Sabtu, 31 Agustus 2019


Sebuah Refleksi atas Kaul Kekal:

Kematian dan Kehidupan Yesus Menjadi Nyata dalam Tubuh Kami
- 2 Kor 4:10 -


Siang itu, perjalanan menuju ke stasi Muktikarya kutempuh selama satu seperempat jam. Terik matahari yang menyelimuti dengan sapaan sinarnya, menemani perjalanan pastoralku (dalam rangka Tahun Orientasi Pastoral dan Panggilan/TOPP) melayani umat. Bukan hanya itu, sepinya jalan yang dilalui dengan deretan tanaman perkebunan – sawit dan karet – semakin melengkapi perjalanan penuh tantangan. Hingga sampailah aku di Gereja Katolik Santo Lukas – Muktikarya. Di Gereja stasi inilah perjalanan pelayanan yang selama hari Jumat sampai Minggu dimulai.
Walau menempuh jarak yang lumayan jauh, stamina tubuh tidak terasa begitu capai. Bagiku, kerinduan untuk bertemu dengan umat rasanya menjadi ‘obat mujarab’ melawan rasa capai. Aku merasa bahwa umat yang akan dilayani sungguh merindukan kehadiranku. Maka, ketika di gereja belum ada satu pun umat yang datang dan pintu masih tertutup dengan rapat, sembari duduk santai di atas sepeda motor, aku menunggu umat. “Kedatangan umat agaknya terlambat karena mereka pasti banyak urusan”, pikirku dalam hati.
Kurang lebih setengah jam kemudian, ada seorang bapak yang datang. Kedatangannya itu menyejukkan hati di tengah suasana penantian. “Pak…”, sapaku. Namun tanpa basa-basi, bapak itu berkata, “Frater…, semalam diumumkan bahwa pada hari ini tidak ada pelayanan dari pastoran…”! Mendengar kata-kata itu, rasanya ada petir yang menyambarku di siang bolong. Ada rasa menyesal karena datang, ada rasa ingin menyalahkan umat... dan lain sebagainya. Namun, aku masih bisa menutupi rasa itu dengan menjawab, “Oh…, begitu Pak ya…. Kalau begitu saya langsung pamit saja ya…”. “Ha… haha…, kasihan deh kamu Jen…” ejekku bagi diri sendiri sembari menaiki sepeda motor dan meninggalkan bapak tadi.
Mencari pengalaman berpastoral dan mengolah panggilan dalam masa TOPP telah usai. Ada begitu banyak pengalaman yang telah kudapatkan; dan pengalaman di atas adalah salah satu di antaranya. Pengalaman itu mewakili pengalaman suka dan duka sebagai seorang frater TOPP-er di Paroki Para Rasul Kudus – Tegalsari, BK 20 – OKU Timur, Sumatera Selatan. Selain itu, secara pribadi kusadari bahwa ada banyak pengalaman yang membuatku bersemangat-mengembangkan dan juga sebaliknya. Di atas itu semua, kusadari bahwa pelbagai pengalaman tersebut menjadi bagian dari persiapan untuk mengikrarkan kaul kekal (pada 20 Juli 2013 yang lalu).
“Kematian dan kehidupan Yesus menjadi nyata dalam tubuh kami” (bdk. 2 Kor 4:10) merupakan tema kami. Bagiku, refleksi Paulus yang berjuang dalam mewartakan Sabda Tuhan – sekalipun berhadapan dengan pelbagai tantangan yang menjatuhkan dan juga pengalaman yang penuh rahmat – sungguh tepat jika kuhadapkan dengan pengalaman selama TOPP dan menjadi refleksi bagi kehidupan mendatang.
Paulus sendiri sadar bahwa tugas dari Allah dalam mewartakan nama Yesus seperti harta rohani dalam bejana tanah liat (2 Kor 4). Tugas pewartaan itu seperti rahmat yang diterima dan harus dilaksanakan sekalipun dengan kekuatan manusiawi yang penuh kelemahan. Sebagai seorang manusia biasa – seperti pada umumnya – Paulus pasti juga mengalami pengalaman keberhasilan dan juga kejatuhan. Dalam tugas pewartaan iman, tentu ada orang-orang yang menerima dan juga menolaknya (bahkan dengan penolakan yang nyata pada tindakan kekerasan).
“Kami senantiasa membawa kematian Yesus di dalam tubuh kami, supaya kehidupan Yesus juga menjadi nyata dalam tubuh kami” (Kor 4: 10). Di tengah tantangan dalam misi pewartaan iman, bersama dengan kekuatan Allah dalam tubuh manusia yang fana, Paulus menyerahkan segala yang dilakukannya dengan Yesus sendiri. Persatuan dengan Allah yang diyakini dalam Diri Yesus itu menjadi daya spiritual jiwa misinya. Ia tidak hanya ingin mengalami situasi berahmat dengan memiliki ‘kehidupan Yesus’ yang pada akhir nanti akan memberikan kehidupan kekal. Akan tetapi, Paulus juga ingin menyatukan segala usahanya dengan ‘kematian Yesus’ seperti Dia sendiri yang telah mengalami kelemahan manusiawi ketika sengsara dan wafat di salib.
Lantas, refleksi Paulus itu berbicara apa bagi diriku? Mungkin ketika mengikrarkan prasetya kekal dan dilanjutkan dengan pesta yang meriah menjadikanku bagaikan ‘seorang raja’. Raja yang dimaksudkan adalah bukan raja yang memiliki kehidupan yang membahagiakan sepanjang hidupnya. Mengikrarkan prasetya kekal dan dilanjutkan dengan pesta yang meriah menjadikanku ‘seorang raja’ untuk sehari saja, tidak lebih! Maksudnya adalah bahwa ketika setelah mengikrarkan kaul dan perayaan yang menyertai, selanjutnya aku dihadapkan dengan kehidupan nyata sebagai seorang biarawan muda yang secara kekal ingin mempersembahkan seluruh diri bagi Dia.
Di tengah perkembangan jaman yang terus melaju dan diikuti dengan begitu banyak tawaran dunia yang begitu menawan, penghayatan ketiga kaulku sungguh tertantang. Tidak hanya menjaga penghayatan kehidupan ketiga kaul, rahmat panggilan dari Tuhan pun kadang menjadi tanggung jawab yang harus dipelihara. Kadang, aku sendiri merasa takut dan terus bertanya, “Apa aku bisa dan mampu”? Pengalaman selama kurang lebih setahun dalam masa TOPP rasanya menjadi bahan pembelajaranku bahwa kehidupan seorang terpanggil diwarnai dengan dua pengalaman konkrit: bangun dan jatuh! Menjadi aman dan bahagia-lah bila dalam setiap pengalaman jatuh, aku dapat bangun untuk berjuang kembali. Namun, yang menjadi ketakutanku adalah bahwa aku tidak dapat bangun kembali jika suatu waktu terjerumus pada pengalaman kejatuhan dalam menghidupi penghayatan kaul dan juga panggilan.
“Kami senantiasa membawa kematian Yesus di dalam tubuh kami, supaya kehidupan Yesus juga menjadi nyata dalam tubuh kami”. Rasanya, refleksi Santo Paulus tentang perjuangannya dalam menjaga panggilan perutusannya menjadi daya pacu dan picu bagiku. Ya…, aku dapat menimba semangat darinya. Aku disadarkan bahwa dalam mempersembahkan diri bagi Tuhan, aku diundang tidak hanya untuk mengalami pengalaman kebahagian. Niat untuk mempersembahkan diri kepada-Nya juga menuntut untuk mengalami kematian bersama Tuhan, yakni dengan mengalami pelbagai pengalaman menjatuhkan, sekalipun itu menyakitkan. Untuk itu, ketakutan akan hari depan yang membayang dalam diri sudah sepatutnyalah tidak menjadi penghalang. Refleksi Santo Paulus rupanya mengundangku untuk menjadi seperti dia, yakni menyatukan pengalaman ketakutan-kejatuhan dan kebahagiaan dalam hidup panggilan dengan kematian dan kehidupan Tuhan. Dengan demikian, kematian dan kehidupan Yesus sungguh nyata dalam diriku.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

La présence de Dieu qui accompagne toujours nos vies est un mystère. Sa présence réelle qu'Il soit là ou ici, nous ne pourrons peut-être...