Rabu, 30 November 2016

Untuk Orang Tua:
Bila Amarah Berarti “Bunuh Diri”

Dari banyak penelitian dan studi mengatakan ada sebuah relasi antara kekuatan emosi dan fisik. Salah satu temuan yang berdasarkan penelitian dan studi mengatakan bahwa kekuatan amarah dapat memicu pada rusaknya daya kerja jantung; hal ini semakin menjadi jika orang atau pribadi yang bersangkutan sudah memiliki “bibit” penyakit jantung.
Setiap amarah yang disertai dengan suasana hati yang ingin menyerang pihak lawan, setiap amarah itu pula menyumbang tekanan stres tambahan bagi jantung dengan meningkatkan laju denyut jantung serta tekanan darah. Apabila hal ini berulang secara terus-menerus, hal tersebut akan bersifat merusak; terutama karena golakan darah yang mengalir melalui arteri koroner bersama dengan detak jantung dapat menimbulkan robekan-robekan mikro pada pembuluh tersebut, yang merupakan tempat bertumbuhnya plak. Apabila jantung berdenyut lebih cepat dan tekanan darah lebih tinggi karena kebiasaan untuk marah-marah, jika selama 30 tahun, hal tersebut barangkali menyebabkan timbunan plak yang terus menumpuk lebih cepat. Dengan demikian, keadaannya menjurus pada peyakit koroner.
Begitu penyakit jantung menyerang, mekanisme yang dipicu oleh amarah menghambat efisiensi jantung sebagai pemompa darah. Efek dari hambatan efisien itu membuat amarah pada akhirnya menjadi faktor mematikan, faktor “bunuh diri” yang disebabkan oleh kesalahan diri sendiri.
Pertanyaan yang patut menjadi bahan refleksi bagi kita adalah “apakah saya adalah pribadi yang memiliki karakter cepat untuk marah”? Mungkin untuk menjawabnya, sangat tepat bila kita mengingat sejenak pengalaman hidup sebagai orang tua atau sebagai pasangan suami-istri. Adakalanya kita marah ketika menghadapi dan mendidik anak yang sulit untuk diarahkan. Adakalanya kita marah ketika pasangan (suami-istri Anda) kurang memahami dan bahkan sulit untuk mengerti apa yang menjadi kehendak dan perasaan kita.
Rasanya, perlu bagi kita, yang memangku tugas sebagai pasangan suami-istri atau pun sebagai orang tua untuk menambah panjang kesabaran dalam menjalani hidup. Kesabaran memampukan untuk berani “ambil nafas” ketika “virus kemarahan” menyerang. Kesabaran membantu untuk meminimalisir hanyutnya diri dalam rasa marah yang membakar. Akhirnya, dengan memiliki dan menambah panjang kesabaran, hanyutnya diri untuk menjadi pribadi yang cepat marah pun dapat dihindarkan sedini mungkin; dan jantung Anda pun akan selalu berdetak dengan rileks-santai. Itulah arti hidup yang sehat secara emosi dan fisik. Semoga, Anda dan pasangah hidup Anda pun demikian!

jenli, scj

Jumat, 25 November 2016

MENDENGAR


Seni Menjaga Kelanggengan Hidup Berkeluarga

Dalam suatu pertengkaran keluarga terjadi demikian. Suami berkata dengan keras kepada istrinya, “Tidak usah berteriak”! Lantas, si istri pun menjawabnya tak mau kalah, “Tentu saja aku berteriak, sebab kamu tidak mendengar apa yang kukatakan. Kamu bahkan tidak mau mendengarkan”!
Mendengarkan merupakan keterampilan yang membuat pasangan-pasangan, atau mereka yang telah menjalin hidup perkawinan-keluarga tetap bersatu. Bahkan, di tengah-tengah panasnya pertengkaran – ketika kedua pihak terjebak oleh pembajakan emosi (diri dikuasai oleh emosi yang terus membara) – bila salah satunya dan terkadang keduanya dapat menerapkan keterampilan mendengarkan, pihak tersebut akan berhasil meredam api amarah. Ini mau menekankan bahwa mendengarkan pasangan dan menanggapinya dengan tindakan yang tenang, tanpa juga ikut terpengaruh suasana kemarahan, akan menjadi langkah perbaikan untuk pasangannya sendiri. Pasangan yang terjebak dalam emosi kemarahan atau emosi yang merugikan akan merasa “diorangkan”, merasa dihargai dan merasa didengarkan.
Pada beberapa kasus konkret, pasangan-pasangan yang sudah mendekat ke arah perceraian akan tenggelam dalam amarah terpaku pada detail-detail persoalan yang dipertengkarkan, sehingga tidak mampu mendengarkan – apalagi menjawab – tawaran damai yang barangkali tersirat dalam kata-kata yang dilontarkan oleh pasangannya. Tentu saja, dalam suatu pertengkaran – suami dan istri – apa yang dikatakan sering kali berupa serangan; atau yang dikatakan, disampaikan dengan sikap negatif begitu kuat sehingga masing-masing pribadi sulit untuk mendengarkan.
Dalam mengarungi hidup berkeluarga, kita tidak menutup mata bahwa pertikaian, atau dapat disebut sebagai konflik antara suami dan istri, menjadi kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Bisa jadi letak permasalahannya adalah bahwa istri tidak puas terhadap tanggung jawab suami dalam mencari penghidupan yang layak, suami tidak puas atas pelayanan istri terhadap pengurusan keadaan rumah tangga dan permasalahan-permasalahan lainnya.
Di sini, salah satu tindakan penting yang perlu dibuat, yakni: mendengarkan. Mendengarkan yang dimaksud adalah mendengarkan dengan jalan berempati. Mendengarkan dengan jalan berempati memampukan pasangan untuk tidak hanya sekadar mendengarkan keluhan pasangannya, tetap juga berani untuk tidak kembali membalas keluhan dengan keluhan atau serangan serupa. Mendengar dengan jalan berempati berarti berani mendengar semua keluhan pasangan dengan hati terbuka tanpa menyela; dan dengan tetap mengutamakan semagat kasih pasangang untuk mencintai seumur hidup. Semoga Anda dan pasangan Anda pun demikian.


jenli, scj

Minggu, 20 November 2016

Muda Foya-foya, Tua Kaya-raya, Mati Masuk Surga



Pernahkah Anda mengenal semboyan ini: “Muda Foya-foya, Tua Kaya-raya, Mati Masuk Surga”? Agaknya semboyan itu telah membudaya di kalangan masyarakat kita, secara khusus kalangan anak muda. Bisa jadi semboyan itu ingin mendengungkan semangat hidup yang intinya ingin menghabiskan segala seusatu yang dipunya tanpa melihat sejauh mana mendapatkannya. Atau, semboyan itu ingin mengatakan bahwa tiket masuk surga juga terbuka bagi orang-orang yang hidupnya penuh dengan suasana foya dan kaya.
Pertanyaan yang patut direnungkan berkaitan dengan semboyan itu adalah apakah sejalan antara hidup yang foya-foya dengan kaya raya dan masuk surga? Faktanya, foya-foya itu justru menghabiskan harta, bukan menggunakannya dengan bijak,  bukan membuat kaya, dan ujung-ujungnya malah dijauhkan dari surga! Kalau boleh dibilang jujur, semboyan di atas hanyalah bentuk legitimasi untuk melanggar berbagai aturan. Alhasil, masa mudanya habis untuk sia-sia, rambu-rambu nilai agama dilanggar, yang penting bahagia; itu prinsipnya.
Kita berfokus pada “hidup foya-foya”. Mungkin jaman sekarang, banyak orang hidup dengan mode dan gaya demikian. Kalau boleh disebut, manusia faktanya memiliki ketertarikan pada suasana “pesta pora” dalam merayakan setiap pengalaman hidup, baik pengalaman keseharian ataupun pengalaman yang besar. Bentuk pesta pora mungkin berubah setiap waktu dan tempat, tapi esensinya tetap sama: manusia ingin memanjakan egonya dengan kemabukan dan penghabisan harta yang dimiliki, baik itu berlimpah ataupun yang berkecukupan.
Yang mau ditekankan di sini adalah bahwa bukannya kita tidak diizinkan untuk membuat perayaan dalam setiap pengalaman hidup; tapi yang kadang menjadi masalah adalah ketika kita menjadi terlalu terikat pada pesta pora dan kemewahan sehingga membuatnya sebagai bagian dari identitas kita. Faktanya: ada orang-orang yang membutuhkan pengakuan sosial untuk merasa dirinya berharga, sehingga rela menghabiskan harta hanya untuk memiliki penampilan yang memukau. Padahal, sejatinya jati diri tidak hanya dapat dinilai dari apa yang kita miliki atau kenakan.
Dunia terus berubah; dan manusia pun juga mengikutinya. Tapi peringatan Tuhan – yang mengatakan: “Jagalah dirimu, jangan sampai hatimu sarat dengan pesta pora dan kemabukan serta kepentingan-kepentingan duniawi....” – masih tetap relevan hingga sekarang. Kita disadarkan untuk tidak terjebak dalam “lubang pesta pora dan hidup foya-foya”. Tuhan tidak menginginkan agar kita terjatuh dalam lubang kepurukan itu.
Lantas, bagaimana kalau kita sudah terlanjur terpuruk? Mungkin nasihat ini patut untuk direnungkan: “Jangan terpuruk ketika kamu tengah berada dalam situasi terburuk; Tuhan memberikannya padamu, karena Dia ingin kamu lebih kuat dari sebelumnya”.

Tuhan memberkati. Amin!

Jumat, 18 November 2016

Orang Tuaku HEBAT!



Ada kata-kata bijak yang mengatakan demikian: “Hal-hal terbaik yang dapat orang tua berikan kepada anak-anak, selain tingkah laku yang baik adalah kenangan indah”. Kata-kata itu memuat makna mendalam yang ingin mengatakan bahwa salah satu tugas dari orang tua bagi anak adalah memberikan teladan. Keteladanan itu dikonretkan dengan menunjukkan kepada mereka cara berada dan cara hidup sebagai ayah-ibu yang baik.
Tentunya, masing-masing dari kita tahu pasti menjadi yang baik itu seperti apa. Menjadi yang baik sebenarnya mengarah pada penghadiran diri sebagai figur atau sosok yang dapat diterima. Dalam hal ini, kehadiran dan cara berada orang tua sudah sepantasnya bukan menjadi penghalang bagi perkembangan kepribadian anak, melainkan semestinya menjadi pendukung. Namun, bagaimana dengan praksisnya?
Kita tidak menutup mata bahwa menuju orang tua yang ideal, orang tua yang menjadi kebanggaan anak, bukanlah sesuatu hal yang mudah; mungkin mudah untuk diucapkan tapi sulit untuk dikonkretkan. Ada begitu banyak tantangan dan halangan – belum lagi godaan dari dalam diri – yang mengaburkan orang tua untuk menjadi “idola” anak; sebut saja misalnya dalam keteladanan hidup beriman. Banyak orang tua ingin anak mereka rajin dalam hidup beriman, yakni dengan mendorong anak untuk rajin ke Gereja; padahal mereka sendiri – sebagai orang tua – malah jarang dan sering absen ke Gereja. Bila melihatnya, patutlah jika anak tidak menunjukkan harapan orang tua sebab mereka belum melihat teladan konkret dari orang tua mereka sendiri. Di sini, orang tua tidak seharusnya menuntut anak, padahal orang tua itu sendiri tidak menunjukkan keteladanan yang diharapkan.
Kita juga patut untuk tidak hilang asa tatkala harapan untuk menjadi orang tua yang “di-idolakan” anak belum tercapai. Yang ditekankan di sini adalah kata “belum”, bukan “tidak”. Untuk itu, upaya dan usaha pencapaian penghadiran diri sebagai orang tua kebanggaan anak masih ada. Orang tua – yakni suami dan istri yang bertekad menjadi “satu” dengan konsekuensi pada tugas mendidik anak – diharap selalu memberikan teladan atau contoh konkret sebelum memerintahkan kepada anak untuk bertindak sesuatu.
Yang ditekankan di sini adalah “orang tua harus memberikan keteladanan kepada anak”. Contoh konkretnya: jika orang tua ingin anak mereka rajin ke Gereja, maka mereka harus rajin ke Gereja dulu; jika orang tua mengharapkan anak mereka tidak merokok, maka mereka harus menunjukkan bahwa mereka juga tidak merokok; jika orang tua mengharapkan anak rajin bekerja di rumah, maka orang tua juga diharap menunjukkan semangat kerja mereka.
Cita-cita semua orang tua adalah supaya anak mereka menjadi pribadi yang baik sesuai dengan harapan. Tentunya, harapan ini juga harus di-barengi dengan keteladanan dari orang tua itu sendiri. Bentuk keteladanan yang dikonkretkan pada akhirnya membuat anak bangga terhadap orang tua dengan mengakui “orang tuaku HEBAT”! Semoga Anda pun menjadi orang tua demikian.


jenli, scj

Jumat, 11 November 2016

Rp 10.000 untuk Kolekte dan Rp 1.000 untuk Jajan Ataukah Sebaliknya?


Keluaga merupakan lingkup pertama dan utama di mana anak-anak belajar untuk mendapat pendidikan serta pengalaman hidup. Tidak dapat disangkal bahwa keluarga menjadi basic atau dasar pembentukan kepribadian anak sebelum mereka mampu beradaptasi dengan baik di lingkungan luar. Korelasinya adalah bahwa jika anak sudah diajari dengan baik apa yang menjadi nilai atau norma hidup di lingkungan keluarga, maka anak pun (diharapkan) akan mampu untuk beradaptasi – menghadirkan diri – di lingkungan luar (bersosial dengan masyarakat luas). Anak pun akan dapat menyerap dan mengolah nilai-nilai hidup yang mereka temui ketika berjumpa dengan teman atau pun masyarakat.
Jika memang keluarga dapat dikatakan sebagai “tempat pendidikan awal” bagi anak-anak, maka peran orang tua sangat tepat disebut. Sebagai penanggung jawab utama dalam hidup berkeluarga, orang tua – yakni: suami dan istri – memiliki kewajiban moral untuk mendidik anak-anak sesuai dengan semangat hidup perkawinan. Salah satu bentuk konkret mendidik anak sebenarnya dapat dilakukan dengan menghadirkan diri sebagai figur yang patut diteladani dan ditiru; bukan malah sebaliknya.
Dalam keluarga, kecenderungan anak untuk meniru kebiasaan orang tua lebih besar dari pada meniru anggota keluarga lain seperti kakek, nenek atau saudara yang lain. Ini terjadi karena keberadaan orang tua menjadi sosok yang intensitas pertemuannya lebih rapat dengan mereka, terutama pada anak-anak yang masih berada di golden age zone (usia emas: 0-5 tahun). Pada tahap ini anak akan menyerap apa saja yang mereka dapat dari orang tua sebagai suatu stimulus (rangsangan), memprosesnya dalam bentuk skema dan pola informasi yang mereka bangun dalam pikiran, lalu mengeluarkannya dalam bentuk respon konkret (tindakan).
Lantas, apa contohnya? Sadarkah Anda ketika memberikan uang untuk anak Anda? Misalkan uang itu adalah sebagai berikut: Rp 10.000 diberikan untuk kolekte dan Rp 1.000 untuk jajan. Tentu anak akan meresponnya dengan menggunakan uang itu sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh orang tua. Anak tidak akan berfikir panjang mengapa jumlahnya berbeda: antara untuk kolekte dan untuk jajan. Di balik itu semua, sebenarnya orang tua memberikan pengajaran kepada anak untuk memberikan yang terbaik kepada Gereja; meski kadang orang tua tidak menyadarinya. Sisi bawah sadar anak akan merekam pengalaman itu: bahwa untuk Gereja harus lebih baik, harus lebih besar, harus yang terbaik. Inilah yang akan dipelajari oleh anak dan akan terbawa dalam pengalaman bawah sadarnya di mana pengalaman ini akan selalu mengajari dan mendorong mereka untuk memberikan diri yang terbaik bagi Gereja.
Saya yakin bahwa Anda adalah salah satu dari orang tua yang memberikan Rp 10.000 untuk kolekte dan Rp 1.000 untuk jajan. Ataukah sebaliknya?


jenli, scj

Senin, 07 November 2016

Sadar Kaya

Judul Buku     :    Sadar Kaya
Penulis            :    Mardigu WP
Penerbit          :    TransMedia Pustaka - Jakarta
Tahun Terbit  :    2015

“Aku bisa”! Seruan ungkapan itu memuat kesadaran diri bahwa tujuan atau capaian yang hendak diinginkan pasti dapat dimiliki. Itulah salah satu sisi motivasi diri yang ingin ditekankan Mardigu dalam bukunya yang berjudul Sadar Kaya. Ketika kita mengatakan bahwa “Aku Bisa”, hal itu menunjukkan kemampuan dan kapasitas diri sebagai pribadi yang memiliki kualitas. Kualitas yang dimiliki berkaitan dengan talenta atau bakat-bakat yang disadari dan dijadikan sebagai modal dalam bertindak aktif.
Ketika berbicara mengenai kesadaran diri sebagai pribadi yang kaya atau pribadi yang makmur (prosperity consciousness), seseorang diingatkan bahwa dalam diri setiap manusia – setidaknya dalam dirinya – memiliki kemampuan. Hanya saja yang patut menjadi perhatian adalah pada titik pengambilan keputusan: Apakah dia mau menggunakannya atau tidak. Seseorang yang menyadari diri sebagai pribadi yang kaya dan bernilai, sebenarnya bertitik pada orang itu sendiri, tergantung cara kerja otaknya: “Jadi, bagaimana Anda bisa memprogram otak Anda untuk menjadi orang kaya, Anda-lah yang menentukannya” (hal 1).
Kualitas pribadi yang kaya juga terletak pada kemampuan yang dimiliki untuk berfikir jauh ke depan; bahkan mampu untuk mengatasi dan mendobrak situasi sekarang menuju lebih baik. Dengan kata lain, pribadi demikian berani untuk “bermimpi”. Ia berani untuk membuat cita hidup dan itu yang akan menjadi “rel” perjalanan langkahnya. Ia meyakini bahwa dengan berani bermimpi sebenarnya ia pun sudah memulai mengubah hidup: “Impian bisa mengubah fakta, selama kamu percaya dan tidak menyerah” (hal 171).
Dalam pemrograman pikiran bawah sadar, ada satu kunci yang harus dipahami dalam cara otak bekerja. “Peranti lunak” dalam pikiran itu hanya mengenal kalimat “sekarang” atau “present tense”. Otak kecil manusia yang berada di belahan dalam, amigdala yang membuat pemrograman, tidak mengenal kata “akan”, “seandainya”, “mudah-mudahan”, “nanti” dan sebagainya. Yang dikenal adalah kekinian, sekarang. Untuk itu, pribadi sadar kaya mengetahui celah ini. Ia akan mengerjakan apa yang menjadi impian atau tujuan hidupnya, seakan ia sudah memilikinya. “Apa pun yang Anda percayai dan inginkan dalam pikiran, Anda ulangi berkali-kali bahwa Anda sudah di sana dan sudah memilikinya” (hal 183).
Buku Sadar Kaya tulisan Mardigu WP ini sangat baik dibaca untuk siapa saja yang memiliki keyakinan pada perkembangan diri. Baik untuk siapa saja karena semua orang memiliki hak untuk menyadari diri sebagai pribadi yang kaya. Hanya saja, tidak semua orang bisa menyadarinya dan butuh disadarkan oleh yang lain. 

Kamis, 03 November 2016

Anak Ribut Ketika Misa?



Mungkin bagi sebagian umat sudah menjadi hal yang lumrah ketika mendengar dan menyaksikan tingkah laku anak-anak ketika Misa sedang berlangsung. Bagi sebagian umat memandangnya sebagai hal yang wajar, sebab bagi mereka seperti itulah anak-anak. Namun ada juga sebagian umat yang memandang sangat mengganggu berjalannya Misa. Di lain pihak, bagi romo yang memimpin Misa pun kadang memiliki pandangan yang berbeda antara yang satu dengan yang lain. Ada romo yang bisa menerimanya dan tidak jarang juga ada romo yang menentangnya dengan keras, bahkan menyuruh orang tua untuk membawa anak mereka keluar atau diikutsertakan dalam kegiatan anak-anak (yang biasanya di paroki-paroki tertentu ada pembimbingnya sendiri).
Menghadapi hal itu, banyak orang tua merasa tertekan dan memiliki perasaan tidak enak ketika melihat anak mereka dipandang sebagai sumber “keributan” Misa. Dalam hal ini, orang tua tentu tidak dapat menyalahkan umat atau romo. Orang tua tentu tidak disarankan untuk menyalahkan anak karena pada umur itu, anak berada pada tahap perkembangan diri: melakukan partisipasi dalam pelbagi kegiatan fisik dan mampu mengambil inisiatif untuk suatu tindakan yang akan dilakukan. Pada tahap ini, anak akan lebih menghabiskan waktunya untuk melakukan gerak fisik atau pun wicara. Melalui tindakan-tindakan tersebut, mereka ingin merealisasikan apa yang menjadi kebutuhan diri; meski tak jarang membuat suasana ribut.
Banyak orang tua lebih memilih membawa anak mereka keluar dari Gereja dan momong mereka. Bahkan, ada orang tua yang memberikan makanan dan minuman kepada anak agar mereka diam-tenang. Itu semua dilakukan agar anak tidak menjadi sumber keributan dan tidak mengganggu umat lain yang sedang khusuk berdoa. Namun apa langkah itu bijak bagi perkembangan diri anak?
Sebenarnya, langkah orang tua untuk berusaha menjaga anak agar tidak ribut selama misa dengan pelbagai kegiatan yang dilakukan – seperti contoh di atas – cukup baik. Tapi hal itu tentu harus dipertimbangkan lebih lanjut: Apakah dengan mengajak mereka ke luar Gereja bisa membiasakan anak untuk menjadi pribadi yang merasa betah di dalam Gereja? Bukankan mereka nantinya malah terasing dengan kegiatan Misa itu sendiri? Apakah dengan memberikan mereka minuman dan makanan akan mendidik mereka menjadi dewasa? Bukankan hal itu malah menjauhkan pengenalan mereka terhadap pemahaman doa yang khusuk?
Salah satu tugas orang tua Katolik adalah mendidik iman anak. Dalam ranah ini, adalah tugas orang tua untuk mendampingin anak, secara khusus mengikut-sertakan mereka dalam pelbagai kegiatan rohani (misal: Misa). Maka, peran orang tua yang bijak dalam memilih solusi ketika menghadapi tahap perkembangan anak sungguh diperlukan. Di satu sisi, orang tua tidak harus selalu meng-iya-kan apa yang menjadi kehendak anak: bermain, makan, minum, ribut dan lain sebagainya. Di lain sisi, orang tua tentu juga tidak boleh mengekang apa yang menjadi kebutuhan anak. Maka, menyeimbangkan antara apa yang baik dan yang menjadi kebutuhan anak adalah langkah pilihan yang bijak.
Ketika anak ingin bermain dan ingin ke luar dari Gereja; ketika anak ingin makan dan minum ketika Misa sedang berlangsung; berhadapan dengan situasi itu, orang tua diajak untuk memilih tindakan yang bijak. Tindakan yang bijak lebih menekankan pada pertimbangan: “Apakah dengan tindakanku, iman anak akan terdidik? Apakah hal itu malah sekadar memenuhi kebutuhan mereka semata tanpa ada didikan iman?


jenli, scj

La présence de Dieu qui accompagne toujours nos vies est un mystère. Sa présence réelle qu'Il soit là ou ici, nous ne pourrons peut-être...