dunia.
Dari pihak saya, saya menulis kepada semua Gereja dan meyakinkan mereka bahwa saya sungguh bermaksud untuk mati bagi Allah. Maka janganlah kamu sendiri memasang rintangan di jalanku. Saya harus memohon dengan sangat kepadamu, janganlah kamu berbuat baik kepadaku dengan cara yang keliru. Kuminta, biarlah aku menjadi makanan binatang buas, sebab mereka itulah yang dapat memberi aku jalan menuju Tuhan. Aku ini gandum Tuhan; biarlah aku digiling lembut oleh gigi singa untuk dijadikan roti murni bagi Kristus. Lebih baik lagi, galakkanlah makhluk-makhluk itu untuk menjadi makam bagimu; janganlah sepotong daging pun kutinggalkan, betapapun kecilnya, agar aku tidak perlu lagi menjadi beban bagi siapa pun juga, kalau nanti saya jatuh tertidur. Kalau sudah tidak ada sisa tubuhku yang tertinggal di dunia, di situlah saya menjadi murid Kristus Yesus yang sesungguhnya. Maka jadilah pengantara untuk saya, agar mereka menjadi alat untuk mengangkat saya menjadi korban bagi Tuhan. Namun saya tidak memberikan perintah kepadamu, seolah-olah aku ini Petrus dan Paulus. Beliau-beliau ini rasul. Beliau-beliau ini manusia merdeka, sedang saya masih budak (meskipun kalau saya menderita, Yesus Kristus akan memberikan kebebasan kepada saya, dan di dalam Dia aku akan bangkit kembali sebagai manusia merdeka). Untuk sementara belenggu ini melatih saya untuk berangsur-angsur melepaskan keinginan-keinginan dunia.
Dalam pada itu, saya sekarang sudah terlihat dalam pergulatan berat dengan binatang-binatang buas di darat maupun di laut, siang maupun malam, sepanjang jalan dari Syria menuju Roma. Saya ini seakan-akan dirantai dengan sekandang macan liar, yaitu sekelompok serdadu, yang hanya menjadi lebih bengis, kalau mereka diberi kebaikan. Namun, keterlaluan mereka itu sekurang-kurangnya mendorong saya sedikit lebih maju dalam menjadi murid Kristus; meskipun ini tidak berarti bahwa dosa saya seluruhnya sudah dihapus. O, betapa besar kerinduan saya untuk segera bertemu dengan singa-singa yang sesungguhnya, yang sudah disiapkan bagi saya! Seluruh doa permohonan saya adalah agar mereka menerkam cepat. Saya akan menghimbau mereka, agar jangan seperti menghadapi orang celaka lainnya, di mana singa tidak cukup bergairah untuk menyentuhnya. Aku berharap mereka cepat-cepat menelan saya. Dan kalau mereka masih saja enggan, aku akan memaksa mereka. Kamu harus memaafkan saya, tetapi saya tidak tahu, mana yang paling baik bagiku. Inilah tahap pertama bagiku untuk menjadi murid Kristus. Tidak ada kuasa, kelihatan maupun tidak kelihatan, boleh merintangi saya yang mau datang kepada Yesus Kristus. Api, salib, atau pergulatan dengan binatang buas? Dibelah, dipotong-potong, tulang diremuk, atau anggota dipisah-pisah, atau bahkan seluruh badan ditumbuk halus-halus? Biar aniaya setan yang paling mengerikan pun boleh menimpa diri saya, asal saya dapat menemukan jalan menuju Kristus.


Keinginan Duniawi Sudah Disalibkan[2]
Seluruh penjuru bumi, semua kerajaan di dunia ini tidak ada gunanya bagi saya. Bagiku mati dalam Kristus Yesus lebih mulia dari pada menjadi raja yang menguasai batas-batas bumi yang paling jauh. Dia yang telah mati untuk kita, itulah yang kucari! Dia yang bangkit kembali untuk kita, itulah kerinduanku seutuhnya! Sakit bersalin yang kualami! Sabarilah aku, saudara-saudaraku, dan janganlah aku kau tutup dari hidup. Jangan menginginkan aku lahir celaka. Di sini ada orang, yang hanya ingin menjadi milik Tuhan; janganlah dia diberikan lagi kepada dunia. Jangan pula menipu dia dengan barang-barang dari bumi ini. Biarkanlah aku mencapai terang, terang murni yang tak ternodai, sebab saya hanya menjadi manusia sejati kalau saya sudah sampai di sana. Ijinkanlah aku meneladan sengsara Tuhan! Bila ada seseorang di antaramu memiliki Tuhan di dalam dirinya, biarlah ia merasa seperti aku, maka ia akan mengerti kekuatan apa yang menguasai aku.
Penguasa dunia ini mengharapkan dapat mengalahkan aku dan menghancurkan tekadku, yang mengarah kepada Tuhan. Kuminta, janganlah salah seorang di antara kamu membantu dia. Berpihaklah kepadaku, sebab itulah pihak Allah. Janganlah kamu membawa Yesus Kristus pada bibirmu, tetapi menyimpan dunia di dalam hatimu! Janganlah kamu membawa-bawa pikiran kurang rela akan nasibku. Malahan seandainya aku datang dan secara pribadi memohon kepadamu, janganlah kamu menuruti permintaanku! Sebaliknya, hendaklah kamu berpegang pada tulisanku ini. Di sini dan sekarang ini, aku menulis dalam kesadaran penuh bahwa aku rindu akan kematian, dengan segala kerinduan seorang pencinta. Keinginan-keinginan duniawi sudah tersalib! Dalam diriku tidak tertinggal sepelik pun keinginan akan barang-barang duniawi. Hanya gemerciknya air hidup yang berbisik dalam diriku, “Datanglah kepada Bapa”. Aku sudah tidak lagi berniat akan makanan yang dapat binasa, atau akan kesenangan-kesenangan hidup ini. Aku lapar akan roti dari Tuhan, ya akan daging Yesus Kristus, juga benih keturunan Daud. Aku haus akan darah-Nya, cinta yang tak kunjung padam.
Aku tidak lagi menginginkan apa yang lazim disebut hidup. Dan dambaanku akan menjadi kenyataan jika hal ini juga menjadi keinginanmu. Maka aku mohon, biarlah aku mengalami apa yang kuinginkan, hingga kamu nanti ganti mengalami demikian.

II.    Konteks
A.    Konteks Umum
Abad II merupakan titik bagi Gereja (beserta teologinya), berpindah dari lingkungan Palestina ke alam pikir Yahudi. Dengan demikian, Gereja dihadapkan pada masalah inkulturasi: perlu mengungkapkan iman kepercayaan ke dalam suatu “bahasa” yang dapat dimengerti oleh orang yang berbudaya Hellenis (Yunani)[3]. Inkulturasi tadi mengakibatkan bahwa cara bicara alkitabiah (memuat kebenaran Allah dalam sejarah) diganti dengan konsep-konsep metafisis yang berpusatkan pada masalah “mengada”. Hal itu jika diterapkan pada konsep “Allah” berarti bahwa perbedaan antara Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus kiranya dapat diartikan sebagai perbedaan dalam hal ber-hypostatis, artinya berdiri sendiri secara metafisis (kata Yunani hypostatis mengacu pada eksistensi pribadi sendiri: “diri pribadi”)[4].
Pada abad II, muncul sebuah sistem gnostik yang memengaruhi pembentukan ajaran Gereja tentang Allah Tritunggal di kemudian hari. Sistem gnostik itu adalah Doketisme. Mereka yang termasuk dalam Doketisme berpendapat bahwa tubuh Yesus Kristus di bumi ini hanya tubuh yang semu saja (unreal appearance). Paham ini menilai bahwa inkarnasi Yesus hanyalah sebuah ilusi belaka[5]. Pandangan ini bertitik tolak pada pemahaman bahwa materi itu jahat, penyebab dosa; dan oleh karena itu tidak dapat dipersatukan dengan Putera Allah menjadi satu pribadi.
Masa Ignatius menjadi uskup di Antiokhia (abad II), merupakan masa perjuangan untuk mempertahankan iman. Hal itu tentunya menjadi tanggung jawab dari seorang uskup (Antiokhia) dalam memberikan ajaran iman yang benar bagi umat. Selain memberikan ajaran yang benar, situasi perlawanan terhadap imperial dunia Romawi – yang menuntut pengakuan bahwa kaisar adalah dewa – juga memberikan pengaruh bagi praktik hidup umat beriman. Dalam ranah ini, tugas untuk memberikan ajaran benar juga diikuti dengan memberikan teladan hidup (menolak kultus kaisar sebagai dewa yang patut disembah). Pada masa itu, pertaruhan hidup umat beriman sebagai pengikut Kristus dituntut, termasuk Uskup Ignatius sendiri.

B.     Konteks Khusus: Hidup Ignatius dari Antiokhia
Santo Ignatius ( 107), juga dipanggil Theophorus (pembawa Allah), adalah uskup Antiokhia setelah Santo Petrus[6]. Pada zaman itu, Roma, Alexndria dan Antiokhia merupakan tiga kota metropolis dalam Kerajaan Roma. Maka, keuskupan di bawah kepemimpinan Ignatius juga termasuk bagian dari wilayah kekaisaran. Atas dasar itu, perjuangan Uskup Ignatius dalam menggembalakan umat berhadapan dengan Kekaisaran Romawi merupakan tugas penggembalaan yang harus dipikul, sekalipun menjadi martir.
Puncak kemartiran Ignanitus berawal dalam masa pemerintahan Kaisar Trajanus (98-117). Uskup Antiokhia itu ditangkap dan dibawa dari Syria menuju Roma. Perjalanan tersebut merupakan perjalanan menuju kemartiran karena ia akan dihukum mati dengan menjadi mangsa hewan buas di Roma. Dalam perjalanannya, Ignatius menulis tujuh surat; empat surat ditulisnya di Smyrna dan tiga surat lainnya di Troas. Dua kota itu merupakan tempat persinggahan Ignatius di mana ia menulis beberapa suratnya. Di Smyrna, ia menulis surat untuk jemaat di Efesus, Magnesia dan Tralles yang berisikan ucapan terima kasih kepada jemaat yang ada di sana karena memberikan dukungan atas jalan kemartiran yang akan ia hadapi. Dalam surat yang keempat, ia tujukan kepada jemaat di Roma. Surat yang keempat itu berisi permintaan Ignatius agar jemaat di Roma tidak berusaha menyelamatkannya dari jalan kemartiran yang dijatuhkan oleh kekaisaran[7]. Di Troas, Ignatius menulis surat kepada jemaat di Philadelphia dan Smyrna (termasuk kepada Polycarpus, Uskup Smyrna).
Setelah tinggal beberapa lama di Troas, akhirnya para prajurit Romawi membawa Ignatius menuju Roma. Mereka berlayar melalui Filipi, di Yunani, dan dari Filipi ke Roma. Di Roma, Ignatius menghadapi jalan kemartiran untuk mempertahankan iman dengan dilemparkan ke binatang-binatang buas yang ganas di amfiteater.

III. Penjelasan Tesis
A.    Jalan Kemartiran Menjadi Dasar
“Kemartiran” berasal dari kata Yunani: martys yang berarti “saksi”. Dalam dunia kekristenan, kata ini menunjuk pada bentuk kesaksian yang diberikan untuk Kristus oleh orang-orang Kristiani untuk menerima kematian sebagai bantuk kesetian kepada Penyelamat mereka (Yesus Kristus)[8]. Pemahaman tentang kemartiran juga dapat ditemukan dalam Kitab Makabe di mana semangat Yudaisme menuntut orang-orang Israel untuk memperjuangkan kesaksian yang lahir dari kesetiaan iman, sekalipun harus berhadapan dengan penyiksaan dan kematian (2 Mak 6:28; 7:1.7). Maka, dapat dipahami bahwa kemartiran adalah jalan utama menuju kesucian dan menjadi dasar untuk kesucian Kristiani[9].
Ignatius dalam beberapa suratnya mengembangkan pemahaman tentang kemartiran. Baginya, kemartiran menunjukkan jalan dari realitas “kehadiran ekaristis[10]” di mana iman orang-orang Kristen dipupuk. Ia meyakini bahwa jalan kemartiran merupakan jalan menuju persatuan dengan Yesus Kristus. Untuk itu, dalam surat kepada jemaat di Roma, Ignatius meminta agar jemaat di sana tidak berusaha untuk menggagalkan rencana kaisar untuk membunuhnya:
Dari pihak saya, saya menulis kepada semua Gereja dan meyakinkan mereka bahwa saya sungguh bermaksud untuk mati bagi Allah. Maka janganlah kamu sendiri memasang rintangan di jalanku. Saya harus memohon dengan sangat kepadamu, janganlah kamu berbuat baik kepadaku dengan cara yang keliru. Kuminta, biarlah aku menjadi makanan binatang buas, sebab mereka itulah yang dapat memberi aku jalan menuju Tuhan. Aku ini gandum Tuhan; biarlah aku digiling lembut oleh gigi singa untuk dijadikan roti murni bagi Kristus.

Hal itu dapat dimengerti karena dengan jalan itu, Ignatius dapat menuju kesucian Kristiani dengan setia pada Kristus dan akhirnya menuju persatuan dengan-Nya.
Sebagai seorang uskup yang memimpin jemaat dalam sebuah keuskupan, Ignatius memberikan bentuk keteladanan orang Kristiani yang sejati. Berhadapan dengan kekuasaan Romawi, umat tidak hanya membutuhkan ajaran pada tataran teori saja, melainkan juga bukti sebagai bentuk keseriusan dalam mengikuti Kristus. Kemartiran Ignatius menunjukkan bahwa setiap orang Kristiani patut untuk mempertahankan imannya dengan keseriusan dan menerima segala konsekuensi yang harus dihadapi, sekalipun berhadapan dengan kematian. Baginya, jalan itu merupakan jalan untuk menjadi “murid yang nyata” dan “orang Kristen sejati”[11]:
Semoga aku menjadi orang Kristen sejati, dan bukan sekadar pembawa nama Kristen. Saya ingin dinyatakan setia dan benar, kalau dunia sudah tidak melihat aku lagi. Sebab kebenaran itu letaknya tidak pada hal yang dilihat oleh mata. Kenyataan bahwa Yesus Kristus sekarang ada di dalam Bapa menjadi sebab kita melihat Dia dengan jauh lebih jelas. Sebab karya yang harus kita kerjakan itu bukan soal meyakinkan dengan kata-kata! Inti agama Kristiani itu menyelesaikan yang agung di hadapan kebencian dunia.

Dengan memberikan keteladanan kemartiran, Uskup Ignatius ingin mengajak umat beriman Kristiani agar juga meneladan dirinya. Ia berharap bahwa apa yang menjadi kebahagiaan atas semangat kemartiran demi ketaatan iman juga dimiliki dan dialami oleh orang-orang Kristen lainnya:
Aku tidak lagi menginginkan apa yang lazim disebut hidup. Dan dambaanku akan menjadi kenyataan jika hal ini juga menjadi keinginanmu. Maka aku mohon, biarlah aku mengalami apa yang kuinginkan, hingga kamu nanti ganti mengalami demikian.

Keseriusan hidup sebagai orang-orang Kristen merupakan salah satu topik dari semangat kemartiran yang ditawarkan dari peristiwa kemartiran Ignatius. Keseriusan dalam bentuk kesungguhan untuk mengenakan nama “orang Kristen” dalam praktik hidup nyata adalah kerinduan yang diinginkan oleh Ignatius bagi para pengikut Kristus lainnya.

B.     Jalan Kemartiran: Dasar Gereja untuk Menjadi Umat Allah yang Serius Mengikuti Kristus
1)      Gereja sebagai Umat Allah
Kata “gereja” berasal dari bahasa Portugis: igreja. Kata igreja merupakan terjemahan dari kata Latin: ecclesia, yang berakar dari kata ekklesia (Yunani). Kata ekklesia adalah sebuah pertemuan yang sering diadakan (ekkalein) oleh sejumlah orang. Kata itu ditemukan di dalam Septuaginta sebagai terjemahan dari kata Ibrani, qahal, yang mengacu pada arti: pertemuan jemaat Allah[12]. Dalam konsep itu, kata “gereja” mengarah pada “jemaat Allah”.
Pada Perjanjian Lama, jemaat Allah (Yahwe) dikumpulkan dalam sebuah pertemuan karena panggilan Sabda Ilahi. Sabda Ilahi itu mengajak orang-orang Israel, sebagai jemaat pilihan Allah, untuk mengadakan pertemuan bersama. Beberapa pertemuan itu di antaranya adalah: ketika Hukum Allah di sampaikan oleh Musa di Gunung Sinai (Kej 19); pembaruan perjanjian dalam perayaan korban Paskah (2 Raj 23); dan peribadatan bersama kepada Yahwe (Ul 9:10; Hak 21:5.8).
Pada masa jemaat perdana, istilah “gereja” dimaknai sebagai perkumpulan jemaat Allah yang dibentuk melalui pewartaan Injil dan iman dengan kekuatan Roh (1 Kor 2:4)[13]. Selain itu, Gereja juga dimaknai sebagai jemaat Allah yang percaya akan Yesus Kristus dan yang disatukan karena kematian serta kebangkitan-Nya (Kol 3:11; Gal 3:28). Gereja dalam arti jemaat Allah inilah yang hingga kini terus berjiarah di tengah dunia. Atas dasar itu, Gereja dapat dipandang sebagai persekutuan umat beriman; mereka adalah persekutuan dari murid-murid Kristus. Eklesiologi masa kini memiliki paham dasar tentang Gereja sebagai “umat Allah”[14].
2)      Jalan Kemartiran sebagai Dasar Gereja untuk Menjadi Umat Allah yang Serius Mengikuti Kristus
Gambaran Gereja sebagai umat Allah mengarah pada persekutuan orang-orang beriman. Gambaran Gereja itu lebih dijelaskan oleh Ignatius sebagai orang-orang yang diharapkan berani memberi kesaksian atas nama “orang Kristen” yang melekat pada identitas dirinya. Seturut dengan semangat kemartiran Ignatius, umat Allah itu adalah kaum beriman yang diundang untuk mempertahankan iman, sekalipun berhadapan dengan situasi yang mengancam hidup.
Baginya, kemartiran adalah jalan keseriusan untuk mengikuti dan meneladani Yesus Kristus:
Biarkanlah aku mencapai terang, terang murni yang tak ternodai, sebab saya hanya menjadi manusia sejati kalau saya sudah sampai di sana. Injinkanlah aku meneladan sengsara Tuhan”!

Semangat kemartiran yang ditandai dengan keikutsertaan dalam penderitaan Kristus menuju kesucian hidup menjadi dasar Gereja, yakni umat Allah yang serius menjadi pengikut Kristus. Itulah bentuk kesungguhan umat Allah – sebagaimana yang diteladankkan Ignatius – dalam mengikuti Kristus.
Dalam Perjanjian Baru, keseriusan umat Allah dalam mengikuti Kristus dipahami sebagai jalan “kemartiran baru”. Hal dicapai dengan mencari pasangan hidup yang seiman (2Kor 6:14) sampai pada keikutsertaan dalam penderitaan Kristus dan pada kesamaan dalam keadilan yang dituntut dari keikutsertaan dalam Perjamuan Tuhan (1Kor 10-11)[15]. Semangat berbagi juga menjadi bentuk konkrit dari keseriusan umat Allah. Semangat berbagi juga menyangkut kewajiban sosial untuk membantu kebutuhan umat lain sampai pada kesediaan umat Korintus untuk mengirimkan sumbangan ke Yerusalem (2Kor 9:13). Kisah hidup jemaat perdana yang menjadi pola kehidupan paguyuban-paguyuban dalam Gereja juga menunjukkan semangat yang sama. Mereka berbagi dalam hal-hal rahmat, dengan bertekun dalam ajaran para rasul, dalam pemecahan roti dan dalam doa, serta berbagi dalam soal hidup sehari-hari sehingga tidak ada yang kekurangan di antara mereka (Kis 2:42-47)[16].
Kisah hidup umat Allah dalam jemaat perdana menunjukkan adanya kesungguhan mereka untuk menjadi seorang Kristen sejati. Kesungguhan praktik hidup mereka dapat disejajarkan dengan nilai kemartiran Ignatius: “mengikuti keteladanan Tuhan Yesus”. 

C.    Menanggapi Panggilan kepada Kesucian
Kemartiran Ignatius dari Antiokhia merupakan salah satu jalan kesucian. Kemartirannya menunjuk pada kesetiaan untuk memegang teguh iman Kristiani sekalipun mengorbankan nyawa. Kesetiaan itulah yang menjadi dasar baginya untuk semakin yakin bahwa Allah akan mempersatukan ia dengan Diri-Nya: “Biar aniaya setan yang paling mengerikan pun boleh menimpa diri saya, asal saya dapat menemukan jalan menuju Kristus”.
Tuhan Yesus adalah Guru dan Teladan Ilahi segala kesempurnaan. Panggilan kepada kesucian diajarkan-Nya dalam Kitab Suci: “Kamu harus sempurna, seperti Bapa-Mu yang di surga sempurna adanya” (Mat 5:48). Dengan jalan menuju kesucian hidup, yang dikerjakan dan dipenuhi-Nya sendiri, Ia mewartakan kepada semua dan setiap murid-Nya tentang kesucian (LG 40). Pengorbanan salib Kristus merupakan titik pangkalnya dan itu menjadi dasar kemartiran Ignatius menuju kesucian hidup: “Injinkanlah aku meneladan sengsara Tuhan”! Kesediaan untuk menunjukkan keseriusan diri dalam mengikuti Kristus dan akhirnya nanti bersatu dengan-Nya merupakan bentuk kesungguhan Ignatius sebagai orang Kristen sejati. Hal itu memampukannya untuk dapat menghadapi penderitaan kemartiran:
Inilah tahap pertama bagiku untuk menjadi murid Kristus. Tidak ada kuasa, kelihatan maupun tidak kelihatan, boleh merintangi saya yang mau datang kepada Yesus Kristus. Api, salib, atau pergulatan dengan binatang buas? Dibelah, dipotong-potong, tulang diremuk, atau anggota dipisah-pisah, atau bahkan seluruh badan ditumbuk halus-halus? Biar aniaya setan yang paling mengerikan pun boleh menimpa diri saya, asal saya dapat menemukan jalan menuju Kristus.

Semangat kemartiran Uskup Ignatius merupakan bentuk konkrit dari orang Kristen yang sejati. Kemartiranya menjadi salah satu tanda keseriusan seorang pribadi yang secara khusus mengarahkan hidup bagi Kristus. Itulah arah panggilan menuju kesucian hidup, yakni setia pada iman yang memberikan harapan akan persatuan dengan Dia yang dicari:
Dari pihak saya, saya menulis kepada semua Gereja dan meyakinkan mereka bahwa saya sungguh bermaksud untuk mati bagi Allah. Maka janganlah kamu sendiri memasang rintangan di jalanku. Saya harus memohon dengan sangat kepadamu, janganlah kamu berbuat baik kepadaku dengan cara yang keliru. Kuminta, biarlah aku menjadi makanan binatang buas, sebab mereka itulah yang dapat memberi aku jalan menuju Tuhan.

Kesediaan untuk mengalami siksa kemartiran merupakan buah kemendalaman dari cinta mistis akan Kristus. Kerelaan mengorbankan nyawa merupakan bagian dari keseriusan Ignatius untuk setia pada iman. Ia berharap agar keseriusannya dalam menanggapi panggilan kesucian juga menggaung dalam diri orang Kristen yang lain:
Biarkanlah aku mencapai terang, terang murni yang tak ternodai, sebab saya hanya menjadi manusia sejati kalau saya sudah sampai di sana. Ijinkanlah aku meneladan sengsara Tuhan! Bila ada seseorang di antaramu memiliki Tuhan di dalam dirinya, biarlah ia merasa seperti aku, maka ia akan mengerti kekuatan apa yang menguasai aku.

Harapan itu pulalah yang ditawarkannya kepada Gereja – umat Allah – dalam menanggapi panggilan kepada kesucian.

IV. Sumbangan Ignatius dari Antiokhia
Dari uraian bagian-bagian tesis di atas, tulisan Ignatius dari Antiokhia dapat memberikan sumbangan bagi Gereja pada jaman sekarang. Kedalaman relasi dengan Yesus Kristus memampukannya untuk menjadi martir berdarah di Roma. Semangat kemartirannya menjadi dasar bagi terbangunnya Gereja sebagai umat Allah yang serius dalam mengikuti Kristus.
Keseriusan sebagai umat Allah dalam mengikuti Kristus termuat dalam LG 40: “…, hendaklah kaum beriman mengerahkan tenaga yang mereka terima menurut ukuran yang dikaruniakan oleh Kristus supaya dengan mengikuti jejak-Nya dan menyerupai citra-Nya, dengan melaksanakan kehendak Bapa dalam segalanya, mereka dengan segenap jiwa membaktikan diri kepada kemuliaan Allah…”. Nilai kesungguhan dalam LG 40, mengundang Gereja sebagai umat Allah untuk menjadi orang Kristen sejati sebagai tanggapan atas panggilan kepada kesucian.
Nilai keseriusan dari semangat kemartiran Ignatius dari Antiokhia dapat ditempatkan dalam konteks Gereja yang tengah berjuang menuju undangan kesempurnaan-kesucian. Konteks Gereja itu (secara struktur garis besarnya) meliputi tiga pokok pembahasan (sebagaimana dalam LG)[17]: hierarki, hidup membiara dan kaum awam. Dalam dokumen Konsili Vatikan II, keseriusan masing-masing strukutur Gereja sebagai umat Allah dalam mengikuti Kristus termuat dalam pelbagai tugas yang ditawarkan. Beberapa tugas yang ditawarkan adalah:
·         Hierarki
-         Uskup: para uskup selaku pengganti para Rasul menerima perutusan untuk mengajar semua bangsa dan mewartakan Injil kepada segenap makhluk, supaya semua orang, karena iman, baptis dan pelaksanaan perintah-perintah memperoleh keselamatan (LG 24); untuk itu, tugas utama mereka adalah mengajar (LG 25), menguduskan (26) dan menggembalakan ( LG 27).
-         Imam: sebagai pembantu yang arif badan para uskup, sebagai penolong dan organ mereka, para imam dipanggil untuk melayani umat Allah; di bawah kewibawaan uskup, para imam menguduskan dan membimbing bagian kawanan Tuhan yang diserahkan kepada mereka (LG 28).
-         Diakon: pada tingkat hierarki yang lebih rendah terdapat para diakon, yang ditumpangi tangan “bukan untuk imamat, melainkan untuk pelayanan”; sebab dengan diteguhkan rahmat sakramental, mereka mengabdikan diri kepada umat Allah dalam perayaan liturgi, sabda dan amal kasih dalam persekutuan dengan uskup dan para imamnya (LG 29).
·         Hidup Membiara
-         Hendaklah para religius sungguh-sungguh berusaha, supaya melalui mereka, Gereja benar-benar makin hari makin jelas menampilkan Kristus kepada kaum beriman maupun tidak beriman, entah bila ia sedang berdoa di atas bukit, entah bila sedang mewartakan Kerajaan Allah kepada rakyat, entah bila ia sedang menyembuhkan mereka yang sakit dan terluka, serta mempertobatkan kaum pendosa kepada hidup yang baik, atau sedang memberkati kanak-kanak dan berbuat baik terhadap semua orang, senantiasa dalam kepatuhan kepada kehendak Bapa yang mengutus-Nya (LG 46).
·         Kaum Awam
-         Kaum beriman Kristiani, yang berkat baptis telah menjadi anggota Tubuh Kristus, terhimpun menjadi umat Allah, dengan cara mereka sendiri ikut mengemban tugas imamat, kenabian dan rajawi Kristus, dan dengan demikian sesuai dengan kemampuan mereka melaksanakan perutusan segenap umat Kristiani dalam Gereja dan di dunia; berdasarkan panggilan mereka yang khas, kaum awam wajib mencari Kerajaan Allah dengan mengurusi hal-hal yang fana dan mengaturnya seturut kehendak Allah; mereka hidup dalam dunia, artinya menjalankan segala macam tugas dan pekerjaan duniawi, dan berada di tengah kenyataan biasa hidup berkeluarga dan sosial (LG 31).

Pelbagai tugas itu merupakan bentuk kesaksian perwujudan iman yang bila dilaksanakan menunjukkan adanya keseriusan Kristiani. Bila Ignatius melaksanakan keseriusan imannya dengan jalan kemartiran berdarah, kini umat Allah diundang untuk melaksanakan keseriusan akan imannya dengan jalan “kemartiran yang baru”.

V.    Penutup
Kemartiran Santo Ignatius dari Antiokhia memberikan bentuk keteladanan bagi Gereja, umat Allah. Kemartirannya menawarkan terbentuknya umat Allah yang memiliki keseriusan dalam menanggapi panggilan Kristiani: menuju kepada kesucian. Untuk mencapai ke arah itu, umat Allah diundang agar menunjukkan identitas dirinya sebagai orang Kristiani – tidak sekadar menyandang nama Kristen saja – melalui kesungguhan dalam mempertahankan iman.
Pada jaman sekarang, keseriusan untuk menjadi pengikut Kristus yang sejati merupakan ajakan agar Gereja berani memberikan kesaksian akan iman mereka. Keberanian dalam memberikan kesaksian itu menjadi tuntutan bagi mereka yang berada dalam struktur hierarki, hidup membiara dan kaum awam sebagai bentuk kesungguhan terhadap kesetian atas iman. Akhirnya, dengan melaksanakan cara dan tugas mereka masing-masing, jalan panggilan yang menjadi arah Gereja kepada kesucian menjadi jelas.




[1] PWI Liturgi, Bacaan Ofisi Masa Biasa: Pekan X-XIII, Yayasan Kanisius, Yogyakarta 1982, 17-20.
[2] PWI Liturgi, Bacaan Ofisi Masa Biasa: Pekan X-XIII, 26-28.
[3] Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika 1, Kanisius, Yogyakarta 2004,131.
[4] Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika 1, 131.
[5] Louis Bouyer, Dictionary Of Theology, Desclee Co., Inc., U.S.A. 1965, 230.
[6] J. Tixeront, Handbook Of Patrology, Vail-Ballow Press, Inc., Binghamton and New York 1943, 13.
[7] Berthold Altaner, Patrology, Herder, West Germany 1960, 106.
[8] Louis Bouyer, Dictionary Of Theology, 294.
[9] Louis Bouyer, Dictionary Of Theology, 295.
[10] “Kehadiran ekaristis” di sini menunjuk pada partisipasi umat dalam korban salib Yesus Kristus yang secara sakramental dihadirkan dalam Ekaristi. Dengan berani menjadi martir, orang-orang Kristiani disatukan dengan peristiwa salib Yesus Kristus. Maka, kemartiran juga disebut sebagai “partisipasi sakramental”.
[11] Cyril C. Richardson, Early Christian Fathers, Grand Rapids, MI: Christian Classics Ethereal Library, Philadelphia 1953, 58-59.
[12]Louis Bouyer, Dictionary Of Theology, 81.
[13]Louis Bouyer, Dictionary Of Theology, 82.
[14] Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika 2, Kanisius, Yogyakarta 2004, 207.
[15] M. Purwatma, “Persekutuan Paguyuban-paguyuban yang Berbagi dan Berbelarasa” dalam Gereja yang Melayani dengan Rendah Hati, Kanisius, Yogyakarta 2009, 137.
[16] M. Purwatma, “Persekutuan Paguyuban-paguyuban yang Berbagi dan Berbelarasa” dalam Gereja yang Melayani dengan Rendah Hari, 137.
[17] Tom Jacobs, Dinamika Gereja, Kanisius, Yogyakarta 1979, 159-225.

Gereja dipanggil untuk membangun masyarakat

Gereja dipanggil untuk membangun masyarakat yang manusiawi berdasarkan prinsip demokratis dan keadilan sosial, serta mendukung anggotanya dalam berpolitik, menuju kesejahteraan bersama.

A.    Konteks
Tesis ini menghadirkan Gereja di tengah pelbagai peristiwa dunia sekarang. Dalam situasi dunia yang ditandai dengan rendahnya penghargaan antar manusia, Gereja dipanggil untuk membangun masyarakat yang manusiawi.Panggilan itu sebagai tugas yang perlu dilaksanakan dengan menggunakan prinsip etis dalam praskis berpolitik, yakni: prinsip  demokratis dan keadilan sosial.Untuk mengusahakan panggilannya itu, Gereja perlu untuk mendorong dan mendukung anggota-anggotanya agar terjun dalam dunia perpolitikan. Dengan demikian harapannya adalah bahwa cita-cita untuk mengupayakan kesejahteraan bersama dapat tercapai.

B.     Pokok-pokok Masalah
Untuk dapat menjelaskan tesis itu, ada beberapa pokok permasalahan yang menjadi acuan:
1.    Bagaimana langkah Gereja dalam membangun masyarakat yang manusiawi?
2.    Bagaimana mewujudkan masyarakat yang manusiawi dengan menggunakan prinsip demokratis dan keadilan sosial?
3.    Bagaimana cara Gereja dalam mendorong anggotanya untuk berpolitik?
4.    Apa tujuan Gereja dalam keterlibatannya di tengah dunia?


C.    Pembagian Penjelasan Tesis
Berdasarkan pokok-pokok permasalahan, penjelasan tesis akan dibagi ke dalam empat pembahasan:
1.    Gereja dipanggil untuk membangun masyarakat yang manusiawi
2.    Berdasarkan prinsip demokratis dan keadilan sosial
3.    Gereja mendukung anggotanya dalam berpolitik
4.    Gereja mengupayakan kesejahteraan bersama.
Pada penjelasan tesis bagian akhir akan disajikan sebuah kesimpulan. Kesimpulan tersebut akan menjadi rangkaian pokok dari penjelasan-penjelasan tesis yang telah diuraikan. Dengan demikian, rangkaian penjelasan-penjelasan tesis akan menjadi kesatuan pembahasan yang mengarah pada tesis umum.

D.    Penjelasan Tesis
1.    Gereja dipanggil untuk membangun masyarakat yang manusiawi
a)      Gereja
Kata “gereja” berasal dari bahasa Portugis: igreja. Kata igreja merupakan terjemahan dari kata Latin: ecclesia, yang berakar dari kata ekklesia (Yunani). Kata ekklesia adalah sebuah pertemuan yang sering diadakan (ekkalein) oleh sejumlah orang. Kata itu ditemukan di dalam Septuaginta sebagai sebuah terjemahan dari kata Ibrani, qahal, yang mengacu pada arti: pertemuan jemaat Allah[1]. Dalam konsep itu, kata “gereja” mengarah pada “jemaat Allah”.
Pada Perjanjian Lama, jemaat Allah (Yahwe) dikumpulkan dalam sebuah pertemuan karena panggilan Sabda Ilahi. Sabda Ilahi itu mengajak orang-orang Israel, sebagai jemaat pilihan Allah, untuk mengadakan pertemuan bersama. Beberapa pertemuan itu di antaranya adalah: ketika Hukum Allah di sampaikan oleh Musa di Gunung Sinai (Kej 19); pembaruan perjanjian dalam perayaan korban Paskah (2 Raj 23); dan peribadatan bersama kepada Yahwe (Ul 9:10; Hak 21:5.8).
Pada masa jemaat perdana, istilah “gereja” dimaknai sebagai perkumpulan jemaat Allah yang dibentuk melalui pewartaan Injil dan iman yang menerima pewartaan itu dengan kekuatan Roh (1 Kor 2:4)[2]. Selain itu, Gereja juga dimaknai sebagai jemaat Allah yang percaya akan Yesus Kristus dan yang disatukan karena kematian serta kebangkitan-Nya (Kol 3:11; Gal 3:28). Gereja dalam arti jemaat Allah inilah yang hingga kini terus berjiarah di tengah dunia. Dalam arti ini, Gereja dapat dipandang sebagai persekutuan umat beriman; mereka adalah persekutuan dari murid-murid Kristus.
b)      Panggilan Gereja untuk membangun masyarakat yang manusiawi
Di tengah situasi masyarakat dunia yang diwarnai dengan pelbagai kasus kemanusiaan yang melukai hati manusia, kiranya hal itu menggerakkan Gereja, yakni para murid Kristus. Pada jaman sekarang, maraknya kasus korupsi, penyuapan, pelecehan terhadap kebebasan beragama dan pelbagai kasus kemanusiaan lainnya di Indonesia menjadi bahan berita yang biasa. Banyak orang yang dirugikan karena adanya segelintir orang yang ingin mencari keuntungan dengan memperkaya diri sendiri atau mementingkan kelompoknya sendiri. Banyak orang yang telah miskin dan menderita di negeri ini menjadi lebih miskin dan menderita. Itulah tanda kehidupan manusia yang sudah tidak manusiawi lagi. Lantas bagaimana sikap Gereja, yakni para murid Kristus berhadapan dengan situasi demikian?
Gereja sebagai persekutuan umat beriman yang disatukan dalam Kristus merupakan suatu komunitas hidup yang tinggal dalam masyarakat dunia. Oleh karena itu, apa yang dialami dan dirasakan oleh masyarakat luas merupakan bagian para murid Kristus pula. Dalam Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini (Gaudium Et Spes) dituliskan: “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang jaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga” (GS 1). Dokumen tersebut menjadi sebuah acuan bagi perjuangan hidup yang seharusnya dilakukan oleh para murid Kristus, Gereja-Nya. Itulah sebuah panggilan Gereja dalam membangun masyarakat yang manusiawi.
c)      Tugas untuk untuk membangun masyarakat yang manusiawi
Pembicaraan mengenai masyarakat yang manusiawi tidak terlepas dengan topik hak-hak asasi manusia. Hak-hak itu melekat dalam diri manusia sejak ia lahir di dunia. Dengan hak-hak yang dimilikinya, manusia memiliki pelindung dari penyalahgunaan kekuatan politik, sosial, ekonomi, kultural dan ideologiyang akan melindasnya.
Pembangunan masyarakat yang manusiawi akan dapat tercapai jika pemenuhan akan penghormatan manusia, terlebih karena hak-hak asasi yang dimilikinya, dapat terlaksana. Hormat terhadap manusia berarti: mengakui kedudukannya yang sama, tidak memperlakukannya sebagai objek perencanaan, berorientasi pada harapan-harapannya dan tidak mengorbankan pihak yang satu demi keuntungan pihak yang lain.
Membangun masyarakat yang manusiawi memiliki makna: menolak terhadap tiga kesesatan yang sudah banyak menuntuk korban. Tiga kesesatan itu adalah kolektivitas, totalitarianisme dan pendewaan terhadap negara[3]:
-          Kolektivitas itu sesat karena memperalat manusia demi suatu keseluruhan. Martabat manusia merupakan sesuatu yang tidak dapat dibagi-bagi. Apabila martabat satu manuia direndahkan dan dianggap sebagai sarana bagi yang lain-lain, itu berarti bahwa semua orang direndahkan menjadi sarana.
-          Totalitarianisme itu sesat karena melupakan kewajiban negara yang harus melayani kebutuhan masyarakat.
-          Pendewaan terhadap negara itu sesat karena segala bentuk apapun di dunia ini tidak boleh didewakan. Hal itu akan memberi celah terhadap pelecehan hak-hak manusiawi dari para warganya.
Penentangan terhadap kolektivitas, totalitarianisme dan pendewaan terhadap negara berarti sebuah usaha untuk menentang sikap-sikap yang menunjang adanya privilese kelompok berkuasa yang merasa berhak untuk menentukan kehidupan masyarakat menurut kepentingan mereka sendiri[4].
Berhadapan dengan situasi hidup bernegara jaman sekarang yang menuntut adanya perjuangan terhadap hak-hak manusia dan perlawanan terhadap ideologi-ideologi yang melukai kemanusiaan, Gereja seharusnya tidak tinggal diam. Sebagai persekutuan manusia yang disatukan oleh karena pengakuan iman akan Yesus Kristus, Gereja juga memiliki tugas untuk mewartakan keselamatan kepada dunia: “Sebab persekutuan mereka terdiri dari orang-orang yang dipersatukan dalam Kristus, dibimbing oleh Roh Kudus dalam pejiarahan mereka menuju Kerajaan Bapa, dan telah menerima warta keselamatan untuk disampaikan kepada semua orang” (GS 1). Dengan demikian, iman dalam Gereja bukan hanya sebatas pada tataran teori saja. Iman berarti juga memiliki pengaruh nyata dalam praksis hidup. Untuk itu, kesadaran untuk memperjuangkan hak-hak manusia dan penolakan terhadap pelbagai ideologi yang mencederai rasa kemanusiaan, kiranya menjadi tugas yang diemban Gereja agar dapat menciptakan situasi yang mendukung kepercayaan bahwa Allah telah menebus dunia. Hal itu dapat diwujudkan dengan menciptakan masyarakat yang damai, adil dan sejahtera.


2.    Berdasarkan prinsip demokratis dan keadilan sosial
Untuk mewujudkan komunitas masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang akan dilakukan oleh Gereja, diperlukan adanya kesadaran akan prinsip-prinsip etis. Prinsip-prinsip yang dimaksudkan adalah sarana dalam mengupayakan suatu pembangunan masyarakat yang manusiawi. Prinsip-prinsip itu adalah: prinsip demokratis dan keadilan sosial.
a)      Prinsip demokratis
Kata “demokrasi” berasal dari bahasa Yunani: demos (rakyat) dan kratein (memerintah)[5]. Secara umum, prinsip demokratis dalam sistim kenegaraan berarti pemerintahan oleh rakyat. Dalam masyarakat Yunani, demokrasi dipandang sebagai bentuk politik di mana rakyat sendiri memiliki dan menjalankan seluruh kekuasaan politik. Konsep demokrasi ini pula yang mendasari adanya pemikiran kedaulatan rakyat yang menekankan “pemerintahan oleh rakyat melalui wakil-wakil yang telah dipilih”.
Prinsip demokratis merupakan salah satu unsur dalam pembangunan kemanusiaan dalam suatu negera. Hal ini terjadi karena prinsip demokratis memuat implikasi penentuan bahwa manusia sebagai tujuan dalam praktik perpolitikan.Untuk itu, perjuangan untuk mengupayakan kesejahteraan manusia, warga negara, merupakan aspek utama.
Pemerintahaan demokratis lebih memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya sebab suara rakyat memiliki tempat dalam penentuan kebijakan. Dalam pemerintahan yang menggunakan prinsip ini, satu hal paling penting ialah agar di segala tingkat, masyarakat dilibatkan dalam pengambilan keputusan-keputusan yang menyangkut (kebutuhan) mereka sendiri[6]. Semakin kuat suara rakyat dalam menentukan kebijakan, semakin besar pula kemungkinan kebijakan itu mencerminkan keinginan dan aspirasi-aspirasi mereka.
Demokratisasi dalam sistim pemerintahan merupakan sebuah bentuk perlawanan terhadap monopoli kaum politisi, pejabat dan teknokrat untuk begitu saja menentukan apa yang baik bagi masyarakat. Betapapun baiknya niat para penguasa, jika mereka menafikan pengaruh atau kendali rakyat, maka ada dua kemungkinan buruk yang terjadi: yang pertama, kebijakan-kebijakan mereka (penguasa) tidak sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan rakyat; dan kemungkinan kedua, yang lebih buruk, yaitu kebijakan-kebijakan itu korup dan hanya melayani kepentingan penguasa itu sendiri[7]. Dalam ranah ini, prinsip demokratis memiliki peran untuk mengontrol jalannya sistim pemerintahan.
b)         Prinsip keadilan sosial
Pembangunan masyarakat yang manusiawi menuntut adanya perjuangan untuk memberikan rasa keadilan kepada seluruh manusia atau masyarakat. Hal itu dapat tercapai dengan mengusahakan keadilan sosial dalam segala aspek kehidupan bersama. Dengan demikian, keadilan sosial akan menjadi prinsip bersama dan berakar erat dalam rangka pembangunan masyarakat yang manusiawi.Lantas yang menjadi pertanyaannya adalah: apa maksud dari keadilan sosial?
Sebuah usaha pembangunan masyarakat mempunyai tujuan untuk menciptakan prasarana-prasarana kesejahteraan segenap anggota masyarakat. Prasarana-prasarana itu pertama-tama harus diciptakan bagi mereka yang paling lemah. Mereka yang paling lemah mendapat tempat yang sangat istimewa karena keterbatasan mereka dalam memiliki sarana pencapaian kesejahteraan yang kurang memadai. Keadaan demikianlah yang dituntut oleh keadilan sosial.
Dalam praksis hidup, pelaksanaan keadilan sosial bukanlah hal yang mudah untuk direalisasikan. Pelaksanaannya harus bersinggungan dengan pelbagai aspek kehidupan yang meliputi kehidupan bersama dalam suatu masyarakat. Aspek-aspek kehidupan itu di antaranya adalah struktur politik, sosial dan ekonomi masyarakat seluruhnya. Maka, untuk menciptakan keadilan sosial harus dimulai dengan membangun atau mengubah struktur proses-proses politik, sosial dan ekonomi sehingga setiap anggota masyarakat dapat memperoleh keadilan; dan itu berarti: setiap anggota masyarakat mempunyai kemungkinan yang seoptimal mungkin untuk memperoleh apa yang menjadi haknya serta untuk mendapat bagian yang wajar[8].
Prinsip keadilan sosial menuntut adanya sikap yang adil. Prinsip keadilan ini diperlukan untuk menghentikan semua bentuk manajemen politik dan ekonomi yang hanya menguntungkan segelintir penguasa, elite politik, atau siapa pun yang mempunyai akses kepada kekuasaan politik-sosial dan ekonomi[9]. Dengan kata lain, prinsip keadilan sosial merupakan sebuah usaha untuk membubarkan atau membongkar “manajemen koruptif” yang masih dipraktikkan oleh para penguasa dalam kehidupan bersama. Manajemen koruptif inilah yang perlu untuk terus ditentang sebab sistim itu memberikan prioritas bagi keuntungan beberapa orang atau kelompok tertentu saja, seraya mengabaikan kepentingan dasar orang banyak atau kesejahteraan bersama[10].
Pembangunan masyarakat yang berlandaskan pada prinsip keadilan – di tengah situasi ketidakadilan seperti yang terjadi pada jaman sekarang – menandakan adanya keharusan serius untuk membongkar praktik ketidakadilan. Dalam hal ini, diperluakan adanya usaha pencapaian agar keadilan sosial sungguh dialamai oleh masyarakat secara keseluruhan. Salah satu usaha itu adalah dengan menegakkan prinsip demokratis yang memberikan ruang partisipasi seluruh warga dalam penentuan kebijakan-kebijakan publik. Dengan langkah tersebut, para penguasa hendaknya dapat membuka pintu dan mendengarkan aspirasi warganya. Adanya langkah pembaruan yang timbal-balik itu kiranya dapat meminimalisasi praktik manajemen koruptif para penguasa dan kembali pada tujuan pemerintahan yang sejati, yakni: demi masyarakat luas secara adil dan merata.

3.    Gereja mendukung anggotanya dalam berpolitik
a)      Akar pandangan Gereja terhadap negara
Kata “politik” berasal dari bahasa Yunani: politicos (menyangkut warga negara)[11]. Kata “politik” dapat dimengerti sebagai “segala macam kegiatan yang dilakukan penguasa dalam sebuah pemerintahan”. Selain itu, kata tersebut juga dapat dimengerti sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan permasalahan kehidupan bersama dalam suatu masyarakat.Berdasarkan penjelasan tersebut, “berpolitik” dimengerti sebagai segala macam penggunaan kekuasaan untuk menentukan sebuah keputusan tertentu yang menyangkut kehidupan warga masyarakat, kehidupan bersama.
Topik pembicaraan mengenai tugas Gereja dalam mendukung anggotanya untuk berpolitik merupakan sebuah misi keterlibatan. Misi keterlibatan berpolitik itu adalah tugas Gereja berhadapan dengan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Akar pandangan Gereja terhadap negara dapat ditelusuri dari sikap, penghayatan dan praktik hidup Gereja berhadapan dengan dunia. Pada intinya, refleksi yang tumbuh dari praktik hidup Gereja berpangkal dan terarah sepenuhnya pada dua penekanan utama.
Pertama, hidup Gereja berpangkal dan terarah sepenuhnya pada Allah[12]. Pada awal kehidupan Gereja, penghayatan akan prinsip tersebut sangat memengaruhi hidup Gereja, sehingga seringkali menimbulkan sikap yang negatif terhadap negara/dunia. Hal itu misalnya terungkap dalam tulisan Paulus kepada jemaat di Roma: “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini” (Rom 12:2). Pandangan yang sama juga dapat ditemukan dalam tulisan Markus yang menegaskan kepada pembacanya melalui mulut Yesus yang bersabda: “Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi kehilangan nyawanya?” (Mrk 8:36).
Kedua, meski pandangan negatif mengenai negara dan dunia pada awalnya sangat dominan, persentuhan Gereja dengan masyarakat dan negara tidak dapat dihindari, karena Gereja hidup di tengah dunia[13]. Dari persentuhan itu kemudian melahirkan sikap yang semakin positif terhadap dunia pada umumnya dan terhadap negara/masyarakat pada khususnya. Hal itu menjadi nyata karena Gereja memiliki misi utama di tengah dunia ini. Misi utama Gereja adalah tanda dan sarana keselamatan yang terwujud dalam solidaritas dengan mereka yang tidak diuntungkan pada arus perubahan, pembebasan manusia dari semua bentuk ketidakadilan, penindasan dan kekerasan dari berbagai bentuk dehumanisasi.Dalam ranah ini,  adanya dorongan dari Gereja dalam mendorong anggota jemaatnya untuk terlibat dalam kegiatan berpolitik merupakan suatu hal yang diperlukan.
b)      Dasar Gereja untuk mendorong anggotanya terlibat dalam berpolitik
Pandangan yang lebih positif mengenai hubungan Gereja dan negara dapat dilihat dalam dokumen-dokumen Konsili Vatikan II serta pelbagai ensiklik yang muncul setelah Konsili Vatikan II. Hubungan antara Gereja dan negara yang terangkum dalam dokumen-dokumen Gereja memuat upaya dan dukungan Gereja yang mengarahkan anggotanya dalam berpolitik. Arahan itulah yang diharapkan dapat menggerakkan anggota-anggota Gereja agar dapat menjadi “tokoh-tokoh perubahan” masyarakat menuju ke hidup yang lebih baik. Arahan itu semakin dibutuhkan tatkala dunia masyarakat sekitar, tempat Gereja tinggal, diliputi krisis kemanusiaan. Pembahasan mengenai dasar Gereja dalam mendorong anggotanya untuk berpolitik dapat dilihat dari tiga aspek utama: pertama, hakikat Gereja sebagai Sakramen di tengah dunia; kedua, pengakuan otonomi; ketiga, keterlibatan Gereja pada nasib manusia.
Pertama, pandangan Gereja sebagai Sakramen dapat ditemukan dalam Sacrosanctum Concilium, sebuah konstitusi yang berbicara tentang liturgi. Dalam konstitusi itu, Gereja lahir sebagai Sakramen dari lambung Kristus yang wafat di salib (SC 5) dan sebagai Sakramen kesatuan (SC 26). Yang menjadi topik penting adalah: apa yang dimaksudkan dengan Gereja sebagai Sakramen? Jawabannya dapat ditemukan dalam Lumen Gentium yang menjelaskan bahwa “Gereja itu dalam Kristus bagaikansakramen, yakni tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia” (LG 1). Dari LG 1 tampak bahwa kebahagiaan sejati di mana keselamatan abadi dirumuskan sebagai persatuan vertikal dan horisontal, yakni sebagai persatuan manusia dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia.Dalam rangka keselamatan itu, Gereja memiliki dua tugas pokok: sebagai tanda dan sarana. Dengan istilah tanda, memiliki maksud bahwa kehadiran Gereja harus dapat dialami dan dilihat sebagai bentuk kesatuan konkrit antara Allah dan manusia serta kesatuan seluruh manusia. Dengan istilah sarana, dimaksudkan bahwa keselamatan bagi manusia dari Allah itu hadir dan dialami melalui Gereja. Dengan demikian, pandangan Gereja sebagai tanda dan sarana berarti bahwa Gereja serentak memperlihatkan serta menyalurkan keselamatan hakiki bagi seluruh umat manusia.
Pandangan bahwa keselamatan yang dihadirkan Gereja mempunyai dimensi horisontal memiliki arti yang dalam. Dimensi itu dimaksudkan bahwa keselamatan yang dihadirkan Gereja harus diwujudkan dan dimulai dalam masyarakat dunia. Itu dapat berupa penghargaan akan martabat manusia, keadilan sosial, kemerdekaan dari penjajahan politis, kebebasan dari belenggu kemiskinan ekonomi dan yang terdalam yaitu kebebasan dari perbudakan dosa[14].
Kedua, otonomi Gereja dan dunia dipertegas dalam Konsili Vatikan II. Salah satu dokumen yang memberi perhatian terhadap hubungan Gereja dan negara adalah Gaudium et Spes. Hal ini sudah jelas dari judul bab empat GS, yaitu: Hidup Bernegara. Berturut-turut mulai dari GS 73 sampai GS 76 menunjukkan pandangan Gereja mengenai kehidupan umum jaman sekarang (GS 73), hakikat dan tujuan negara (GS 74), kerjasama semua orang dalam kehidupan umum (GS 75) dan hubungan negara serta Gereja (GS 76). Pandangan mengenai otonomi Gereja dan dunia meruncing pada GS 76: “…, sangat pentinglah bahwa orang-orang mempunyai pandangan yang tepat tentang hubungan antara negara dan Gereja, dan bahwa ada pembedaan yang jelas antara apa yang dijalankan oleh umat Kristen, entah sebagai perorangan entah secara kolektif, atas nama mereka sendiri selaku warga negara di bawah bimbingan suara hati Kristiani, dan di lain pihak apa yang mereka jalankan atas nama Gereja bersama para Gembala mereka”. Pernyataan itu ingin menegaskan bahwa Gereja berdasarkan tugas dan wewenangnya sama sekali tidak boleh dicampuradukkan dengan masyarakat politik, yaitu negara dan tidak terikat pada satu sistim politik apa pun[15]. Walau demikian, Gereja dan negera memiliki visi yang sama, yakni: melayani masyarakat manusia.
Ketiga, Para Bapa Konsili Vatikan II telah meletakkan dasar yang kuat bagi para pemimpin Gereja selanjutnya untuk semakin berpandangan positif dalam merefleksikan keterlibatan Gereja pada nasib umat manusia, khususnya dalam suatu negera. Pandangan-pandangan itu dapat ditemukan dalam beberapa Ajaran Sosial Gereja (ASG). Paus Paulus VI adalah salah seorang pemimpin Gereja Katolik yang mengembangkan pandangan tersebut. Dalam Populum Progressio (1967), beliau membahas permasalahan tentang perkembangan bangsa-bangsa yang merupakan pokok perhatian dan kepedulian yang mendalam bagi Gereja (PP 1). Secara lebih khusus lagi, beliau membahas masalah-masalah politik negara dalam Surat Apostolik Octogesima Adveniens (1971). Penekanan terhadap kewajiban untuk mengemban tugas politis merupakan salah satu misi warga Gereja untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik: “…, umat Kristiani yang diundang untuk menjalankan kegiatan politik harus berusaha menentukan pilihan-pilihan mereka secara konsisten dengan Injil, …, memberi kesaksian pribadi maupun kolektif akan kesungguhan iman mereka dengan melayani sesama secara efektif dan tanpa pamrih” (OA 46).
Selain dokumen Konsili Vatikan II dan beberapa ASG, perhatian para uskup sedunia yang mengadakan sinode pada tahun 1971 dan menghasilkan pernyataan yang berjudul Iustitia in Mundo juga merupakan hal yang menarik untuk diperhatikan. Harapan para uskup mengenai hubungan Gereja dan negara, mendorong mereka untuk memikirkan peran umat Allah – dalam hal ini adalah Gereja – menuju pemajuan keadilan demi keselamatan (IM 1-2). Keterlibatan itu hendaknya juga disatukan dengan tugas pewartaan Kabar Gembira agar keselamatan Allah dapat dialami bagi dunia: “Bagi kami, keterlibatan demi keadilan dan partisipasi dalam perubahan dunia merupakan unsur konstitutif dari pewartaan kabar gembira, yaitu pengutusan Gereja untuk penebusan umat manusia dan untuk pembebasannya dari segala keadaan penindasan” (IM 6).
Lebih tegas dari yang direfleksikan dalam IM, ada sebuah refleksi dari para uskup Amerika Latin dalam pertemuan di Puebla (1979). Ketegasan yang terasa dari sidang itu adalah penekanan pada pentingnya iman yang pribadi dan keterlibatan umat beriman secara pribadi dalam kehidupan politis, sehingga iman berpraksis dalam politik[16].
Ensiklik yang lebih modern dan pantas untuk disebutkan dalam pembahasan di sini adalah Cantesimus Annus (1991) yang dikeluarkan oleh Paus Yohanes Paulus II. Dalam ensiklik itu, Paus Yohanes Paulus II menekankan pentingnya sistim pemerintahan yang demokratis. Itulah juga yang diharapkan oleh Gereja: “Gereja menghargai sistim demokrasi, karena membuka wewenang yang luas bagi warga negara untuk berperanserta dalam penentuan kebijakan-kebijakan politik” (CA 46).
c)      Berpolitik praktis
Peranan Van Lith yang telah memulai karya misi di tanah Jawa merupakan titik awal upaya Gereja dalam melepaskan diri dari indentifikasi dengan negara kolonial Belanda. Hal itu menjadi jelas dalam ungkapan muridnya, yakni: Mgr, Soegijopranata dengan selogan: “100% Katolik dan 100% Indonesia”. Sikap Gereja yang muncul dari ungkapan Soegijapranata mendapatkan wujud politisnya dalam perjuangan di bidang politis, yaitu: tokoh-tokoh partai politik. Salah satu tokoh politik yang terkenal pada jaman itu adalah I. J. Kasimo yang memiliki selogan: Salus Populi Suprema Lex (kesejahteraan rakyat adalah hukum yang tertinggi).
Undangan untuk berjuang dan terjun dalam dunia politik di Indonesia telah dilakukan – di antaranya – oleh Mgr. Soegijapranata dan I. J. Kasimo. Kini, undangan itu juga ditujukan oleh Gereja sekarang, yakni para anggotanya, untuk juga berani dan terjun langsung dalam dunia perpolitikan. Keterlibatan ini dapat dilakukan, baik dalam tingkat struktur pemerintahan yang paling rendah hingga ke yang tertinggi; mulai dari tingkat RW (Rukun Warga) – RT (Rukun Tetangga) hingga ke struktur pemerintahan tingkat nasional. Harapannya adalah akan ada kolaborasi harmonis antara Gereja dan negara yang menghasilkan perjuangan pencapaian kesejahteraan bagi seluruh masyrakat.

4.    Gereja mengupayakan kesejahteraan bersama
Dalam karyanya yang berjudul Ethica, Aristoteles menandaskan bahwa manusia, dalam semua perbuatannya selalu mengejar sesuatu yang baik[17]. Hal tersebut menandaskan bahwa perjuangan setiap manusia dalam tataran kehidupan praksis merupakan sebuah usaha untuk mencapai kebaikan; dan kebaikan ituadalah kesejahteraan untuk bersama (common good/bonum commune). Perjuangan itu mencakup pelbagai bidang kehidupan, di antaranya adalah kegiatan berpolitik.
Setiap kegiatan politik bertujuan untuk mencapai kesejahteraan bagi rakyat. Secara tradisional, prinsip ini mengusahakan kondisi kondusif yang memungkinkan setiap orang atau kelompok dapat mencapai apa yang baik bagi kesejahteraannya. Dalam konteks etika politik, prinsip itu dapat diterjemahkan sebagai arah untuk mengusahakan dan mencapai hidup baik bersama dan untuk orang lain. Artinya adalah bahwa etika politik menghendaki upaya-upaya pencapaian hidup yang lebih baik secara manusiawi, tidak secara egosentris, tetapi bersama sesama warga masyarakat. Jadi, the common good sebagai prinsip etika politik mewajibkan setiap warga negara atau warga masyarakat untuk menganggap jabatan publik dan institusi sosial-politik (dan ekonomi) sebagai instrumen untuk mengupayakan hidup baik bersama dan untuk setiap orang[18].
Konsep the common good atau kesejahteraan bersama ini mengandung beberapa tuntutan:
-     Prinsipthe common good menentang identitas sempit, yakni partai atau program politik yang hanya memperjuangkan kepentingan atau kesejahteraan bagi kelompok indentitas tertentu;
-     Prinsipthe common good sebagai prinsip etika politik melawan politik simbolis, yakni politik yang mengandalkan daya simbolis dari sesuatu yang berkaitan dengan agama atau unsur kebudayaan tertentu;
-     Prinsipthe common good mewajibkan semua lembaga pemerintahan dan lembaga perwakilan rakyat untuk sungguh dekat dengan rakyat, memahami kondisi real masyarakat dan mengambil kebijakan-kebijakan yang memihak kepentingan rakyat;
-     Prinsipthe common good dapat menjadi dasar moral bagi para birokrat atau pegawai negeri dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik.
Secara umum, tuntutan dari prinsipthe common good mendorong adanya usaha pembaruan sistim pemerintahan dalam suatu komunitas masyarakat dan negara. Pembaruan itu mengarah pada kepentingan seluruh anggota dan bukan sebatas pada kepentingan egosentris pihak tertentu saja.
Salah satu bagian dari laporan hasil Sidang Agung KWI-Umat Katolik tahun 1995 menandaskan: “Umat Katolik mendukung segala usaha positif pemerintah, tetapi sebagai warga negara yang bertanggungjawab akan menyatakan kritik dan koreksi seperlunya demi kebaikan bangsa dan kepentingan umum”. Hasil sidang itu menandaskan bahwa Gereja, yang terdiri dari anggota-anggotanya, memiliki tugas dan hak untuk ikut dalam praksis hidup berpolitik. Dengan terjun dan masuk dalam dunia politik, setiap anggota Gereja diharapkan memberikan sumbangan tenaga mereka dalam mengusahakan pencapaian tujuan pemerintahan yang sejati, yakni: kesejahteraan bersama.

5.    Kesimpulan
Situasi dunia sekarang diwarnai dengan pelbagai fakta dehumanisasi manusia. Berhadapan dengan situasi demikian, Gereja dipanggil untuk membangun masyarakat yang manusiawi, yakni: sebuah komunitas masyarakat yang menjunjung tinggi penghargaan martabat kemanusiaan.Pelaksanaan tugas panggilan itu juga perlu di-barengi dengan menggunakan prinsip etis dalam praskis berpolitik, yakni: prinsip demokratis dan keadilan sosial. Kedua prinsip ini memungkinkan adanya peran serta anggota Gereja untuk berpartisipasi dalam praksis politik dan memperjuangkan keadilan seluruh aspek kehidupan bagi semua masyarakat.
Untuk mengusahakan panggilannya itu, Gereja perlu untuk mendorong dan mendukung anggota-anggotanya agar terjun dalam dunia perpolitikan. Adanya dokumen dan ajaran sosial Gereja menjadi salah satu dasar pijakan bagi anggota Gereja untuk semakin diteguhkan dan diarahkan selama terjun dalam suatu sistim pemerintahan.Dengan demikian harapannya adalah bahwa cita-cita untuk mengupayakan kesejahteraan bersama dapat tercapai.




[1]Louis Bouyer, Dictionary Of Theology, Desclee Co., Inc., U.S.A. 1965, 81.
[2]Louis Bouyer, Dictionary Of Theology, 82.
[3] Franz Magnis-Suseno, Kuasa dan Moral, Gramedia, Jakarta 1986, 19.
[4]Franz Magnis-Suseno, Kuasa dan Moral, 19.
[5] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1996, 154.
[6]Franz Magnis-Suseno, Kuasa dan Moral, 41.
[7]David Beetham – Kevin Boyle, Demokrasi: 80 Tanya-Jawab, Kanisius, Yogyakarta 2000, 23.
[8] Franz Magnis-Suseno, Kuasa dan Moral, 41-42.
[9]Yong Ohoitimur, “Pelaksanaan Otonomi Daerah: Berpeganglah pada Etika Politik”, dalam Etos & Moralitas Politik: Seni Pengabdian untuk Kesejahteraan Umum, Kanisius, Yogyakarta 2004,218.
[10]Yong Ohoitimur, “Pelaksanaan Otonomi Daerah: Berpeganglah pada Etika Politik”, 218.
[11]Lorens Bagus, Kamus Filsafat, 857.
[12] Komisi Kepemudaan – Konferensi Waligereja Indonesia, Catatan Aksi Sosial Politik Dinamika Gereja-Negara, Komisi Kepemudaan – Konferensi Waligereja Indonesia dan Wacana Multimedia, Jakarta 1995, 54.
[13] Komisi Kepemudaan – Konferensi Waligereja Indonesia, Catatan Aksi Sosial Politik Dinamika Gereja-Negara, 54.
[14]Komisi Kepemudaan – Konferensi Waligereja Indonesia, Catatan Aksi Sosial Politik Dinamika Gereja-Negara, 56.
[15]Komisi Kepemudaan – Konferensi Waligereja Indonesia, Catatan Aksi Sosial Politik Dinamika Gereja-Negara, 57.
[16] Komisi Kepemudaan – Konferensi Waligereja Indonesia, Catatan Aksi Sosial Politik Dinamika Gereja-Negara, 57.
[17] W. Poespoprodjo, Filsafat Moral: Kesusilaan dalam Teori dan Praktik, Pustaka Grafika, Bandung 1999, 34.
[18] Yong Ohoitimur, “Pelaksanaan Otonomi Daerah: Berpeganglah pada Etika Politik”, 221.

La présence de Dieu qui accompagne toujours nos vies est un mystère. Sa présence réelle qu'Il soit là ou ici, nous ne pourrons peut-être...