Minggu, 01 September 2019


Secuil Renungan Kecil 



“Apakah yang anda makan hari ini, seafood atau mie instan atau...? Ahh, itu semua tidak sehat lho...”, begitulah perkataan dari teman saya yang dulu pernah kuliah di Ilmu Gizi dan Nutrisi Makanan ketika kami bertemu beberapa waktu yang lalu. Saya masih ingat ketika gagasan untuk mempromosikan kesadaran kesahatan muncul pertama kalinya, hal ini mengundang banyak perdebatan, tetapi juga banyak yang sangat antusias menanggapinya.
Dari hal yang mulai samar-samar, kini menjadi kelihatan lebih pasti. Makan tidak hanya persoalan tentang apa yang kita makan untuk hidup, tetapi juga tentang apa yang menjadi kenikmatan darinya. Fakta bahwa orang semakin memperhatikan apa yang mereka atau orang lain makan merupakan tanda yang jelas bahwa kita menjadi lebih sadar akan apa yang kita masukkan ke dalam perut kita.
Sungguh menakjubkan bahwa masih banyak orang yang belum tahu hal ini, yakni tentang kerakusan. Kita tergoda untuk menikmati makanan yang serba enak karena memang memanjakan lidah dan atau karena begitu mudah dicari saat ini. Seringkali kita lalai mengingat berapa kalori asupan yang sudah diterima tubuh dan berapa kalori yang sudah digunakan. Semua makanan dicoba tanpa mengingat bahwa tubuh perlu keseimbangan. Menghargai tubuh tidak sama dengan memanjakan atau terlalu keras memaksakannya bekerja, tetapi untuk melihat tubuh kita sebagai teman yang akan mendampingi sampai akhir hayat.
Dalam filsafat Cina, ada prinsip emas, yaitu menemukan keseimbangan dari kedua tegangan dalam kehidupan. Tidak terlalu panas atau terlalu dingin, tidak terlalu cepat atau terlalu lambat, tidak terlalu ketat atau terlalu longgar. Oleh karena itu, kita harus menemukan keseimbangan dalam beberapa hal, misalnya: saat kita makan, tidur, istirahat, bekerja dan rekreasi agar tubuh dapat berfungsi pada tingkat energi optimal ketika digunakan. Bila kita mulai membiasakan memahami tubuh kita sendiri, kita dapat dengan mudah mencegah serangan penyakit. Dengan memperhatikan prinsip keseimbangan, kita dapat terus memelihara kehidupan dan kesehatan yang baik.
Praktik keseimbangan itu juga dapat dikaitkan dengan praksis doa dan meditasi. Dalam aktivitas-aktivitas tersebut, kita menemukan kedamaian dengan Allah dan diri sendiri. Keteraturan doa dan meditasi menciptakan relaksasi dan ketenangan sehingga kerja kelenjar adrenalin maupun jantung kita bekerja dengan lebih ringan dari biasanya. Fungsi tubuh menjadi lebih efisien sehingga memperkecil risiko terkena suatu penyakit. Ketika tubuh kita dalam suasana damai dan tenang, tubuh lebih mampu mengatasi penyakit. Memang, tubuh di satu sisi harus bekerja (secara jasmani), tapi di lain sisi juga membutuhkan kesegaran rohani.
Sebenarnya sudah banyak metode doa dan meditasi yang ditawarkan, baik dari buku maupun kelompok doa tertentu. Permasalahannya adalah apakah kita sudah berusaha meluangkan waktu untuk melakukannya? Apapun metode yang kita lakukan, meluangkan waktu untuk berdoa, relaksasi dan menemukan ruang untuk berdamai dengan diri sendiri dan dengan Allah, semuanya bermanfaat untuk menunjang kesehatan dan kehidupan.
Penyembuhan seringkali mulai pada saat tubuh dan pikiran sedang santai. Ketika tubuh tidak terbebani oleh tekanan hidup, tubuh mulai dapat menangani proses-proses pemulihan yang diperlukan. Doa menempatkan hati kita dengan nyaman, membuat kita menjadi lebih terbuka sehingga memungkinkan daya Ilahi berperan dalam diri. Ketika ini terjadi, doa menjadi momen perdamaian dan kepercayaan pada Pencipta yang mengasihi serta mengenal kita di setiap rasa; juga menjadi dasar untuk menuju proses penyembuhan dan di sanalah keajaiaban bisa terjadi.
Lantas, yang patut kita renungkan adalah “sudahkah aku memuliakan Allah dengan tubuhku, yakni dengan menjaga kesehatan tubuh sebagai rasa terima kasihku atas karunia dari-Nya”?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

La présence de Dieu qui accompagne toujours nos vies est un mystère. Sa présence réelle qu'Il soit là ou ici, nous ne pourrons peut-être...