On
Line di
Hadapan Allah
(Makna
Adorasi)
Dalam adorasi, yang berkaitan erat dengan perayaan
Ekaristi,
kita renungkan kekayaan yang termuat dalam misteri
iman kita ini,
supaya Tubuh dan Darah Kristus, … mengubah hidup kita
lebih mendalam.
(Konstitusi SCJ no. 83)
Orang di zaman sekarang sudah tidak merasa asing lagi jika mendengar kata
“on line”, apalagi bagi kaum muda. On line menjadi kata yang familiar
lantaran memiki keterkaitan dengan fenomena zaman sekarang, yakni dunia
internet yang digandrungi banyak orang. Dalam dunia tersebut, orang dapat
mencari segala data atau informasi yang diinginkan; bahkan ia dapat membangun
komunikasi dengan banyak orang dalam waktu yang serentak – sebut saja dengan
adanya jejaring sosial facebook.
Dalam ber-facebook ria, orang
sangat merasa nyaman ketika ia sedang on
line dihadapan layar komputer. Kenyamanan itu terasa karena ia dapat
membangun komunikasi dengan orang(-orang) lain, entah teman, pacar, keluarga
ataupun kenalan. Membangun komunikasi yang sangat intens-terfokus ini merupakan
kunci utama ketika orang sedang on line.
Ia senantiasa memandang teman yang sedang sama-sama
on line sebagai seseorang yang terasa
dekat, sekalipun nyatanya saling berjauhan. Kenyamanan orang selama on line karena dapat mendialogkan segala
pengalaman hidup dengan orang yang menjadi lawan bicara membuat waktu berjalan
begitu cepat!
Jika orang dapat begitu nyaman dan intens dalam membangun komunikasi
ketika sedang on line di hadapan
dunia internet, mungkinkan hal itu dapat menjadi inspirasi dalam membangun komunikasi
dengan Yang Ilahi bila kita sedang on
line di hadapan Allah (yang nyata dalam pengalaman adorasi)? Ketika berada
dan bersembah sujud kepada Tuhan menjadikan waktu tak terasa begitu cepat
berjalan, terbangunnya komunikasi dengan Dia yang bertahta dalam rupa Roti
Kudus, dan pada akhinya melahirkan perasaan yang nyaman dalam hati …, itulah
makna terdalam dari adorasi. Itulah makna yang terkandung dalam adorasi ketika seseorang
sedang on line di hadapanNya.
Makna Adorasi
Jemaat Katolik yang sejati senantiasa memandang Allah sebagai sumber
kekuatan dalam mengarungi peziaran hidup di dunia. Untuk itu, usaha untuk
menjalin komunikasi dan mendialogkan perjalanan/pengalaman hidup dengan Sang
Sumber Kekuatan merupakan keutamaan rohani yang pantas diperjuangkan. Dalam
khasanah kekayaan devosi yang dimiliki oleh Gereka Katolik, adorasi memiliki
tempat untuk memperjuangkan keutamaan rohani tersebut. Dalam praksis kehidupan
umat beriman, adorasi – sebagai kesempatan untuk on line pada jalur “sembah sujud” di hadapan Allah – memiliki makna
mendalam.
Bagi saya, adorasi sungguh mempunyai makna yang sangat dalam bagi
kehidupan iman. Hal itu sungguh saya alami selama kurang lebih 12 tahun hidup
dalam Kongregasi Imam-imam Hati Kudus Yesus (SCJ). Setelah mengalami jatuh dan
bangun dalam menghayati adorasi, saya memandang bahwa devosi kepada Sakramen
Maha Kudus ini tidak hanya sekadar kewajiban sebagai anggota komunitas yang
harus dilakukan, tetapi menjadikannya sebagai kebutuhan rohani untuk mengambil kekuatan
dalam mengarungi hidup panggilan.
Secara pribadi, ketika jiwa dan pikiran menyatu serta berada pada
kenyataan bahwa “aku berada di hadapan Allah”, memampukan saya untuk menghayati
apa yang sedang dialami ketika ber-adorasi. Dalam adorasi, kesempatan untuk
memperdalam spiritualitas SCJ – pemulihan cinta kasih lewat persembahan diri –
sangatlah dimungkinkan. Saya dapat kembali menghayatinya dengan mengenangkan
peristiwa persembahan Diri Yesus dalam peristiwa salib yang kini dihadirkan
secara sakramental dalam Roti Suci. Ia yang rela menderita dan wafat di kayu
salib, sekarang rela juga untuk hadir dan menyapa umatNya yang berdosa. Lebih
jauh lagi, adorasi sebenarnya menghadirkan kembali peristiwa Yesus (yang
menyelamatkan manusia) dalam Perayaan Ekaristi. Peristiwa pengalaman akan kasih
Allah yang menyelamatkan inilah menyadarkan saya bahwa Allah sungguh mencintai
umatNya, tidak hanya dulu tetapi sampai sekarang. Maka, dalam adorasi, meskipun
seolah hanya memandang dan menyembah Sakramen Maha Kudus yang bertahta dalam
monstran, yakni Yesus Kristus yang hadir dalam Roti, saya dapat mengungkapkan
pujian syukur, sembah dan sujud serta kekaguman atas misteri kasih Allah.
Pengalaman akan kasih Allah yang kembali saya renungkan dalam adorasi
merupakan pengalaman yang meneguhkan panggilan. Saya menyadari bahwa sebagai
seorang dehonian (sebutan bagi para pengikut Pater Dehon – pendiri Kongregasi
SCJ), perjalanan hidup panggilan masih panjang dan komitmen untuk setia pasti
berhadapan dengan pelbagai rintangan yang menunggu! Di atas itu semua,
pengalaman akan kasih Allah yang sekarang tetap setia menyertai sungguh
menguatkan kaki untuk terus berjalan. Pengalaman akan kasih Allah yang hadir
dalam Roti Suci sungguh menggerakkan hati untuk membalas kasihNya dalam persembahan
hidup sembari
berefleksi dan bertanya pada diri: “Apa yang sudah kulakukan bagi Tuhan dan apa
yang akan kulakukan bagiNya”? Untuk itu, semua pengharapan, karya,
usaha, suka-duka dan semua yang mewarnai panggilan hidup sebagai seorang
biarawan menjadi bahan persembahan yang saya haturkan kepadaNya dalam adorasi.
Itulah salah satu makna adorasi, yakni untuk memberikan diri sebagai
persembahan hidup bagi Allah; persembahan diri sebagai silih atas dosa dunia
yang seringkali melukai HatiNya, terlebih atas dosa orang-orang yang dipanggil
secara khusus bagiNya.
Selain adanya kesadaran untuk membangun komunikasi dengan Dia, Sang Sumber
Kekuatan, selama adorasi saya mengaku bahwa usaha untuk tetap sadar di
hadapanNya memang membutuhkan semangat dan hati yang teguh. Kadangkala, saya
kurang merasa sreg (nyaman) selama
adorasi ketika menganggapnya sebatas pada rutinitas komunitas yang harus
dilakukan. Belum lagi munculnya gangguan dari pikiran yang melantur, sementara
tubuh sedang berada di kapel; maka, pepatah yang tepat bukanlah mens sana in
corpore sano tetapi mens “sana’’ in corpore “sini” (pikiran di sana [di suatu tempat] sedangkan tubuh di
sini [di kapel]). Demikian pula ketika acara adorasi komunitas diadakan pada
pagi hari, saya juga sering mengantuk karena kurang memiliki semangat, apalagi
kalau tidurnya terlalu larut malam. Namun di atas semuanya itu, saya berusaha
untuk menyerahkan diri seutuhnya – termasuk kekurangan diri – kepada Dia yang
Maha Kasih.
Setelah On Line di Hadapan Allah
Kalau orang setelah on line di hadapan
dunia internet, misalnya setelah membuka akun facebook atau email,
ia pasti membawa banyak informasi yang didapat. Informasi itu dapat berupa data
yang dicari ataupun pesan yang diterima. Dari data atau pesan yang diterima
itu, ia akan bertindak seturut apa yang terkandung dari data atau pesan yang ia
terima. Kalau data yang didapat merupakan bahan untuk membuat tulisan, maka ia
akan langsung menjadikan data tersebut sebagai bahan referensi. Kalau pesan
yang diterima merupakan undangan dari teman untuk datang ke suatu pesta, maka
ia akan merencanakan atau bahkan akan datang langsung ke pesta itu. Demikianlah
yang terjadi ketika seseorang selesai on line dari dunia
internet.
Jika yang terjadi bahwa setelah on
line di hadapan internet orang memiliki sesuatu yang dibawa, lantas
bagaimanakah dengan orang/umat setelah on
line di hadapan Allah dalam adorasi? Bagi saya, pengalaman yang sungguh
mendalam ketika selesai ber-adorasi adalah pengalaman Allah yang mencintai.
CintaNya itu sungguh terbukti ketika Ia memberikan Diri demi umat yang dicintai
– peristiwa salib yang lebih dari dua
ribu tahun lalu – kini dinyatakan dan hadir kembali dalam kesederhanaan. Ya…,
semua itu rela dilakukan demi cintaNya yang sungguh agung untuk manusia, termasuk
saya yang berdosa! Pengalaman inilah yang kemudian mengundang saya untuk
menjawab dan membalas kasih Allah.
Pengalaman Allah yang mencinta dan usaha untuk membalas cintaNya ini
sungguh saya alami. Pengalaman itu terjadi ketika saya berada dalam suatu kesempatan
mengikuti adorasi di komunitas. Tatkala hadir dan bersembah sujud di hadapan
Tuhan, saya menghadirkan pergulatan tugas perutusan studi saya. Pergulatan itu
adalah adanya perasaan gundah dalam hati karena ketidakjelasan antara lulus
ujian atau harus mengulang salah satu mata kuliah yang diujikan. Saya merasa
bahwa pertanyaan lisan yang diajukan oleh dosen secara lisan dapat saya jawab.
Namun kata-kata dari dosen penguji – mungkin karena “pintarnya” dosen untuk
membuat bingung mahasiswa ketika ujian – yang sungguh terdengar jelas di
telinga membuat saya merasa bimbang dan merasa jawaban saya pasti salah! Betapa
tidak khawatirnya hati ketika dosen berkata: “Sana keluar…, jawabanmu tidak jelas”?
Sekiranya itulah yang menjadi kegalauan hati pada waktu itu di
hadapanNya. Bagi saya, menghadirkan segala pengalaman hidup dalam adorasi
(termasuk pengalaman sekecil apapun) merupakan kesempatan yang tepat untuk
menyertakan karya Allah dalam hidup. Jika saya renungkan kembali, betapa luar
biasa daya kekuatan Allah yang menyapa saya waktu itu. Dengan memandang
kehadiranNya dalam Sakramen Maha Kudus, menyadarkan saya untuk berani
menghadapi segala realitas karena Ia yang memanggil senantiasa menyertai. Tekad
untuk berani menghadapi ujian ulang ataupun tidak merupakan buah yang saya
alami setelah mengalami peneguhan dariNya. Yesus yang sungguh hadir secara
sakramental dalam Hosti Suci memberikan daya IhahiNya untuk menguatkan saya,
hambanya yang lemah. Itulah pengalaman akan cinta Allah yang terus saya terima.
Sebuah pengalaman dicintai yang mendorong diri untuk menjawab dan membalasNya.
Jika yang terjadi bahwa setelah on
line di hadapan internet orang memiliki sesuatu yang dibawa (entah data
atau pesan), maka adanya pengalaman “dicinta” merupakan buah yang saya terima
setelah on line di hadapan Allah
dalam adorasi. Itulah pengalaman yang menggerakkan diri untuk berani melangkah
maju kembali, tanpa terkurung dalam kekhawatiran hati, bersemangat dalam
melanjutkan tugas perutusan studi. Dari sini dimulailah langkah untuk mempersembahan
diri sebagai buah dari on line di
hadapan Allah.