(Surat Ignatius dari Antiokhia
kepada Jemaat di Roma)
I.
Teks
Biarkanlah
Aku Menjadi Orang Kristen yang Sejati,
dan
Bukan Sekadar Pembawa Nama Kristen
Sungguh bukan
sifatmu tidak rela melihat orang lain berhasil. Kamu selalu menjadi sumber
ajaran bagi orang lain. Apa yang saya inginkan itu membela pokok ajaran yang
kamu uraikan. Biarlah saya mempertahankan ajaran iman itu sekarang.
Satu-satunya permohonan saya saat ini ialah: Ajarkanlah atas namaku: Semoga aku
diberi cukup kekuatan lahir dan batin untuk bersikap tegas dalam perkataan dan
perbuatan. Semoga aku menjadi orang Kristen sejati, dan bukan sekadar pembawa
nama Kristen. Saya ingin dinyatakan setia dan benar, kalau dunia sudah tidak
melihat aku lagi. Sebab kebenaran itu letaknya tidak pada hal yang dilihat oleh
mata. Kenyataan bahwa Yesus Kristus sekarang ada di dalam Bapa menjadi sebab
kita melihat Dia dengan jauh lebih jelas. Sebab karya yang harus kita kerjakan
itu bukan soal meyakinkan dengan kata-kata! Inti agama Kristiani itu
menyelesaikan yang agung di hadapan kebencian dunia.
Dari pihak saya,
saya menulis kepada semua Gereja dan meyakinkan mereka bahwa saya sungguh
bermaksud untuk mati bagi Allah. Maka janganlah kamu sendiri memasang rintangan
di jalanku. Saya harus memohon dengan sangat kepadamu, janganlah kamu berbuat
baik kepadaku dengan cara yang keliru. Kuminta, biarlah aku menjadi makanan
binatang buas, sebab mereka itulah yang dapat memberi aku jalan menuju Tuhan.
Aku ini gandum Tuhan; biarlah aku digiling lembut oleh gigi singa untuk
dijadikan roti murni bagi Kristus. Lebih baik lagi, galakkanlah makhluk-makhluk
itu untuk menjadi makam bagimu; janganlah sepotong daging pun kutinggalkan,
betapapun kecilnya, agar aku tidak perlu lagi menjadi beban bagi siapa pun
juga, kalau nanti saya jatuh tertidur. Kalau sudah tidak ada sisa tubuhku yang
tertinggal di dunia, di situlah saya menjadi murid Kristus Yesus yang
sesungguhnya. Maka jadilah pengantara untuk saya, agar mereka menjadi alat
untuk mengangkat saya menjadi korban bagi Tuhan. Namun saya tidak memberikan
perintah kepadamu, seolah-olah aku ini Petrus dan Paulus. Beliau-beliau ini
rasul. Beliau-beliau ini manusia merdeka, sedang saya masih budak (meskipun
kalau saya menderita, Yesus Kristus akan memberikan kebebasan kepada saya, dan
di dalam Dia aku akan bangkit kembali sebagai manusia merdeka). Untuk sementara
belenggu ini melatih saya untuk berangsur-angsur melepaskan keinginan-keinginan
dunia.
Dalam pada itu,
saya sekarang sudah terlihat dalam pergulatan berat dengan binatang-binatang
buas di darat maupun di laut, siang maupun malam, sepanjang jalan dari Syria
menuju Roma. Saya ini seakan-akan dirantai dengan sekandang macan liar, yaitu
sekelompok serdadu, yang hanya menjadi lebih bengis, kalau mereka diberi
kebaikan. Namun, keterlaluan mereka itu sekurang-kurangnya mendorong saya
sedikit lebih maju dalam menjadi murid Kristus; meskipun ini tidak berarti
bahwa dosa saya seluruhnya sudah dihapus. O, betapa besar kerinduan saya untuk
segera bertemu dengan singa-singa yang sesungguhnya, yang sudah disiapkan bagi
saya! Seluruh doa permohonan saya adalah agar mereka menerkam cepat. Saya akan
menghimbau mereka, agar jangan seperti menghadapi orang celaka lainnya, di mana
singa tidak cukup bergairah untuk menyentuhnya. Aku berharap mereka cepat-cepat
menelan saya. Dan kalau mereka masih saja enggan, aku akan memaksa mereka. Kamu
harus memaafkan saya, tetapi saya tidak tahu, mana yang paling baik bagiku.
Inilah tahap pertama bagiku untuk menjadi murid Kristus. Tidak ada kuasa,
kelihatan maupun tidak kelihatan, boleh merintangi saya yang mau datang kepada
Yesus Kristus. Api, salib, atau pergulatan dengan binatang buas? Dibelah,
dipotong-potong, tulang diremuk, atau anggota dipisah-pisah, atau bahkan
seluruh badan ditumbuk halus-halus? Biar aniaya setan yang paling mengerikan
pun boleh menimpa diri saya, asal saya dapat menemukan jalan menuju Kristus.
Seluruh
penjuru bumi, semua kerajaan di dunia ini tidak ada gunanya bagi saya. Bagiku
mati dalam Kristus Yesus lebih mulia dari pada menjadi raja yang menguasai
batas-batas bumi yang paling jauh. Dia yang telah mati untuk kita, itulah yang
kucari! Dia yang bangkit kembali untuk kita, itulah kerinduanku seutuhnya! Sakit
bersalin yang kualami! Sabarilah aku, saudara-saudaraku, dan janganlah aku kau
tutup dari hidup. Jangan menginginkan aku lahir celaka. Di sini ada orang, yang
hanya ingin menjadi milik Tuhan; janganlah dia diberikan lagi kepada dunia.
Jangan pula menipu dia dengan barang-barang dari bumi ini. Biarkanlah aku
mencapai terang, terang murni yang tak ternodai, sebab saya hanya menjadi
manusia sejati kalau saya sudah sampai di sana. Ijinkanlah aku meneladan
sengsara Tuhan! Bila ada seseorang di antaramu memiliki Tuhan di dalam dirinya,
biarlah ia merasa seperti aku, maka ia akan mengerti kekuatan apa yang
menguasai aku.
Penguasa
dunia ini mengharapkan dapat mengalahkan aku dan menghancurkan tekadku, yang
mengarah kepada Tuhan. Kuminta, janganlah salah seorang di antara kamu membantu
dia. Berpihaklah kepadaku, sebab itulah pihak Allah. Janganlah kamu membawa
Yesus Kristus pada bibirmu, tetapi menyimpan dunia di dalam hatimu! Janganlah
kamu membawa-bawa pikiran kurang rela akan nasibku. Malahan seandainya aku datang
dan secara pribadi memohon kepadamu, janganlah kamu menuruti permintaanku!
Sebaliknya, hendaklah kamu berpegang pada tulisanku ini. Di sini dan sekarang
ini, aku menulis dalam kesadaran penuh bahwa aku rindu akan kematian, dengan
segala kerinduan seorang pencinta. Keinginan-keinginan duniawi sudah tersalib!
Dalam diriku tidak tertinggal sepelik pun keinginan akan barang-barang duniawi.
Hanya gemerciknya air hidup yang berbisik dalam diriku, “Datanglah kepada
Bapa”. Aku sudah tidak lagi berniat akan makanan yang dapat binasa, atau akan
kesenangan-kesenangan hidup ini. Aku lapar akan roti dari Tuhan, ya akan daging
Yesus Kristus, juga benih keturunan Daud. Aku haus akan darah-Nya, cinta yang
tak kunjung padam.
Aku
tidak lagi menginginkan apa yang lazim disebut hidup. Dan dambaanku akan
menjadi kenyataan jika hal ini juga menjadi keinginanmu. Maka aku mohon,
biarlah aku mengalami apa yang kuinginkan, hingga kamu nanti ganti mengalami
demikian.
II.
Konteks
A. Konteks Umum
Abad
II merupakan titik bagi Gereja (beserta teologinya), berpindah dari lingkungan
Palestina ke alam pikir Yahudi. Dengan demikian, Gereja dihadapkan pada masalah
inkulturasi: perlu mengungkapkan iman kepercayaan ke dalam suatu “bahasa” yang
dapat dimengerti oleh orang yang berbudaya Hellenis (Yunani)[3].
Inkulturasi tadi mengakibatkan bahwa cara bicara alkitabiah (memuat kebenaran
Allah dalam sejarah) diganti dengan konsep-konsep metafisis yang berpusatkan
pada masalah “mengada”. Hal itu jika diterapkan pada konsep “Allah” berarti
bahwa perbedaan antara Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus kiranya dapat diartikan
sebagai perbedaan dalam hal ber-hypostatis,
artinya berdiri sendiri secara metafisis (kata Yunani hypostatis mengacu pada eksistensi pribadi sendiri: “diri pribadi”)[4].
Pada
abad II, muncul sebuah sistem gnostik yang memengaruhi pembentukan ajaran
Gereja tentang Allah Tritunggal di kemudian hari. Sistem gnostik itu adalah
Doketisme. Mereka yang termasuk dalam Doketisme berpendapat bahwa tubuh Yesus
Kristus di bumi ini hanya tubuh yang semu saja (unreal appearance). Paham ini menilai bahwa inkarnasi Yesus
hanyalah sebuah ilusi belaka[5].
Pandangan ini bertitik tolak pada pemahaman bahwa materi itu jahat, penyebab
dosa; dan oleh karena itu tidak dapat dipersatukan dengan Putera Allah menjadi
satu pribadi.
Masa
Ignatius menjadi uskup di Antiokhia (abad II), merupakan masa perjuangan untuk
mempertahankan iman. Hal itu tentunya menjadi tanggung jawab dari seorang uskup
(Antiokhia) dalam memberikan ajaran iman yang benar bagi umat. Selain
memberikan ajaran yang benar, situasi perlawanan terhadap imperial dunia Romawi – yang menuntut pengakuan bahwa kaisar adalah
dewa – juga memberikan pengaruh bagi praktik hidup umat beriman. Dalam ranah
ini, tugas untuk memberikan ajaran benar juga diikuti dengan memberikan teladan
hidup (menolak kultus kaisar sebagai dewa yang patut disembah). Pada masa itu,
pertaruhan hidup umat beriman sebagai pengikut Kristus dituntut, termasuk Uskup
Ignatius sendiri.
B. Konteks Khusus: Hidup Ignatius dari
Antiokhia
Santo
Ignatius (
107), juga
dipanggil Theophorus (pembawa Allah),
adalah uskup Antiokhia setelah Santo Petrus[6].
Pada zaman itu, Roma, Alexndria dan Antiokhia merupakan tiga kota metropolis
dalam Kerajaan Roma. Maka, keuskupan di bawah kepemimpinan Ignatius juga
termasuk bagian dari wilayah kekaisaran. Atas dasar itu, perjuangan Uskup
Ignatius dalam menggembalakan umat berhadapan dengan Kekaisaran Romawi
merupakan tugas penggembalaan yang harus dipikul, sekalipun menjadi martir.
Puncak
kemartiran Ignanitus berawal dalam masa pemerintahan Kaisar Trajanus (98-117).
Uskup Antiokhia itu ditangkap dan dibawa dari Syria menuju Roma. Perjalanan
tersebut merupakan perjalanan menuju kemartiran karena ia akan dihukum mati
dengan menjadi mangsa hewan buas di Roma. Dalam perjalanannya, Ignatius menulis
tujuh surat; empat surat ditulisnya di Smyrna dan tiga surat lainnya di Troas. Dua
kota itu merupakan tempat persinggahan Ignatius di mana ia menulis beberapa
suratnya. Di Smyrna, ia menulis surat untuk jemaat di Efesus, Magnesia dan
Tralles yang berisikan ucapan terima kasih kepada jemaat yang ada di sana
karena memberikan dukungan atas jalan kemartiran yang akan ia hadapi. Dalam
surat yang keempat, ia tujukan kepada jemaat di Roma. Surat yang keempat itu
berisi permintaan Ignatius agar jemaat di Roma tidak berusaha menyelamatkannya
dari jalan kemartiran yang dijatuhkan oleh kekaisaran[7].
Di Troas, Ignatius menulis surat kepada jemaat di
Philadelphia dan Smyrna (termasuk kepada Polycarpus, Uskup Smyrna).
Setelah tinggal beberapa lama di Troas, akhirnya para prajurit
Romawi membawa Ignatius menuju Roma. Mereka berlayar melalui Filipi, di Yunani,
dan dari Filipi ke Roma. Di Roma, Ignatius menghadapi jalan kemartiran untuk
mempertahankan iman dengan dilemparkan ke binatang-binatang buas yang ganas di
amfiteater.
III. Penjelasan Tesis
A. Jalan Kemartiran Menjadi Dasar
“Kemartiran”
berasal dari kata Yunani: martys yang
berarti “saksi”. Dalam dunia kekristenan, kata ini menunjuk pada bentuk
kesaksian yang diberikan untuk Kristus oleh orang-orang Kristiani untuk
menerima kematian sebagai bantuk kesetian kepada Penyelamat mereka (Yesus
Kristus)[8]. Pemahaman
tentang kemartiran juga dapat ditemukan dalam Kitab Makabe di mana semangat
Yudaisme menuntut orang-orang Israel untuk memperjuangkan kesaksian yang lahir
dari kesetiaan iman, sekalipun harus berhadapan dengan penyiksaan dan kematian
(2 Mak 6:28; 7:1.7). Maka, dapat dipahami bahwa
kemartiran adalah jalan utama menuju kesucian dan menjadi dasar untuk kesucian
Kristiani[9].
Ignatius
dalam beberapa suratnya mengembangkan pemahaman tentang kemartiran. Baginya,
kemartiran menunjukkan jalan dari realitas “kehadiran ekaristis[10]”
di mana iman orang-orang Kristen dipupuk. Ia meyakini bahwa jalan kemartiran
merupakan jalan menuju persatuan dengan Yesus Kristus. Untuk itu, dalam surat
kepada jemaat di Roma, Ignatius meminta agar jemaat di sana tidak berusaha untuk
menggagalkan rencana kaisar untuk membunuhnya:
Dari pihak saya, saya menulis kepada
semua Gereja dan meyakinkan mereka bahwa saya sungguh bermaksud untuk mati bagi
Allah. Maka janganlah kamu sendiri memasang rintangan di jalanku. Saya harus
memohon dengan sangat kepadamu, janganlah kamu berbuat baik kepadaku dengan
cara yang keliru. Kuminta, biarlah aku menjadi makanan binatang buas, sebab
mereka itulah yang dapat memberi aku jalan menuju Tuhan. Aku ini gandum Tuhan;
biarlah aku digiling lembut oleh gigi singa untuk dijadikan roti murni bagi
Kristus.
Hal
itu dapat dimengerti karena dengan jalan itu, Ignatius dapat menuju kesucian
Kristiani dengan setia pada Kristus dan akhirnya menuju persatuan dengan-Nya.
Sebagai
seorang uskup yang memimpin jemaat dalam sebuah keuskupan, Ignatius memberikan
bentuk keteladanan orang Kristiani yang sejati. Berhadapan dengan kekuasaan
Romawi, umat tidak hanya membutuhkan ajaran pada tataran teori saja, melainkan
juga bukti sebagai bentuk keseriusan dalam mengikuti Kristus. Kemartiran Ignatius
menunjukkan bahwa setiap orang Kristiani patut untuk mempertahankan imannya
dengan keseriusan dan menerima segala konsekuensi yang harus dihadapi,
sekalipun berhadapan dengan kematian. Baginya, jalan itu merupakan jalan untuk
menjadi “murid yang nyata” dan “orang Kristen sejati”[11]:
Semoga aku menjadi orang Kristen sejati,
dan bukan sekadar pembawa nama Kristen. Saya ingin dinyatakan setia dan benar,
kalau dunia sudah tidak melihat aku lagi. Sebab kebenaran itu letaknya tidak
pada hal yang dilihat oleh mata. Kenyataan bahwa Yesus Kristus sekarang ada di
dalam Bapa menjadi sebab kita melihat Dia dengan jauh lebih jelas. Sebab karya
yang harus kita kerjakan itu bukan soal meyakinkan dengan kata-kata! Inti agama
Kristiani itu menyelesaikan yang agung di hadapan kebencian dunia.
Dengan
memberikan keteladanan kemartiran, Uskup Ignatius ingin mengajak umat beriman
Kristiani agar juga meneladan dirinya. Ia berharap bahwa apa yang menjadi
kebahagiaan atas semangat kemartiran demi ketaatan iman juga dimiliki dan
dialami oleh orang-orang Kristen lainnya:
Aku tidak lagi
menginginkan apa yang lazim disebut hidup. Dan dambaanku akan menjadi kenyataan
jika hal ini juga menjadi keinginanmu. Maka aku mohon, biarlah aku mengalami
apa yang kuinginkan, hingga kamu nanti ganti mengalami demikian.
Keseriusan hidup sebagai orang-orang Kristen
merupakan salah satu topik dari semangat kemartiran yang ditawarkan dari
peristiwa kemartiran Ignatius. Keseriusan dalam bentuk kesungguhan untuk
mengenakan nama “orang Kristen” dalam praktik hidup nyata adalah kerinduan yang
diinginkan oleh Ignatius bagi para pengikut Kristus lainnya.
B. Jalan Kemartiran: Dasar Gereja untuk
Menjadi Umat Allah yang Serius Mengikuti Kristus
1)
Gereja
sebagai Umat Allah
Kata “gereja” berasal dari bahasa Portugis: igreja. Kata igreja merupakan terjemahan dari kata Latin: ecclesia, yang berakar dari kata ekklesia (Yunani). Kata ekklesia
adalah sebuah pertemuan yang sering diadakan (ekkalein) oleh sejumlah orang. Kata itu ditemukan di dalam
Septuaginta sebagai terjemahan dari kata Ibrani, qahal, yang mengacu pada arti: pertemuan jemaat Allah[12].
Dalam konsep itu, kata “gereja” mengarah pada “jemaat Allah”.
Pada Perjanjian Lama, jemaat Allah (Yahwe)
dikumpulkan dalam sebuah pertemuan karena panggilan Sabda Ilahi. Sabda Ilahi
itu mengajak orang-orang Israel, sebagai jemaat pilihan Allah, untuk mengadakan
pertemuan bersama. Beberapa pertemuan itu di antaranya adalah: ketika Hukum
Allah di sampaikan oleh Musa di Gunung Sinai (Kej 19); pembaruan perjanjian
dalam perayaan korban Paskah (2 Raj 23); dan peribadatan bersama kepada Yahwe
(Ul 9:10; Hak 21:5.8).
Pada masa jemaat perdana, istilah “gereja” dimaknai
sebagai perkumpulan jemaat Allah yang dibentuk melalui pewartaan Injil dan iman
dengan kekuatan Roh (1 Kor 2:4)[13].
Selain itu, Gereja juga dimaknai
sebagai jemaat Allah yang percaya akan Yesus Kristus dan yang disatukan karena
kematian serta kebangkitan-Nya (Kol 3:11; Gal 3:28). Gereja dalam arti jemaat
Allah inilah yang hingga kini terus berjiarah di tengah dunia. Atas dasar itu,
Gereja dapat dipandang sebagai persekutuan umat beriman; mereka adalah
persekutuan dari murid-murid Kristus. Eklesiologi masa kini memiliki paham
dasar tentang Gereja sebagai “umat Allah”[14].
2)
Jalan
Kemartiran sebagai Dasar Gereja untuk Menjadi Umat Allah yang Serius Mengikuti
Kristus
Gambaran
Gereja sebagai umat Allah mengarah pada persekutuan orang-orang beriman.
Gambaran Gereja itu lebih dijelaskan oleh Ignatius sebagai orang-orang yang diharapkan
berani memberi kesaksian atas nama “orang Kristen” yang melekat pada identitas
dirinya. Seturut dengan semangat kemartiran Ignatius, umat Allah itu adalah
kaum beriman yang diundang untuk mempertahankan iman, sekalipun berhadapan
dengan situasi yang mengancam hidup.
Baginya,
kemartiran adalah jalan keseriusan untuk mengikuti dan meneladani Yesus
Kristus:
“Biarkanlah aku
mencapai terang, terang murni yang tak ternodai, sebab saya hanya menjadi
manusia sejati kalau saya sudah sampai di sana. Injinkanlah aku meneladan
sengsara Tuhan”!
Semangat kemartiran yang ditandai dengan
keikutsertaan dalam penderitaan Kristus menuju kesucian hidup menjadi dasar
Gereja, yakni umat Allah yang serius menjadi pengikut Kristus. Itulah bentuk kesungguhan
umat Allah – sebagaimana yang diteladankkan Ignatius – dalam mengikuti Kristus.
Dalam Perjanjian Baru, keseriusan umat
Allah dalam mengikuti Kristus dipahami sebagai jalan “kemartiran baru”. Hal
dicapai dengan mencari pasangan hidup yang seiman (2Kor 6:14) sampai pada
keikutsertaan dalam penderitaan Kristus dan pada kesamaan dalam keadilan yang
dituntut dari keikutsertaan dalam Perjamuan Tuhan (1Kor 10-11)[15]. Semangat berbagi juga menjadi bentuk konkrit dari
keseriusan umat Allah. Semangat berbagi juga menyangkut kewajiban sosial untuk
membantu kebutuhan umat lain sampai pada kesediaan umat Korintus untuk
mengirimkan sumbangan ke Yerusalem (2Kor 9:13). Kisah hidup jemaat perdana yang
menjadi pola kehidupan paguyuban-paguyuban dalam Gereja juga menunjukkan
semangat yang sama. Mereka berbagi dalam hal-hal rahmat, dengan bertekun dalam
ajaran para rasul, dalam pemecahan roti dan dalam doa, serta berbagi dalam soal
hidup sehari-hari sehingga tidak ada yang kekurangan di antara mereka (Kis
2:42-47)[16].
Kisah hidup umat Allah dalam jemaat perdana
menunjukkan adanya kesungguhan mereka untuk menjadi seorang Kristen sejati.
Kesungguhan praktik hidup mereka dapat disejajarkan dengan nilai kemartiran
Ignatius: “mengikuti keteladanan Tuhan Yesus”.
C. Menanggapi Panggilan kepada
Kesucian
Kemartiran
Ignatius dari Antiokhia merupakan salah satu jalan kesucian. Kemartirannya
menunjuk pada kesetiaan untuk memegang teguh iman Kristiani sekalipun
mengorbankan nyawa. Kesetiaan itulah yang menjadi dasar baginya untuk semakin
yakin bahwa Allah akan mempersatukan ia dengan Diri-Nya: “Biar aniaya setan
yang paling mengerikan pun boleh menimpa diri saya, asal saya dapat menemukan
jalan menuju Kristus”.
Tuhan
Yesus adalah Guru dan Teladan Ilahi segala kesempurnaan. Panggilan kepada
kesucian diajarkan-Nya dalam Kitab Suci: “Kamu harus sempurna, seperti Bapa-Mu
yang di surga sempurna adanya” (Mat 5:48). Dengan jalan menuju kesucian hidup,
yang dikerjakan dan dipenuhi-Nya sendiri, Ia mewartakan kepada semua dan setiap
murid-Nya tentang kesucian (LG 40). Pengorbanan salib Kristus merupakan titik
pangkalnya dan itu menjadi dasar kemartiran Ignatius menuju kesucian hidup: “Injinkanlah aku meneladan sengsara Tuhan”! Kesediaan
untuk menunjukkan keseriusan diri dalam mengikuti Kristus dan akhirnya nanti
bersatu dengan-Nya merupakan bentuk kesungguhan Ignatius sebagai orang Kristen
sejati. Hal itu memampukannya untuk dapat menghadapi penderitaan kemartiran:
Inilah tahap pertama bagiku untuk
menjadi murid Kristus. Tidak ada kuasa, kelihatan maupun tidak kelihatan, boleh
merintangi saya yang mau datang kepada Yesus Kristus. Api, salib, atau
pergulatan dengan binatang buas? Dibelah, dipotong-potong, tulang diremuk, atau
anggota dipisah-pisah, atau bahkan seluruh badan ditumbuk halus-halus? Biar
aniaya setan yang paling mengerikan pun boleh menimpa diri saya, asal saya
dapat menemukan jalan menuju Kristus.
Semangat
kemartiran Uskup Ignatius merupakan bentuk konkrit dari orang Kristen yang
sejati. Kemartiranya menjadi salah satu tanda keseriusan seorang pribadi yang
secara khusus mengarahkan hidup bagi Kristus. Itulah arah panggilan menuju
kesucian hidup, yakni setia pada iman yang memberikan harapan akan persatuan
dengan Dia yang dicari:
Dari pihak saya, saya menulis kepada
semua Gereja dan meyakinkan mereka bahwa saya sungguh bermaksud untuk mati bagi
Allah. Maka janganlah kamu sendiri memasang rintangan di jalanku. Saya harus
memohon dengan sangat kepadamu, janganlah kamu berbuat baik kepadaku dengan
cara yang keliru. Kuminta, biarlah aku menjadi makanan binatang buas, sebab mereka
itulah yang dapat memberi aku jalan menuju Tuhan.
Kesediaan untuk mengalami siksa kemartiran merupakan
buah kemendalaman dari cinta mistis akan Kristus. Kerelaan mengorbankan nyawa
merupakan bagian dari keseriusan Ignatius untuk setia pada iman. Ia berharap
agar keseriusannya dalam menanggapi panggilan kesucian juga menggaung dalam
diri orang Kristen yang lain:
Biarkanlah aku
mencapai terang, terang murni yang tak ternodai, sebab saya hanya menjadi
manusia sejati kalau saya sudah sampai di sana. Ijinkanlah aku meneladan
sengsara Tuhan! Bila ada seseorang di antaramu memiliki Tuhan di dalam dirinya,
biarlah ia merasa seperti aku, maka ia akan mengerti kekuatan apa yang
menguasai aku.
Harapan
itu pulalah yang ditawarkannya kepada Gereja – umat Allah – dalam menanggapi
panggilan kepada kesucian.
IV. Sumbangan Ignatius dari Antiokhia
Dari uraian
bagian-bagian tesis di atas, tulisan Ignatius dari Antiokhia dapat memberikan
sumbangan bagi Gereja pada jaman sekarang. Kedalaman relasi dengan Yesus
Kristus memampukannya untuk menjadi martir berdarah di Roma. Semangat
kemartirannya menjadi dasar bagi terbangunnya Gereja sebagai umat Allah yang
serius dalam mengikuti Kristus.
Keseriusan
sebagai umat Allah dalam mengikuti Kristus termuat dalam LG 40: “…, hendaklah
kaum beriman mengerahkan tenaga yang mereka terima menurut ukuran yang
dikaruniakan oleh Kristus supaya dengan mengikuti jejak-Nya dan menyerupai
citra-Nya, dengan melaksanakan kehendak Bapa dalam segalanya, mereka dengan segenap
jiwa membaktikan diri kepada kemuliaan Allah…”. Nilai kesungguhan dalam LG 40,
mengundang Gereja sebagai umat Allah untuk menjadi orang Kristen sejati sebagai
tanggapan atas panggilan kepada kesucian.
Nilai keseriusan
dari semangat kemartiran Ignatius dari Antiokhia dapat ditempatkan dalam
konteks Gereja yang tengah berjuang menuju undangan kesempurnaan-kesucian. Konteks
Gereja itu (secara struktur garis besarnya) meliputi tiga pokok pembahasan
(sebagaimana dalam LG)[17]: hierarki,
hidup membiara dan kaum awam. Dalam dokumen Konsili Vatikan II, keseriusan
masing-masing strukutur Gereja sebagai umat Allah dalam mengikuti Kristus
termuat dalam pelbagai tugas yang ditawarkan. Beberapa tugas yang ditawarkan
adalah:
·
Hierarki
-
Uskup: para uskup selaku pengganti para
Rasul menerima perutusan untuk mengajar semua bangsa dan mewartakan Injil
kepada segenap makhluk, supaya semua orang, karena iman, baptis dan pelaksanaan
perintah-perintah memperoleh keselamatan (LG 24); untuk itu, tugas utama mereka
adalah mengajar (LG 25), menguduskan (26) dan menggembalakan ( LG 27).
-
Imam: sebagai pembantu yang arif badan
para uskup, sebagai penolong dan organ mereka, para imam dipanggil untuk
melayani umat Allah; di bawah kewibawaan uskup, para imam menguduskan dan
membimbing bagian kawanan Tuhan yang diserahkan kepada mereka (LG 28).
-
Diakon: pada tingkat hierarki yang lebih
rendah terdapat para diakon, yang ditumpangi tangan “bukan untuk imamat,
melainkan untuk pelayanan”; sebab dengan diteguhkan rahmat sakramental, mereka
mengabdikan diri kepada umat Allah dalam perayaan liturgi, sabda dan amal kasih
dalam persekutuan dengan uskup dan para imamnya (LG 29).
·
Hidup
Membiara
-
Hendaklah para religius sungguh-sungguh
berusaha, supaya melalui mereka, Gereja benar-benar makin hari makin jelas
menampilkan Kristus kepada kaum beriman maupun tidak beriman, entah bila ia
sedang berdoa di atas bukit, entah bila sedang mewartakan Kerajaan Allah kepada
rakyat, entah bila ia sedang menyembuhkan mereka yang sakit dan terluka, serta
mempertobatkan kaum pendosa kepada hidup yang baik, atau sedang memberkati
kanak-kanak dan berbuat baik terhadap semua orang, senantiasa dalam kepatuhan
kepada kehendak Bapa yang mengutus-Nya (LG 46).
·
Kaum
Awam
-
Kaum beriman Kristiani, yang berkat
baptis telah menjadi anggota Tubuh Kristus, terhimpun menjadi umat Allah,
dengan cara mereka sendiri ikut mengemban tugas imamat, kenabian dan rajawi
Kristus, dan dengan demikian sesuai dengan kemampuan mereka melaksanakan
perutusan segenap umat Kristiani dalam Gereja dan di dunia; berdasarkan
panggilan mereka yang khas, kaum awam wajib mencari Kerajaan Allah dengan mengurusi
hal-hal yang fana dan mengaturnya seturut kehendak Allah; mereka hidup dalam
dunia, artinya menjalankan segala macam tugas dan pekerjaan duniawi, dan berada
di tengah kenyataan biasa hidup berkeluarga dan sosial (LG 31).
Pelbagai tugas
itu merupakan bentuk kesaksian perwujudan iman yang bila dilaksanakan
menunjukkan adanya keseriusan Kristiani. Bila Ignatius melaksanakan keseriusan
imannya dengan jalan kemartiran berdarah, kini umat Allah diundang untuk
melaksanakan keseriusan akan imannya dengan jalan “kemartiran yang baru”.
V.
Penutup
Kemartiran Santo
Ignatius dari Antiokhia memberikan bentuk keteladanan bagi Gereja, umat Allah. Kemartirannya
menawarkan terbentuknya umat Allah yang memiliki keseriusan dalam menanggapi
panggilan Kristiani: menuju kepada kesucian. Untuk mencapai ke arah itu, umat
Allah diundang agar menunjukkan identitas dirinya sebagai orang Kristiani –
tidak sekadar menyandang nama Kristen saja – melalui kesungguhan dalam
mempertahankan iman.
Pada jaman
sekarang, keseriusan untuk menjadi pengikut Kristus yang sejati merupakan
ajakan agar Gereja berani memberikan kesaksian akan iman mereka. Keberanian
dalam memberikan kesaksian itu menjadi tuntutan bagi mereka yang berada dalam
struktur hierarki, hidup membiara dan kaum awam sebagai bentuk kesungguhan
terhadap kesetian atas iman. Akhirnya, dengan melaksanakan cara dan tugas
mereka masing-masing, jalan panggilan yang menjadi arah Gereja kepada kesucian
menjadi jelas.
[1] PWI Liturgi, Bacaan Ofisi Masa Biasa: Pekan X-XIII,
Yayasan Kanisius, Yogyakarta 1982, 17-20.
[2] PWI Liturgi, Bacaan Ofisi Masa Biasa: Pekan X-XIII, 26-28.
[3] Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika 1, Kanisius, Yogyakarta
2004,131.
[4] Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika 1, 131.
[5] Louis Bouyer, Dictionary Of Theology, Desclee Co.,
Inc., U.S.A. 1965, 230.
[6] J. Tixeront, Handbook Of Patrology, Vail-Ballow
Press, Inc., Binghamton and New York 1943, 13.
[7] Berthold Altaner, Patrology, Herder, West Germany 1960,
106.
[8] Louis Bouyer, Dictionary Of Theology, 294.
[10] “Kehadiran ekaristis” di sini
menunjuk pada partisipasi umat dalam korban salib Yesus Kristus yang secara sakramental
dihadirkan dalam Ekaristi. Dengan berani menjadi martir, orang-orang Kristiani
disatukan dengan peristiwa salib Yesus Kristus. Maka, kemartiran juga disebut
sebagai “partisipasi sakramental”.
[11] Cyril C. Richardson, Early Christian Fathers, Grand
Rapids, MI: Christian Classics Ethereal Library, Philadelphia 1953, 58-59.
[12]Louis Bouyer, Dictionary Of Theology, 81.
[13]Louis Bouyer, Dictionary Of Theology, 82.
[15] M. Purwatma, “Persekutuan
Paguyuban-paguyuban yang Berbagi dan Berbelarasa” dalam Gereja yang Melayani dengan Rendah Hati, Kanisius, Yogyakarta 2009,
137.
[16] M. Purwatma, “Persekutuan
Paguyuban-paguyuban yang Berbagi dan Berbelarasa” dalam Gereja yang Melayani dengan Rendah Hari, 137.
[17] Tom Jacobs, Dinamika Gereja, Kanisius, Yogyakarta 1979, 159-225.