Secuil Renungan
Kecil
“Apakah yang
anda makan hari ini, seafood atau mie
instan atau...? Ahh, itu semua tidak sehat lho...”, begitulah perkataan dari
teman saya yang dulu pernah kuliah di Ilmu Gizi dan Nutrisi Makanan ketika kami
bertemu beberapa waktu yang lalu. Saya masih ingat ketika gagasan untuk
mempromosikan kesadaran kesahatan muncul pertama kalinya, hal ini mengundang
banyak perdebatan, tetapi juga banyak yang sangat antusias menanggapinya.
Dari hal yang
mulai samar-samar, kini menjadi kelihatan lebih pasti. Makan tidak hanya persoalan
tentang apa yang kita makan untuk hidup, tetapi juga tentang apa yang menjadi
kenikmatan darinya. Fakta bahwa orang semakin memperhatikan apa yang mereka
atau orang lain makan merupakan tanda yang jelas bahwa kita menjadi lebih sadar
akan apa yang kita masukkan ke dalam perut kita.
Sungguh menakjubkan
bahwa masih banyak orang yang belum tahu hal ini, yakni tentang kerakusan. Kita
tergoda untuk menikmati makanan yang serba enak karena memang memanjakan lidah
dan atau karena begitu mudah dicari saat ini. Seringkali kita lalai mengingat
berapa kalori asupan yang sudah diterima tubuh dan berapa kalori yang sudah
digunakan. Semua makanan dicoba tanpa mengingat bahwa tubuh perlu keseimbangan.
Menghargai tubuh tidak sama dengan memanjakan atau terlalu keras memaksakannya
bekerja, tetapi untuk melihat tubuh kita sebagai teman yang akan mendampingi
sampai akhir hayat.
Dalam filsafat
Cina, ada prinsip emas, yaitu menemukan keseimbangan dari kedua tegangan dalam
kehidupan. Tidak terlalu panas atau terlalu dingin, tidak terlalu cepat atau
terlalu lambat, tidak terlalu ketat atau terlalu longgar. Oleh karena itu, kita
harus menemukan keseimbangan dalam beberapa hal, misalnya: saat kita makan,
tidur, istirahat, bekerja dan rekreasi agar tubuh dapat berfungsi pada tingkat
energi optimal ketika digunakan. Bila kita mulai membiasakan memahami tubuh
kita sendiri, kita dapat dengan mudah mencegah serangan penyakit. Dengan
memperhatikan prinsip keseimbangan, kita dapat terus memelihara kehidupan dan
kesehatan yang baik.
Praktik
keseimbangan itu juga dapat dikaitkan dengan praksis doa dan meditasi. Dalam
aktivitas-aktivitas tersebut, kita menemukan kedamaian dengan Allah dan diri
sendiri. Keteraturan doa dan meditasi menciptakan relaksasi dan ketenangan
sehingga kerja kelenjar adrenalin maupun jantung kita bekerja dengan lebih
ringan dari biasanya. Fungsi tubuh menjadi lebih efisien sehingga memperkecil
risiko terkena suatu penyakit. Ketika tubuh kita dalam suasana damai dan
tenang, tubuh lebih mampu mengatasi penyakit. Memang, tubuh di satu sisi harus
bekerja (secara jasmani), tapi di lain sisi juga membutuhkan kesegaran rohani.
Sebenarnya sudah
banyak metode doa dan meditasi yang ditawarkan, baik dari buku maupun kelompok
doa tertentu. Permasalahannya adalah apakah kita sudah berusaha meluangkan
waktu untuk melakukannya? Apapun metode yang kita lakukan, meluangkan waktu
untuk berdoa, relaksasi dan menemukan ruang untuk berdamai dengan diri sendiri
dan dengan Allah, semuanya bermanfaat untuk menunjang kesehatan dan kehidupan.
Penyembuhan
seringkali mulai pada saat tubuh dan pikiran sedang santai. Ketika tubuh tidak
terbebani oleh tekanan hidup, tubuh mulai dapat menangani proses-proses
pemulihan yang diperlukan. Doa menempatkan hati kita dengan nyaman, membuat
kita menjadi lebih terbuka sehingga memungkinkan daya Ilahi berperan dalam diri.
Ketika ini terjadi, doa menjadi momen perdamaian dan kepercayaan pada Pencipta
yang mengasihi serta mengenal kita di setiap rasa; juga menjadi dasar untuk
menuju proses penyembuhan dan di sanalah keajaiaban bisa terjadi.
Lantas, yang patut kita renungkan adalah “sudahkah
aku memuliakan Allah dengan tubuhku, yakni dengan menjaga kesehatan tubuh
sebagai rasa terima kasihku atas karunia dari-Nya”?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar