Minggu, 20 November 2016

Muda Foya-foya, Tua Kaya-raya, Mati Masuk Surga



Pernahkah Anda mengenal semboyan ini: “Muda Foya-foya, Tua Kaya-raya, Mati Masuk Surga”? Agaknya semboyan itu telah membudaya di kalangan masyarakat kita, secara khusus kalangan anak muda. Bisa jadi semboyan itu ingin mendengungkan semangat hidup yang intinya ingin menghabiskan segala seusatu yang dipunya tanpa melihat sejauh mana mendapatkannya. Atau, semboyan itu ingin mengatakan bahwa tiket masuk surga juga terbuka bagi orang-orang yang hidupnya penuh dengan suasana foya dan kaya.
Pertanyaan yang patut direnungkan berkaitan dengan semboyan itu adalah apakah sejalan antara hidup yang foya-foya dengan kaya raya dan masuk surga? Faktanya, foya-foya itu justru menghabiskan harta, bukan menggunakannya dengan bijak,  bukan membuat kaya, dan ujung-ujungnya malah dijauhkan dari surga! Kalau boleh dibilang jujur, semboyan di atas hanyalah bentuk legitimasi untuk melanggar berbagai aturan. Alhasil, masa mudanya habis untuk sia-sia, rambu-rambu nilai agama dilanggar, yang penting bahagia; itu prinsipnya.
Kita berfokus pada “hidup foya-foya”. Mungkin jaman sekarang, banyak orang hidup dengan mode dan gaya demikian. Kalau boleh disebut, manusia faktanya memiliki ketertarikan pada suasana “pesta pora” dalam merayakan setiap pengalaman hidup, baik pengalaman keseharian ataupun pengalaman yang besar. Bentuk pesta pora mungkin berubah setiap waktu dan tempat, tapi esensinya tetap sama: manusia ingin memanjakan egonya dengan kemabukan dan penghabisan harta yang dimiliki, baik itu berlimpah ataupun yang berkecukupan.
Yang mau ditekankan di sini adalah bahwa bukannya kita tidak diizinkan untuk membuat perayaan dalam setiap pengalaman hidup; tapi yang kadang menjadi masalah adalah ketika kita menjadi terlalu terikat pada pesta pora dan kemewahan sehingga membuatnya sebagai bagian dari identitas kita. Faktanya: ada orang-orang yang membutuhkan pengakuan sosial untuk merasa dirinya berharga, sehingga rela menghabiskan harta hanya untuk memiliki penampilan yang memukau. Padahal, sejatinya jati diri tidak hanya dapat dinilai dari apa yang kita miliki atau kenakan.
Dunia terus berubah; dan manusia pun juga mengikutinya. Tapi peringatan Tuhan – yang mengatakan: “Jagalah dirimu, jangan sampai hatimu sarat dengan pesta pora dan kemabukan serta kepentingan-kepentingan duniawi....” – masih tetap relevan hingga sekarang. Kita disadarkan untuk tidak terjebak dalam “lubang pesta pora dan hidup foya-foya”. Tuhan tidak menginginkan agar kita terjatuh dalam lubang kepurukan itu.
Lantas, bagaimana kalau kita sudah terlanjur terpuruk? Mungkin nasihat ini patut untuk direnungkan: “Jangan terpuruk ketika kamu tengah berada dalam situasi terburuk; Tuhan memberikannya padamu, karena Dia ingin kamu lebih kuat dari sebelumnya”.

Tuhan memberkati. Amin!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

La présence de Dieu qui accompagne toujours nos vies est un mystère. Sa présence réelle qu'Il soit là ou ici, nous ne pourrons peut-être...