Judul Buku : Kecerdasan Emosional: Mengapa EI Lebih
Penting dari pada IQ (Terj.)
Penulis : Daniel
Goleman
Penerbit : PT
Gramedia Pustaka Utama - Jakarta
Tahun
Terbit : 2016
Ada realitas dalam kehidupan yang menunjuk pertanyaan: “Bagaimana
mungkin seseorang yang jelas-jelas cerdas melakukan sesuatu yang tak rasional –
sesuatu yang betu-betul bodoh”? Jawaban atas pertanyaan itu adalah bahwa
kecerdasan akademis sedikit saja kaitannya dengan kehidupan emosional. Di sini
ingin ditegaskan “yang paling cerdas di antara kita dapat terperosok ke dalam
nafsu tak terkendali dan impuls meledak-ledak; orang dengan IQ (kecerdasan
intelektual) tinggi dapat menjadi ‘pilot’ yang tak cakap dalam kehidupan
pribadi mereka” (hal. 42).
Goleman dalam bukunya ingin menunjukkan bahwa seseorang
hidup tidak hanya mendasarkan diri pada kecerdasan IQ saja, tetapi juga
membutuhkan kecerdasan emosional (EQ). Orang bisa saja, di satu sisi,
mengagungkan kemampuan intelektualnya dengan melihat tata dunia sebagai “aturan
logika” yang dapat dimengerti secara nalar. Meski demikian, kemampuan
intelektual kadang bisa saja “terbajak” dengan kungkungan emosi. Jika yang
terjadi demikian, pikiran logis tidak bekerja dengan baik, bahkan terkalahkan
dengan kuatnya daya emosi – suasana hati – yang lebih menguasai. Contoh konkret:
seseorang dapat merasa cemas dan takut luar biasa berhadapan dengan realitas
yang akan terjadi berkaitan dengan konsekuensi apa yang telah dilakukannya. Padahal
ketakutan dan kecemasannya itu, bila dipikir secara rasional, tidak dapat
dipertanggunjawabkan. Ia sudah “dibajak” oleh kecemasan dan ketakutan dengan mengafirmasi
secara membabi-buta alasan-alasan atas pengandaian supaya keceamasan dan
ketakutannya dapat dinalar secara logis. Di sini letak kesalahannya, yakni:
bahwa pikirang logis “terbajak” oleh emosi.
Dalam pelbagai realitas kehidupan, manusia sebagai pribadi
yang memiliki dua kemampuan sekaligus – IQ dan EQ – seharusnya mampu
menggunakannya dengan baik serta bijaksana. Di satu sisi, memang dibutuhkan IQ,
namun di sisi lain, juga patut mengikutsertakan EQ.
Yang ingin dicapai oleh Goleman adalah bahwa seseorang harus
memiliki, mengembangkan dan menggunakan kecerdasan emosional semaksimal
mungkin. Beberapa aspek kecerdasan emosial adalah “kemampuan untuk memotivasi
diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi; mengendalikan dorongan hati dan
tidak melebih-lebihkan kesenangan; mengatur suasana hati dan menjaga agar beban
stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir; berempati dan berdoa” (hal. 43). Menurut
Goleman, kecerdasan emosional seseorang dapat diajarkan dan dikembangkan
sebagaimana juga dengan kecerdasan intelektual. Di sini, ia menyarankan bahwa
salah satu jalan yang dapat dilakukan untuk mengajar dan mengembangkan
kecerdasan emosional melalui peningkatan peran sekolah, yakni dengan “meninjau
ulang peran sekolah: mengajar dengan kerelaan, komunitas yang peduli” (hal.
394).
Karya Goleman sangat bersifat akademis dan dapat
dipertanggungjawabkan. Ia tidak hanya mendasarkan tulisannya pada tataran teori
belaka, tetapi juga memasukkan data-data penelitian yang telah dilakukan. Sebagai
tulisan yang apik dengan bahasa yang
mudah dimengerti, buku ini baik dibaca bagi semua yang ingin mengembangkan dan
mengajarkan kecerdasan emosional, baik bagi diri sendiri maupun untuk yang
lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar