Pernahkah Anda mengenal semboyan ini:
“Muda Foya-foya, Tua Kaya-raya, Mati Masuk Surga”? Agaknya semboyan itu telah
membudaya di kalangan masyarakat kita, secara khusus kalangan anak muda. Bisa
jadi semboyan itu ingin mendengungkan semangat hidup yang intinya ingin
menghabiskan segala seusatu yang dipunya tanpa melihat sejauh mana
mendapatkannya. Atau, semboyan itu ingin mengatakan bahwa tiket masuk surga
juga terbuka bagi orang-orang yang hidupnya penuh dengan suasana foya dan kaya.
Pertanyaan yang patut direnungkan
berkaitan dengan semboyan itu adalah apakah sejalan antara hidup yang foya-foya
dengan kaya raya dan masuk surga? Faktanya, foya-foya itu justru menghabiskan
harta, bukan menggunakannya dengan bijak, bukan membuat kaya, dan ujung-ujungnya malah
dijauhkan dari surga! Kalau boleh dibilang jujur, semboyan di atas hanyalah bentuk
legitimasi untuk melanggar berbagai aturan. Alhasil, masa mudanya habis untuk
sia-sia, rambu-rambu nilai agama dilanggar, yang penting bahagia; itu
prinsipnya.
Kita berfokus pada “hidup foya-foya”.
Mungkin jaman sekarang, banyak orang hidup dengan mode dan gaya demikian. Kalau
boleh disebut, manusia faktanya memiliki ketertarikan pada suasana “pesta pora”
dalam merayakan setiap pengalaman hidup, baik pengalaman keseharian ataupun
pengalaman yang besar. Bentuk pesta pora mungkin berubah setiap waktu dan
tempat, tapi esensinya tetap sama: manusia ingin memanjakan egonya dengan kemabukan
dan penghabisan harta yang dimiliki, baik itu berlimpah ataupun yang berkecukupan.
Yang mau ditekankan di sini adalah
bahwa bukannya kita tidak diizinkan untuk membuat perayaan dalam setiap
pengalaman hidup; tapi yang kadang menjadi masalah adalah ketika kita menjadi
terlalu terikat pada pesta pora dan kemewahan sehingga membuatnya sebagai
bagian dari identitas kita. Faktanya: ada orang-orang yang membutuhkan
pengakuan sosial untuk merasa dirinya berharga, sehingga rela menghabiskan
harta hanya untuk memiliki penampilan yang memukau. Padahal, sejatinya jati
diri tidak hanya dapat dinilai dari apa yang kita miliki atau kenakan.
Dunia terus berubah; dan manusia pun juga mengikutinya. Tapi peringatan
Tuhan – yang mengatakan: “Jagalah dirimu, jangan sampai hatimu sarat dengan pesta
pora dan kemabukan serta kepentingan-kepentingan duniawi....” – masih tetap
relevan hingga sekarang. Kita disadarkan untuk tidak terjebak dalam “lubang
pesta pora dan hidup foya-foya”. Tuhan tidak menginginkan agar kita terjatuh
dalam lubang kepurukan itu.
Lantas, bagaimana kalau kita sudah terlanjur terpuruk? Mungkin nasihat
ini patut untuk direnungkan: “Jangan terpuruk ketika kamu tengah berada dalam
situasi terburuk; Tuhan memberikannya padamu, karena Dia ingin kamu lebih kuat
dari sebelumnya”.
Tuhan memberkati. Amin!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar