Sebuah Refleksi atas Kaul Kekal:
Kematian
dan Kehidupan Yesus Menjadi Nyata dalam Tubuh Kami
-
2 Kor 4:10 -
Siang itu, perjalanan menuju ke stasi Muktikarya kutempuh
selama satu seperempat jam. Terik matahari yang menyelimuti dengan sapaan
sinarnya, menemani perjalanan pastoralku (dalam rangka Tahun Orientasi Pastoral
dan Panggilan/TOPP) melayani umat. Bukan hanya itu, sepinya jalan yang dilalui
dengan deretan tanaman perkebunan – sawit dan karet – semakin melengkapi
perjalanan penuh tantangan. Hingga sampailah aku di Gereja Katolik Santo Lukas
– Muktikarya. Di Gereja stasi inilah perjalanan pelayanan yang selama hari
Jumat sampai Minggu dimulai.
Walau menempuh jarak yang lumayan jauh, stamina tubuh
tidak terasa begitu capai. Bagiku, kerinduan untuk bertemu dengan umat rasanya
menjadi ‘obat mujarab’ melawan rasa capai. Aku merasa bahwa umat yang akan
dilayani sungguh merindukan kehadiranku. Maka, ketika di gereja belum ada satu
pun umat yang datang dan pintu masih tertutup dengan rapat, sembari duduk santai
di atas sepeda motor, aku menunggu umat. “Kedatangan umat agaknya terlambat
karena mereka pasti banyak urusan”, pikirku dalam hati.
Kurang lebih setengah jam kemudian, ada seorang bapak yang
datang. Kedatangannya itu menyejukkan hati di tengah suasana penantian. “Pak…”,
sapaku. Namun tanpa basa-basi, bapak itu
berkata, “Frater…, semalam diumumkan bahwa pada hari ini tidak ada pelayanan
dari pastoran…”! Mendengar kata-kata itu, rasanya ada petir yang menyambarku di
siang bolong. Ada rasa menyesal
karena datang, ada rasa ingin menyalahkan umat... dan lain sebagainya. Namun,
aku masih bisa menutupi rasa itu dengan menjawab, “Oh…, begitu Pak ya…. Kalau begitu saya langsung pamit saja ya…”. “Ha… ha…
ha…, kasihan deh kamu Jen…” ejekku bagi diri sendiri sembari menaiki sepeda
motor dan meninggalkan bapak tadi.
Mencari pengalaman berpastoral dan mengolah panggilan
dalam masa TOPP telah usai. Ada begitu banyak pengalaman yang telah kudapatkan;
dan pengalaman di atas adalah salah satu di antaranya. Pengalaman itu mewakili
pengalaman suka dan duka sebagai seorang frater TOPP-er di Paroki Para Rasul
Kudus – Tegalsari, BK 20 – OKU Timur, Sumatera Selatan. Selain itu, secara
pribadi kusadari bahwa ada banyak pengalaman yang membuatku
bersemangat-mengembangkan dan juga sebaliknya. Di atas itu semua, kusadari
bahwa pelbagai pengalaman tersebut menjadi bagian dari persiapan untuk
mengikrarkan kaul kekal (pada 20 Juli 2013 yang lalu).
“Kematian dan kehidupan Yesus menjadi nyata dalam tubuh
kami” (bdk. 2 Kor 4:10) merupakan tema kami. Bagiku, refleksi Paulus yang
berjuang dalam mewartakan Sabda Tuhan – sekalipun berhadapan dengan pelbagai
tantangan yang menjatuhkan dan juga pengalaman yang penuh rahmat – sungguh
tepat jika kuhadapkan dengan pengalaman selama TOPP dan menjadi refleksi bagi
kehidupan mendatang.
Paulus sendiri sadar bahwa tugas dari Allah dalam
mewartakan nama Yesus seperti harta rohani dalam bejana tanah liat (2 Kor 4). Tugas
pewartaan itu seperti rahmat yang diterima dan harus dilaksanakan sekalipun
dengan kekuatan manusiawi yang penuh kelemahan. Sebagai seorang manusia biasa –
seperti pada umumnya – Paulus pasti juga mengalami pengalaman keberhasilan dan
juga kejatuhan. Dalam tugas pewartaan iman, tentu ada orang-orang yang menerima
dan juga menolaknya (bahkan dengan penolakan yang nyata pada tindakan
kekerasan).
“Kami senantiasa membawa kematian Yesus di dalam tubuh
kami, supaya kehidupan Yesus juga menjadi nyata dalam tubuh kami” (Kor 4: 10).
Di tengah tantangan dalam misi pewartaan iman, bersama dengan kekuatan Allah
dalam tubuh manusia yang fana, Paulus menyerahkan segala yang dilakukannya
dengan Yesus sendiri. Persatuan dengan Allah yang diyakini dalam Diri Yesus itu
menjadi daya spiritual jiwa misinya. Ia tidak hanya ingin mengalami situasi
berahmat dengan memiliki ‘kehidupan Yesus’ yang pada akhir nanti akan
memberikan kehidupan kekal. Akan tetapi, Paulus juga ingin menyatukan segala
usahanya dengan ‘kematian Yesus’ seperti Dia sendiri yang telah mengalami
kelemahan manusiawi ketika sengsara dan wafat di salib.
Lantas, refleksi Paulus itu berbicara apa bagi diriku? Mungkin
ketika mengikrarkan prasetya kekal dan dilanjutkan dengan pesta yang meriah
menjadikanku bagaikan ‘seorang raja’. Raja yang dimaksudkan adalah bukan raja
yang memiliki kehidupan yang membahagiakan sepanjang hidupnya. Mengikrarkan
prasetya kekal dan dilanjutkan dengan pesta yang meriah menjadikanku ‘seorang
raja’ untuk sehari saja, tidak lebih! Maksudnya adalah bahwa ketika setelah mengikrarkan
kaul dan perayaan yang menyertai, selanjutnya aku dihadapkan dengan kehidupan
nyata sebagai seorang biarawan muda yang secara kekal ingin mempersembahkan
seluruh diri bagi Dia.
Di tengah perkembangan jaman yang terus melaju dan diikuti
dengan begitu banyak tawaran dunia yang begitu menawan, penghayatan ketiga
kaulku sungguh tertantang. Tidak hanya menjaga penghayatan kehidupan ketiga
kaul, rahmat panggilan dari Tuhan pun kadang menjadi tanggung jawab yang harus
dipelihara. Kadang, aku sendiri merasa takut dan terus bertanya, “Apa aku bisa
dan mampu”? Pengalaman selama kurang lebih setahun dalam masa TOPP rasanya
menjadi bahan pembelajaranku bahwa kehidupan seorang terpanggil diwarnai dengan
dua pengalaman konkrit: bangun dan jatuh! Menjadi aman dan bahagia-lah bila
dalam setiap pengalaman jatuh, aku dapat bangun untuk berjuang kembali. Namun,
yang menjadi ketakutanku adalah bahwa aku tidak dapat bangun kembali jika suatu
waktu terjerumus pada pengalaman kejatuhan dalam menghidupi penghayatan kaul
dan juga panggilan.
“Kami senantiasa membawa kematian Yesus di dalam tubuh
kami, supaya kehidupan Yesus juga menjadi nyata dalam tubuh kami”. Rasanya,
refleksi Santo Paulus tentang perjuangannya dalam menjaga panggilan
perutusannya menjadi daya pacu dan picu bagiku. Ya…, aku dapat menimba semangat
darinya. Aku disadarkan bahwa dalam mempersembahkan diri bagi Tuhan, aku
diundang tidak hanya untuk mengalami pengalaman kebahagian. Niat untuk
mempersembahkan diri kepada-Nya juga menuntut untuk mengalami kematian bersama
Tuhan, yakni dengan mengalami pelbagai pengalaman menjatuhkan, sekalipun itu
menyakitkan. Untuk itu, ketakutan akan hari depan yang membayang dalam diri
sudah sepatutnyalah tidak menjadi penghalang. Refleksi Santo Paulus rupanya
mengundangku untuk menjadi seperti dia, yakni menyatukan pengalaman ketakutan-kejatuhan
dan kebahagiaan dalam hidup panggilan dengan kematian dan kehidupan Tuhan.
Dengan demikian, kematian dan kehidupan Yesus sungguh nyata dalam diriku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar