Rabu, 28 Desember 2016

Kolekte

Kolekte – pengumpulan uang dana – mengingatkan kita akan kebiasaan orang Israel untuk mempersembahkan hasil karya yang pertama kepada Tuhan, baik hewan maupun hasil panen perdana (Im 1:3; Im 23:10-13; Ul 26:2). Orang-orang Israel mengenal kebiasaan memberi dua persepuluhan, yang menjadi tanda syukur atas anugerah dari Tuhan, berupa hasil ternak dan panen. Secara konkret pemberian itu digunakan untuk memberi makan kepada kaum Lewi yang menjalankan fungsi pelayanan sebagai imam. Sebagian lagi diberikan kepada orang-orang miskin yang sangat membutuhkan pertolongan.
Kebiasaan mempersembahkan persepuluhan ini diteruskan juga oleh para pengikut Kristus. Banyak Gereja mempraktekkan cara persembahan ini. Besarnya persembahan itu bisa  tepat sebagai persepuluhan, tetapi ada juga pemberian yang kurang atau bahkan lebih dari persepuluhan. Kita mengenal bentuk pemberian sebagian dari hasil karya atau pendapatan kita (yang secara konkret dalam bentuk uang) pada saat perayaan liturgis – baik dalam Misa atau Ibadat – dengan nama kolekte.
Pada hari Minggu, Hari Raya atau hari-hari perayaan khusus, biasanya dibuat kolekte untuk disatukan dengan bahan persembahan roti dan anggur serta bahan persembahan lain yang diarak ke altar agar diambil oleh pemimpin perayaan yang bertindak selaku Kristus yang menghargai setiap pemberian sekecil apa pun (bdk. Mat. 14:15-19). Kolekte bersama bahan persembahan lainnya seharusnya diterima dengan penuh sukacita dan dihargai dengan meletakkannya di suatu tempat yang pantas, sebaiknya dekat altar (bukan di atas meja altar), karena di atas altar hanya diletakkan bahan korban syukur Yesus Kristus yaitu roti dan anggur yang akan diubah menjadi Tubuh dan Darah Yesus Kristus.

frd. jenli, scj


 Suami Sibuk Kerja

Setiap orang dewasa, secara khusus mereka yang memutuskan untuk hidup berkeluarga, memiliki pelbagai peran dalam kehidupan, yakni sebagai pekerja atau pencari nafkah bagi keluarga. Ini ditunjukkan dengan peran suami untuk istri dan sebaliknya; serta kehadiran ayah-ibu untuk anak. Dalam keadaan tersebut, supaya semua peran dapat berjalan dengan baik, pembagian waktu untuk pelaksanaan peran menjadi penting.
Bila pembagian waktu kurang baik dan bijak, ada peran yang tidak dijalani sehingga terjadi konflik peran. Hal inilah yang kadang dialami oleh banyak pasangan suami-istri dalam hidup berkeluarga, misal: suami terlalu sibuk bekerja hingga mengurangi waktu kebersamaan dengan keluarga. Kenyataan ini yang sering diungkapkan oleh istri: “Suamiku sangat sibuk”! Dalam kasus tersebut, konflik peran terjadi ketika suami tidak memberikan waktu semaksimal mungkin untuk keluarga (istri dan anak-anak).
Memang, situasi di mana suami sibuk kerja tidak dapat dipersalahkan begitu saja. Suami kadang sebenarnya dengan berat hati meninggalkan keluarga, termasuk waktu kebersamaan, untuk mencari penghasilan bagi istri dan anak-anak. Pada ranah ini, kebijaksanaan istri untuk menyikapinya sangat dibutuhkan. Istri bisa mengutarakan kerinduannya dan kebutuhan keluarga soal kehadiran suami atau ayah di rumah. Ini untuk menyadarkan suami bahwa yang dibutuhkan oleh keluarga bukan hanya nafkah sebagai lahir, tetapi juga kebutuhan batin yang hanya bisa dipenuhi bila suami ada di rumah.
Hal lain yang bisa dilakukan – untuk menyikapi suami yang sibuk kerja – adalah meningkatkan kualitas interaksi selama suami di rumah. Interaksi dalam keluarga tidak hanya ditentukan oleh kuantitas atau lamanya waktu bersama, tetapi juga oleh kualitas interaksi selama kebersamaan berlangsung. Untuk meningkatkan kualitas kebersamaan suami-istri dapat dilakukan degan makan dan mengurus anak bersama-sama, membersihkan rumah atau melakukan aktivitas lain bersama seluruh anggota keluarga.
Akhirnya, yang perlu selalu disadari adalah bahwa keluarga dan segala aktivitasnya milik dan tanggung jawab bersama, bukan hanya milik suami atau istri. Semoga Anda, baik sebagai suami atau istri, mampu untuk semakin meningkatkan kuantitas dan kualitas kebersamaan dalam keluarga.


frd. jenli, scj

Selasa, 20 Desember 2016

 Natal Bersama Keluarga

Setelah melewati dan memaknai masa persiapan Natal, yakni masa Adven, kini perayaan kelahiran Tuhan telah tiba. Ada sukacita besar yang meliputi hati. Sukacita besar itu pertam-tama membawa suasana hati untuk bersuka cita sebab Allah yang menjadi Manusia dapat dirayakan secara manusiawi, maksudnya dapat kita rayakan sebagaimana perayaan ulang tahun pada umumnya.
Sukacita itu membawa konsekuensi besar pada peristiwa pengenangan dan penghadiran Allah yang sudi menyelamatkan umat-Nya dengan menjadi manusia seperti kita. Hal ini sejalan dengan tema Pesan Natal Bersama Persekutuan Gereja-gereja Di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI): “Hari Ini Telah Lahir Bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, Di Kota Daud” (Luk 2:11).
Sukacita yang ditawarkan dalam Natal sepatutnya juga menjadi sukacita bagi keluarga kita masing-masing. Jika Allah telah menawarkan keselamatan dalam Diri Yesus Kristus yang menjadi Manusia, maka keluarga pun seharusnya menjadi wadah keselamatan. Untuk itu, Natal tidak hanya dipandang sebagai perayaan yang memberikan sukacita secara umum saja, tetapi juga memberikan nuansa sukacita yang sangat dapat dialami secara nyata, yakni dalam lingkup keluarga.
Natal bersama keluarga adalah sebuah harapan bagi kita. Saat-saat di mana banyak dan bahkan hampir semua anggota dapat berkumpul bersama adalah ketika kita merayakan Natal. Merayakan Natal dalam keluarga menjadikan Natal itu sendiri memiliki makna yang lebih mendalam. Setidaknya ada dua poin utama jika kita ingin lebih memaknai Natal dalam keluarga. Pertama, kebersamaan dengan keluarga untuk merayakan Natal menjadikan Natal itu sendiri sebagai kesempatan untuk berbagi sukacita. Rasanya, saat inilah sebagai kesempatan yang baik untuk saling berbagi cerita dan pengalaman meneguhkan. Setiap anggota keluarga diberi kesempatan untuk saling bercerita dan mendengar. Mungkin kesempatan seperti ini jarang ditemukan pada hari-hari biasa yang lebih banyak dihabiskan untuk belajar dan bekerja.
Kedua, kebersamaan dengan keluarga untuk merayakan Natal menjadikan Natal itu sendiri sebagai kesempatan ber-rahmat untuk saling berbagi kasih. Saling berbagi rahmat untuk mengasihi adalah wujud konkret dari Natal karena refleksi tentang Allah yang menjadi Manusia semakin menjadi nyata. Maka, tepatlah jika dalam suasana Natal, keluarga mengembangkan semangat saling mengampuni – jika terdapat konflik atau salah paham antar anggota keluarga – dengan semangat kekeluargaan dan persaudaraan.
Akhirnya, selamat Natal untuk kita semua. Semoga damai Natal dapat kita alamai dan hadirkan dalam keluarga kita masing-masing. Amin!


 frd. jenli, scj
Gua Natal

Salah satu kekhasan Natal di Gereja Katolik adalah Gua Natal. Dengan Gua Natal, Gereja ingin menghadirkan kembali kisah perjumpaan Allah dengan manusia. Tradisi asal mula Gua Natal berawal dari kisah orang kudus, St. Fransiskus dari Asisi. Pada tahun 1223, Fransiskus mengunjungi kota Grecio untuk merayakan Natal.
Fransiskus menyadari bahwa Kapel Pertapaan Fransiskan di kota itu terlalu kecil untuk dapat menampung umat yang akan hadir pada Misa Natal tengah malam. Jadi, ia mendapatkan sebuah gua di bukit karang dekat alun-alun kota dan mendirikan altar di sana. Dia berharap agar Misa Natal tersebut akan sangat istimewa, tidak seperti beberapa Misa Natal sebelumnya.
St. Bonaventura dalam buku Riwayat St. Fransiskus dari Asisi menceritakannya dengan sangat baik: “Hal itu terjadi tiga tahun sebelum wafatnya. Guna membangkitkan gairah penduduk Grecio dalam mengenangkan kelahiran Bayi Yesus dengan devosi yang mendalam, St. Fransiskus memutuskan untuk merayakan Natal dengan sekhidmat mungkin. Kemudian St. Fransiskus mempersiapkan sebuah palungan, mengangkut jerami, juga menggiring seekor lembu jantan dan keledai ke tempat yang telah ditentukannya.”
Meskipun kisah itu cukup kuno, pesannya sangat jelas bagi kita yang hidup sebagai orang Katolik di jaman sekarang. Kekhasan untuk membuat gua dalam Perayaan Natal ingin mengingatkan kita bahwa Allah yang Maha Agung telah datang ke dunia untuk berjumpa dengan umat-Nya. Ia telah menjadi Yesus kecil yang terbaring di palungan dalam sebuah gua. Kehadirannya sebagai manusia menunjuk dengan jelas bahwa Allah cinta dan ingin mengampuni manusia yang berdosa.


frd. jenli, scj

Senin, 12 Desember 2016

 Sudahkah Anak Anda Aktif di Gereja?

Tidak hanya di paroki kita, ternyata sudah di beberapa paroki lain yang menunjukkan keprihatinan bahwa masih ada beberapa generasi muda Gereja (anak, remaja dan orang muda) yang kurang maksimal dalam hidup menggereja. Hidup menggereja di sini tidak hanya sebatas pada kegiatan kebaktian (Misa atau pun ibadat), tetapi juga seputar kegiatan kebersamaan (kegiatan misdinar dan orang muda). Pertanyaan yang patut kita renungkan adalah “Apakah anak Anda sudah aktif dalam hidup menggereja”?
Memang, anak tidak dapat disalahkan begitu saja jika mereka kurang dan bahkan tidak aktif di Gereja. Ada beberapa alasan yang menjadi alasannya. Pertama, kondisi bahwa anak sedang sekolah atau kerja. Banyak waktu mereka yang terpakai selama di sekolah maupun di tempat kerja. Tenaga mereka mungkin terkuras untuk itu sehingga enggan menambah kegiatan lain, termasuk acara di lingkungan dan paroki. Kedua, situasi di Gereja berbeda dengan situasi di sekolah dan tempat kerja. Di Gereja, anak bertemu dengan temannya hanya pada hari-hari terntentu saja. Mereka butuh penyesuaian diri dan lingkungan karena jarang bertemu. Tapi ketika di sekolah dan di tempat kerja, mereka bertemu hampir setiap hari. Intensitas perjumpaan ini menjadi faktor utama di mana mereka saling mempererat tali pertemanan.
Ketiga, tidak ada peraturan resmi dari Gereja yang mewajibkan dan mengharuskan anak, remaja dan kaum muda untuk ikut dalam kegiatan menggeraja; biasanya hanya sebatas anjuran meski anjuran itu seyogiyannya dipahami sebagai “aturan”. Bahkan, di Gereja tidak ada sanksi untuk itu. Hal ini berbeda dengan di sekolah atau pun tempat kerja, tak hanya diwajibkan, tetapi ada sanksi yang mengaturnya. Kelima, orang tua sengaja tidak melibatkan anak mereka untuk aktif dan terlibat dalam kegiatan menggereja. Alasan yang biasanya dilontarkan bahwa anak butuh fokus pada pelajaran di sekolah atau pekerjaan.
Bagaimana bisa mendorong anak aktif di Gereja bila situasinya demikian? Mungkin itu menjadi pertanyaan yang menggugah hati bagi para orang tua. Ada beberapa cara yang mungkin dapat digunakan untuk mendorong anak supaya terlibat dalam Gereja. Tetapi cara ini belum tentu juga efektif karena bagaimanapun juga, dorongan dan semangat untuk mengikuti kegiatan di Gereja mestinya datang dari kesadaran pribadi dan pilihan atau kehendak bebas anak.
Metode yang ditawarkan antara lain sebagai berikut. Pertama, meminta teman dekat anak yang aktif di Gereja untuk mengajak anak Anda. Kedua, bila anak Anda memiliki talenta yang berguna untuk Gereja (seperti musik, dekorasi, menyanyi, membaca sebagai lektor dan lain-lain) ajaklah ia supaya terlibat dalam Gereja. Langkah ini dipakai untuk memosisikannya sesuai dengan talenta yang dimiliki. Harapannya, anak Anda akan senang melakukan atau menjalankan kepercayaan yang diberikan dengan menggunakan talenta yang dimiliki untuk Gereja. Ketiga, perlu kesadaran bagi orang tua untuk mendorong anak supaya terlibat di Gereja, bukan malah melarangnya dengan pelbagai alasan yang dilogiskan. Untuk tawaran langkah yang terakhir ini memang perlu kesadaran dari orang tua untuk “memberi kesempatan” kepada anak supaya aktif di Gereja. Dengan mendorong anak supaya terlibat di Gereja, orang tua sebenarnya sudah melaksanakan salah satu tugas mereka, yakni: mendidik anak secara Katolik.
Semoga metode-metode ini dapat bermanfaat bagi Anda yang memegang mandat sebagai orang tua Katolik. Sekali lagi, mendorong anak supaya mau aktif dalam Gereja pertama-tama harus berangkat dari kesadaran pribadi anak itu sendiri, bukan karena paksaan atau ambisi orang tua semata.

frd. jenli, scj
Konsili Efesus

Konsili Efesus diselenggarakan di Efesus, Asia kecil, tahun 431 oleh Kaisar Theodosius II. Salah satu tujuan dari konsili ini adalah untuk melawan bidaah Nestorianisme yang mengajarkan bahwa hakikat manusiawi Yesus lebih besar dibandingkan dengan hakikat ke-Ilahian-Nya. Bidaah ini lebih menitikberatkan pada pemahaman bahwa Yesus itu lebih manusiawi dari pada Ilahi.
Konsili Efesus melawan dan menolah ajaran Nestorianisme sebagai ajaran yang sesat. Konsili mengajarkan – sebagai ajaran resmi Gereja – bahwa Yesus itu sepenuhnya manusia dan sepenuhnya Allah. Persatuan kedua hakikat itu terjadi sedemikan rupa sehingga yang satu tidak mengganggu yang lain (persatuan hipostatik).
Selain itu, konsili juga mengajarkan dua ajaran penting dalam Gereja. Pertama, konsili menegaskan bahwa Maria, sebagai ibu Yesus, adalah Bunda Allah karena ia melahirkan Allah sebagai manusia (Yesus Kristus). Kedua, konsili mengajarkan bahwa Sakramen Pengampunan (tobat) itu penting karena umat Allah dapat mengalami Kerahiman Allah atas dosa yang telah dibuatnya. Hal ini untuk menentang dan menolak ajaran Pelagianisme yang menekankan bahwa Gereja tidak membutuhkan Sakramen Pengampunan.


frd. jenli, scj

Jumat, 09 Desember 2016

Judul Buku     :    Kecerdasan Emosional: Mengapa EI Lebih Penting dari pada IQ (Terj.)
Penulis            :    Daniel Goleman
Penerbit          :    PT Gramedia Pustaka Utama - Jakarta
Tahun Terbit  :    2016

Ada realitas dalam kehidupan yang menunjuk pertanyaan: “Bagaimana mungkin seseorang yang jelas-jelas cerdas melakukan sesuatu yang tak rasional – sesuatu yang betu-betul bodoh”? Jawaban atas pertanyaan itu adalah bahwa kecerdasan akademis sedikit saja kaitannya dengan kehidupan emosional. Di sini ingin ditegaskan “yang paling cerdas di antara kita dapat terperosok ke dalam nafsu tak terkendali dan impuls meledak-ledak; orang dengan IQ (kecerdasan intelektual) tinggi dapat menjadi ‘pilot’ yang tak cakap dalam kehidupan pribadi mereka” (hal. 42).
Goleman dalam bukunya ingin menunjukkan bahwa seseorang hidup tidak hanya mendasarkan diri pada kecerdasan IQ saja, tetapi juga membutuhkan kecerdasan emosional (EQ). Orang bisa saja, di satu sisi, mengagungkan kemampuan intelektualnya dengan melihat tata dunia sebagai “aturan logika” yang dapat dimengerti secara nalar. Meski demikian, kemampuan intelektual kadang bisa saja “terbajak” dengan kungkungan emosi. Jika yang terjadi demikian, pikiran logis tidak bekerja dengan baik, bahkan terkalahkan dengan kuatnya daya emosi – suasana hati – yang lebih menguasai. Contoh konkret: seseorang dapat merasa cemas dan takut luar biasa berhadapan dengan realitas yang akan terjadi berkaitan dengan konsekuensi apa yang telah dilakukannya. Padahal ketakutan dan kecemasannya itu, bila dipikir secara rasional, tidak dapat dipertanggunjawabkan. Ia sudah “dibajak” oleh kecemasan dan ketakutan dengan mengafirmasi secara membabi-buta alasan-alasan atas pengandaian supaya keceamasan dan ketakutannya dapat dinalar secara logis. Di sini letak kesalahannya, yakni: bahwa pikirang logis “terbajak” oleh emosi.
Dalam pelbagai realitas kehidupan, manusia sebagai pribadi yang memiliki dua kemampuan sekaligus – IQ dan EQ – seharusnya mampu menggunakannya dengan baik serta bijaksana. Di satu sisi, memang dibutuhkan IQ, namun di sisi lain, juga patut mengikutsertakan EQ.
Yang ingin dicapai oleh Goleman adalah bahwa seseorang harus memiliki, mengembangkan dan menggunakan kecerdasan emosional semaksimal mungkin. Beberapa aspek kecerdasan emosial adalah “kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi; mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan; mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir; berempati dan berdoa” (hal. 43). Menurut Goleman, kecerdasan emosional seseorang dapat diajarkan dan dikembangkan sebagaimana juga dengan kecerdasan intelektual. Di sini, ia menyarankan bahwa salah satu jalan yang dapat dilakukan untuk mengajar dan mengembangkan kecerdasan emosional melalui peningkatan peran sekolah, yakni dengan “meninjau ulang peran sekolah: mengajar dengan kerelaan, komunitas yang peduli” (hal. 394).
Karya Goleman sangat bersifat akademis dan dapat dipertanggungjawabkan. Ia tidak hanya mendasarkan tulisannya pada tataran teori belaka, tetapi juga memasukkan data-data penelitian yang telah dilakukan. Sebagai tulisan yang apik dengan bahasa yang mudah dimengerti, buku ini baik dibaca bagi semua yang ingin mengembangkan dan mengajarkan kecerdasan emosional, baik bagi diri sendiri maupun untuk yang lain. 

Kamis, 08 Desember 2016

Konsili Konstantinopel II

Konsili Konstantinopel II juga sering disebut sebagai Konsili Ekumenis Kelima yang diselanggarakan di Konstantinopel pada 5 Mei-2 Juni 553. Salah satu tujuan dari konsili ini adalah menentang ajaran monofisit yang berkembang-menentang ajaran resmi Gereja.
Secara singkat, ajaran monofisit dapat diartikan sebagai ajaran yang menekankan bahwa Yesus Kristus hanya memiliki satu kodrat saja, yakni kodrat sebagai manusia. Padahal ajaran resmi Gereja mengatakan bahwa Yesus Kristus adalah Allah-Manusia, sebagai pribadi yang memiliki dua kodrat sekaligus, yakni kodrat Ilahi (sebagai Allah) dan kodrat manusiawi (sebagai manusia Yesus Kristus yang hidup di tanah Israel).
Setelah konsili berlangsung, memang paham monofisit tidak berhenti begitu saja. Ini terbukti dari masih berdirinya Gereja Siria Barat dan Gereja Ortodoks Siria atau yang disebut juga sebagai Gereja Yakobit. Keberadaan Gereja tersebut masih ada sampai sekarang; dan dikenal sebagai Gereja Ortodoks Siria.   


frd. jenli, scj
TRADISI Berdoa dalam Keluarga

Apakah dalam keluarga Anda memiliki kebiasaan untuk berdoa? Apakah dalam keluarga Anda memiliki kebiasaan untuk berdoa rosario bersama? Apakah dalam keluarga Anda memiliki kebiasaan dalam doa malam bersama? Rasanya jawaban itu dapat dijawab oleh Anda semua, baik yang termasuk memiliki tradisi berdoa dalam keluarga atau pun yang tidak memilikinya sama sekali.
Jika diminta untuk memilih dan menjawab pertanyaan ini: “Anda lebih memilih keluarga yang memiliki tradisi berdoa ataukah lebih memilih yang sebaliknya”? Tentunya, kalau diadakan survei secara menyeluruh, memilih untuk menjadi keluarga yang memiliki tradisi berdoa adalah jawaban yang lebih besar atau lebih banyak. Anda pasti tahu mana yang terbaik!
Memang, butuh kehendak dan kesetiaan jika mengharapkan bahwa keluarga Anda menjadi keluarga yang memiliki tradisi berdoa. Kehendak dan kesetiaan di sini lebih menekankan pada kemauan semua anggota keluarga, yakni: orang tua dan (anak-) anak. Orang tua memiliki peran penting jika tradisi berdoa ingin digalakkan. Oleh karena itu, orang tua hendaknya yang menjadi penggagas utama. Dengan menjadi penggagas utama, orang tua dapat mendidik dan sekaligus mengundang (anak-) anak supaya memiliki kemauan yang sama. Adanya peran serta semua anggota keluarga, harapan untuk menjadikan keluarga yang memiliki tradisi doa bersama dapat dimulai dan dicapai.
Lantas, apa yang dapat didoakan ketika keluarga berdoa? Beberapa contoh doa yang dapat dibuat adalah: doa rosario, doa Malaikan Tuhan (lih. Puji Syukur hal. 15), doa pagi (lih. Puji Syukur hal. 48-50), doa sore (lih. Puji Syukur hal. 67-68), doa malam (lih. Puji Syukur hal. 80-82) dan beberapa doa pilihan yang semuanya dapat dilihat dalam Puji Syukur. Jika dirasa masih kurang bervariasi, Anda bersama keluarga juga dapat mengambil beberapa doa yang berasal dari Kitab Suci. Doa-doa pilihan pada Kitab Suci dapat dilihat dalam Kitab Mazmur di mana beberapa mazmurnya memuat macam-macam doa.
 Jika keluarga Anda adalah keluarga yang memiliki tradisi doa bersama, maka orang tua sebenarnya sudah mengkonretkan dua tanggung jawab utama. Pertama adalah menjadikan keluarga sebagai saksi dan teladan sebagai keluarga Katolik sejati. Kedua, orang tua telah mendidik iman (anak-) anak supaya memiliki kehidupan rohani yang semakin dewasa.


frd. jenli, scj

La présence de Dieu qui accompagne toujours nos vies est un mystère. Sa présence réelle qu'Il soit là ou ici, nous ne pourrons peut-être...