Senin, 18 Juni 2018


Menunjukkan sebagai Orang yang Diselamatkan

Renungan Singkat Dehonian 
Yoh 6: 36-38


Sahabat dehonian yang terkasih, saya paling tidak setuju jika dalam sebuah upacara kematian umat Katolik, ada orang Katolik sendiri yang berdoa dan berharap: “Semoga, saudara kita diterima di sisi Tuhan, sesuai dengan amal dan ibadahnya”. Yang menjadi ketidaksetujuan saya adalah syarat untuk masuk ke surga adalah amal dan ibadah. Jika benar-benar dihitung atau ditimbang, amal dan ibadah manusia pasti tidak sebanding dengan dosa karena kedosaan yang lebih berat.
Kita sebagai orang Katolik mengimani dan mengamini Yesus Kristus sebagai Juru Selamat. Keyakinan iman ini yang mengantarkan kita bahwa jaminan hidup setelah kematian duniawi ini adalah surga, yakni hidup bersama Bapa. Sebab Yesus sendiri mengatakan kepada kita bahwa Dialah Jalan, Kebenaran dan Kehidupan; melalui dan hanya lewat Dia, kita dapat sampai kepada Bapa.
Dengan menyadari nama baptis yang kita miliki, kita diingatkan akan rahmat dan sekaligus martabat jaminan kepastian hidup setelah kematian duniawi. Dengan menyematkan diri sebagai anak-anak Bapa, kita sudah mendapatkan jaminan dari Bapa melalui Yesus Kristus, Putera-Nya. Kesadaran ini yang kemudian menjadi tugas kita untuk menunjukkannya dalam praksis hidup keseharian. Sebagai orang yang sudah diselamatkan dengan menerima jaminan hidup ke surga, kita memiliki tanggung jawab menunjukkan diri sebagai orang yang sudah diselamatkan. Cara dan tindak hidup kita semestinya menunjukkan jati diri orang-orang yang sudah diselamatkan.
Yesus pada Injil hari ini mengatakan: “Janganlah kamu menghakimi, maka kamu pun tidak akan dihakimi. Dan janganlah kamu menghukum, maka kamu pun tidak akan dihukum; ampunilah dan kamu akan diampuni. Berilah, dan kamu akan diberi;....”. Cara dan tindak hidup untuk tidak menghakimi, tidak menghukum, mengampuni dan memberi diharap menjadi model hidup kita, sebagai orang Katolik jaman sekarang; yakni orang-orang yang sudah diselamatkan. Kadang untuk mewujudkannya, kita berhadapan dengan keegoan diri yang maunya ingin menang sendiri. Pertanyaan dasar yang patut kita renungkan adalah: “Mau, apa tidak, kita melakukannya sebagai wujud bahwa aku adalah orang-orang yang diselamatkan; orang-orang yang sudah mendapatkan jaminan hidup setelah kematian”? Jika jawabannya “ya”, berarti kita pun meng-iya-kan dan menjaga martabat hidup ke surga. Namun, jika sebaliknya, berarti kita pun menolaknya.
Tuhan memberkati. Amin!


Jadikan hati kami seperti Hati-Mu

Renungan Singkat Dehonian 
Yoh 12: 1-11


Sahabat dehonian yang terkasih, ada seorang umat yang datang kepada saya dan berkata: “Romo, saya telah bersalah kepada Tuhan karena selama ini saya melalaikan ajaran-Nya dan menjauhkan diri dari Gereja. Bahkan, saya pun tidak bertanggung jawab atas istri dan anak-anak yang dipercayakan Tuhan kepada saya. Meski demikian, Tuhan tetap mencintai saya dengan memberikan kehidupan”. Setelah menyudahi kisahnya itu, ia kemudian bertekad untuk akan membaktikan hidupnya ke depan sebagai silih atas kesalahan yang telah dibuat dengan menjadi anggota Gereja yang lebih aktif dan akan juga menjadi kepala keluarga yang lebih bertanggung jawab.
Sahabat dehonian, betapa Tuhan mencintai kita, yakni umat yang selalu berdosa tetapi selalu diberikan kesempatan untuk bertobat. Seperti jika kita memiliki jam tangan yang rusak dan tidak membuangnya, tetapi membawanya ke tukang reparasi jam supaya diperbaiki; demikian pula Tuhan memperlakukan kita. Sumbu yang pudar nyalanya tidak dipadamkannya, buluh yang patah terkulai tidak diputuskannya, manusia yang lemah terkulai karena kesalahan dan dosa tidak dibinasakan.
Allah tetap mencintai manusia. Meski manusia menjadi “pudar hidupnya” karena dosa, tidak dimatikan atau dibinasakan hidupnya. Justru karena Ia adalah Tuhan yang Maha Kasih, yang memiliki kuasa untuk membebaskan, maka manusia yang berdosa selalu mendapat Hati-Nya yang memberikan pengampunan dan kesempatan untuk bangkit kembali. Hal yang sama ketika Ia menghadapi perempuan berdosa, yakni Maria, yang meminyaki kaki-Nya dengan minyak narwastu yang mahal dan menyekanya dengan rambutnya. Apa yang dibuat Yesus? Ia tidak menepis dan tidak menolak perlakuan Maria sebagai tindakan yang dapat mencemarkan kekudusan-Nya. Yesus menerima tindakan Maria sebagai laku silih atas kesalahan hidup di masa lalunya: “Biarkan ia melakukan hal ini....”.
Sahabat dehonian yang terkasih, kita sebagai manusia biasa pasti tidak terlepas dengan melakukan kesalahan atau pun dosa. Kita masih lemah dan belum sempurna di hadapan Tuhan. Bila setiap kesalahan dihadapi Tuhan dengan keputusan untuk membinasakan, pasti semua manusia sudah lenyap dari peradaban dunia, termasuk kita. Kita patut bersyukur bahwa Tuhan masih memiliki Hati bagi kita yang selalu membuka pintu pertobatan. Setiap upaya dan usaha menuju pada pertobatan, mendapat tempat bagi karya kasih-Nya.
Demikianlah pula hendaknya dengan kita. Cara bersikap kita terhadap sesama yang kadang juga jatuh dalam kesalahan atau pun dosa hendaknya kita sikapi dengan cara Allah berkarya. Pengalaman diampuni dan diselamatkan – yang nyata dalam pertobatan – kiranya memberi kekuatan bagi kita untuk juga dapat mengampuni sesama yang bertobat dan berjuang untuk kembali menjadi orang yang baik.
Tuhan Yesus, jadikan hati kami seperti Hati-Mu. Amin!




Menjadi Hamba dan Pelayan

Renungan Singkat Dehonian 
Yoh 13: 16-20


Sahabat dehonian yang terkasih, bacaan pada kesempatan ini mengingatkan saya pada pelayanan Kamis Putih dalam Tri Hari Suci yang kita rayakan beberapa minggu yang lalu. Pelayanan Kamis Putih yang saya lakukan meliputi tiga stasi dengan jarak cukup berjauhan. Dengan melakukan pelayanan Misa atau Ekaristi Kamis Putih sebanyak tiga kali, maka kita dapat menghitung bahwa jumlah umat – yang menjadi murid – dalam upacara pembasuhan kaki berarti cukup banyak.
Berhadapan dengan pelayanan ini, saya mengalami ada situasi yang dirasakan. Saya secara pribadi merasa harus melepas ego diri sebagai seorang romo, yang salama ini biasa mendapat penghormatan dan penghargaan dari umat. Ego harus dilepaskan agar dapat menundukkan diri di hadapan umat supaya menjadi lebih rendah di hadapan mereka. Situasi ini berbanding terbalik ketika selama ini saya harus berada “di atas” umat karena status imamat yang saya sandang. Setelah menundukkan diri, ego pun harus semakin ditinggal tatkala harus mencuci kaki umat. Diri merasa dan disadarkan bahwa, kaki-kaki inilah yang menjadi penegak kehidupan umat.
Upacara pembasuhan kaki yang saya lakukan kepada umat di tiga stasi itu mengingatkan bahwa saya adalah seorang hamba; dan sejatinya adalah seorang hamba, pelayan Tuhan dan umat yang Dia percayakan kepada saya. Dalam Injil hari ini Tuhan bersabda: “Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya seorang hamba tidaklah lebih tinggi dari pada tuannya, atau seorang utusan dari pada dia yang mengutusnya”. Sabda itu menyadarkan saya bahwa saya-lah hamba-Nya, saya-lah utusan-Nya. Jika ia sudah melakukan hal yang sama kepada kedua belas murid pada waktu itu, maka saya pun harus melakukan hal sama sebagaimana yang dilakukan oleh-Nya.
Dalam hal ini saya berefleksi bahwa saya adalah seorang hamba yang menerima tugas perutusan seturut teladan Kristus; dan hamba itu tidak hanya saya, tetapi Anda juga. Kita semua diundang pada kesempatan ini untuk menjadi seorang hamba dan sekaligus utusan yang berani untuk membebaskan diri dari keinginan menyalahgunakan suatu hal yang dipercayakan kepada kita. Bila kita, Anda dan saya selalu dalam semangat kesetiaan dan kerendahan hati, melaksanakan tugas perutusan yang dipercayakan (baik itu sebagai imam, biarawan/biarawati, atau pun awam), maka Tuhan Yesus pun akan menyebut kita berbahagia sebagaimana Sabda-Nya: “... berbahagialah kamu, jika kamu melakukannya”.
Tuhan memberkati. Amin!



Yesus Cinta Anak-anak
    
Renungan Singkat Dehonian 
Mrk 10: 13-16


Sahabat dehonian yang terkasih, dalam warta Injil hari ini kita mendengar bagaimana Tuhan Yesus mencintai anak-anak kecil. Saat itu ditunjukkan dengan dua pengalaman manusiawi. Pertama, Tuhan marah kepada para murid yang menghalangi mereka yang akan membawa anak-anak kecil kepada-Nya: “Biarlah anak-anak itu datang kepada-Ku! Jangan menghalang-halangi mereka”! Kasih Tuhan kepada anak-anak kecil semakin terlihat ketika setelah anak-anak itu sampai kepada-Nya, Tuhan memeluk mereka dan meletakkan tangan atas mereka dan memberkati mereka semua. Inilah pengalaman manusiawi kedua dalam Injil yang menunjuk cinta Tuhan yang sangat dalam kepada anak-anak kecil.
Jika kita boleh bertanya: Apa alasan Tuhan mencintai anak-anak kecil? Dengan merenungkan dua pengalaman tadi, saya merasa bahwa ada alasan mendasar yang membuat Tuhan mencintai mereka (yang termasuk dalam bilangan anak-anak kecil). Apa itu? Jawabannya adalah kasih-Nya yang amat begitu besar bagi manusia. Allah mengutus Putera-Nya untuk menebus manusia karena Allah sangat mencintainya. Allah sangat mencintai manusia karena manusia berdosa; di mana posisi itu meletakkan manusia pada sisi pribadi yang lemah dan tidak dapat bertindak. Posisi inilah yang menjadikan Allah berinisiatif bergerak untuk datang kepada manusia dengan mengutus Yesus, Putera-Nya; Dia yang bersedia berkorban demi keselamatan manusia.
Posisi manusia yang lemah dan tidak dapat bertindak untuk berbuat ini rasanya juga menunjuk pada diri anak-anak. Mereka termasuk dalam bilangan yang sangat membutuhkan bantuan dari yang lebih kuat. Mereka butuh ditemani, dipeluk dan disayang. Kehadiran Putera Allah semakin nyata di mana Ia hadir untuk manusia yang tebatas, untuk manusia yang lemah dan tidak dapat berbuat apa-apa; dan mereka itu adalah anak-anak kecil. Jadi bagi saya, alasan utama Tuhan Yesus untuk mencintai anak-anak kecil adalah karena Kasih-Nya.
Sahabat dehonian, apa yang dapat menjadi bahan permenungan kita atas warta Injil hari ini? Tuhan sungguh mencintai anak-anak, ya...anak-anak kecil. Dalam hal ini, saya mengundang setiap orang tua – dan mungkin Anda, sahabat dehonian adalah di antaranya – untuk menyadari peran Anda atas kehadiran anak-anak dalam keluarga. Kembali saya mengajak untuk menyadari bahwa kehadiran anak-anak dalam keluarga adalah sebuah hadiah atau anugerah yang Tuhan Allah berikan. Maka, tugas setiap orang tua atas anak-anak untuk mencintai dan mendidik mereka adalah pelaksanaan kewajiban yang harus dilakukan. Bagi saya, pelaksanaan tugas itu tidak hanya semata-mata adalah kewajiban sebagai orang tua, namun menjadi keikutsertaan Anda, sahabat dehonian, untuk melanjutkan karya Tuhan mencintai manusia, yakni mencintai anak-anak yang hadir dalam keluarga Anda.
Ada dua hal yang dapat dilakukan berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan kewajiban sebagai orang tua terhadap anak-anak. Pertama adalah mendidik mereka secara iman. Adalah tugas setiap orang tua untuk mendidik iman anak secara Katolik; dan ini harus dilakukan sejak mereka usia dini. Anak-anak diajari untuk berdoa, menghafal beberapa doa pokok (Salam Maria, Bapa Kami) dan juga setia untuk diajak mengikuti kegiatan rohani di Gereja. Kedua adalah mendidik anak-anak secara akademis. Dalam hal ini setiap orang tua berkewajiban menjamin pendidikan akademis anak-anak agar mereka dapat mengenyam pendidikan setinggi mungkin.
Sahabat dehonian yang terkasih, Tuhan mencintai anak-anak yang datang kepada-Nya. Sekarang, mari kita pun melanjutkan karya Tuhan ini mulai dalam keluarga kita masih-masing.
Tuhan memberkati. Amin!



Mengasihi Lebih Dahulu
    
Renungan Singkat Dehonian 
Mrk 7: 6. 12-14


Segala sesuatu yang kamu kehendaki diperbuat orang kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan Kitab para nabi.
Sahabat dehonian yang terkasih, Yesus mengajarkan ajaran kasih melalui “Aturan Emas” atau “Golden Rule”. “Aturan Emas” itu pertama-tama memuat ajakan untuk menyadari bahwa setiap manusia pasti ingin diperlakukan baik oleh sesamanya: “segala sesuatu yang kamu kehendaki diperbuat orang kepadamu”. Yesus menyadari bahwa manusia secara alami mencintai dirinya sendiri. Manusia pada umumnya menuntut rasa hormat, kasih dan penghargaan dari yang lain.
Di lain pihak, keinginan manusiawi secara alami adalah tidak ingin diperlakukan secara tidak baik oleh sesamanya. Tentunya manusia tidak ingin jika tidak dihormati, tidak dikasihi dan tidak dihargai. Manusia secara alami tidak ingin jika kehadirannya tidak diperhitungkan oleh yang lain. Dalam hal ini, Yesus sekali lagi memahami keinginan itu dan menggunakannya untuk mengajari tindak kesalehan kepada sesama. 
Inti dari “aturan emas” adalah tindakan aktif: “perbuatlah demikian juga kepada mereka”; “mereka” di sini menunjuk kepada sesama. Setelah menyadari bahwa keinginan setiap manusia adalah ingin diperlakukan secara baik, maka Yesus mengundang untuk melakukan yang baik itu pula kepada sesama. Ajakan untuk melakukan yang baik kepada sesama adalah gerakan aktif untuk pergi ke luar diri dan mengutamakan yang lain bahkan di atas kepentingan diri sendiri. Yesus mengajari bahwa sebelum mendapatkan perlakuan baik dari yang lain, maka pertama-tama haruslah menjadi pelopor untuk melakukan yang baik terlebih dahulu. Apakah Anda ingin dihormati? Maka hormatilah orang lain terlebih dahulu. Apakah Anda ingin dikasihi? Maka kasihilah orang lain terlebih dahulu. Apakah Anda ingin dihargai? Maka hargailah sesama terlebih dahulu.
Dengan ajaran yang memuat tindakan aktif memulai atau melakukan yang baik terlebih dahulu kepada sesama, Yesus sebenarnya menanamkan dalam diri setiap pengikutnya budaya mengasihi. Memprioritaskan diri sebagai pelaku utama berbuat kasih berarti berusaha untuk menghadirkan diri sebagai pribadi yang memiliki komitmen mengasihi sesama. Dalam hal ini, setiap pribadi diharapkan memiliki tindak kebiasaan yang menjadi milik, yang selalu – secara otomatis – mendahulukan orang lain di atas keegoan atau pun kepentingan dirinya sendiri.
Menaati perintah Tuhan untuk mengasihi sesama merupakan tanda dari Orang Katolik sejati. Dengan memiliki budaya mengasihi dalam setiap kehadirannya di tengah sebuah komunitas, ia mencerminkan kasihnya yang sama kepada Allah. Sebab, setiap orang Katolik mengaku mengasihi Allah dengan juga mengasihi sesamanya. “Jikalau seorang berkata: Aku mengasihi Allah; dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya” (1 Yoh 4: 20). “Aturan Emas” yang diajarkan Yesus merangkum gagasan ini.
Pertanyaannya adalah maukan kita, Anda dan saya, menjadi pelaku budaya kasih sebagai perwujudan dari “Aturan Emas” pada hari ini?
Tuhan memberkati. Amin!

La présence de Dieu qui accompagne toujours nos vies est un mystère. Sa présence réelle qu'Il soit là ou ici, nous ne pourrons peut-être...