Sabtu, 31 Agustus 2019


Peringatan Arwah dalam Gereja Katolik


Sebenarnya, praktek doa untuk orang-orang yang sudah meninggal sudah dijalankan sejak lama. Hal ini dapat dibandingkan dengan 2 Mak 12:42-45 di mana para jemaat Allah memohon belas kasih Allah untuk mengampuni dosa dari mereka yang yang telah meninggal. Dalam Gereja sendiri, praktek mendoakan mereka yang sudah meninggal juga dapat ditemukan. Misalnya saja dalam Doa Syukur Agung (DSA) II, III dan IV. Bagi Gereja, doa-doa yang dilambungkan merupakan doa yang dijiwai dengan semangat iman dan pengharapan akan kerahiman, kebaikan serta kemurahan Allah sebagaimana tampak dalam peristiwa wafat dan kebangkitan Yesus Kristus.
Atas dasar adanya praktek mendoakan arwah, Gereja (Katolik) sendiri memberikan tempat dan menghargai budaya setempat untuk diintegrasikan dalam liturgi dan doa arwah. Dalam hal ini, orang-orang Katolik di Indonesia memiliki kebiasaan untuk memperingati dan mendoakan arwah menurut rangkaian hari dan tahun (hari ke-3, 7, 40, 100, 1 dan 2 tahun, 1000 hari dan seterusnya). Berhadapan dengan kebiasaan yang menjadi kearifan lokal masyarakat setempat, Gereja mengangkatnya dan memasukkan kearifan lokal itu ke dalam liturgi Gereja. Hal tersebut nampak jelas dalam praktek misa peringatan arwah menurut hari dan tahun tertentu. Dengan demikian, “Kurban ekaristis Paskah Kristus dipersembahkan oleh Gereja bagi para arwah; sebab semua anggota dalam Tubuh Kristus merupakan persekutuan, sehingga dengan demikian yang sudah mati pun menerima pertolongan rohani, sedangkan yang masih hidup dihibur dengan harapan”(PUMR 379).
Praktek mendoakan arwah dalam perayaan liturgi (Misa) dapat dipandang dalam dua segi: pertama, sebagai perayaan iman akan satu tindakan Allah yang menyelamatkan orang yang sudah meninggal melalui Kristus dalam Roh Kudus; kedua, sebagai doa yang mau mengungkapkan kekayaan iman akan misteri penebusan Kristus menurut segi-segi tertentu. Demikian pula semua simbol yang biasa digunakan dalam adat tradisi budaya setempat dalam mengiringi perayaan mendoakan arwah tetap bisa digunakan sejauh maknanya selaras dengan nilai-nilai Kristiani dan ditempatkan dalam terang misteri Kristus. Maka, praktek perayaan Ekaristi untuk memperingati arwah merupakan sebuah bentuk pewartaan iman Kristiani, yang dalam segi pastoral-inkulturasi merupakan “penghadiran karya keselamatan Allah dalam Kristus yang mendarat, membumi dan menjadi manusia”.




Sebuah Refleksi atas Kaul Kekal:

Kematian dan Kehidupan Yesus Menjadi Nyata dalam Tubuh Kami
- 2 Kor 4:10 -


Siang itu, perjalanan menuju ke stasi Muktikarya kutempuh selama satu seperempat jam. Terik matahari yang menyelimuti dengan sapaan sinarnya, menemani perjalanan pastoralku (dalam rangka Tahun Orientasi Pastoral dan Panggilan/TOPP) melayani umat. Bukan hanya itu, sepinya jalan yang dilalui dengan deretan tanaman perkebunan – sawit dan karet – semakin melengkapi perjalanan penuh tantangan. Hingga sampailah aku di Gereja Katolik Santo Lukas – Muktikarya. Di Gereja stasi inilah perjalanan pelayanan yang selama hari Jumat sampai Minggu dimulai.
Walau menempuh jarak yang lumayan jauh, stamina tubuh tidak terasa begitu capai. Bagiku, kerinduan untuk bertemu dengan umat rasanya menjadi ‘obat mujarab’ melawan rasa capai. Aku merasa bahwa umat yang akan dilayani sungguh merindukan kehadiranku. Maka, ketika di gereja belum ada satu pun umat yang datang dan pintu masih tertutup dengan rapat, sembari duduk santai di atas sepeda motor, aku menunggu umat. “Kedatangan umat agaknya terlambat karena mereka pasti banyak urusan”, pikirku dalam hati.
Kurang lebih setengah jam kemudian, ada seorang bapak yang datang. Kedatangannya itu menyejukkan hati di tengah suasana penantian. “Pak…”, sapaku. Namun tanpa basa-basi, bapak itu berkata, “Frater…, semalam diumumkan bahwa pada hari ini tidak ada pelayanan dari pastoran…”! Mendengar kata-kata itu, rasanya ada petir yang menyambarku di siang bolong. Ada rasa menyesal karena datang, ada rasa ingin menyalahkan umat... dan lain sebagainya. Namun, aku masih bisa menutupi rasa itu dengan menjawab, “Oh…, begitu Pak ya…. Kalau begitu saya langsung pamit saja ya…”. “Ha… haha…, kasihan deh kamu Jen…” ejekku bagi diri sendiri sembari menaiki sepeda motor dan meninggalkan bapak tadi.
Mencari pengalaman berpastoral dan mengolah panggilan dalam masa TOPP telah usai. Ada begitu banyak pengalaman yang telah kudapatkan; dan pengalaman di atas adalah salah satu di antaranya. Pengalaman itu mewakili pengalaman suka dan duka sebagai seorang frater TOPP-er di Paroki Para Rasul Kudus – Tegalsari, BK 20 – OKU Timur, Sumatera Selatan. Selain itu, secara pribadi kusadari bahwa ada banyak pengalaman yang membuatku bersemangat-mengembangkan dan juga sebaliknya. Di atas itu semua, kusadari bahwa pelbagai pengalaman tersebut menjadi bagian dari persiapan untuk mengikrarkan kaul kekal (pada 20 Juli 2013 yang lalu).
“Kematian dan kehidupan Yesus menjadi nyata dalam tubuh kami” (bdk. 2 Kor 4:10) merupakan tema kami. Bagiku, refleksi Paulus yang berjuang dalam mewartakan Sabda Tuhan – sekalipun berhadapan dengan pelbagai tantangan yang menjatuhkan dan juga pengalaman yang penuh rahmat – sungguh tepat jika kuhadapkan dengan pengalaman selama TOPP dan menjadi refleksi bagi kehidupan mendatang.
Paulus sendiri sadar bahwa tugas dari Allah dalam mewartakan nama Yesus seperti harta rohani dalam bejana tanah liat (2 Kor 4). Tugas pewartaan itu seperti rahmat yang diterima dan harus dilaksanakan sekalipun dengan kekuatan manusiawi yang penuh kelemahan. Sebagai seorang manusia biasa – seperti pada umumnya – Paulus pasti juga mengalami pengalaman keberhasilan dan juga kejatuhan. Dalam tugas pewartaan iman, tentu ada orang-orang yang menerima dan juga menolaknya (bahkan dengan penolakan yang nyata pada tindakan kekerasan).
“Kami senantiasa membawa kematian Yesus di dalam tubuh kami, supaya kehidupan Yesus juga menjadi nyata dalam tubuh kami” (Kor 4: 10). Di tengah tantangan dalam misi pewartaan iman, bersama dengan kekuatan Allah dalam tubuh manusia yang fana, Paulus menyerahkan segala yang dilakukannya dengan Yesus sendiri. Persatuan dengan Allah yang diyakini dalam Diri Yesus itu menjadi daya spiritual jiwa misinya. Ia tidak hanya ingin mengalami situasi berahmat dengan memiliki ‘kehidupan Yesus’ yang pada akhir nanti akan memberikan kehidupan kekal. Akan tetapi, Paulus juga ingin menyatukan segala usahanya dengan ‘kematian Yesus’ seperti Dia sendiri yang telah mengalami kelemahan manusiawi ketika sengsara dan wafat di salib.
Lantas, refleksi Paulus itu berbicara apa bagi diriku? Mungkin ketika mengikrarkan prasetya kekal dan dilanjutkan dengan pesta yang meriah menjadikanku bagaikan ‘seorang raja’. Raja yang dimaksudkan adalah bukan raja yang memiliki kehidupan yang membahagiakan sepanjang hidupnya. Mengikrarkan prasetya kekal dan dilanjutkan dengan pesta yang meriah menjadikanku ‘seorang raja’ untuk sehari saja, tidak lebih! Maksudnya adalah bahwa ketika setelah mengikrarkan kaul dan perayaan yang menyertai, selanjutnya aku dihadapkan dengan kehidupan nyata sebagai seorang biarawan muda yang secara kekal ingin mempersembahkan seluruh diri bagi Dia.
Di tengah perkembangan jaman yang terus melaju dan diikuti dengan begitu banyak tawaran dunia yang begitu menawan, penghayatan ketiga kaulku sungguh tertantang. Tidak hanya menjaga penghayatan kehidupan ketiga kaul, rahmat panggilan dari Tuhan pun kadang menjadi tanggung jawab yang harus dipelihara. Kadang, aku sendiri merasa takut dan terus bertanya, “Apa aku bisa dan mampu”? Pengalaman selama kurang lebih setahun dalam masa TOPP rasanya menjadi bahan pembelajaranku bahwa kehidupan seorang terpanggil diwarnai dengan dua pengalaman konkrit: bangun dan jatuh! Menjadi aman dan bahagia-lah bila dalam setiap pengalaman jatuh, aku dapat bangun untuk berjuang kembali. Namun, yang menjadi ketakutanku adalah bahwa aku tidak dapat bangun kembali jika suatu waktu terjerumus pada pengalaman kejatuhan dalam menghidupi penghayatan kaul dan juga panggilan.
“Kami senantiasa membawa kematian Yesus di dalam tubuh kami, supaya kehidupan Yesus juga menjadi nyata dalam tubuh kami”. Rasanya, refleksi Santo Paulus tentang perjuangannya dalam menjaga panggilan perutusannya menjadi daya pacu dan picu bagiku. Ya…, aku dapat menimba semangat darinya. Aku disadarkan bahwa dalam mempersembahkan diri bagi Tuhan, aku diundang tidak hanya untuk mengalami pengalaman kebahagian. Niat untuk mempersembahkan diri kepada-Nya juga menuntut untuk mengalami kematian bersama Tuhan, yakni dengan mengalami pelbagai pengalaman menjatuhkan, sekalipun itu menyakitkan. Untuk itu, ketakutan akan hari depan yang membayang dalam diri sudah sepatutnyalah tidak menjadi penghalang. Refleksi Santo Paulus rupanya mengundangku untuk menjadi seperti dia, yakni menyatukan pengalaman ketakutan-kejatuhan dan kebahagiaan dalam hidup panggilan dengan kematian dan kehidupan Tuhan. Dengan demikian, kematian dan kehidupan Yesus sungguh nyata dalam diriku.







On Line di Hadapan Allah
(Makna Adorasi)


Dalam adorasi, yang berkaitan erat dengan perayaan Ekaristi,
kita renungkan kekayaan yang termuat dalam misteri iman kita ini,
supaya Tubuh dan Darah Kristus, … mengubah hidup kita lebih mendalam.
(Konstitusi SCJ no. 83)


Orang di zaman sekarang sudah tidak merasa asing lagi jika mendengar kata “on line”, apalagi bagi kaum muda. On line menjadi kata yang familiar lantaran memiki keterkaitan dengan fenomena zaman sekarang, yakni dunia internet yang digandrungi banyak orang. Dalam dunia tersebut, orang dapat mencari segala data atau informasi yang diinginkan; bahkan ia dapat membangun komunikasi dengan banyak orang dalam waktu yang serentak – sebut saja dengan adanya jejaring sosial facebook.
Dalam ber-facebook ria, orang sangat merasa nyaman ketika ia sedang on line dihadapan layar komputer. Kenyamanan itu terasa karena ia dapat membangun komunikasi dengan orang(-orang) lain, entah teman, pacar, keluarga ataupun kenalan. Membangun komunikasi yang sangat intens-terfokus ini merupakan kunci utama ketika orang sedang on line. Ia senantiasa memandang teman yang sedang sama-sama on line sebagai seseorang yang terasa dekat, sekalipun nyatanya saling berjauhan. Kenyamanan orang selama on line karena dapat mendialogkan segala pengalaman hidup dengan orang yang menjadi lawan bicara membuat waktu berjalan begitu cepat!
Jika orang dapat begitu nyaman dan intens dalam membangun komunikasi ketika sedang on line di hadapan dunia internet, mungkinkan hal itu dapat menjadi inspirasi dalam membangun komunikasi dengan Yang Ilahi bila kita sedang on line di hadapan Allah (yang nyata dalam pengalaman adorasi)? Ketika berada dan bersembah sujud kepada Tuhan menjadikan waktu tak terasa begitu cepat berjalan, terbangunnya komunikasi dengan Dia yang bertahta dalam rupa Roti Kudus, dan pada akhinya melahirkan perasaan yang nyaman dalam hati …, itulah makna terdalam dari adorasi. Itulah makna yang terkandung dalam adorasi ketika seseorang sedang on line di hadapanNya.

Makna Adorasi
Jemaat Katolik yang sejati senantiasa memandang Allah sebagai sumber kekuatan dalam mengarungi peziaran hidup di dunia. Untuk itu, usaha untuk menjalin komunikasi dan mendialogkan perjalanan/pengalaman hidup dengan Sang Sumber Kekuatan merupakan keutamaan rohani yang pantas diperjuangkan. Dalam khasanah kekayaan devosi yang dimiliki oleh Gereka Katolik, adorasi memiliki tempat untuk memperjuangkan keutamaan rohani tersebut. Dalam praksis kehidupan umat beriman, adorasi – sebagai kesempatan untuk on line pada jalur “sembah sujud” di hadapan Allah – memiliki makna mendalam.
Bagi saya, adorasi sungguh mempunyai makna yang sangat dalam bagi kehidupan iman. Hal itu sungguh saya alami selama kurang lebih 12 tahun hidup dalam Kongregasi Imam-imam Hati Kudus Yesus (SCJ). Setelah mengalami jatuh dan bangun dalam menghayati adorasi, saya memandang bahwa devosi kepada Sakramen Maha Kudus ini tidak hanya sekadar kewajiban sebagai anggota komunitas yang harus dilakukan, tetapi menjadikannya sebagai kebutuhan rohani untuk mengambil kekuatan dalam mengarungi hidup panggilan.
Secara pribadi, ketika jiwa dan pikiran menyatu serta berada pada kenyataan bahwa “aku berada di hadapan Allah”, memampukan saya untuk menghayati apa yang sedang dialami ketika ber-adorasi. Dalam adorasi, kesempatan untuk memperdalam spiritualitas SCJ – pemulihan cinta kasih lewat persembahan diri – sangatlah dimungkinkan. Saya dapat kembali menghayatinya dengan mengenangkan peristiwa persembahan Diri Yesus dalam peristiwa salib yang kini dihadirkan secara sakramental dalam Roti Suci. Ia yang rela menderita dan wafat di kayu salib, sekarang rela juga untuk hadir dan menyapa umatNya yang berdosa. Lebih jauh lagi, adorasi sebenarnya menghadirkan kembali peristiwa Yesus (yang menyelamatkan manusia) dalam Perayaan Ekaristi. Peristiwa pengalaman akan kasih Allah yang menyelamatkan inilah menyadarkan saya bahwa Allah sungguh mencintai umatNya, tidak hanya dulu tetapi sampai sekarang. Maka, dalam adorasi, meskipun seolah hanya memandang dan menyembah Sakramen Maha Kudus yang bertahta dalam monstran, yakni Yesus Kristus yang hadir dalam Roti, saya dapat mengungkapkan pujian syukur, sembah dan sujud serta kekaguman atas misteri kasih Allah.
Pengalaman akan kasih Allah yang kembali saya renungkan dalam adorasi merupakan pengalaman yang meneguhkan panggilan. Saya menyadari bahwa sebagai seorang dehonian (sebutan bagi para pengikut Pater Dehon – pendiri Kongregasi SCJ), perjalanan hidup panggilan masih panjang dan komitmen untuk setia pasti berhadapan dengan pelbagai rintangan yang menunggu! Di atas itu semua, pengalaman akan kasih Allah yang sekarang tetap setia menyertai sungguh menguatkan kaki untuk terus berjalan. Pengalaman akan kasih Allah yang hadir dalam Roti Suci sungguh menggerakkan hati untuk membalas kasihNya dalam persembahan hidup sembari berefleksi dan bertanya pada diri: “Apa yang sudah kulakukan bagi Tuhan dan apa yang akan kulakukan bagiNya”? Untuk itu, semua pengharapan, karya, usaha, suka-duka dan semua yang mewarnai panggilan hidup sebagai seorang biarawan menjadi bahan persembahan yang saya haturkan kepadaNya dalam adorasi. Itulah salah satu makna adorasi, yakni untuk memberikan diri sebagai persembahan hidup bagi Allah; persembahan diri sebagai silih atas dosa dunia yang seringkali melukai HatiNya, terlebih atas dosa orang-orang yang dipanggil secara khusus bagiNya.    
Selain adanya kesadaran untuk membangun komunikasi dengan Dia, Sang Sumber Kekuatan, selama adorasi saya mengaku bahwa usaha untuk tetap sadar di hadapanNya memang membutuhkan semangat dan hati yang teguh. Kadangkala, saya kurang merasa sreg (nyaman) selama adorasi ketika menganggapnya sebatas pada rutinitas komunitas yang harus dilakukan. Belum lagi munculnya gangguan dari pikiran yang melantur, sementara tubuh sedang berada di kapel; maka, pepatah yang tepat bukanlah mens sana in corpore sano tetapi mens “sana’’ in corpore “sini” (pikiran di sana [di suatu tempat] sedangkan tubuh di sini [di kapel]). Demikian pula ketika acara adorasi komunitas diadakan pada pagi hari, saya juga sering mengantuk karena kurang memiliki semangat, apalagi kalau tidurnya terlalu larut malam. Namun di atas semuanya itu, saya berusaha untuk menyerahkan diri seutuhnya – termasuk kekurangan diri – kepada Dia yang Maha Kasih.

Setelah On Line di Hadapan Allah
 Kalau orang setelah on line di hadapan dunia internet, misalnya setelah membuka akun facebook atau email, ia pasti membawa banyak informasi yang didapat. Informasi itu dapat berupa data yang dicari ataupun pesan yang diterima. Dari data atau pesan yang diterima itu, ia akan bertindak seturut apa yang terkandung dari data atau pesan yang ia terima. Kalau data yang didapat merupakan bahan untuk membuat tulisan, maka ia akan langsung menjadikan data tersebut sebagai bahan referensi. Kalau pesan yang diterima merupakan undangan dari teman untuk datang ke suatu pesta, maka ia akan merencanakan atau bahkan akan datang langsung ke pesta itu. Demikianlah yang terjadi ketika seseorang selesai on line dari dunia internet.
Jika yang terjadi bahwa setelah on line di hadapan internet orang memiliki sesuatu yang dibawa, lantas bagaimanakah dengan orang/umat setelah on line di hadapan Allah dalam adorasi? Bagi saya, pengalaman yang sungguh mendalam ketika selesai ber-adorasi adalah pengalaman Allah yang mencintai. CintaNya itu sungguh terbukti ketika Ia memberikan Diri demi umat yang dicintai –  peristiwa salib yang lebih dari dua ribu tahun lalu – kini dinyatakan dan hadir kembali dalam kesederhanaan. Ya…, semua itu rela dilakukan demi cintaNya yang sungguh agung untuk manusia, termasuk saya yang berdosa! Pengalaman inilah yang kemudian mengundang saya untuk menjawab dan membalas kasih Allah.
Pengalaman Allah yang mencinta dan usaha untuk membalas cintaNya ini sungguh saya alami. Pengalaman itu terjadi ketika saya berada dalam suatu kesempatan mengikuti adorasi di komunitas. Tatkala hadir dan bersembah sujud di hadapan Tuhan, saya menghadirkan pergulatan tugas perutusan studi saya. Pergulatan itu adalah adanya perasaan gundah dalam hati karena ketidakjelasan antara lulus ujian atau harus mengulang salah satu mata kuliah yang diujikan. Saya merasa bahwa pertanyaan lisan yang diajukan oleh dosen secara lisan dapat saya jawab. Namun kata-kata dari dosen penguji – mungkin karena “pintarnya” dosen untuk membuat bingung mahasiswa ketika ujian – yang sungguh terdengar jelas di telinga membuat saya merasa bimbang dan merasa jawaban saya pasti salah! Betapa tidak khawatirnya hati ketika dosen berkata: “Sana keluar…, jawabanmu tidak jelas”?
Sekiranya itulah yang menjadi kegalauan hati pada waktu itu di hadapanNya. Bagi saya, menghadirkan segala pengalaman hidup dalam adorasi (termasuk pengalaman sekecil apapun) merupakan kesempatan yang tepat untuk menyertakan karya Allah dalam hidup. Jika saya renungkan kembali, betapa luar biasa daya kekuatan Allah yang menyapa saya waktu itu. Dengan memandang kehadiranNya dalam Sakramen Maha Kudus, menyadarkan saya untuk berani menghadapi segala realitas karena Ia yang memanggil senantiasa menyertai. Tekad untuk berani menghadapi ujian ulang ataupun tidak merupakan buah yang saya alami setelah mengalami peneguhan dariNya. Yesus yang sungguh hadir secara sakramental dalam Hosti Suci memberikan daya IhahiNya untuk menguatkan saya, hambanya yang lemah. Itulah pengalaman akan cinta Allah yang terus saya terima. Sebuah pengalaman dicintai yang mendorong diri untuk menjawab dan membalasNya.
Jika yang terjadi bahwa setelah on line di hadapan internet orang memiliki sesuatu yang dibawa (entah data atau pesan), maka adanya pengalaman “dicinta” merupakan buah yang saya terima setelah on line di hadapan Allah dalam adorasi. Itulah pengalaman yang menggerakkan diri untuk berani melangkah maju kembali, tanpa terkurung dalam kekhawatiran hati, bersemangat dalam melanjutkan tugas perutusan studi. Dari sini dimulailah langkah untuk mempersembahan diri sebagai buah dari on line di hadapan Allah.




Rabu, 21 Agustus 2019


Iman itu sebuah Potensi

[ Matius 23: 13-22 ]


Dalam Injil, Tuhan Yesus mengecam para ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Setidaknya, tiga kali Tuhan mengecam mereka dengan berkata: “Celakalah kalian, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi; hai kalian orang-orang munafik”! Bahkan, kecaman itu semakin keras ketika ia mengatakan: “Celakalah kalian, hai pemimpin-pemimpin buta”! Dari sini, kita dapat merenungkan dengan mengajukan pertanyaan ini: “Apa yang sebenarnya ingin ditegaskan oleh Tuhan dengan menegur para pemimpin atau pemuka agama masyarakat Yahudi pada saat itu”?
Saya melihat bahwa teguran Tuhan Yesus itu ingin mengkritik tindak hidup para ahli Taurat dan orang-orang Farisi, dan bukan mengkritik ajaran mereka. Jika ditanya soal ajaran, pasti itu mereka sangat mengetahui dengan sangat mendalam; dan itu terlihat dengan jabatan yang secara sosial disematkan pada mereka: Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Tentunya mereka tahu betul hukum dan ajaran agama yang itu semua tidak dimiliki oleh kamu awam.
Lantas, apa yang kurang benar dalam diri mereka sehingga Tuhan menegur dengan keras dan tegas? Rasanya, Tuhan menegur ketidak-konsistenan mereka sebagai pemuka agama yang menjadi panutan. Mereka hanya mengajar tetapi tidak menjalankan. Mereka kadang mencari kepentingan sendiri, dengan mengorbankan jemaat yang dipercayakan. Mereka tidak menjadikan orang lebih baik, tapi malah memperburuk keadaannya. Di sini Tuhan menegur mereka dengan berkata: “Kalian mengarungi lautan dan menjelajah daratan untuk menobatkan satu orang saja…, dan sesudah ia bertobat, kalian menjadikan dia orang nereka, yang dua kali lebih jahat dari pada kalian sendiri”. Bahkan, Tuhan menegur mereka karena mereka, yang dalam kenyataan, menjadi kaum legalis di mana menjadikan hubungan rohani dengan Allah hanya sebatas pelaksanaan tata cara keagamaan saja. Singkatnya, teguran Yesus merupakan sebuah kritik di mana mereka tidak menyelaraskan antaran ajaran iman dan hidup; hidup di sini diartikan sebagai tindakan atau buah dari iman.
Dengan merenungkan peristiwa Injil pada hari ini, marilah kita juga melihat diri sendiri. Bisa jadi, teguran Yesus kepada ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi juga merupakan teguran bagi kita. Kita memiliki iman dan iman itu mengajarkan kepada kita nilai-nilai keutamaan dalam hidup, yakni kasih. Namun kita patut bertanya pada diri, apakah kita sudah mewujudkan iman kita dalam tindakan hidup konkrit? Ataukah, iman kita sebatas identitas yang melekat pada diri tanpa memberi pengaruh positif bagi diri sendiri maupun sesama?
Iman itu bukan hanya sekadar ajaran atau pun kepercayaan. Jika hanya demikian, maka iman tidak memiliki makna. Iman itu sejatinya adalah sebuah daya; daya yang memiliki potensi untuk bertindak. Dan tindakan itu memberikan manfaat bagi diri dan juga bagi sesama.

La présence de Dieu qui accompagne toujours nos vies est un mystère. Sa présence réelle qu'Il soit là ou ici, nous ne pourrons peut-être...