Keluaga merupakan lingkup pertama dan utama di mana anak-anak
belajar untuk mendapat pendidikan serta pengalaman hidup. Tidak dapat disangkal
bahwa keluarga menjadi basic atau
dasar pembentukan kepribadian anak sebelum mereka mampu beradaptasi dengan baik
di lingkungan luar. Korelasinya adalah bahwa jika anak sudah diajari dengan
baik apa yang menjadi nilai atau norma hidup di lingkungan keluarga, maka anak
pun (diharapkan) akan mampu untuk beradaptasi – menghadirkan diri – di
lingkungan luar (bersosial dengan masyarakat luas). Anak pun akan dapat
menyerap dan mengolah nilai-nilai hidup yang mereka temui ketika berjumpa
dengan teman atau pun masyarakat.
Jika memang keluarga dapat dikatakan sebagai “tempat
pendidikan awal” bagi anak-anak, maka peran orang tua sangat tepat disebut.
Sebagai penanggung jawab utama dalam hidup berkeluarga, orang tua – yakni:
suami dan istri – memiliki kewajiban moral untuk mendidik anak-anak sesuai
dengan semangat hidup perkawinan. Salah satu bentuk konkret mendidik anak
sebenarnya dapat dilakukan dengan menghadirkan diri sebagai figur yang patut
diteladani dan ditiru; bukan malah sebaliknya.
Dalam keluarga, kecenderungan anak untuk meniru kebiasaan
orang tua lebih besar dari pada meniru anggota keluarga lain seperti kakek,
nenek atau saudara yang lain. Ini terjadi karena keberadaan orang tua menjadi
sosok yang intensitas pertemuannya lebih rapat dengan mereka, terutama pada
anak-anak yang masih berada di golden age
zone (usia emas: 0-5 tahun). Pada tahap ini anak akan menyerap apa saja
yang mereka dapat dari orang tua sebagai suatu stimulus (rangsangan),
memprosesnya dalam bentuk skema dan pola informasi yang mereka bangun dalam
pikiran, lalu mengeluarkannya dalam bentuk respon konkret (tindakan).
Lantas, apa contohnya? Sadarkah Anda ketika memberikan uang
untuk anak Anda? Misalkan uang itu adalah sebagai berikut: Rp 10.000 diberikan
untuk kolekte dan Rp 1.000 untuk jajan. Tentu anak akan meresponnya dengan
menggunakan uang itu sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh orang tua. Anak
tidak akan berfikir panjang mengapa jumlahnya berbeda: antara untuk kolekte dan
untuk jajan. Di balik itu semua, sebenarnya orang tua memberikan pengajaran
kepada anak untuk memberikan yang terbaik kepada Gereja; meski kadang orang tua
tidak menyadarinya. Sisi bawah sadar anak akan merekam pengalaman itu: bahwa
untuk Gereja harus lebih baik, harus lebih besar, harus yang terbaik. Inilah
yang akan dipelajari oleh anak dan akan terbawa dalam pengalaman bawah sadarnya
di mana pengalaman ini akan selalu mengajari dan mendorong mereka untuk
memberikan diri yang terbaik bagi Gereja.
Saya yakin bahwa Anda adalah salah satu dari orang tua yang memberikan
Rp 10.000 untuk kolekte dan Rp 1.000 untuk jajan. Ataukah sebaliknya?
jenli,
scj
Tidak ada komentar:
Posting Komentar