Jumat, 09 Desember 2016

Judul Buku     :    Kecerdasan Emosional: Mengapa EI Lebih Penting dari pada IQ (Terj.)
Penulis            :    Daniel Goleman
Penerbit          :    PT Gramedia Pustaka Utama - Jakarta
Tahun Terbit  :    2016

Ada realitas dalam kehidupan yang menunjuk pertanyaan: “Bagaimana mungkin seseorang yang jelas-jelas cerdas melakukan sesuatu yang tak rasional – sesuatu yang betu-betul bodoh”? Jawaban atas pertanyaan itu adalah bahwa kecerdasan akademis sedikit saja kaitannya dengan kehidupan emosional. Di sini ingin ditegaskan “yang paling cerdas di antara kita dapat terperosok ke dalam nafsu tak terkendali dan impuls meledak-ledak; orang dengan IQ (kecerdasan intelektual) tinggi dapat menjadi ‘pilot’ yang tak cakap dalam kehidupan pribadi mereka” (hal. 42).
Goleman dalam bukunya ingin menunjukkan bahwa seseorang hidup tidak hanya mendasarkan diri pada kecerdasan IQ saja, tetapi juga membutuhkan kecerdasan emosional (EQ). Orang bisa saja, di satu sisi, mengagungkan kemampuan intelektualnya dengan melihat tata dunia sebagai “aturan logika” yang dapat dimengerti secara nalar. Meski demikian, kemampuan intelektual kadang bisa saja “terbajak” dengan kungkungan emosi. Jika yang terjadi demikian, pikiran logis tidak bekerja dengan baik, bahkan terkalahkan dengan kuatnya daya emosi – suasana hati – yang lebih menguasai. Contoh konkret: seseorang dapat merasa cemas dan takut luar biasa berhadapan dengan realitas yang akan terjadi berkaitan dengan konsekuensi apa yang telah dilakukannya. Padahal ketakutan dan kecemasannya itu, bila dipikir secara rasional, tidak dapat dipertanggunjawabkan. Ia sudah “dibajak” oleh kecemasan dan ketakutan dengan mengafirmasi secara membabi-buta alasan-alasan atas pengandaian supaya keceamasan dan ketakutannya dapat dinalar secara logis. Di sini letak kesalahannya, yakni: bahwa pikirang logis “terbajak” oleh emosi.
Dalam pelbagai realitas kehidupan, manusia sebagai pribadi yang memiliki dua kemampuan sekaligus – IQ dan EQ – seharusnya mampu menggunakannya dengan baik serta bijaksana. Di satu sisi, memang dibutuhkan IQ, namun di sisi lain, juga patut mengikutsertakan EQ.
Yang ingin dicapai oleh Goleman adalah bahwa seseorang harus memiliki, mengembangkan dan menggunakan kecerdasan emosional semaksimal mungkin. Beberapa aspek kecerdasan emosial adalah “kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi; mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan; mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir; berempati dan berdoa” (hal. 43). Menurut Goleman, kecerdasan emosional seseorang dapat diajarkan dan dikembangkan sebagaimana juga dengan kecerdasan intelektual. Di sini, ia menyarankan bahwa salah satu jalan yang dapat dilakukan untuk mengajar dan mengembangkan kecerdasan emosional melalui peningkatan peran sekolah, yakni dengan “meninjau ulang peran sekolah: mengajar dengan kerelaan, komunitas yang peduli” (hal. 394).
Karya Goleman sangat bersifat akademis dan dapat dipertanggungjawabkan. Ia tidak hanya mendasarkan tulisannya pada tataran teori belaka, tetapi juga memasukkan data-data penelitian yang telah dilakukan. Sebagai tulisan yang apik dengan bahasa yang mudah dimengerti, buku ini baik dibaca bagi semua yang ingin mengembangkan dan mengajarkan kecerdasan emosional, baik bagi diri sendiri maupun untuk yang lain. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

La présence de Dieu qui accompagne toujours nos vies est un mystère. Sa présence réelle qu'Il soit là ou ici, nous ne pourrons peut-être...