Rabu, 30 Oktober 2019

La priere - L'Abbaye de Villers




Les moines de l’Abbaye de Villers, suivent une règle de vie commune, qui fut écrite au VIème siècle par saint Benoît. Cette règle, définit les préceptes à suivre par les moines pour vivre ensemble dans une abbaye. Elle définit un rythme de vie précis autour de la messe et de l’office divine : 7 fois par jour et 1 fois par nuit. La Règle impose la prière en chantant tous ensemble.

En portant une robe blanche, appelée la « coule », les moines, chercheurs de Dieu, sont spécialement appelés à continuer la prière dans l’Église. Cela ressort de toute la tradition monastique et des préceptes de l’Église, qu'il faut donner la première place à la prière dans la vie.

Par la prière, les moines de l’Abbaye de Villers font comme l’a dit le Prophète à Dieu dans les Psaumes : « Sept fois le jour j’ai chanté tes louanges. » Ils remplissent ce nombre sacré de sept, s’ils s’acquittent des devoirs de ses prières à Laudes, Prime, Tierce, Sexte, None, Vêpres et Complies. Tandis que, au sujet de l’office de la nuit, il s’exprime ainsi : « Je me levais au milieu de la nuit pour louer à Dieu. »

Sabtu, 28 September 2019


Mon premier contact avec la langue française
-


Je m’appelle Jenli Imawan. Imawan, c’est mon nom de famille et Jenli, c’est mon prénom. Je suis indonésien. Je suis arrivé en Belgique l’année dernière, et maintenant j’habite à Bruxelles, dans un couvent à côté de la gare d’Etterbeek. Je suis étudiant de la faculté de Théologie à l’UCL dans le programme de Master en théologie, à finalité approfondie.

Si on me demande comment fut mon premier contact avec le français, je pourrais dire ceci. Ce fut à Jakarta, la capitale de l’Indonésie que j’ai commencé à apprendre le français pendant un mois, avant mon départ pour la Belgique. Auparavant, je pensais que le français était une langue très bizarre à entendre et à apprendre. Alors, pourquoi pouvais-je dire cela ? Eh bien, le français, à mon avis, est une langue qui est plus compliquée que ma langue maternelle, à savoir la langue indonésienne. Je peux donner deux exemples pour expliquer cela. En français, il y a des règles pour la conjugaison des verbes, alors que dans ma langue, cela n’existe pas. Ensuite, pour la prononciation du français, dans ma langue aussi ça existe, mais ce n’est pas aussi difficile qu’en français.

Du point de vue des difficultés de prononciation française, il y a un son, pour moi, qui est difficile à prononcer. C’est le son « R ». Chez nous, on dit « r », pas « R » comme en français. Pour moi, on a besoin d’un peu de pression dans la gorge pour prononcer « R » exactement. Et pourtant, il y a un son que j’aime. Qu’est-ce que c’est ? C’est « ON », comme dans le mot « pardon ». Dans ma langue maternelle, ça n’existe pas. Mais, je l’aime parce que ce son est facile à prononcer et agréable à entendre.

Bien que le français ne soit pas facile pour moi, je suis sûr de pouvoir l’apprendre et de le maîtriser. Je me souviens que mon ami belge m’avait dit : « Apprendre le français, c’est comme les oiseux qui construisent un nid ». C’est une belle phrase pour moi. Pourquoi ? Parce que, pour apprendre le français et le maîtriser, il faut le temps, autrement dit qu'on doit l'apprendre petit à petit.


Minggu, 01 September 2019


Secuil Renungan Kecil 



“Apakah yang anda makan hari ini, seafood atau mie instan atau...? Ahh, itu semua tidak sehat lho...”, begitulah perkataan dari teman saya yang dulu pernah kuliah di Ilmu Gizi dan Nutrisi Makanan ketika kami bertemu beberapa waktu yang lalu. Saya masih ingat ketika gagasan untuk mempromosikan kesadaran kesahatan muncul pertama kalinya, hal ini mengundang banyak perdebatan, tetapi juga banyak yang sangat antusias menanggapinya.
Dari hal yang mulai samar-samar, kini menjadi kelihatan lebih pasti. Makan tidak hanya persoalan tentang apa yang kita makan untuk hidup, tetapi juga tentang apa yang menjadi kenikmatan darinya. Fakta bahwa orang semakin memperhatikan apa yang mereka atau orang lain makan merupakan tanda yang jelas bahwa kita menjadi lebih sadar akan apa yang kita masukkan ke dalam perut kita.
Sungguh menakjubkan bahwa masih banyak orang yang belum tahu hal ini, yakni tentang kerakusan. Kita tergoda untuk menikmati makanan yang serba enak karena memang memanjakan lidah dan atau karena begitu mudah dicari saat ini. Seringkali kita lalai mengingat berapa kalori asupan yang sudah diterima tubuh dan berapa kalori yang sudah digunakan. Semua makanan dicoba tanpa mengingat bahwa tubuh perlu keseimbangan. Menghargai tubuh tidak sama dengan memanjakan atau terlalu keras memaksakannya bekerja, tetapi untuk melihat tubuh kita sebagai teman yang akan mendampingi sampai akhir hayat.
Dalam filsafat Cina, ada prinsip emas, yaitu menemukan keseimbangan dari kedua tegangan dalam kehidupan. Tidak terlalu panas atau terlalu dingin, tidak terlalu cepat atau terlalu lambat, tidak terlalu ketat atau terlalu longgar. Oleh karena itu, kita harus menemukan keseimbangan dalam beberapa hal, misalnya: saat kita makan, tidur, istirahat, bekerja dan rekreasi agar tubuh dapat berfungsi pada tingkat energi optimal ketika digunakan. Bila kita mulai membiasakan memahami tubuh kita sendiri, kita dapat dengan mudah mencegah serangan penyakit. Dengan memperhatikan prinsip keseimbangan, kita dapat terus memelihara kehidupan dan kesehatan yang baik.
Praktik keseimbangan itu juga dapat dikaitkan dengan praksis doa dan meditasi. Dalam aktivitas-aktivitas tersebut, kita menemukan kedamaian dengan Allah dan diri sendiri. Keteraturan doa dan meditasi menciptakan relaksasi dan ketenangan sehingga kerja kelenjar adrenalin maupun jantung kita bekerja dengan lebih ringan dari biasanya. Fungsi tubuh menjadi lebih efisien sehingga memperkecil risiko terkena suatu penyakit. Ketika tubuh kita dalam suasana damai dan tenang, tubuh lebih mampu mengatasi penyakit. Memang, tubuh di satu sisi harus bekerja (secara jasmani), tapi di lain sisi juga membutuhkan kesegaran rohani.
Sebenarnya sudah banyak metode doa dan meditasi yang ditawarkan, baik dari buku maupun kelompok doa tertentu. Permasalahannya adalah apakah kita sudah berusaha meluangkan waktu untuk melakukannya? Apapun metode yang kita lakukan, meluangkan waktu untuk berdoa, relaksasi dan menemukan ruang untuk berdamai dengan diri sendiri dan dengan Allah, semuanya bermanfaat untuk menunjang kesehatan dan kehidupan.
Penyembuhan seringkali mulai pada saat tubuh dan pikiran sedang santai. Ketika tubuh tidak terbebani oleh tekanan hidup, tubuh mulai dapat menangani proses-proses pemulihan yang diperlukan. Doa menempatkan hati kita dengan nyaman, membuat kita menjadi lebih terbuka sehingga memungkinkan daya Ilahi berperan dalam diri. Ketika ini terjadi, doa menjadi momen perdamaian dan kepercayaan pada Pencipta yang mengasihi serta mengenal kita di setiap rasa; juga menjadi dasar untuk menuju proses penyembuhan dan di sanalah keajaiaban bisa terjadi.
Lantas, yang patut kita renungkan adalah “sudahkah aku memuliakan Allah dengan tubuhku, yakni dengan menjaga kesehatan tubuh sebagai rasa terima kasihku atas karunia dari-Nya”?

Sabtu, 31 Agustus 2019


Peringatan Arwah dalam Gereja Katolik


Sebenarnya, praktek doa untuk orang-orang yang sudah meninggal sudah dijalankan sejak lama. Hal ini dapat dibandingkan dengan 2 Mak 12:42-45 di mana para jemaat Allah memohon belas kasih Allah untuk mengampuni dosa dari mereka yang yang telah meninggal. Dalam Gereja sendiri, praktek mendoakan mereka yang sudah meninggal juga dapat ditemukan. Misalnya saja dalam Doa Syukur Agung (DSA) II, III dan IV. Bagi Gereja, doa-doa yang dilambungkan merupakan doa yang dijiwai dengan semangat iman dan pengharapan akan kerahiman, kebaikan serta kemurahan Allah sebagaimana tampak dalam peristiwa wafat dan kebangkitan Yesus Kristus.
Atas dasar adanya praktek mendoakan arwah, Gereja (Katolik) sendiri memberikan tempat dan menghargai budaya setempat untuk diintegrasikan dalam liturgi dan doa arwah. Dalam hal ini, orang-orang Katolik di Indonesia memiliki kebiasaan untuk memperingati dan mendoakan arwah menurut rangkaian hari dan tahun (hari ke-3, 7, 40, 100, 1 dan 2 tahun, 1000 hari dan seterusnya). Berhadapan dengan kebiasaan yang menjadi kearifan lokal masyarakat setempat, Gereja mengangkatnya dan memasukkan kearifan lokal itu ke dalam liturgi Gereja. Hal tersebut nampak jelas dalam praktek misa peringatan arwah menurut hari dan tahun tertentu. Dengan demikian, “Kurban ekaristis Paskah Kristus dipersembahkan oleh Gereja bagi para arwah; sebab semua anggota dalam Tubuh Kristus merupakan persekutuan, sehingga dengan demikian yang sudah mati pun menerima pertolongan rohani, sedangkan yang masih hidup dihibur dengan harapan”(PUMR 379).
Praktek mendoakan arwah dalam perayaan liturgi (Misa) dapat dipandang dalam dua segi: pertama, sebagai perayaan iman akan satu tindakan Allah yang menyelamatkan orang yang sudah meninggal melalui Kristus dalam Roh Kudus; kedua, sebagai doa yang mau mengungkapkan kekayaan iman akan misteri penebusan Kristus menurut segi-segi tertentu. Demikian pula semua simbol yang biasa digunakan dalam adat tradisi budaya setempat dalam mengiringi perayaan mendoakan arwah tetap bisa digunakan sejauh maknanya selaras dengan nilai-nilai Kristiani dan ditempatkan dalam terang misteri Kristus. Maka, praktek perayaan Ekaristi untuk memperingati arwah merupakan sebuah bentuk pewartaan iman Kristiani, yang dalam segi pastoral-inkulturasi merupakan “penghadiran karya keselamatan Allah dalam Kristus yang mendarat, membumi dan menjadi manusia”.




Sebuah Refleksi atas Kaul Kekal:

Kematian dan Kehidupan Yesus Menjadi Nyata dalam Tubuh Kami
- 2 Kor 4:10 -


Siang itu, perjalanan menuju ke stasi Muktikarya kutempuh selama satu seperempat jam. Terik matahari yang menyelimuti dengan sapaan sinarnya, menemani perjalanan pastoralku (dalam rangka Tahun Orientasi Pastoral dan Panggilan/TOPP) melayani umat. Bukan hanya itu, sepinya jalan yang dilalui dengan deretan tanaman perkebunan – sawit dan karet – semakin melengkapi perjalanan penuh tantangan. Hingga sampailah aku di Gereja Katolik Santo Lukas – Muktikarya. Di Gereja stasi inilah perjalanan pelayanan yang selama hari Jumat sampai Minggu dimulai.
Walau menempuh jarak yang lumayan jauh, stamina tubuh tidak terasa begitu capai. Bagiku, kerinduan untuk bertemu dengan umat rasanya menjadi ‘obat mujarab’ melawan rasa capai. Aku merasa bahwa umat yang akan dilayani sungguh merindukan kehadiranku. Maka, ketika di gereja belum ada satu pun umat yang datang dan pintu masih tertutup dengan rapat, sembari duduk santai di atas sepeda motor, aku menunggu umat. “Kedatangan umat agaknya terlambat karena mereka pasti banyak urusan”, pikirku dalam hati.
Kurang lebih setengah jam kemudian, ada seorang bapak yang datang. Kedatangannya itu menyejukkan hati di tengah suasana penantian. “Pak…”, sapaku. Namun tanpa basa-basi, bapak itu berkata, “Frater…, semalam diumumkan bahwa pada hari ini tidak ada pelayanan dari pastoran…”! Mendengar kata-kata itu, rasanya ada petir yang menyambarku di siang bolong. Ada rasa menyesal karena datang, ada rasa ingin menyalahkan umat... dan lain sebagainya. Namun, aku masih bisa menutupi rasa itu dengan menjawab, “Oh…, begitu Pak ya…. Kalau begitu saya langsung pamit saja ya…”. “Ha… haha…, kasihan deh kamu Jen…” ejekku bagi diri sendiri sembari menaiki sepeda motor dan meninggalkan bapak tadi.
Mencari pengalaman berpastoral dan mengolah panggilan dalam masa TOPP telah usai. Ada begitu banyak pengalaman yang telah kudapatkan; dan pengalaman di atas adalah salah satu di antaranya. Pengalaman itu mewakili pengalaman suka dan duka sebagai seorang frater TOPP-er di Paroki Para Rasul Kudus – Tegalsari, BK 20 – OKU Timur, Sumatera Selatan. Selain itu, secara pribadi kusadari bahwa ada banyak pengalaman yang membuatku bersemangat-mengembangkan dan juga sebaliknya. Di atas itu semua, kusadari bahwa pelbagai pengalaman tersebut menjadi bagian dari persiapan untuk mengikrarkan kaul kekal (pada 20 Juli 2013 yang lalu).
“Kematian dan kehidupan Yesus menjadi nyata dalam tubuh kami” (bdk. 2 Kor 4:10) merupakan tema kami. Bagiku, refleksi Paulus yang berjuang dalam mewartakan Sabda Tuhan – sekalipun berhadapan dengan pelbagai tantangan yang menjatuhkan dan juga pengalaman yang penuh rahmat – sungguh tepat jika kuhadapkan dengan pengalaman selama TOPP dan menjadi refleksi bagi kehidupan mendatang.
Paulus sendiri sadar bahwa tugas dari Allah dalam mewartakan nama Yesus seperti harta rohani dalam bejana tanah liat (2 Kor 4). Tugas pewartaan itu seperti rahmat yang diterima dan harus dilaksanakan sekalipun dengan kekuatan manusiawi yang penuh kelemahan. Sebagai seorang manusia biasa – seperti pada umumnya – Paulus pasti juga mengalami pengalaman keberhasilan dan juga kejatuhan. Dalam tugas pewartaan iman, tentu ada orang-orang yang menerima dan juga menolaknya (bahkan dengan penolakan yang nyata pada tindakan kekerasan).
“Kami senantiasa membawa kematian Yesus di dalam tubuh kami, supaya kehidupan Yesus juga menjadi nyata dalam tubuh kami” (Kor 4: 10). Di tengah tantangan dalam misi pewartaan iman, bersama dengan kekuatan Allah dalam tubuh manusia yang fana, Paulus menyerahkan segala yang dilakukannya dengan Yesus sendiri. Persatuan dengan Allah yang diyakini dalam Diri Yesus itu menjadi daya spiritual jiwa misinya. Ia tidak hanya ingin mengalami situasi berahmat dengan memiliki ‘kehidupan Yesus’ yang pada akhir nanti akan memberikan kehidupan kekal. Akan tetapi, Paulus juga ingin menyatukan segala usahanya dengan ‘kematian Yesus’ seperti Dia sendiri yang telah mengalami kelemahan manusiawi ketika sengsara dan wafat di salib.
Lantas, refleksi Paulus itu berbicara apa bagi diriku? Mungkin ketika mengikrarkan prasetya kekal dan dilanjutkan dengan pesta yang meriah menjadikanku bagaikan ‘seorang raja’. Raja yang dimaksudkan adalah bukan raja yang memiliki kehidupan yang membahagiakan sepanjang hidupnya. Mengikrarkan prasetya kekal dan dilanjutkan dengan pesta yang meriah menjadikanku ‘seorang raja’ untuk sehari saja, tidak lebih! Maksudnya adalah bahwa ketika setelah mengikrarkan kaul dan perayaan yang menyertai, selanjutnya aku dihadapkan dengan kehidupan nyata sebagai seorang biarawan muda yang secara kekal ingin mempersembahkan seluruh diri bagi Dia.
Di tengah perkembangan jaman yang terus melaju dan diikuti dengan begitu banyak tawaran dunia yang begitu menawan, penghayatan ketiga kaulku sungguh tertantang. Tidak hanya menjaga penghayatan kehidupan ketiga kaul, rahmat panggilan dari Tuhan pun kadang menjadi tanggung jawab yang harus dipelihara. Kadang, aku sendiri merasa takut dan terus bertanya, “Apa aku bisa dan mampu”? Pengalaman selama kurang lebih setahun dalam masa TOPP rasanya menjadi bahan pembelajaranku bahwa kehidupan seorang terpanggil diwarnai dengan dua pengalaman konkrit: bangun dan jatuh! Menjadi aman dan bahagia-lah bila dalam setiap pengalaman jatuh, aku dapat bangun untuk berjuang kembali. Namun, yang menjadi ketakutanku adalah bahwa aku tidak dapat bangun kembali jika suatu waktu terjerumus pada pengalaman kejatuhan dalam menghidupi penghayatan kaul dan juga panggilan.
“Kami senantiasa membawa kematian Yesus di dalam tubuh kami, supaya kehidupan Yesus juga menjadi nyata dalam tubuh kami”. Rasanya, refleksi Santo Paulus tentang perjuangannya dalam menjaga panggilan perutusannya menjadi daya pacu dan picu bagiku. Ya…, aku dapat menimba semangat darinya. Aku disadarkan bahwa dalam mempersembahkan diri bagi Tuhan, aku diundang tidak hanya untuk mengalami pengalaman kebahagian. Niat untuk mempersembahkan diri kepada-Nya juga menuntut untuk mengalami kematian bersama Tuhan, yakni dengan mengalami pelbagai pengalaman menjatuhkan, sekalipun itu menyakitkan. Untuk itu, ketakutan akan hari depan yang membayang dalam diri sudah sepatutnyalah tidak menjadi penghalang. Refleksi Santo Paulus rupanya mengundangku untuk menjadi seperti dia, yakni menyatukan pengalaman ketakutan-kejatuhan dan kebahagiaan dalam hidup panggilan dengan kematian dan kehidupan Tuhan. Dengan demikian, kematian dan kehidupan Yesus sungguh nyata dalam diriku.







On Line di Hadapan Allah
(Makna Adorasi)


Dalam adorasi, yang berkaitan erat dengan perayaan Ekaristi,
kita renungkan kekayaan yang termuat dalam misteri iman kita ini,
supaya Tubuh dan Darah Kristus, … mengubah hidup kita lebih mendalam.
(Konstitusi SCJ no. 83)


Orang di zaman sekarang sudah tidak merasa asing lagi jika mendengar kata “on line”, apalagi bagi kaum muda. On line menjadi kata yang familiar lantaran memiki keterkaitan dengan fenomena zaman sekarang, yakni dunia internet yang digandrungi banyak orang. Dalam dunia tersebut, orang dapat mencari segala data atau informasi yang diinginkan; bahkan ia dapat membangun komunikasi dengan banyak orang dalam waktu yang serentak – sebut saja dengan adanya jejaring sosial facebook.
Dalam ber-facebook ria, orang sangat merasa nyaman ketika ia sedang on line dihadapan layar komputer. Kenyamanan itu terasa karena ia dapat membangun komunikasi dengan orang(-orang) lain, entah teman, pacar, keluarga ataupun kenalan. Membangun komunikasi yang sangat intens-terfokus ini merupakan kunci utama ketika orang sedang on line. Ia senantiasa memandang teman yang sedang sama-sama on line sebagai seseorang yang terasa dekat, sekalipun nyatanya saling berjauhan. Kenyamanan orang selama on line karena dapat mendialogkan segala pengalaman hidup dengan orang yang menjadi lawan bicara membuat waktu berjalan begitu cepat!
Jika orang dapat begitu nyaman dan intens dalam membangun komunikasi ketika sedang on line di hadapan dunia internet, mungkinkan hal itu dapat menjadi inspirasi dalam membangun komunikasi dengan Yang Ilahi bila kita sedang on line di hadapan Allah (yang nyata dalam pengalaman adorasi)? Ketika berada dan bersembah sujud kepada Tuhan menjadikan waktu tak terasa begitu cepat berjalan, terbangunnya komunikasi dengan Dia yang bertahta dalam rupa Roti Kudus, dan pada akhinya melahirkan perasaan yang nyaman dalam hati …, itulah makna terdalam dari adorasi. Itulah makna yang terkandung dalam adorasi ketika seseorang sedang on line di hadapanNya.

Makna Adorasi
Jemaat Katolik yang sejati senantiasa memandang Allah sebagai sumber kekuatan dalam mengarungi peziaran hidup di dunia. Untuk itu, usaha untuk menjalin komunikasi dan mendialogkan perjalanan/pengalaman hidup dengan Sang Sumber Kekuatan merupakan keutamaan rohani yang pantas diperjuangkan. Dalam khasanah kekayaan devosi yang dimiliki oleh Gereka Katolik, adorasi memiliki tempat untuk memperjuangkan keutamaan rohani tersebut. Dalam praksis kehidupan umat beriman, adorasi – sebagai kesempatan untuk on line pada jalur “sembah sujud” di hadapan Allah – memiliki makna mendalam.
Bagi saya, adorasi sungguh mempunyai makna yang sangat dalam bagi kehidupan iman. Hal itu sungguh saya alami selama kurang lebih 12 tahun hidup dalam Kongregasi Imam-imam Hati Kudus Yesus (SCJ). Setelah mengalami jatuh dan bangun dalam menghayati adorasi, saya memandang bahwa devosi kepada Sakramen Maha Kudus ini tidak hanya sekadar kewajiban sebagai anggota komunitas yang harus dilakukan, tetapi menjadikannya sebagai kebutuhan rohani untuk mengambil kekuatan dalam mengarungi hidup panggilan.
Secara pribadi, ketika jiwa dan pikiran menyatu serta berada pada kenyataan bahwa “aku berada di hadapan Allah”, memampukan saya untuk menghayati apa yang sedang dialami ketika ber-adorasi. Dalam adorasi, kesempatan untuk memperdalam spiritualitas SCJ – pemulihan cinta kasih lewat persembahan diri – sangatlah dimungkinkan. Saya dapat kembali menghayatinya dengan mengenangkan peristiwa persembahan Diri Yesus dalam peristiwa salib yang kini dihadirkan secara sakramental dalam Roti Suci. Ia yang rela menderita dan wafat di kayu salib, sekarang rela juga untuk hadir dan menyapa umatNya yang berdosa. Lebih jauh lagi, adorasi sebenarnya menghadirkan kembali peristiwa Yesus (yang menyelamatkan manusia) dalam Perayaan Ekaristi. Peristiwa pengalaman akan kasih Allah yang menyelamatkan inilah menyadarkan saya bahwa Allah sungguh mencintai umatNya, tidak hanya dulu tetapi sampai sekarang. Maka, dalam adorasi, meskipun seolah hanya memandang dan menyembah Sakramen Maha Kudus yang bertahta dalam monstran, yakni Yesus Kristus yang hadir dalam Roti, saya dapat mengungkapkan pujian syukur, sembah dan sujud serta kekaguman atas misteri kasih Allah.
Pengalaman akan kasih Allah yang kembali saya renungkan dalam adorasi merupakan pengalaman yang meneguhkan panggilan. Saya menyadari bahwa sebagai seorang dehonian (sebutan bagi para pengikut Pater Dehon – pendiri Kongregasi SCJ), perjalanan hidup panggilan masih panjang dan komitmen untuk setia pasti berhadapan dengan pelbagai rintangan yang menunggu! Di atas itu semua, pengalaman akan kasih Allah yang sekarang tetap setia menyertai sungguh menguatkan kaki untuk terus berjalan. Pengalaman akan kasih Allah yang hadir dalam Roti Suci sungguh menggerakkan hati untuk membalas kasihNya dalam persembahan hidup sembari berefleksi dan bertanya pada diri: “Apa yang sudah kulakukan bagi Tuhan dan apa yang akan kulakukan bagiNya”? Untuk itu, semua pengharapan, karya, usaha, suka-duka dan semua yang mewarnai panggilan hidup sebagai seorang biarawan menjadi bahan persembahan yang saya haturkan kepadaNya dalam adorasi. Itulah salah satu makna adorasi, yakni untuk memberikan diri sebagai persembahan hidup bagi Allah; persembahan diri sebagai silih atas dosa dunia yang seringkali melukai HatiNya, terlebih atas dosa orang-orang yang dipanggil secara khusus bagiNya.    
Selain adanya kesadaran untuk membangun komunikasi dengan Dia, Sang Sumber Kekuatan, selama adorasi saya mengaku bahwa usaha untuk tetap sadar di hadapanNya memang membutuhkan semangat dan hati yang teguh. Kadangkala, saya kurang merasa sreg (nyaman) selama adorasi ketika menganggapnya sebatas pada rutinitas komunitas yang harus dilakukan. Belum lagi munculnya gangguan dari pikiran yang melantur, sementara tubuh sedang berada di kapel; maka, pepatah yang tepat bukanlah mens sana in corpore sano tetapi mens “sana’’ in corpore “sini” (pikiran di sana [di suatu tempat] sedangkan tubuh di sini [di kapel]). Demikian pula ketika acara adorasi komunitas diadakan pada pagi hari, saya juga sering mengantuk karena kurang memiliki semangat, apalagi kalau tidurnya terlalu larut malam. Namun di atas semuanya itu, saya berusaha untuk menyerahkan diri seutuhnya – termasuk kekurangan diri – kepada Dia yang Maha Kasih.

Setelah On Line di Hadapan Allah
 Kalau orang setelah on line di hadapan dunia internet, misalnya setelah membuka akun facebook atau email, ia pasti membawa banyak informasi yang didapat. Informasi itu dapat berupa data yang dicari ataupun pesan yang diterima. Dari data atau pesan yang diterima itu, ia akan bertindak seturut apa yang terkandung dari data atau pesan yang ia terima. Kalau data yang didapat merupakan bahan untuk membuat tulisan, maka ia akan langsung menjadikan data tersebut sebagai bahan referensi. Kalau pesan yang diterima merupakan undangan dari teman untuk datang ke suatu pesta, maka ia akan merencanakan atau bahkan akan datang langsung ke pesta itu. Demikianlah yang terjadi ketika seseorang selesai on line dari dunia internet.
Jika yang terjadi bahwa setelah on line di hadapan internet orang memiliki sesuatu yang dibawa, lantas bagaimanakah dengan orang/umat setelah on line di hadapan Allah dalam adorasi? Bagi saya, pengalaman yang sungguh mendalam ketika selesai ber-adorasi adalah pengalaman Allah yang mencintai. CintaNya itu sungguh terbukti ketika Ia memberikan Diri demi umat yang dicintai –  peristiwa salib yang lebih dari dua ribu tahun lalu – kini dinyatakan dan hadir kembali dalam kesederhanaan. Ya…, semua itu rela dilakukan demi cintaNya yang sungguh agung untuk manusia, termasuk saya yang berdosa! Pengalaman inilah yang kemudian mengundang saya untuk menjawab dan membalas kasih Allah.
Pengalaman Allah yang mencinta dan usaha untuk membalas cintaNya ini sungguh saya alami. Pengalaman itu terjadi ketika saya berada dalam suatu kesempatan mengikuti adorasi di komunitas. Tatkala hadir dan bersembah sujud di hadapan Tuhan, saya menghadirkan pergulatan tugas perutusan studi saya. Pergulatan itu adalah adanya perasaan gundah dalam hati karena ketidakjelasan antara lulus ujian atau harus mengulang salah satu mata kuliah yang diujikan. Saya merasa bahwa pertanyaan lisan yang diajukan oleh dosen secara lisan dapat saya jawab. Namun kata-kata dari dosen penguji – mungkin karena “pintarnya” dosen untuk membuat bingung mahasiswa ketika ujian – yang sungguh terdengar jelas di telinga membuat saya merasa bimbang dan merasa jawaban saya pasti salah! Betapa tidak khawatirnya hati ketika dosen berkata: “Sana keluar…, jawabanmu tidak jelas”?
Sekiranya itulah yang menjadi kegalauan hati pada waktu itu di hadapanNya. Bagi saya, menghadirkan segala pengalaman hidup dalam adorasi (termasuk pengalaman sekecil apapun) merupakan kesempatan yang tepat untuk menyertakan karya Allah dalam hidup. Jika saya renungkan kembali, betapa luar biasa daya kekuatan Allah yang menyapa saya waktu itu. Dengan memandang kehadiranNya dalam Sakramen Maha Kudus, menyadarkan saya untuk berani menghadapi segala realitas karena Ia yang memanggil senantiasa menyertai. Tekad untuk berani menghadapi ujian ulang ataupun tidak merupakan buah yang saya alami setelah mengalami peneguhan dariNya. Yesus yang sungguh hadir secara sakramental dalam Hosti Suci memberikan daya IhahiNya untuk menguatkan saya, hambanya yang lemah. Itulah pengalaman akan cinta Allah yang terus saya terima. Sebuah pengalaman dicintai yang mendorong diri untuk menjawab dan membalasNya.
Jika yang terjadi bahwa setelah on line di hadapan internet orang memiliki sesuatu yang dibawa (entah data atau pesan), maka adanya pengalaman “dicinta” merupakan buah yang saya terima setelah on line di hadapan Allah dalam adorasi. Itulah pengalaman yang menggerakkan diri untuk berani melangkah maju kembali, tanpa terkurung dalam kekhawatiran hati, bersemangat dalam melanjutkan tugas perutusan studi. Dari sini dimulailah langkah untuk mempersembahan diri sebagai buah dari on line di hadapan Allah.




Rabu, 21 Agustus 2019


Iman itu sebuah Potensi

[ Matius 23: 13-22 ]


Dalam Injil, Tuhan Yesus mengecam para ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Setidaknya, tiga kali Tuhan mengecam mereka dengan berkata: “Celakalah kalian, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi; hai kalian orang-orang munafik”! Bahkan, kecaman itu semakin keras ketika ia mengatakan: “Celakalah kalian, hai pemimpin-pemimpin buta”! Dari sini, kita dapat merenungkan dengan mengajukan pertanyaan ini: “Apa yang sebenarnya ingin ditegaskan oleh Tuhan dengan menegur para pemimpin atau pemuka agama masyarakat Yahudi pada saat itu”?
Saya melihat bahwa teguran Tuhan Yesus itu ingin mengkritik tindak hidup para ahli Taurat dan orang-orang Farisi, dan bukan mengkritik ajaran mereka. Jika ditanya soal ajaran, pasti itu mereka sangat mengetahui dengan sangat mendalam; dan itu terlihat dengan jabatan yang secara sosial disematkan pada mereka: Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Tentunya mereka tahu betul hukum dan ajaran agama yang itu semua tidak dimiliki oleh kamu awam.
Lantas, apa yang kurang benar dalam diri mereka sehingga Tuhan menegur dengan keras dan tegas? Rasanya, Tuhan menegur ketidak-konsistenan mereka sebagai pemuka agama yang menjadi panutan. Mereka hanya mengajar tetapi tidak menjalankan. Mereka kadang mencari kepentingan sendiri, dengan mengorbankan jemaat yang dipercayakan. Mereka tidak menjadikan orang lebih baik, tapi malah memperburuk keadaannya. Di sini Tuhan menegur mereka dengan berkata: “Kalian mengarungi lautan dan menjelajah daratan untuk menobatkan satu orang saja…, dan sesudah ia bertobat, kalian menjadikan dia orang nereka, yang dua kali lebih jahat dari pada kalian sendiri”. Bahkan, Tuhan menegur mereka karena mereka, yang dalam kenyataan, menjadi kaum legalis di mana menjadikan hubungan rohani dengan Allah hanya sebatas pelaksanaan tata cara keagamaan saja. Singkatnya, teguran Yesus merupakan sebuah kritik di mana mereka tidak menyelaraskan antaran ajaran iman dan hidup; hidup di sini diartikan sebagai tindakan atau buah dari iman.
Dengan merenungkan peristiwa Injil pada hari ini, marilah kita juga melihat diri sendiri. Bisa jadi, teguran Yesus kepada ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi juga merupakan teguran bagi kita. Kita memiliki iman dan iman itu mengajarkan kepada kita nilai-nilai keutamaan dalam hidup, yakni kasih. Namun kita patut bertanya pada diri, apakah kita sudah mewujudkan iman kita dalam tindakan hidup konkrit? Ataukah, iman kita sebatas identitas yang melekat pada diri tanpa memberi pengaruh positif bagi diri sendiri maupun sesama?
Iman itu bukan hanya sekadar ajaran atau pun kepercayaan. Jika hanya demikian, maka iman tidak memiliki makna. Iman itu sejatinya adalah sebuah daya; daya yang memiliki potensi untuk bertindak. Dan tindakan itu memberikan manfaat bagi diri dan juga bagi sesama.

Minggu, 21 Juli 2019



Berkat bagi Keluarga dan Stasi

Lukas 10 : 38-42
(Berkisah tentang Yesus dan para murid yang mengunjungi Marta serta Maria)

Bacaan Injil pada hari ini menceritakan bagaimana rahmat Allah disambut dalam sebuah keluarga. Rahmat itu hadir dalam keluarga Marta dan Maria. Tidak diragukan lagi bahwa baik Marta maupun Maria, mereka bersukacita atas kunjungan Yesus dan murid-murid-Nya. Yang menarik untuk direnungkan di sini adalah bagaimana cara mereka dalam menyambut berkat yang dibawa oleh Yesus dalam keluarga mereka. Diceritakan bahwa antara Marta dan Maria memiliki cara penyambutan yang berbeda. Marta, sebagai pemilik rumah, sibuk bekerja (dalam Injil terjemahan Yunani, terjemahan yang lebih tua dari Injil bahasa Indonesia, ditulis : περὶ πολλὴν διακονίαν, artinya : sibuk sekali melayani). Marta mempersiapkan apa yang perlu bagi Yesus, para murid dan mereka yang hadir untuk mendengarkan Yesus. Di sini, Marta mewakili tipe yang aktif, yakni bekerja. Sedangkan saudarinya, Maria, memilih yang lain. Injil menceritakan bahwa: “Maria ini duduk dekat kaki Tuhan dan terus mendegarkan perkataan Yesus”. Di sini, Maria mewakili pribadi yang kontemplaif, pribadi yang meluangkan waktu untuk hadir bersama Yesus.
Cara Maria dan Marta adalah dua cara yang berbeda dalam menyambut kehadiran berkat Allah dalam keluarga. Kedua cara mereka adalah kedua cara yang tidak boleh saling dipertentangkan, tetapi diperlukan. Mengapa? Karena berkat Allah akan hadir di tengah keluarga, jika setiap anggota keluarga sungguh bekerja keras dan tidak melupakan sisi kontemplaif. Dengan kata lain, keluarga akan mengalami berkat Allah melimpah, jika semua anggotanya melaksanakan tugas harian penuh tanggung jawab; dan itu disertai dengan menjaga hidup doa dalam keluarga.
Dari Injil, kita dapat merenungkan bahwa rahmat Allah sungguh ditawarkan bagi setiap keluarga, juga bagi keluarga kita. Rahmat itu adalah kehadiran Allah dalam diri Yesus Kristus. Ia ada bersama kita, keluarga kita; dan itulah yang diwartakan Paulus: “Kristus ada di tengah-tengah kamu, Kristus yang adalah pengharapan akan kemuliaan”! Ya, kehadiran Tuhan yang membawa rahmat dapat dialami dalam keluarga jika di dalamnya tidak saling bertentangan, namun saling melengkapi dengan semangat karya dan doa (KarDo). Rasanya, hal demikian pula untuk stasi kita. Semoga!

Berkah Dalem.

Sabtu, 06 Juli 2019



Seigneur, je fais cela en Toi et pour Ta gloire.
Tu es ma force et ma sagesse, et Tu pourvois pleinement à tous mes besoins.
Je ne dépends que de Toi !

Senin, 03 Juni 2019


Un secret rend ma chambre confortable


Une façon de rester à la chambre est de la rendre confortable. La cambre confortable est interprétée comme un lieu qui peut être utilisé pour le repos et pour le travail. Il en est même avec la mienne. Jusqu'à présent, je la garde afin d’être vraiment confortable. Pour soutenir cela, il y a trois objets de la vie quotidienne qui sont importants, à savoir : un ordinateur, une guitare et une photo de moi avec mes parents. Ceux-ci sont totalement importants pour que je me sente bien d’être dedans.
Le premier objet de ma vie quotidienne est mon ordinateur. La présence de cet outil favorise le travail et l’apprentissage. J’utilise souvent cet appareil électronique pour faire mes devoirs. En outre, cette technologie peut également être utilisée comme outil d’apprentissage. Je l’utilise pour apprendre le français ; par exemple : écrire dans la littérature française et regarder des vidéos de conversation en français.
À part mon ordinateur, la présence de la guitare dans ma chambre me rend plus à l’aise. Cet instrument de musique m’aide à me détendre lorsque je me sens fatigué. Elle me détend quand j’en joue en chantant. La guitare qui est dans ma chambre est un type de guitare classique. Une des caractéristiques est qu’elle utilise des cordes à fibre. Même si je ne suis pas très bon pour jouer de la guitare classique, j’aime toujours avoir cet outil.
En plus des deux objets ci-dessus, ma photo avec mes parents est un objet très significatif. Je l’ai apporté d’Indonésie. Personnellement, elle est un trésor vraiment précieux. Pourquoi ? Parce qu’à chaque fois je la vois, j’ai l’impression que mes parents sont également présents à coté de moi, même s’ils sont en Indonésie. Pour pouvoir la rendre plus belle, je lui achèterai un cadre en bois. Après ça, je la mettrai au mur, juste devant mon bureau. Ainsi, je pourrai la voir à tout moment.

Sabtu, 18 Mei 2019


 Damai Tuhan


Magdalena adalah seorang wanita yang istimewa. Ketika saya ingat dia, ada satu kata yang terlintas dalam benak tentang dirinya, yakni: damai sejahtera. Ekspresi yang tenang dan teduh pada wajahnya memberikan kesan bahwa ia sungguh mengalami damai, walaupun suaminya didiagnosis mengidap penyakit langka dan kemudian harus berbaring lama di tempat tidur.
Suatu saat, saya bertanya kepadanya, apa rahasia dari kedamaian yang dimilikinya, ia pun menjawab : « Itu bukanlah suatu hal atau materi, tetapi seorang Pribadi. Yesus hidup di dalamku. Tidak ada alasan lain yang bisa menjelaskan ketenangan yang saya alami di tengah pergumulan hidupku ini ».  
Sahabat dehonian yang diberkati Tuhan, damai bagi kita sebagai orang Kristiani, menunjuk pada hubungan dengan Yesus Tuhan. Tuhan bersabda : « Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, …. ». Ketika Yesus menjadi Tuhan yang diimani dan damai-Nya merajai hati kita, maka damai yang Ia janjikan menjadi nyata. Berbagai hal yang berkaitan dengan pergumulan hidup, seperti penyakit, kesulitan ekonomi, masalah keluarga, atau pergumulan hidup lainnya mungkin saja akan kita alami. Namun, berhadapan dengan itu semua, damai sejahtera meyakinkan kita bahwa Yesus, akan tetap memegang hidup kita di tangan-Nya. Inilah yang hendaknya menjadi keyakinan kita bahwa Dia bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan.
Sahabatku yang terkasih, pengalaman Magdalena dalam menghadapi pergumulan dalam hidup, bisa jadi adalah pengalaman kita pula. Magdalena memiliki keyakinan iman yang teguh bahwa ada pertolongan Tuhan yang membuatnya tetap merasa damai. Lantas, bagaimana dengan kita ? Saya berharap agar hari ini kita semua mengumandangkan kata-kata yang pernah ditulis Santo Paulus : « Ia, Tuhan damai sejahtera, kiranya mengaruniakan damai sejahtera-Nya », dan kiranya kita merasakan damai sejahtera itu « terus menerus, dalam segala hal ».

Hati Kudus Yesus, berilah kami damai sejahtera-Mu di setiap waktu dan dalam setiap keadaan hidup kami. Amin!

Selasa, 02 April 2019







Moi-Javanais



Moi, je suis indonésien. Mes parents sont javanais. La tribu javanaise est l’une des tribus en Indonésie qui jusqu'à présent s’est étendue à la quasi-totalité de l’Indonésie. C’est facile de distinguer mes caractéristiques physiques en tant que javanais par rapport aux membres d’autres tribus indonésiennes : d’avoir des cheveux noirs, une peau brune, des yeux bruns avec un visage ressemblant à celui d’un indo-malais.
Les noms de javanais sont facilement reconnaissable car souvent à la fin du nom, on utilise un suffixe « -wan », « -wati », «-man », « -men », « -no », et « -ni ». C’est pourquoi, la fin de mon nom est « Imawan ». Le suffixe « -wan » fait référence à la signification d’un homme.
En tant javanais, mes parents m’ont appris la culture javanaise depuis j’étais petit. Une culture enseignée concerne les mœurs et le comportement dans la vie quotidienne. Mes parents m’ont appris à respecter les autres, en particulier les plus âgés. Ils ont dit que si je marche et passe devant les veilles qui s’asseyent, alors je dois baisser le dos en disant : « Nuwun sewu, ndérék langkung » (c’est une phrase javanaise qui signifie : Je suis désolé, je demande la permission de passer devant vous).
Pour moi, les enseignements de mes parents en gardant des mœurs et de comportement face aux autres m’ont vraiment aidé à avoir une moralité. C’est qui a façonné un aspect de ma moralité. Leurs enseignements me forcent à respecter les autres, en particulier ceux qui sont plus âgés que moi. C’est ce que je fais ici aussi, en Belgique. 

Selasa, 19 Maret 2019

Cahaya Terang

Ketika aku lihat cahaya terang
Aku dapat merasakan ke mana ‘kan pergi
Di saat aku injak dunia luar
Aku yakin semuanya akan kunikmati

Takkan pernah aku takut
Takkan pernah aku sedih
Hadapi semua ini

Ketika aku lihat cahaya terang
Aku dapat menemukan tujuan hidupku
Hilanglah sudah semua masa laluku
Akan ku lewati semua dengan hal yang baru

Takkan pernah aku takut
Takkan pernah aku sedih
Hadapi semua ini

Aku takkan bisa hidup tanpa dirinya
Aku takkan mampu hidup tanpa sentuhannya
Mampu hidup tanpa sentuhannya

Takkan pernah aku takut
Takkan pernah aku sedih
Hadapi semua ini

Rabu, 13 Maret 2019




Jésus dans l'évangile a dit: «En effet, quiconque demande reçoit ; qui cherche trouve ; à qui frappe, on ouvrira ». Cette parole est une parole d'espoir dans laquelle Dieu veut être présenté comme un Dieu de l’espérance pour le peuple. Ici, nous voulons souligner comment nous, en tant que croyants, avons toujours de l'espérance. L’espérance est nécessaire pour nous encourager dans la réalisation de nos travaux. Cet espérance est l'inclusion de Dieu qui nous accompagne toujours lorsque nous travaillons, ou même lorsque nous sommes confrontés à des problèmes. L'espérance est là quand nous lui demandons de rester et de nous aider.
Quand j’ai travaillé dans une paroisse, je me souviens d'une femme musulmane qui voulait devenir catholique. Presque tous les jours, elle participait à l'Eucharistie, sans avoir même reçu la communion. Lorsque je l'ai rencontré, je lui ai demandé: « Qu'est-ce que tu ressens maintenant que tu veux devenir catholique? » Elle m’a répondu: «Père, les défis sont nombreux. Les défis viennent de ma propre famille, dont la majorité était musulmane. Ils ont essayé de m'empêcher de devenir catholique ». Puis, je lui ai de nouveau demandé:« Alors, qu'est-ce que tu as fait »? Ella a répondu: «J'ai prié Jésus, Isa Al-Masih, de m'aider; et il m'a aidé à rester fort face à ma famille et à demeurer immuable en tant que catholique ».
Jésus dans l'évangile d'aujourd'hui veut dire qu'il ne nous a pas quittés. Comme de l'expérience de femme dans l'histoire dont j’ai déjà raconté, Dieu est fidèle à se tenir près de nous, si nous le prions et le lui demandons.

Minggu, 03 Februari 2019




Marc 5 : 1-20

Aujourd’hui, nous venons d’couter d’Évangile de Jésus Christ selon saint Marc. Nous avons déjà écouté que notre Seigneur, Jésus, chassait les mauvais esprits de quelqu’un. Le début du texte racontait la force de pouvoir endommagé des mauvais esprits ; en endommageant spécifiquement quelqu’un qu’ils possédaient. Je pense que cela peut arriver parce qu’il – c’est-à-dire quelqu’un qui était possédait par les mauvais esprits – avait une condition loin de Dieu. Cela qui pouvait donner une lacune aux méchants pour lui conduire.   

Cela nous illustre si quelqu’un était loin de Dieu, alors il donnerait une lacune au méchant pour lui entrer et lui conduire.

La présence de Jésus dans la personne possédée par les démons a donné de l’espoir. Cet espoir devenait réel quand Jésus lui montait son amour en sauvant cette personne des mauvais esprits. Pour moi, cela me montre que le Seigneur Jésus aimait un humain, même l’humain qui était loin de lui.

Ici, je réfléchis que nous, vous et moi aussi, nous avions parfois la situation où nous étions loin de Dieu. En méditant l’Évangile de Saint Marc aujourd’hui, nous sommes réalisés que Jésus est fidèle pour nous aimer. Nous sommes invités à nous rappeler les nombreuses bénédictions que nous avons reçues de Dieu. N’est-ce pas un signe que Jésus, Dieu vivant, nous aime ?

Le Seigneur Jésus nous aime toujours, même si nous sommes pécheurs ; même si nous restons loin de lui. Il veut seulement que nous nous repentions toujours et nous lui retournions. Amen.

Minggu, 06 Januari 2019


Mt 2,1-12

En méditant l’évangile aujourd’hui, je suis invité à réaliser que la présence de Dieu. Elle m’aide à changer le mode de vie. Ceci est basé sur la façon dont les mages ont changé leur chemin : « Mais, avertis en songe de ne pas retourner chez Hérode, ils regagnèrent leur pays par un autre chemin ». Changer leur chemin, c’est-à-dire choisir un meilleur chemin dans la vie, est l’appel de ma vie pour toujours m’améliorer.

Sabtu, 05 Januari 2019


Jn 1, 43-51

Aujourd’hui nous venons d’écouter l’évangile de Jésus-Christ selon saint Jean. Je pense que l’essence de l’évangile est une vocation à devenir disciple. La vocation de disciple a été expérimentée par Nathanaël. En méditant l’évangile ce matin, je pense que la vocation de disciple aussi qui est une partie de ma vie. Alors, je suis invité à remercier Dieu parce qu’il m’a appelé.

Selasa, 01 Januari 2019


Jn 1,19-28

Aujourd’hui nous venons d’écouter l’évangile de Jésus-Christ selon saint Jean. L’évangile raconte comment Jean le Baptiste est devenu un témoin du Christ. Il a montré sa vocation en baptisant beaucoup de gens et en appelant à une voix prophétique : « Moi, je baptise dans l’eau. Mais au milieu de vous se tient celui que vous ne connaissez pas ; c’est lui qui vient derrière moi, et je ne suis pas digne de délier la courroie de sa sandale ».  En méditant sur l’évangile ce matin, nous sommes invités à comprendre le sens d’être un messager du Christ. Nous sommes invités à faire de bonnes actions et à exprimer une voix prophétique ; comme Jean le Baptise l’a fait. Nous pouvons faire ces deux choses en donnant quelque chose aux nécessiteux et en exprimant des mots d’amour aux autres. Ces deux choses sont des projets importants aujourd’hui, c’est-à-dire les sujets de nos propres réalisations, car notre but chrétien est de montre que Dieu est présent parmi nous.

La présence de Dieu qui accompagne toujours nos vies est un mystère. Sa présence réelle qu'Il soit là ou ici, nous ne pourrons peut-être...