Minggu, 29 Oktober 2017

REFLEKSI HARI KE-4

Diutus ke tempat pelayanan yang baru membuatku untuk keluar dari zona nyaman menuju tantangan. Mengapa? Ya..., karena tempat perutusan baru tentunya akan menyuguhkan pelbagai hal yang baru; dan itu semua menuntutku untuk belajar pada hal-hal yang baru pula.
Namun di atas itu semua, semangat ecce venio (datang untuk melakukan kehendak Tuhan) mengajari supaya rendah hati. Rendah hati yang dimaksud adalah menerima tugas perutusan, bukan dipandang sebagai pekerjaan semata, melainkan sebagai persembahan diri kepada Hati-Nya. Rasanya ini menjadikan pelayanan di tempat baru lebih memiliki makna rohani yang mendalam dan menjadikannya lebih kreatif.

Sabtu, 28 Oktober 2017

REFLEKSI HARI KE-3

Sakramen Pengampunan menjadi saat di mana wajah kasih Allah terlihat jelas. Ia yang menerima, memeluk dan mengampuni terlihat dalam diri seorang imam yang terberkati.
Aku sadar bahwa di saat itulah Allah ingin menyapa, “Sudah..., jangan berdosa lagi”. Pengalaman kasih ini menjadikan diri serasa diterima; menjadi bahagia dan bersemangat kembali.

REFLEKSI HARI KE-2

Imamat menjadi tanda Kasih-Nya bahwa Ia mencintai. Anugerah ini sebenarnya menjadikanku sebagai pribadi yang peka, peka akan ketidak-sucian yang menyebabkan imamat ternodai.
Ya..., peka akan dosa; seharusnya imamat menjadikanku peka akan realitas itu. Sisi manusia kuakui memang tidak mudah untuk “menjinakkannya”. Aku tak jarang masuk dalam kejatuhan akan kelemahan. Di tengah situasi itu, suara hati berseru, “Itu salah”!
Meski demikian, Kasih Allah memang tiada batas. Ia tetap mengasihi dengan rahmat sakramen pengampunan yang dalam sisi pandang-Nya ingin mengatakan, “Aku tetap mengasihimu”.

Kamis, 26 Oktober 2017

Retret Hari Ke-1
[26 Okt 2017]

IMAMAT menjadi titik temu antara awal sejarah hidup dan perjalanan hidup ke depan. Melihatnya dari sudut pandang Dia menjadikan seluruh rangkaian hidup - bukan dipilih secara selektif - menjadi bingkai KASIH. Dia mengikutsertakan diri yang lemah ini dalam "lingkaran keselamatan Ilahi" (berawal dari-Nya kekudusan itu mengalir; hadir di tengah manusia dan akan kembali kepada-Nya). Diri ini sadar bahwa lemah, namun kasih-Nya tak kenal batas.

Kamis, 19 Oktober 2017

          NYALA API SEMANGAT CINTA TUHAN

                             (Luk. 12: 49-53)

Sahabat dehonian yang terkasih, dalam Injil yang baru saja kita baca mengisahkan bagaimana Tuhan Yesus berkarya. Dalam karya-Nya itu, Ia mewartakan bahwa kedatangan-Nya membawa pertentangan, bukan perdamaian. Apa yang dikatakan-Nya tentu membuat kita terkejut dan bahkan bertanya-tanya: apa maksud dari semuanya itu?
Dalam perjalanan karya perutusan, Yesus mengalami banyak pengalaman; dan pengalaman-pengalaman itu meliputi pengalaman penerimaan serta penolakan dari orang-orang yang mendengarkan-Nya. Orang-orang yang mendengarkan pewartaan-Nya menjadi percaya dan mengikuti-Nya; sedangkan orang-orang yang tidak mendengar – bahkan menolak pewartaan-Nya – memusuhi Yesus. Bisa jadi, mereka yang percaya kepada Yesus akan mengalami hal yang sama dengan yang Yesus alami, yakni akan ditolak dan dimusuhi. Inilah konsekuensi dari pilihan yang harus dihadapi.
Tak jarang dan tak terhindar bila konsekuensi dari pilihan yang harus dihadapi itu adalah bagian dari hidup kita, yang percaya kepada Yesus dan menjadi pengikut atau murid-murid-Nya. Maka, sebagai murid-murid Kristus, kita harus terus-menerus mengarahkan diri kepada-Nya. Yesus pun berharap bahwa api kasih-Nya yang dicurahkan kepada kita terus menyala, terus membakar kita untuk setia mengikuti-Nya. Tanda di mana kita setia untuk mengikuti-Nya terwujud dengan usaha dan perjuangan kita untuk mencintai mereka atau apa yang dipercayakan kepada kita: keluarga, teman atau sahabat; mencintai pekerjaan atau tugas perutusan yang dipercayakan kepada kita.
Memang, kesetiaan dalam usaha dan memperjuangkan mencintai mereka atau apa yang dipercayakan kepada kita membutuhkan tekad, bahkan tidak hanya itu; kadang juga membutuhkan pengorbanan. Saya pun demikian. Ketika harus melayani umat di stasi-stasi dengan memberikan pelayanan, pelayanan Misa misalnya, kadang harus disertai dengan tekad bulat dan keharusan untuk berani berkorban.
Berhadapan dengan situasi jarak tempuh 30 sampai 40-an kilometer, belum lagi disertai dengan medan jalan yang penuh dengan lobang (orang menyebut keadaan infrastruktur jalan di tempat kami sebagai “wisata jeglongan sewu”; tapi saya merubahnya menjadi “wisata jeglongan rongewu luwih”); berhadapan dengan situasi tindak kriminal “grandong” (di mana pelaku kejahatan dengan senjata api rakitan meminta paksa kendaraan motor korban di jalan) yang kian merajalela; beberapa situasi di atas memang jika dipandang sebagai situasi yang berisiko. Tapi kesadaran saya bahwa tugas pelayanan umat adalah bagian dari tugas perutusan yang dipercayakan, inilah yang mendorong saya untuk lebih dan lebih berani bertekad untuk terus melangkah; sekalipun pengorbanan memintanya.
Nyala api cinta yang dibawa Tuhan sudah bernyala di dalam diri dalam pelaksanaan tugas pelayanan rasanya menjadi daya pacu dan picu bagi saya; demikian pula dengan Anda, sahabatku. Tuhan pun memberikan nyala api cinta yang sama yang mendorong Anda untuk berusaha dan berjuang untuk mencintai mereka atau apa yang dipecayakan kepada kita; serta mencintai pekerjaan atau tugas perutusan yang dipercayakan.

Tuhan memberkati. Amin!

Selasa, 10 Oktober 2017

Judul Buku     :    The Flat-Earth Conspiracy (Terj.)
Penulis            :    Eric Dubay
Penerbit          :    Bumi Media
Tahun Terbit  :    2017

Terbongkar! Bentuk bumi sebenarnya bukan bulat, tetapi datar.
Selama ini kita meyakini bahwa bentuk bumi yang kita huni ini berbentuk bulat. Pengetahuan tentang bumi bulat diajarkan di semua ruang pendidikan atau sekolah di seluruh dunia. Bahkan sejak kita masih dalam usia anak-anak pun sudah “dijejali” dengan gambaran bahwa bumi itu bulat seperti bola. Konsep bumi yang berbentuk bulat sudah menjadi sistem kepercayaan yang tertanam begitu kuat di otak. Namun, ilmu pengetahuan terus berkembang. Apa yang kita yakini sekarang ini bisa jadi berubah kemudian. Keyakinan bahwa bumi itu bulat, yang sudah mapan selama ratusan tahun, mulai digugat. Selama hampir lima ratus tahun, masyarakat telah benar-benar tertipu oleh dongeng kosmik proposisi astronomi (hal. 5).
Seorang peneliti nasional, Eric Dubay, mengungkapkan fakta bahwa teori bumi bulat adalah ilusi yang ditanam di otak kita lewat kebohongan sains dan propaganda media selama lebih dari 500 tahun. Dalam bukunya, The Flat-Earth Conspiracy, Eric memberikan penjelasan konsep bumi datar beserta bukti-bukti ilmiah yang mengungkapkan bahwa bentuk bumi itu bukan bulat, tapi datar. Baginya, teori bumi bulat merupakan bentuk konspirasi terbesar sepanjang sejarah manusia. Selama lima ratus tahun, dengan menggunakan segala bentuk media mulai dari buku, majalah, televisi, hingga gambar hasil rekayasa komputer, konspirasi multi-generasi ini telah berhasil mengubah pemikiran massa dengan mencomot citra bumi yang bergeming, mengubah bentuk bumi menjadi bulat, membuatnya berputar dalam lintasan berbentuk lingkaran dan membuatnya beredar mengelilingi matahari pada orbitnya (hal. 20).
Dalam penelitian yang dituangkan di buku ini, Eric Dubay mengungkapkan fakta-fakta mencengangkan yang membuktikan bahwa bumi itu datar, bukan bulat. Banyak fakta yang dikupas dari pelbagai disiplin ilmu pengetahuan. Beberapa fakta ilmiah yang kuat dan belum bisa di bantah di antaranya adalah non-kurvatur bumi datar yang dapat diukur; pencerahan bumi datar melalui mercusuar; berbedanya situasi antara Antartika dan Arktika; fenomena gerhana matahari dan bulan dan beberapa bukti ilmiah lainnya.
Bersatu dengan Komunitas Flat-Earth Society, Eric Dubay berusaha untuk memberikan pemahaman real kepada dunia bahwa apa yang banyak orang pahami selama ini – tentang bentuk bumi – adalah sesuatu yang keliru. Dalam menyebarkan pemahamannya, Eric Dubay bersama dengan anggota dalam komunitas pun mendapat tantangan dari beberapa orang – dapat dikatakan sebagai kelompok Tatangan Dunia “globalis” – yang berusaha untuk membungkam agar “rahasia besar penipuan” mereka tidak terbongkar.
Buku ini baik untuk dibaca sebagai penambah wawasan dan sekaligus sebagai pemberi perspektif baru dalam memandang konsep dunia yang sudah terpatri di pikiran kita. Selamat membaca!



La présence de Dieu qui accompagne toujours nos vies est un mystère. Sa présence réelle qu'Il soit là ou ici, nous ne pourrons peut-être...