Kamis, 27 Oktober 2016

Resep 8 Keluarga Katolik Bahagia:


Cinta yang Tak Berkesudahan

Jika Anda sekarang adalah seorang suami atau istri, mari saatnya untuk bernostalgia sejenak. Masih ingatkah Anda dengan masa pacaran Anda? Bukankah pada masa itu, dunia serasa milik Anda berdua? Bukankan pada masa itu, Anda selalu berani untuk berkorban demi pasangan Anda – yang sekarang menjadi istri Anda? Pelbagai pertanyaan itu akan mengingatkan pada sebuah pengalaman mencinta; mencinta seseorang yang kini menjadi pendamping hidup dalam membangun keluarga.
 Mungkin jika bukan karena cinta, setiap dari Anda merasa sulit untuk mengerti mengapa Anda berani berkorban dan memilih pasangan hidup. Cinta menjadi dasar untuk berani memilih dan memutuskan “ya” bahwa “dia” adalah pendamping hidupku. Cinta bukan hanya sebatas kata yang tak ada daya, melainkan sebuah realitas yang memiliki daya pacu dan picu hidup berkeluarga. Jika saja semua itu tanpa didasari cinta, mungkin Anda tidak akan hidup bersama dengan suami atau istri yang sampai detik ini menjadi pendamping hidup.
Saya teringat dengan pengalaman beberapa hari yang lalu di mana saya mengunjungi kakak dari teman saya yang sedang sakit dan sedang dirawat di salah satu rumah sakit Jakarta. Memang, sakit yang diderita sungguh akut dan kemungkinan untuk hidup sangatlah kecil. Namun, saya sendiri kagum oleh ibu yang adalah istri dari kakak teman saya yang sedang sakit. Meski tidak hanya sesekali saya melihat guratan wajah kesedihan di muka ibu itu, namun saya takjub oleh penghiburan dan kesetiaan yang dibuat olehnya bagi suami tercinta: “Tetap semangat ya Pak.... besok kita pulang....”. Kata-kata pengharapan itu mungkin bagi saya hanyalah sebatas penghiburan belaka, tapi bagi sang suami, kata-kata itu menjadi motivasi untuk tenang dan bersemangat; sekalipun menahan sakit dan penyakit yang terus menggerogoti raganya.
Saudara-saudariku terkasih, adakalanya Tuhan melatih cinta Anda kepada pasangan hidup Anda masing-masing dengan jalan yang berbeda-beda; dan pengalaman tadi adalah salah satunya. Dengan caranya, Tuhan ingin melatih cinta Anda supaya tidak pupus tergerus oleh pengalaman kegundahan dan tanpa harapan. Tuhan ingin cinta pada pasangan Anda tetap terjaga dan tanpa berkesudahan.Harapannya, Anda dan pasangan hidup Anda pun demikian!


jenli, scj

Rabu, 19 Oktober 2016

Etika Umum: Kajian tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif


Judul Buku        : Etika Umum: Kajian tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif
Pengarang         : J. Sudarminta
Penerbit            : Kanisius
Tempat terbit    : Yogyakarta
Tahun               : 2013
Tebal buku        : 186 halaman

Etika sebagai salah satu cabang ilmu filsafat yang secara khusus mengkaji perilaku manusia dari segi baik-buruknya atau benar-salahnya tindakan manusia sebagai manusia, dewasa ini telah cukup berkembang dan memiliki pelbagai cabang atau spesialisasi. Di antara pelbagai cabang atau spesialisasi itu, secara umum dapat dibedakan dua cabang besar etika, yakni etika umum dan etika khusus. Etika umum adalah etika yang menyajikan beberapa pengertian dasar dan mengkaji beberapa masalah pokok dalam filsafat moral. Sedangkan etika khusus adalah etika yang mengkaji beberapa permasalahan moral dalam bidang-bidang khusus, misalnya: etika sosial, etika biomedis, etika bisnis, etika profesi dan etika jurnalistik.
Buku Etika Umum: Kajian tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif merupakan sebuah karya tulis yang secara khusus membicarakan salah satu dari cabang besar dari etika, yakni etika umum. Seperti yang tertulis dari anak judul, buku ini dibagi ke dalam dua bagian utama. Bagian pertama membahas tentang beberapa persoalan pokok yang dikaji dalam etika umum. Bagian yang kedua menyajikan garis besar pemikiran beberapa teori etika normatif pokok yang berpengaruh dalam sejarah etika dan mencoba untuk memberikan tanggapan kritis atasnya.
Bagian pertama terdiri dari enam bab. Bab pertama berbicara tentang “Beberapa Pengertian Dasar dan Relevansi Etika”. Bagian ini menyajikan keterangan tentang pelbagai  pengertian dasar dalam etika dan menunjukkan relevansi untuk mempelajari etika. Bab kedua berbicara mengenai “Moralitas, Hukum dan Agama” yang menyajikan uraian penjelasan tentang norma umum dalam masyarakat. Bab ketiga menjelaskan “Relativisme Moral” sebagai salah satu aliran pemikiran yang belakangan ini cukup memberikan pengaruh terhadap perkembangan konsep etika. Bab keempat menyajikan pembahasan tentang “Kebebasan dan Tanggung Jawab Moral”. Bagian ini memberikan konsep pemikiran bahwa pengertian ‘tanggung jawab moral’ mengandaikan adanya kebebasan dari pelaku tindakan moral. “Suara Hati” menjadi pokok pembahasan dalam bab kelima. Bab ini menjelaskan apa itu suara hati, manakah ciri pokok yang menandainya serta bagaimana cara dan mengembangkannya. Bagian pertama dalam buku ini ditutup dengan bab yang keenam. Bab keenam mengkaji tentang “Tahap-tahap Perkembangan Kesadaran Moral munurut L. Kohlberg”.
Bagian kedua dalam buku ini secara khusus membahas beberapa teori etika normatif yang berpengaruh dalam sejarah etika. Bagian kedua ini mengulas tentang enam teori etika normatif dan dicoba untuk dijelaskan serta ditunjukkan, baik kekuatan maupun kelemahannya. Enam teori etika normatif itu adalah: 1) Egoisme etis sebagai paham yang menilai baik-buruknya perilaku orang dari apa yang paling menguntungan atau menunjang pengembangan dirinya sendiri sebagai individu; 2) Eudaimonisme atau paham yang menekankan pencarian kebahagiaan sebagai tujuan hidup manusia; 3) Utilitarianisme atau paham yang dalam melakukan penilaian moral menekankan keuntungan yang lebih besar bagi semakin banyak orang; 4) Teori etika deontologis dari Immanuel Kant yang mendasarkan penilaian moral pada motif dasar sikap hormat terhadap kewajiban atau hukum moral yang secara mutlak mengikat manusia sebagai makhluk rasional dan otonom; 5) Teori etika nilai dari Max Scheler yang menggarisbawahi sumbangan dan kelemahan etika deontologis Immanuel Kant; 6) Etika keutamaan, dari model Aristoteles dan Thomas Aquinas, yang mengutamakan kualitas kemanusiaan berikut watak luhur yang layak untuk menjadi cita-cita. Bagian kedua dalam buku ini ditutup dengan bab yang kedelapan sebagai penyimpulan dari pelbagai teori etika normatif yang dibahas dalam bab-bab sebelumnya. Bab kedelapan ini juga memuat beberapa prinsip moral dasar yang layak diperhatikan dalam menilai moralitas suatu tindakan atau kebijakan serta menilai baik-buruknya perilaku manusia sebagai manusia.
Buku ini sungguh memberikan sumbangan khusus karena mengantar pembaca ke pelbagai persoalan pokok yang dikaji dalam etika umum. Selain itu, buku ini juga memperkenalkan teori-teori etika normatif kepada pembaca yang dalam perjalanan sejarah filsafat banyak dirujuk untuk menilai moralitas suatu tindakan atau kebijakan. Tanggapan penulis pada setiap akhir kajian tentang etika normatif diharapkan dapat merangsang pembaca untuk secara kritis mengambil butiran gagasan yang disumbangkan oleh setiap teori pembahasan dan sekaligus melihat keterbatasannya.
Pada akhirnya, buku ini sungguh sangat berguna bagi siapa saja yang menaruh perhatian terhadap pemikiran etika. Harapannya adalah bahwa buku ini menyediakan ‘alat intelektual’ bagi pembaca untuk menganggapi masalah-masalah moral baru yang muncul sebagai dampak modernisasi dan perkembangan pesat ilmu pengetahuan serta teknologi.




Resep 6 Keluarga Katolik Bahagia:


MEMAAFKAN

Sebagai manusia, kita sadar bahwa Allah menciptakan kita sebagai citra-Nya. Keadaan ini tidak ingin mengatakan bahwa kita sudah seperti Dia. Keadaan ini juga tidak ingin mengatakan bahwa kita – sebagai manusia – adalah ciptaan yang sepadan dan bahkan berani untuk menyamakan diri dengan-Nya. Kesadaran bahwa kita, sebagai manusia adalah ciptaan-Nya, semestinya mengantar pada pemahaman bahwa Dia itu Pencipta; dan kita adalah ciptaan-Nya. Maka, kita bukanlah tuhan sebagaimana Dia yang sempurna ada-Nya; tapi kita tidak terbebas dari segala kecacatan dan kerapuhan.
Manusia jika ditilik dari sisi duniawi adalah makhluk yang sangat rapuh. Kerapuhannya terletak pada kelemahan dan kecenderungan terhadap prilaku dosa. Kita mengamini bahwa Iblis diciptakan dan memilik misi untuk menggiring manusia agar bertindak dosa. Dan..., karena kerapuhannya, manusia kadang terpengaruh serta terperosok dalam hidup penuh kedosaan.
            Dari dua poin di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan, yakni: meski manusia dicipta sebagai citra Allah, tapi karena kerapuhannya, manusia masih tetap bisa jatuh ke dalam dosa. Salah satu identifikasinya adalah manusia tidak lepas untuk dapat berlaku salah atau melakukan kesalahan.
Sebagai umat Katolik, kita semakin sadar bahwa kita memiliki sifat manusiawi untuk berlaku salah: saling menjatuhkan; melakukan kegagalan; berlaku tidak sesuai dengan kaidah yang ditetapkan. Kecenderungan dan kenyataan berbuat salah rasanya tidak hanya kita temukan dalam lingkup masyarakat luas, tetapi juga dalam keluarga kita masing-masing. Memang, Tuhan menginginkan agar setiap umat-Nya berlaku sempurna “seperti Bapa sempurna”. Namun, kenyataan hidup berkata beda. Keluarga yang seharusnya menjadi paguyuban damai kadang dan bahkan sering ternodai oleh konflik yang berakar pada kesalahan yang telah dibuat; entah konflik antara suami-istri maupun antara orang tua-anak.
Meski demikian, kita harus sadar bahwa kesalahan dalam keluarga adalah sesuatu yang manusiawi dan wajar. Sekarang yang diperlukan adalah kesedian setiap pribadi untuk berani memaafkan; memaafkan anggota keluarga yang telah berbuat salah. Harapannya, keluarga Anda pun demikian!


jenli, scj

Boleh Bertengkar..., Asal Menyelesaikannya!

Resep 5
Keluarga Katolik Bahagia:
Boleh Bertengkar..., Asal Menyelesaikannya!

Semua dari kita menginginkan agar keluarga yang kita bina adalah keluarga yang sempurna. Salah satu identifikasi keluarga yang sempurna adalah keluarga yang tidak mempunyai masalah, di antaranya terbebas dari konflik; entah konflik antara suami-istri maupun antara orang tua-anak. Namun pada kenyataannya, harapan pencapaian keluarga yang sempurna terhadang oleh realitas konflik atau pertengkaran antar anggota keluarga.
Setiap manusia diciptakan dengan keunikan atau karakter yang berbeda antara yang satu dengan yang lain. Keunikan yang dimiliki pada dasarnya menjadi tanda kuasa Allah. Keunikan yang dimiliki diharapkan berkembang agar dapat berguna bagi manusia itu sendiri dan sesama. Namun masalahnya, tak jarang keunikan yang dimiliki malah menjadi sumber masalah. Budaya untuk menyalahkan karena kesalahan, kebiasaan untuk mengkritik tanpa mencari sisi penghargaan, cara pandang negatif tanpa rasa belas kasihan; itu semua merupakan bagian dari hidup yang ingin mengatakan bahwa “aku lebih unggul dari dia atau mereka”.
Demikian pula dalam hidup berkeluarga, persaingan untuk menjadi “yang lebih unggul atau yang lebih tinggi” dari pada anggota keluarga yang lain kadang tidak dapat dipungkiri. Contohnya adalah suami menyalahkan isteri karena tidak dapat menyelesaikan pekerjaan rumah tangga dengan baik; istri menyalahkan suami yang kurang perhatian; orang tua menyalahkan anak-anak karena melakukan kesalahan tertentu dan sebaliknya.
Saatnya bagi kita sekarang untuk bertobat! Bukankah setiap dari kita adalah unik? Dan dari keunikan itu, kita sebagai manusia dicipta sebagai ciptaan yang rapuh setidaknya rapuh untuk berbuat kesalahan? Maka, konflik atau pertengkara dalam hidup keluarga adalah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri dan semestinya itu ada. Mengapa...? Ya.... itu memang harus terjadi karena Allah menghendaki kita untuk belajar saling menghargai, saling mendengarkan, saling memperbaiki, salaing menerima, saling mengampuni atas kelemahan karakter dan keunikan manusiawi.
Anggota keluarga yang bertengkar untuk kemenangan pribadi kehilangan kesempatan dan perasaan untuk berjuang bersama. Keluarga Katolik yang hebat, menghormati kelebihan dan kekurangan masing-masing; serta selalu ingat bahwa halangan dalam keluarga sebenarnya menjadikan keluarga itu sendiri lebih kuat. Boleh bertengkar..., asal menyelesaikannya! Semoga keluarga Anda pun demikian.


jenli, scj

Resep 4 Keluarga Katolik Bahagia:


BIARKAN TALENTA KELUARGA BERSINAR

Tuhan Allah sungguh baik. Dalam mencipta kita, sebagai karya yang paling luhur di antara ciptaan, Ia memberikan kemampuan bagi kita masing-masing. Kemampuan itu – yang kita kenal sebagai talenta – merupakan anugerah yang terindah jika disadari. Memang perlu penyadaran atasnya agar kita dimampukan untuk menysukuri atas apa yang diberikanNya. Demikian pula dengan keluarga kita, setiap anggota keluarga diberi talenta masing-masing sesuai dengan batas kemampuan dan kebutuhan.
Setiap anggota komunitas umat beriman – dan juga anggota keluarga – dipanggil untuk menggunakan karunia atau talenta yang dimiliki. Itulah panggilan Kristiani yang patut menjadi pegangan dan dorongan semangat hidup. Dalam hal ini, yang menjadi poin utama adalah kesadaran untuk “menyinarkan” talenta dan membantu agar talenta setiap anggota keluarga Anda “bersinar”.
Anda tidak perlu menjadi juara menyanyi untuk menjadi anggota paduan suara di Gereja. Jika Anda dapat bermain orgen dengan baik atau membaca Alkitab terang dan jelas, Anda sudah berbagi karunia dengan “menyinarkan” talenta Anda. Anda tidak harus menjadi pemimpin yang mumpuni, layaknya para pemimpin partai yang berkarisma. Jika Anda bersedia dan mau memimpin jemaat Allah dengan menjadi ketua wilayah, ketua lingkungan dan bahkan menjadi prodiakon, Anda juga sudah “menyinarkan” talenta.
Sebagai permulaan yang baik, Anda dapat bertanya kepada Romo paroki Anda tentang bagaimana keluarga Anda dapat melayani secara lebih baik di paroki. Mungkin berbagi makanan dengan keluarga yang kurang; mendukung dan terlibat dalam kegiatan OMK-Remaka-Misdinar; menyemangati anggota keluarga yang lain untuk memberikan karunia mereka dalam kehidupan sehari-hari; itu semua akan menjadi langkah awal yang dinasihatkan untuk dilakukan.
Jangan memandang rendah terhadap talenta atau kemampuan yang Anda atau keluarga Anda miliki. Besarnya kegembiraan untuk membagikannya kepada sesama adalah langkah bijak sebagai wujud syukur atas apa yang diberikan olehNya.  Harapannya, keluarga Anda pun demikian. Semoga!


jenli, scj

Resep 3 Keluarga Katolik Bahagia:


MEMBERI

Setelah kita membahas resep kedua dari kelarga bahagia, yakni selalu bersyukur atas apa yang telah diterima, sekarang kita akan mendalami resep ketiga: memberi. Ada orang bijak mengatakan: “Memberi bukanlah mengurangi bagian berkat kita dari Tuhan, melainkan mengembalikan berkat orang lain yang dititipkan Tuhan kepada kita”. Pernyataan bijak itu ingin menyadarkan kita bahwa segala bentuk apapun yang telah kita terima – yang kita “amini” sebagai berkat dari Tuhan – merupakan bagian yang semestinya menjadi berkat bagi sesama.
Usaha untuk berbagi kepada sesama akan menjadi lebih bermakna jika di dalamnya berlandaskan pada semangat bersyukur; karena wujud konkret dari rasa bersyukur adalah dengan memberi. Di sini, antara bersyukur dan memberi memiliki keterkaitan makna di mana keduanya menunjuk pada segala bentuk rahmat serta keadaan yang diterima sebagai berkat dari Yang Kuasa.
Setiap keluarga Katolik diharapkan mengingat bahwa Tuhan selalu memberi apa yang diperlukan dalam hidup, bahkan memberikannya dengan kelimpahan. Kenyataan itu semestinya menjadikan setiap keluarga Katolik tidak tamak. Keluarga Katolik yang diberkati dipanggil untuk menggunakan apa yang telah diterima – sebagai karunia berkat – untuk sesama atau keluarga yang berkekurangan. Hal ini untuk menjamin bahwa sesama atau keluarga yang mempunyai sedikit dan dalam kekurangan dapat hidup dengan lebih baik.
Anak-anak yang melihat orang tuanya memberi, mereka akan mengikuti jejak orang tuanya – walaupun apa yang mereka berikan jauh lebih sedikit dari yang diberikan orang tuanya. Demikian pula keluarga yang berani untuk memberi dan berbagi, tentu akan dipandang sebagai keluarga yang murah hati; bukan keluarga yang pelit! Harapannya, keluarga Anda pun demikian. Semoga!


jenli, scj

Resep 2 Keluarga Katolik Bahagia:


Selalu Bersyukur

Orang mengatakan bahwa “rumput tetangga lebih hijau”. Kata-kata tersebut ingin menunjukkan bahwa kebanyakan dari kita kadang melihat apa yang “lebih” dari orang lain, mulai dari jabatan, barang kepemilikan, kesuksesan dan banyak hal lain. Cara pandang itu sebenarnya membuat hati tidak tenang – apalagi disertai dengan sikap gengsi – mengingat bahwa keadaan yang dimiliki sekarang tidak sehebat bila dibandingkan dengan orang lain.
Di dalam dunia yang ketat akan persaingan layaknya sebuah pertandingan, mungkin kita luput untuk menyadari keadaan yang dimiliki sekarang. Karena mata hati terlalu melihat keadaan orang lain, kita sendiri pun kadang lupa mengakui begitu banyak rahmat yang sebenarnya telah diberikan.
Berhadapan dengan situasi tersebut, kita diingatkan bahwa bahwa kunci untuk mewujudkan keluarga bahagia adalah mengambil peran dari apa yang telah diberikan kepada kita. Mengambil peran dari apa yang telah diberikan berarti menyadari apa yang telah kita miliki dan selanjutnya menjadikannya sebagai daya pacu dan picu untuk lebih maju. Salah satu peran konkret adalah menyadari dengan mengingat apa yang telah kita miliki sekarang; inilah penyadaran ke-kini-an, termasuk keadaan hidup berkeluarga.
Adalah penting untuk diingat (dan mengingatkan anak kita) bahwa semua berasal dari Tuhan, termasuk harta benda, teman dan keluarga, bakat, kesuksesan serta masih banyak lagi. Frank A. Clark, politikus Amerika, pernah berkata, “Jika seseorang tidak bersyukur terhadap apa yang ia punyai, ia tidak akan pernah bersyukur terhadap apa yang akan ia dapatkan.” Keluarga Katolik yang hebat selalu merayakan rahmat yang telah diterima, tidak peduli seberapa kecil itu. Ini berarti setiap keluarga Katolik diajak untuk bersyukur, meski dalam keadaan susah, tentunya terutama pada saat bahagia. Harapannya, keluarga Anda pun demikian. Semoga!


jenli, scj

Resep 1 Keluarga Katolik Bahagia:


Setiap Minggu Pergi Bersama Ke Gereja

Salah satu dasar kuat hidup keluarga Katolik adalah bersama-sama pergi ke Gereja, setidaknya setiap minggu. Dengan pergi bersama-sama ke Gereja, orang tua menjalankan tiga dimensi utama sebagai pemimpin “Gereja rumah tangga”, yakni keluarga.
Dimensi pertama berkaitan dengan tanggung jawab. Jika Anda mempunyai anak kecil, tanggung jawab yang mesti diemban adalah menghadapi tantangan untuk membuat anak kecil tenang dan diam selama Misa atau Ibadat Sabda berlangsung. Jika Anda mempunyai anak remaja, tantangan terbesar (setelah membangunkan mereka dan membuat mereka bangun dari tempat tidur) adalah membuat mereka segera bergegas untuk “mendandani” diri dan mendorong mereka agar pergi ke Gereja. Tanggung jawab yang mesti dibangun oleh orang tua adalah membawa anak-anak mereka – sebisa mungkin – supaya tergerak untuk mengikuti kegiatan kerohanian di Gereja setiap minggu.
Ketika keluarga, baik itu orang tua dan anak (-anak), memasuki Gereja dan mengikuti Misa atau Ibadat Sabda, saat itu pula keluarga memiliki kesempatan untuk dekat dengan Tuhan. Ketika mendengar Sabda Tuhan yang dibacakan dan direnungkan, ketika mendekati altar Tuhan untuk menerima Ekaristi, Tubuh dan Darah Kristus, dan ketika berkat perutusan diterima; keluarga diingatkan bahwa pusat kehidupan mereka adalah Kristus. Inilah dimensi kedua, yakni mendekatkan keluarga dengan Kristus sendiri.
Dimensi ketiga berkaitan dengan kesaksian. Betapa bahagianya ketika orang tua dan anak (-anak) berjalan bersama untuk ke Gereja; dan ada orang beragama lain mengatakan: “Lihat... keluarga itu guyub dan rukun ya.... Bukankan mereka itu keluarga Katolik yang akan pergi ke Gereja”? Kita meng-amini bahwa rahmat Tuhan akan bersinar atas keluarga-keluarga Katolik yang bahagia. Kebahagiaan itu akan nampak tidak hanya bagi keluarga itu sendiri, melainkan akan nampak dan dilihat oleh orang lain. Harapannya, keluarga Anda pun demikian. Semoga!


jenli, scj

Tip Membina Hubungan dengan Orang Lain

Judul Buku     :    Tip Membina Hubungan dengan Orang Lain
Penulis            :    Bayu W. Ayogya
Penerbit          :    Psikopedia – Yogyakarta
Tahun Terbit  :    2016

No man is an island” merupakan sebuah ungkapan bijak yang mau mengatakan bahwa manusia hidup tidak bisa sendiri, tanpa kehadiran yang lain. Dalam praksis hidup sosial, manusia selalu membutuhkan kehadiran orang lain. Orang lain dipandang sebagai rekan kerja di mana setiap manusia memiliki dan memainkan perannya. Peran yang dimiliki setiap manusia – dalam hal ini dimengerti sebagai peran manusia pekerja – adalah keikutsertaan setiap manusia untuk memenuhi kebutuhan manusia lainnya. Singkatnya, manusia ada karena ia adalah untuk yang lain.
Untuk hadir dan berada bersama dengan yang lain, tentu manusia – yang adalah kita – ingin menjadi pribadi yang dapat bersosial. Dalam ranah ini, manusia membutuhkan keterampilan menjalin relasi yang baik. Kemampuan ini perlu dilatih dan bahkan terus dikembangkan supaya ia mampu berelasi secara maksimal dengan sesamanya. Titik poinnya adalah cara membina hubungan yang baik dengan orang yang akan memberikan kepuasan pribadi kepada rekan relasinya, dan di saat yang sama, tidak menyakiti: “Hubungan antar manusia merupakan cara membina hubungan, yaitu ketika egomu dan ego orang lain tetap utuh” (hal. 8).
Tip Membina Hubungan dengan Orang Lain karya Bayu W. Ayogya memberikan inspirasi dalam membangun hubungan-relasi antar manusia. Dalam bukunya, Bayu memberikan dua langkah penting ketika kita ingin membangun relasi yang baik dengan orang lain.
Pertama, sebelum menjadi pribadi yang mampu berelasi dengan yang lain – artinya adalah menjadi pribadi yang menarik – ia harus sadar akan kebutuhan egonya sendiri. Tidak dipungkiri bahwa kita semua “lapar terhadap ego”. Hanya setelah ego terpuaskan, barulah kita dapat menggeser fokus dari diri sendiri, melepaskan perhatian terhadap diri sendiri dan memberi perhatian pada yang lain. Setelah orang sudah belajar menyukai diri sendiri, dengan memuaskan egonya, ia berkembang menjadi pribadi yang bermurah hati dan bersahabat dengan orang lain: “Ia akan sadar bahwa orang lain pun ingin dihargai seperti dirinya” (hal. 19).
Kedua, setelah sadar untuk menyukai dirinya sendiri, beberapa langkah berikut dapat dilakukan sebagai bentuk konret bahwa ia pun akan menyukai dan menghargai orang lain: membuat orang lain merasa penting, mengendalikan tindakan dan sikap orang lain, menciptakan kesan yang baik, menarik simpati orang lain, berbahasa secara tepat, mendengarkan secara aktif, membuat orang sependapat, memuji serta mengkritik tanpa melukai.
Tip Membina Hubungan dengan Orang Lain adalah karya tulis yang sangat membantu bagi siapa saja yang ingin mengembangkan kemampuan berelasi. Dengan penulisan dan gaya bahasa menarik, penulis memudahkan setiap pembaca untuk mehamai apa yang hendak disampaikan. Satu hal penting yang patut diingat adalah “penyebab kegagalan paling besar dalam hidup adalah kekeliruan dalam memahami cara membina hubungan yang baik” (hal. 113).




Resep 7 Keluarga Katolik Bahagia:


Tradisi Berdoa dalam Keluarga

Banyak kesaksian dari beberapa Romo atau suster mengatakan bahwa panggilan dalam diri mereka muncul karena iman dalam keluarga. Kebiasan orang tua ketika mengajak mereka berdoa dalam keluarga – entah itu berdoa sore atau malam, berdoa rosario, berdoa novena, dan doa-doa lainnya – pada kenyataannya memberikan nilai positif bagi perkembangan iman. Perkembangan iman itu membawa mereka pada sebuah kesadaran untuk menjadi pribadi pendoa; dan menjadi pribadi pendoa ditemukan dalam diri mereka, “kaum terpanggil”.
Mungkin, tidak harus memaksakan munculnya benih panggilan dalam diri anak, sehingga kebiasaan – atau lebih tepatnya disebut sebagai tradisi – berdoa itu harus diadakan dalam keluarga. Tradisi berdoa rasanya memberikan kontribusi positif bagi perkembangan iman anak. Lepas apakah mereka nanti terpanggil menjadi romo, bruder atau suster; tradisi berdoa dalam keluarga memberi pengaruh posistif bagi perkembangan keluarga itu sendiri.
Tradisi berdoa dalam keluarga bukan hanya ritual belaka. Tradisi berdoa memuat peran penting bagi kehidupan keluarga. Dengan berdoa bersama, antar anggota keluarga dapat berkumpul bersama. Bukankah itu akan memupuk semangat paguyuban hidup keluarga? Dengan berdoa bersama, orang tua dapat menunjukkan peran mereka sebagai pendidik iman anak-anak. Bukankah, anak-anak akan semakin dewasa dan menjadi pribadi yang semakin beriman pula? Bukankan dengan berdoa bersama dalam keluarga, keluarga pada akhirnya dapat menjadi teladan bagi keluarga-keluarga yang lain?
Bukan menunggu harus nanti, tapi sekarang saatnya bagi Anda untuk mengajak para anggota keluarga untuk sebentar meninggalkan kesibukan masing-masing dan bersatu hati dalam doa. Banyak rahmat yang dapat ditimba dari kebiasaan doa dalam keluarga. Harapannya, keluarga Anda pun demikian!


jenli, scj

Jumat, 14 Oktober 2016

Ngopi Bareng Denny Siregar: Tuhan dalam Secangkir Kopi

Judul Buku     :    Ngopi Bareng Denny Siregar: Tuhan dalam    Secangkir Kopi
Penulis            :    Denny Siregar
Penerbit          :    Noura Books (PT Mizan Publika) – Jakarta
Tahun Terbit  :    2016

Add caption
“Apa yang Anda pikirkan”? Begitulah kata pertama yang didapatkan ketika kita memasuki akun Facebook, sebuah media sosial global yang mengubah banyak budaya manusia dalam berinteraksi, bersosialisasi dan berkomunikasi. Itu adalah sebuah frasa yang tepat. Mengapa? Karena Facebook memberikan kesempatan kepada kita untuk menuliskan ide atau pemikiran apa yang sedang kita pikirkan. Ide atau pikiran biasanya memuat banyak pencerahan; dan harapannya status yang disampaikan dapan menginspirasi banyak orang.
Kira-kira seperti itulah yang menjadikan Denny Siregar tidak membiarkan sia-sia apa yang ditawarkan media sosial Facebook. Kesempatan untuk membagikan apa yang sedang dipikirkan adalah sebuah celah berharga untuk menjadikan banyak insan semakin tercerahkan.
Melalui bukunya Ngopi Bareng Denny Siregar: Tuhan dalam Secangkir Kopi, Denny menulis beberapa ide dan pemikiran pilihan dari sekian ribu status Facebook-nya. Bukunya sangat menarik karena pembahasan ide dan pemikirannya menggunakan bahasa yang sangat ringan, lugas dan kocak. Ada tiga poin penting yang ingin disampaikan.
Pertama, Denny membahas hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Hubungan ini terlihat dari beberapa topik tulisan yang membahas bagaimana setiap pribadi manusia diharap mampu untuk menjadi pribadi yang berkualitas; kualitas itu setidaknya terlihat di mana ia mampu me-manage dirinya sendiri: “Bersabarlah atas urusan dunia. Tersenyumlah, karena rezeki telah dibagi dan urusan telah diatur. Seorang Mukmin hidup dalam dua hal, yaitu kesulitan dan kemudahan” (hal. 5).
Kedua, membahas hubungan manusia dengan sesamanya. Hubungan ini lebih bersifat horisontal. Dalam beberapa pembahasan, Denny mengangkat topik-topik atau isu-isu terkini sebagai dasar pembicaraan yang diarahkan kepada tujuan komunitas hidup, yakni perdamaian. Ia menulis: “Berteman dengan orang-orang toleran itu menyenangkan. Mereka tidak perduli apakah mereka sesendok kopi atau dua sendok gula. Buat mereka, kenikmatan itu hanya ketika semua seimbang” (hal. 52).
Ketiga, Denny membahas hubungan manusia dengan Khaliknya. Hubungan ini bersifat vertikal, antara manusia dengan Sang Pencipta. Pembawaan ide yang disampaikan, berkaitan dengan pembahasan yang ketiga ini, cukup sederhana meski dengan kata-kata yang kaya makna: “Kita menganggap kesulitan itu adalah terhimpitnya jasmani, sedangkan Tuhan mungkin menciptakan kesulitan itu sebagai makanan rohani” (hal.172).
Karya Denny Siregar adalah karya yang dapat memberikan pencerahan untuk semua insan yang memiliki ketertarikan pada pemahaman. Rasanya, buku ini sangat baik jika dibaca oleh orang-orang yang ingin mengembangkan diri dan yang siap menjadi pencerah bagi insan lain.


KETERLIBATAN KAUM AWAM SEBAGAI KATEKIS AKAR RUMPUT (KAR)


Di Paroki Para Rasul Kudus – Tegalsari
Keuskupan Agung Palembang

Gregorius Jenli Imawan


ABSTRACT:
As God's people, both the hierarchy and laity alike, all are united in the same faith, the faith in Jesus Christ. Being united, all are called to take part in the mission of Jesus Christ (Trimunera Christi). The task is not only for the hierarchy, but also for the laity. The laity is expected to take part in the execution of the mission; including being a local leader at the local level. By learning from the leadership of Jesus Christ, the servant leader, they carry out the mission in the field of koinonia (service of communion), leiturgia (service of worship), kerygma (proclamation of the Gospel) and diakonia (socio-civic/service of worldly life). The Church of Archdiocese Palembang realizes the involvement of the laity through its members of Grassroot Catechists. Their presence is closely linked to the development of the parish in forming small groups that are alive.

Kata-kata Kunci:
Kaum awam, pemimpin lokal, lingkungan, Katekis Akar Rumput (KAR), kepemimpinan pelayanan (servant leadership)


PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Konsili Vatikan II (1962-1965) memandang Gereja sebagai paguyuban umat Allah “yang disatukan berdasarkan pada kesatuan Bapa dan Putera dan Roh Kudus” (LG 4). Sebagai paguyuban, Gereja merupakan perhimpunan kaum beriman yang dengan Pembaptisan menjadi anggota-anggota Tubuh Kristus dan dengan kedudukan mereka masing-masing dipanggil untuk melaksanakan perutusan yang dipercayakan Allah untuk dilaksanakan di dunia (bdk. LG 31). Di antara semua orang beriman Kristiani itu, berkat kelahiran dalam Kristus, ada kesamaan sejati dalam martabat dan kegiatan. Dengan itu, mereka semua, sesuai dengan kondisi khas dan tugas masing-masing, berkerja sama membangun Tubuh Kristus.
Tugas membangun Tubuh Kristus merupakan tugas seluruh anggota Gereja. Tugas itu tidak hanya bagi kaum hierarki saja, kaum awam diharap juga ikut berperan serta di dalamnya. Pada kenyataannya, tugas untuk membangun Gereja – secara khusus dalam lingkup sebuah paroki – tidak dapat terlepas dari keterlibatan kaum awam. Upaya sebuah paroki mengadakan pembaruan dengan membentuk jemaat-jemaat kecil, yakni basis yang hidup (bdk. CL 26), menjadikan peran kaum awam sangatlah diperlukan. Peran mereka dilihat dalam rangka menjadi “tenaga bantu” bagi pelaksanaan tugas pelayanan yang menjamin dinamika kehidupan umat di tingkat basis.
Penjelasan di atas menggugah penulis untuk melihat kondisi Gereja di Indonesia, khususnya keterlibatan kaum awam di Paroki Para Rasul Kudus – Tegalsari, Keuskupan Agung Palembang. Keterlibatan mereka di paroki tersebut secara nyata dalam diri (para) anggota Katekis Akar Rumput (KAR). Para anggota KAR menjadi fokus penelitian penulis karena mereka adalah orang-orang yang melayani umat beriman di paroki pada tingkat komunitas kecil Kristiani (basis). Kehadiran mereka sebagai “pemimpin lokal” dalam sebuah komunitas kecil Kristiani sangat penting dan diperlukan.
Persoalan pengembangan umat beriman pada lingkup komunitas kecil Kristiani menentukan perkembangan sebuah paroki. Upaya pengembangan paroki tidak terlepas dari peran kaum awam karena kehadiran mereka (di tiap-tiap komunitas kecil) mampu memberikan kontribusi (pelayanan pastoral) yang lebih efektif. Bahkan, kontribusi mereka sungguh membantu para pelayan resmi Gereja (para romo). Atas dasar ini, penulis ingin meneliti keterlibatan kaum awam bagi kehidupan umat beriman dan model kepemimpinan yang menjadi dasar keterlibatan kaum awam sebagai anggota KAR di Paroki Para Rasul Kudus – Tegalsari.

Landasan Teori
Sebagai umat Allah, Gereja merupakan perhimpunan kaum beriman Kristiani yang anggotanya meliputi kaum awam. Dokumen Konsili Vatikan mendefinisikan kaum awam sebagai “semua orang beriman Kristiani, kecuali mereka yang termasuk golongan imam atau status religius yang diakui dalam Gereja” (LG 31). Atas definisi tersebut, Heuken memahami kaum awam sebagai anggota penuh dari Gereja[1]. Oleh karena itu, mereka ikut bertanggungjawab dan terlibat atas seluruh dinamika kegiatan dalam Gereja, secara khusus bagi kehidupan umat beriman.
Keterlibatan kaum awam dalam dinamikan hidup umat beriman nyata dalam komuitas-komunitas kecil, yakni di tingkat komunitas basis[2]. Kehadiran mereka dalam tingkat komunitas kecil, hadir sebagai “pemimpin lokal”. Mereka biasanya terbilang di antara anggota jemaat yang paling yakin dan yang paling dapat diandalkan[3]. Sebagai pemimpin lokal dalam komunitas kecil Kristiani, mereka melaksanaan tugas yang diemban dalam praksis pelayanan jemaat.
Di Paroki Para Rasul Kudus – Tegalsari, Keuskupan Agung Palembang, keterlibatan kaum awam sebagai “pemimpin lokal” secara nyata tampak dalam diri seorang atau beberapa orang yang disebut sebagai Katekis Akar Rumput (KAR). Sebagai “pemimpin lokal” dalam sebuah komunitas Kristiani, mereka berasal dari umat beriman, dipilih dan berkarya di antara mereka demi berjalannya dinamikan kehidupan umat (Gereja).
Model kepemimpinan yang mendasari pelayanan mereka berakar dari model kepemimpinan Yesus Kristus. Model kepemimpinan itu adalah “kepemimpinan pelayanan” (servant leadership). Semangat kepemimpinan pelayanan ini menekankan bahwa kehadiran pemimpin di tengah umat beriman, pertama-tama dituntut untuk menjadi pemimpin yang melayani, bukan menguasai. Greenleaf, sebagai tokoh yang memperkenalkan konsep kepemimpinan pelayanan, mengatakan bahwa: “[...] pemimpin besar pertama-tama dilihat sebagai pelayan”[4].
Model kepemimpinan pelayanan ini esensinya adalah melayani orang lain sebagai prioritas utama dan yang pertama. Konsep mengenai kepemimpinan pelayanan ini kemudian dikembangkan oleh Patterson dalam teori mengenai kepemimpinan pelayanan. Teori kepemimpinan pelayanan yang digagas Patterson memuat tujuh karakteristik yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, yaitu: kasih yang murni/agape (agapao love), kerendahan hati (humility), mengutamakan orang lain (altruism), visi (vision), kepercayaan (trust), pemberdayaan (empowerment) dan pelayanan (service)[5].

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui peran para anggota KAR di Paroki Para Rasul Kudus – Tegalsari, Keuskupan Agung Palembang bagi kehidupan umat beriman dan menemukan model kepemimpinan yang dimiliki oleh para anggota KAR dalam tugas pelayanan mereka. Selain itu, juga akan dilihat apresiasi umat beriman terhadap pelayanan para anggota KAR.

Batasan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Paroki Para Rasul Kudus – Tegalsari, Keuskupan Agung Palembang. Alasan memilih paroki tersebut sebagai tempat penelitian diadakan adalah “paroki pertama dalam Dekanat II (Keuskupan Agung Palembang) yang membentuk kelompok KAR adalah Paroki Para Rasul Kudus – Tegalsari; setelah itu, kelompok KAR juga dibentuk di paroki-paroki lain dalam wilayah Dekanat II (namun belum semua)”[6].
Keterlibatan KAR dalam hidup menggereja di paroki memiliki tempat penting, mengingat jumlah jemaat-jemaat kecil (lingkungan) yang tidak sedikit dengan jangkauan wilayah pelayanan yang luas (meliputi dua kabupaten: Ogan Komering Ulu Timur dan Ogan Ilir). Atas dasar itu, penulis tertarik untuk meneliti aktivitas KAR, terlebih mengenai perannya bagi kehidupan iman umat.
Dalam penelitian ini, yang menjadi informan dan responden utama adalah para anggota KAR yang saat ini masih aktif. Agar informasi yang diperoleh menjadi lebih lengkap, data juga diambil dari umat yang bukan sebagai anggota KAR.

Metodologi Penelitian
Metodologi penelitian dalam penulisan tesis ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara terstruktur, yaitu pertanyaan dan asumsi jawaban yang sudah ditentukan dalam kuesioner sebagai bentuk pertanyaan tertutup. Selain itu, wawancara juga menggunakan pertanyaan terbuka sehingga diperoleh data secara kualitatif. Mereka yang menjadi responden utama dalam penelitian ini adalah para anggota KAR yang saat ini masih aktif. Data juga diperoleh dari umat (bukan termasuk dalam keanggotaan KAR) sebagai responden sekunder.

Populasi dan Sampel
Jumlah keseluruhan anggota KAR didasarkan pada jumlah anggota yang sering menghadiri pertemuan rutin bulanan KAR, yakni: 70 jiwa[7]. Dengan pertimbangan agar keseluruhan anggota KAR dapat terwakili maka sampel diambil sebanyak 50% dari 70, yaitu: 35 jiwa. Menurut data sensus umat yang terakhir (tahun 2012), umat Paroki Para Rasul Kudus – Tegalsari berjumlah 1.940 jiwa; dan jumlah umat yang berada pada umur 17 – 60 tahun, yakni: 1.548 jiwa[8]. Sampel umat yang diambil sebanyak 8% dari 1.548 jiwa, yaitu: 120 jiwa. Untuk mewakili dari keseluruhan jumlah populasi, maka sampel yang diambil berjumlah 12 lingkungan dari 26 lingkungan. Penentuan sampel umat dan lingkungan dilakukan menggunakan pengambilan sampel acak sederhana (simple random sampling).

Hipotesa Penelitian
Kepemimpinan para anggota KAR dalam memberikan pelayanan kepada umat beriman menjadi bagian penting dalam penelitian. Atas dasar itu, penulis memiliki hipotesis bahwa model kepemimpinan servant leadership menjadi dasar kepemimpinan para anggota KAR.

PEMIMPIN LOKAN DALAM KELOMPOK LINGUKNGAN
Kelompok-Kelompok Lingkungan sebagai Model Komunitas Kecil Kristiani
Fritz Lobinger melihat kehadiran pemimpin lokal tidak terlepas dengan “kelompok-kelompok lingkungan”[9]. Apa yang ingin ditekankan di sini adalah bahwa sebuah kelompok dalam komunitas hidup menggereja tidak terlepas dengan kehadiran seorang pemimpin. Dalam hal ini, pemahaman mengenai kelompok-kelompok lingkungan memiliki kesamaan dengan komunitas kecil Kristiani yang dikenal sebagai komunitas basis. Untuk itu, penulis akan membahas tentang kelompok-kelompok lingkungan (seturut pemahaman Fritz Lobinger) sebagai model komunitas kecil Kristiani.

Komunitas Kecil Kristiani dan Kelompok Lingkungan
James O’Halloran menyebut bahwa bentuk awal gagasan tentang komunitas kecil Kristiani adalah persekutuan jemaat-jemaat Kristiani dalam Perjanjian Baru[10]. Mereka disatukan dalam iman kepada Yesus Kristus yang bangkit dan hadir di tengah jemaat. Dengan membentuk hidup persekutuan, mereka dipanggil dalam Roh Kudus dan berhimpun dalam perayaan Perjamuan Tuhan serta dalam pengajaran para Rasul agar dengan santapan Tubuh dan Darah-Nya, persaudaraan antar mereka semakin diteguhkan (bdk. Kis 8:1; 14:22-23; 20:17).
Gagasan mengenai komunitas kecil Kristiani pada jaman sekarang ini dimulai di Brasil sekitar tahun 1950-an[11]. Dalam perjalanan selanjutnya, gagasan mengenai komunitas kecil Kristiani berkembang di Amerika Latin; dan bahkan juga berkembang di seluruh dunia. Model komunitas kecil Kristiani menjadi fenomena hidup menggereja saat ini. Mereka biasanya berupa kelompok yang terdiri dari delapan sampai tiga puluh anggota. Dalam kelompok itu, antar anggota terhubung satu sama lain dalam suatu wilayah. Relasi antar anggota kelompok sangat mendalam dalam pelbagai bidang kehidupan.
Fritz Lobinger menggunakan istilah kelompok lingkungan untuk menjelaskan komunitas kecil tersebut[12]. Kelompok lingkungan dimengerti sebagai “kelompok kecil” atau “jemaat setempat” yang memiliki karakteristik seperti kelompok kecil Kristiani sebagaimana yang dijelaskan oleh James O’Halloran.

Kepemimpinan dalam Kelompok Lingkungan
Para rasul dan murud-murid yang mengikuti Yesus sejak semula memang belum memiliki sebuah “institusi” yang jelas; hanya sebatas kumpulan jemaat yang memiliki iman dan tujuan yang sama. Dalam perjalanan selanjutnya, peristiwa kematian dan kebangkitan Yesus ternyata memberikan pengaruh kuat bagi mereka. Peristiwa tersebut membuat para rasul, para murid dan orang-orang yang percaya mengalami “transisi” sebagai sebuah komunitas. Komunitas Kristiani terus berkembang; dan yang menjadi dasar utama adalah iman kepada Yesus Tuhan.
Dalam ranah ini, keberadaan seorang pemimpin amat diperlukan bagi gerak dinamika kehidupan dalam komunitas kecil Kristiani. James O’Halloran menekankan pentingnya kehadiran seorang pemimpin (yang kompeten) bagi berjalannya dinamika kehidupan dalam komunitas Kecil Kristiani[13]. Lobinger pun menandaskan hal yang sama. Baginya, dalam kelompok-kelompok lingkungan atau kelompok-kelompok umat basis, kebutuhan akan adanya pemimpin malah lebih tinggi[14]. Alasannya adalah bahwa setiap anggota Gereja yang tinggal dalam wilayah umat basis – atau dalam kelompok lingkungan – didesak untuk berperan serta bagi berjalannya dinamika kehidupan komunitas.
Dalam praksis dinamika kehidupan Gereja, ada banyak orang yang menjadi pemimpin. Mereka hadir di tengah jemaat beriman untuk memimpin dan juga memberikan pelayanan. Sebagian dari mereka tergabung dalam jajaran yang disebut sebagai pemimpin lokal.
Secara etimologis, istilah pemimpin lokal berasal dari dua kata dasar, yakni: “pemimpin” dan “lokal”. Kedua kata tersebut memiliki pengertian masing-masing. “Pemimpin” diartikan sebagai “orang yang memimpin”[15]; sedangkan “lokal” diartikan sebagai “setempat”[16], menunjuk pada suatu wilayah atau lingkungan. Dari dua pengertian tersebut, istilah “pemimpin lokal” dapat dipahami sebagai “orang yang memimpin (di) lingkungan setempat”.
Istilah pemimpin lokal berasal dari Fritz Lobinger. Istilah pemimpin lokal mengacu pada para pemimpin yang muncul di dalam sebuah jemaat Kristiani dan biasanya tinggal dengan jemaat itu pula (setempat)[17]. Bagi Lobinger, jemaat setempat ini menunjuk pada kelompok lingkungan atau kelompok kecil dalam sebuah jemaat secara keseluruhan[18].

Dasar Kepemimpinan Pemimpin Lokal: Yesus Kristus
Setiap pemimpin lokal semestinya harus belajar dari Yesus Krustus, Sang Teladan, tentang bagaimana memimpin dan melayani. Bagi Lobinger, Yesus memberikan suatu panduan yang penting untuk kehidupan dan kepemimpinan di dalam jemaat-Nya[19]. Seorang pemimpin membasuh kaki orang-orang yang dipimpinnya[20]. Yesus sendiri memberikan keteladanan dalam hal ini. Peristiwa ketika Yesus membasuh kaki para murid-murid-Nya adalah contoh nyata di mana Ia menjadi seorang pemimpin yang bersedia melayani orang-orang yang dipimpin (bdk. Yoh 13: 1-20). Apa yang dilakukan oleh Yesus menjadi pengajaran bagi para murid agar juga melakukan seperti yang telah diperbuat-Nya:
Mengertikah kamu apa yang kuperbuat kepadamu? Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan. Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamu pun wajib saling membasuh kakimu; sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu (Yoh 13: 12-15).

Yesus dengan terang menjelaskan bahwa apa yang telah dilakukan-Nya itu harus ditiru dalam kehidupan para murid-Nya[21]. Para murid diharapkan kelak dapat menjadi pemimpin-pemimpin jemaat yang tidak menggunakan kepemimpinan sebagai sarana untuk menguasai, melainkan untuk melayani.
Peristiwa pembasuhan kaki adalah salah satu bentuk pengajaran Yesus kepada para murid sebagai seorang pemimpin. Pembasuhan kaki bukan sekadar ritus biasa, namun memuat makna mendalam. Bahkan sebelum peristiwa pembasuhan kaki itu terjadi, Yesus sudah seringkali menunjukkan pengajaran “membasuh kaki” kepada para murid[22]: ketika Ia memperlihatkan kesabaran yang besar terhadap pemahaman mereka yang lamban (bdk. Mat 16: 5-12); ketika Ia bergaul dengan orang-orang sakit dan menyembuhkan mereka (bdk. Mrk 6: 56); ketika Ia mengampuni para murid karena kedegilan mereka (bdk. Mrk 16: 14); ketika Ia membantu mereka dari hari ke hari untuk menangkap warta Kabar Gembira (bdk. Mat 13: 1-23).
Seorang pemimpin diharapkan juga selalu “membasuh kaki” orang-orang yang dipimpinnya. Itu dapat dilakukan bila: seorang pemimpin melayani dengan penuh kesabaran; memprioritaskan pelayanannya terhadap orang-orang yang lemah (orang-orang sakit dan miskin); mengedepankan sikap pengampunan; dan senantiasa membantu jemaat yang dipimpinnya untuk memahami warta Kabar Gembira.

Model Kepemimpinan Yesus Kristus: Pemimpin sebagai Pelayan (Servant Leadership)
Kepemimpinan Yesus Kristus seperti yang telah dijelaskan di atas, melahirkan sebuah model kepemimpinan yang dapat dijadikan sebagai pola kepemimpinan pemimpin lokal. Model kepemimpinan itu adalah kepemimpinan pelayanan. Kepemimpinan pelayanan adalah salah satu teori kepemimpinan yang berkembang pada saat ini. Teori kepemimpinan ini menekankan peran dan fungsi seseorang – yang menjabat sebagai pemimpin – untuk menggunakan “kepercayaan” yang dimilikinya sebagai pemimpin yang melayani, bukan menguasai. Hal tersebut ditegaskan Robert K. Greenleaf yang mengatakan bahwa, “[...] pemimpin besar pertama-tama dilihat sebagai pelayan”[23]. Model kepemimpinan pelayanan ini esensinya adalah melayani orang lain (yang dipimpin) sebagai prioritas utama dan yang pertama.
Kepemimpinan sebagai pelayan memiliki kesejajaran dengan model pelayanan Yesus Kristus. Anthony D’Souza menyebutkan bahwa satu ciri penting dari kepemimpinan-pelayan adalah memberikan teladan[24]; dan Yesus Kristus telah melakukannya. Karakter pelayanan seorang pemimpin ditunjukkan sendiri oleh Yesus lewat peristiwa pembasuhan kaki para murid-Nya (bdk. Yoh 13: 1-20). Peristiwa pembasuhan kaki pada malam menjelang sengsara-Nya menegaskan kembali apa yang telah Ia ajarkan mengenai menjadi pelayan.
Dengan berpola pada kepemimpinan Yesus Kristus, Sang Pelayan, seorang pemimpin sungguh dapat melayani. Berkaitan dengan ini, Kathleen Patterson menyebutkan beberapa kualitas yang perlu dimiliki oleh seorang pemimpin pelayan[25]. Kualitas-kualitas itu adalah: kasih yang murni/agape (agapao love), kerendahan hati (humility), mengutamakan orang lain (altruism), visi (vision), kepercayaan (trust), pemberdayaan (empowerment) dan pelayanan (service)

Fungsi Pemimpin Lokal
Pemimpin lokal sebagai pemimpin dan pelayan pastoral dalam sebuah kelompok lingkungan atau komunitas kecil Kristiani, memiliki beberapa fungsi atau peran bagi kehidupan umat beriman. P. Van Hooijdonk menyebut beberapa fungsi pelayanan pastoral ke dalam empat fungsi pokok hidup menggereja, yakni: koinonia (bidang pelayanan untuk memelihara persekutuan umat), leiturgia (bidang pelayanan peribadatan), kerygma (bidang pelayanan pewartaan) dan diakonia (pelayanan sosial kemasyarakatan/pelayanan hidup duniawi)[26].

KATEKIS AKAR RUMPUT (KAR) DI PAROKI PARA RASUL KUDUS - TEGALSARI
Katekis Akar Rumput (KAR)
Paroki Para Rasul Kudus – Tegalsari memberikan kesempatan yang besar bagi partisipasi kaum awam. Hal tersebut sejalan dengan Pedoman Pastoral Keuskupan Agung Palembang: “Kaum awam mempunyai peran tak tergantikan di dalam pembentukkan jemaat di keuskupan kita dan dalam kehadirannya di tengah masyarakat plural”[27]. Hidup menggereja “menjadi kesempatan bagi kaum awam dalam menyumbangkan dan memberdayakan talenta serta panggilannya untuk lebih aktif dalam evangelisasi, menjadikan Gereja lebih misioner dan dihargai di tengah masyarakat”[28].
Untuk mewujudkan cita-cita itu, Gereja Keuskupan Agung Palembang dalam Sinode II tahun 2009 memandang perlu menegaskan prioritas pastoral: “Pengadaan/pemberdayaan katekis (pelaku katekese) yang nyata dalam diri para anggota Katekis Akar Rumput (KAR) di tingkat paroki”[29]. Tanggapan atas prioritas pastoral itu merupakan konsekuensi dari pembaruan paroki dengan membentuk jemaat-jemaat kecil. Di Paroki Para Rasul Kudus – Tegalsari, yang menjadi bagian dari Keuskupan Agung Palembang, pemberdayaan kaum awam (dalam diri para anggota KAR) dilakukan untuk memberikan pelayanan kepada umat beriman (jemaat-jemaat kecil) di tingkat lingkungan.

Arti dan Makna Katekis Akar Rumput (KAR)
Katekis Akar Rumput (KAR) berasal pada kata “katekis” dan “akar rumput”. Istilah “katekis” ini dari kata “katekese”, berakar pada kata “catechein” yang berarti menggemakan kembali atau meneruskan[30]. Marinus Telaumbanua menjelaskan arti “katekese” sebagai usaha-usaha dari pihak Gereja untuk menolong umat agar semakin memahami, menghayati dan mewujudkan imannya dalam kehidupan sehari-hari[31].
Untuk menunjang berjalannya proses katekese diperlukan pendamping katekese, yakni katekis. Dalam praksis kehidupan menggereja, kehadiran katekis menjadi nyata seperti yang terjadi di Paroki Para Rasul Kudus – Tegalsari, Keuskupan Agung Palembang. Sebelum KAR hadir, katekis yang ada adalah katekis yang diutus dan digaji oleh keuskupan untuk melaksanakan tugas pewartaan bagi umat[32]. Dalam perjalanan waktu, muncullah tenaga-tenaga sukarela yang membantu pelaksanaan tugas katekis. Tenaga-tenaga sukarela itu adalah para Katekis Akar Rumput (KAR). Dalam sebuah wawancara, Bapak Bernardus Realino Mikirno memberikan penjelasan mengenai KAR[33]:
Istilah “katekis” menunjuk pada “pewarta”; sedangkan “akar rumput” menunjuk “asal” mereka, yakni dari tingkat bawah (dalam paroki, yakni lingkungan). Katekis Akar Rumput (KAR) dapat dipahami sebagai orang-orang yang dengan sukarela menjadi tenaga pewarta Gereja di lingkungan masing-masing. Mereka di antaranya meliputi anggota DPP, para anggota prodiakon, para pengurus lingkungan dan beberapa anggota seksi dalam kepengurusan DPP.

Dari penjelasan di atas, Katekis Akar Rumput (KAR) dipahami sebagai mereka – kaum awam – yang berpartisipasi dalam reksa pastoral paroki, dengan memberikan bantuan yang diperlukan dan dengan mengembangkan kegiatan pastoral, baik dalam bidang persekutuan, pewartaan, liturgi dan pelayanan maupun kesaksian. Anggota-anggotanya meliputi: anggota DPP, prodiakon, ketua wilayah dan ketua lingkungan[34]. Partisipasi pelayanan mereka adalah untuk menjamin dinamika kehidupan umat beriman yang berada di tiap-tiap lingkungan. Pemakaian istilah “Katekis Akar Rumput” ingin menunjukkan peran mereka sebagai tenaga sukarela dalam melaksanakan tugas pelayanan. Istilah tersebut membedakan mereka dengan “katekis resmi” yang memang ada dan digaji oleh keuskupan (meski dalam praksisnya, paroki yang menggaji).

Menjadi Pelayan Pastoral di Lingkungan
Anggota KAR berasal dari (kelompok) lingkungan di mana ia (atau mereka) berasal. Mereka adalah tokoh umat yang dipilih”[35] dari setiap lingkungan supaya menjadi orang yang memberikan pengaruh bagi Gereja (di tingkat lingkungan) dan masyarakat[36]. Peran tokoh umat ini tidak mengganti peran ketua lingkungan.
Sebagai orang yang dipilih oleh umat, setiap anggota KAR berperan dalam dinamika kehidupan umat beriman di setiap lingkungan. Dari sini terlihat dengan jelas bahwa model partisipasi anggota KAR – yang terdiri dari kaum awam – bagi dinamika kehidupan umat di tingkat lingkungan dapat disamakan dengan model partisipasi kaum awam menurut Lobinger, yakni sebagai pemimpin lokal[37].
Menjadi pemimpin lokal dapat dipahami sebagai bentuk partisipasi awam secara sukarela bagi pelaksanaan pelayanan pastoral Gereja. Pelayanan pastoral KAR berkaitan dengan pelayanan pewartaan (kerygma) kepada umat. Pewartaan iman itu meliputi usaha untuk memelihara persekutuan umat (koinonia), pewartaan Sabda (dalam sebuah peribadatan) dan mengajak umat agar berperan serta dalam pelayanan sosial-kemasyarakatan (diakonia). KAR juga berperan dalam bidang pelayanan peribadatan (leiturgia) di lingkungan.
KAR berperan dalam membantu pelaksanaan pelayanan pastoral romo paroki. Gereja paroki dan seluruh kapel yang berada di Paroki Para Rasul Kudus – Tegalsari berhak untuk mendapatkan pelayanan Misa (Misa hari Minggu maupun pada hari raya). Namun karena jumlah romo tidak sebanding dengan jumlah tempat pelayanan, maka tidak semua tempat dapat dilayani. Dalam hal ini, KAR memainkan perannya. Beberapa tempat pelayanan yang tidak mendapatkan pelayanan Misa dari romo diganti dengan pelayanan Ibadat Sabda yang dipimpin oleh anggota KAR.

PENELITIAN KETERLIBATAN KATEKIS AKAR RUMPUT (KAR) DI PAROKI PARA RASUL KUDUS - TEGALSARI
Pada bagian ini, penulis akan memaparkan proses dan hasil penelitian Keterlibatan Katekis Akar Rumput (KAR) di Paroki Para Rasul Kudus – Tegalsari. Hasil penelitian itu meliputi: 1) peran para anggota KAR di Paroki Para Rasul Kudus – Tegalsari bagi kehidupan umat beriman; 2) model kepemimpinan pelayanan (servant leadership) yang dimiliki oleh para anggota KAR dalam tugas pelayanan mereka; 3) faktor-faktor berpengaruh bagi kinerja para anggota KAR; 4) apresiasi umat beriman terhadap pelayanan para anggota KAR.

Peran Katekis Akar Rumput (KAR) bagi Kehidupan Umat Beriman
Kehadiran KAR dalam sebuah lingkungan komunitas umat beriman, memiliki beberapa tugas. Beberapa tugas itu berkaitan dengan kehadiran mereka sebagai pelaku katekese dan pelayan pastoral. Sebagai pelaku katekese, KAR berperan dalam bidang pewartaan kepada umat untuk memelihara paguyuban dan yang mengajak umat supaya terlibat dalam hidup sosial-kemasyarakatan. Sebagai pelayan pastoral, mereka berperan dalam pelaksanaan beberapa kegiatan peribadatan; di antaranya adalah memimpin Ibadat Sabda hari Minggu.
Semua umat di lingkungan (12 lingkungan) yang menjadi responden dalam penelitian ini, menerima pelayanan yang dilakukan oleh para anggota KAR. Maka, umat (bukan termasuk anggota KAR) adalah subyek penelitian yang memberikan informasi tentang pengaruh keterlibatan pelayanan para anggota KAR bagi kehidupan jemaat beriman.
Data hasil penelitian – tentang pengajaran KAR yang mengajak hidup rukun – menunjukkan bahwa hampir tiga perempat responden (73,3%) mengatakan KAR selalu mengajarkan umat untuk hidup rukun. Kurang dari dua persepuluh responden (17,5%) mengatakan bahwa KAR sering mengajar dan mengajak umat untuk hidup rukun. Sementara hanya sebagian kecil responden (9,2%) mengatakan bahwa KAR kadang-kadang mengajar umat untuk hidup rukun.
Penelitian juga mencakup tentang penilaian atas isi renungan KAR dalam Ibadat Sabda Hari Minggu. Salah satu inti dari renungan dalam Ibadat Sabda adalah mengajak umat untuk hidup lebih baik. Sebagai contoh, ajakan hidup lebih baik menunjuk pada usaha KAR yang mendorong umat agar memiliki niat saling memaafkan jika terjadi konflik antar mereka. Maka, selain mengupas dan merenungkan Sabda dari Kitab Suci, pemimpin ibadat juga memberikan semangat dan inspirasi – yang didasarkan pada Kitab Suci – bagi umat.
Data hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari dua pertiga responden (69,2%) melihat isi renungan yang diberikan KAR selalu mengajak umat untuk hidup lebih baik. Lebih dari dua persepuluh responden (21,7%) mengatakan isi renungan KAR sering mengajak umat untuk hidup lebih baik. Hampir dari sepersepuluh responden (9,2%) mengatakan renungan KAR kadang-kadang mengajak umat untuk hidup lebih baik. Data ini menunjukkan adanya persoalan pastoral di mana ada anggota KAR yang kurang menekankan pentingnya hidup lebih baik dalam pengajarannya.
Keterlibatan KAR bagi kehidupan umat beriman ditunjukkan juga dengan mengajak umat supaya terlibat dalam hidup sosial-kemasyarakatan, secara khusus terlibat dalam kegiatan ronda malam. Hasil penelitian menunjukkan kurang dari dua persepuluh responden (18,3%) mengatakan KAR selalu mengajak umat terlibat dalam ronda malam. Kurang dari dua persepuluh responden lainnya (18,3%) mengatakan KAR sering mengajak umat terlibat ronda malam.
 Jumlah tersebut berbeda jauh jika dibandingkan dengan lebih dari sepertiga responden (36,7%) yang mengatakan KAR kadang mengajak umat ikut ronda malam. Bahkan, lebih dari seperempat responden (26,7%) mengatakan KAR sama sekali tidak pernah mengajak umat agar terlibat dalam kegiatan ronda malam. Dari data hasil penelitian tersebut dapat dikatakan bahwa tingkat keterlibatan KAR untuk menghimbau dan mengajak umat supaya terlibat dalam ronda malam perlu untuk lebih ditingkatkan. Ini menjadi permasalahan pastoral yang dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi untuk KAR. Harapannya, setiap anggota KAR semakin sadar bahwa pewartaan yang mengajak umat untuk terlibat dalam ronda malam itu penting.




Kepemimpinan Katekis Akar Rumput (KAR): Kepemimpinan Pelayanan
(Servant  Leadership)
Kepemimpinan Yesus Kristus merupakan sebuah model kepemimpinan bagi pelayan Kristiani dan juga bagi para anggota KAR. Ada 7 kualitas kepemimpinan pelayanan yang perlu dimiliki, yaitu: kasih, kerendahan hati, mengutamakan orang lain, memiliki visi, memberikan kepercayaan, memberdayakan dan melayani. Dari ke-7 kualitas itu, di sini akan ditampilkan data hasil penelitian dari 2 kualitas yang mewakili, yakni: kasih dan kerendahan hati.
Dengan kasih yang murni dalam pelaksanaan tugas pelayanan di tengah umat, setiap anggota KAR memiliki daya untuk melakukan sesuatu yang baik. Daya itu membuat pelayanan dilaksanakan secara tulus dengan tidak mengharapkan imbalan uang. Hasil penelitian menunjukkan hampir semua responden (90,8%) mengatakan bahwa KAR melayani tanpa mengharapkan imbalan uang. Jumlah tersebut cukup tinggi bila dibandingkan dengan kurang dari sepersepuluh responden (8,3%) yang mengatakan KAR kadang-kadang meminta imbalan uang atas pelayanan; dan sedikit responden yang mengatakan sering (0,8%).
Atas dasar kerendahan hati, setiap anggota KAR diharapkan tidak menjadi pemimpin yang arogan dan egois. Ia juga tidak bersikap otoriter terhadap umat, yakni orang-orang yang dipercayakan kepadanya. Kerendahan hati itu dapat dilihat melalui sikap yang tenang dan bijaksana ketika menerima kritik dari umat.
Dari data hasil penelitian terlihat bahwa lebih dari seperempat responden (29,2%) mengatakan KAR selalu menerima kritik dari umat. Selain itu, kurang dari seperempat responden (20,8%) mengatakan KAR sering menerima kritik, terlebih kritikan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pelayanan. Sebagian kecil dari responden (5,8%) mengatakan bahwa KAR tidak pernah menerima kritikan dari umat. Kurang dari separo jumlah responden (44,2%) mengatakan KAR kadang menerima kritikan dari umat. Data ini menunjukkan bahwa masih ada anggota KAR yang kurang dapat menerima kritikan dari umat. Hal ini menjadi sebuah permasalahan pastoral mengingat kritikan dari umat (biasanya) menjadi bahan evaluasi bagi pelayanan yang lebih baik. Dengan sulit menerima kritikan atau masukan, KAR sebenarnya menutup diri dari upaya pembenahan diri.
Berdasarkan dua data hasil penelitian yang menunjukkan kualitas kepemimpinan KAR (yang diwakili oleh kualitas kepemimpinan dalam hal kasih dan kerendahan hati), hepotesis dalam penelitian, yakni: model kepemimpinan servant leadership menjadi dasar kepemimpinan para anggota KAR, menemukan kebenarannya.

Faktor-faktor Berpengaruh bagi Kinerja Katekis Akar Rumput (KAR)
Peran kepemimpinan KAR dalam melayani jemaat tidak lepas dari 2 faktor yang mempengaruhi. Kedua faktor itu adalah pembinaan yang berkelanjutan dan peran paroki (romo paroki serta Dewan Pastoral Paroki [DPP]). Para anggota KAR di lingkungan (12 lingkungan sampel) yang menjadi responden dan informan penelitian dalam bagian ini berjumlah 35 jiwa.
Untuk semakin membuat pelayanan menjadi lebih berkualitas, setiap anggota KAR diharapkan selalu menambah kemampuan dan pengetahuan melalui pembinaan yang berkelanjutan. Upaya pembinaan yang berkelanjutan selama ini telah dilakukan, baik dari pihak paroki maupun oleh anggota KAR sendiri (belajar mandiri). Salah satu upaya pembinaan ini didapat melalui keikutsertaan KAR dalam pertemuan rutin.
Pertemuan KAR diadakan sebulan sekali dengan beberapa bahan materi yang dibahas; di antaranya adalah program Keuskupan Agung Palembang, program Paroki Para Rasul Kudus – Tegalsari dan materi-materi tematis (APP, Bulan Kitab Suci Nasional, Bulan Rosario, Bulan Maria, Adven)[38]. Data hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari seperempat responden (28,6%) selalu menghadiri pertemuan KAR. Pentingnya pertemuan KAR juga dirasakan oleh lebih dari separo responden (54,3%) yang mengatakan sering menghadiri. Meski demikian, lebih dari sepersepuluh responden (14,3%) kadang-kadang menghadiri pertemuan KAR dan hanya sedikit responden (2,9%) yang tidak pernah menghadirinya. Data yang menunjukkan bahwa ada responden yang kadang dan bahkan tidak pernah mengikuti pertemuan rutin dapat dijadikan evaluasi.
Romo paroki dan DPP memiliki arah yang sejalan dalam menunjang kehidupan umat beriman. Romo paroki dan DPP dapat dikatakan sebagai perwakilan dari paroki yang memiliki peran penting bagi kinerja pelayanan KAR. Lantas pertanyaannya adalah bagaimana peran paroki (romo paroki dan DPP) bagi KAR selama ini? Peran itu berkaitan dengan kesejahteraan dari paroki bagi para anggota KAR.
Data hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga responden (34,3%) mengatakan bahwa paroki selalu memberikan perhatian bagi kesejahteraan KAR. Kurang dari sepersepuluh responden (8,6%) mengatakan paroki sering memperhatikan kesejahteraan KAR. Perhatian paroki bagi kesejahteraan KAR berkaitan dengan bagaimana paroki (baik itu romo paroki maupun DPP) memberikan dukungan (misal: finansial) untuk menunjang pelayanan KAR.
Di lain pihak, perhatian paroki bagi kesejahteraan KAR tidak pernah dialami oleh hampir separo dari jumlah responden (45,7%). Lebih dari sepersepuluh responden (11,4%) mengalami bahwa paroki kadang-kadang menaruh perhatian bagi kesejahteraan anggota KAR. Dua data terakhir menunjukkan adanya persoalan pastoral berkaitan dengan perlunya paroki untuk meningkatkan perhatian bagi kesejahteraan KAR.

Apresiasi Umat terhadap Keterlibatan Katekis Akar Rumput (KAR)
KAR adalah figur pemimpin lokal di lingkungan umat beriman. Kehadiran setiap anggota KAR di tengah umat merupakan kehadiran sosok pemimpin yang menjadi contoh dan teladan. Kehadiran setiap anggota KAR mendapatkan apresiasi dari umat. Apresiasi dari umat menunjuk pada penerimaan dan sekaligus juga memberikan penilaian atas KAR. Apresiasi umat ini berkaitan dengan bagaimana KAR memberikan keteladanan dalam membangun hidup rukun.
Tingkat apresiasi umat atas KAR dalam memberikan keteladanan hidup rukun cukup tinggi. Hal tersebut ditunjukkan dengan melihat data bahwa hampir dua pertiga responden (63,3%) mengatakan KAR selalu memberikan teladan untuk hidup rukun. Lebih dari dua persepuluh responden (21,7%) mengalami bahwa KAR sering memberikan teladan untuk hidup rukun dengan sesama. Di lain pihak, bagi lebih dari sepersepuluh responden (13,3%) mengatakan KAR dirasakan masih kadang-kadang saja dalam memberikan teladan hidup rukun. Hanya sedikit responden (1,7%) yang mengatakan bahwa KAR tidak pernah memberikan keteladanan dalam mewujudkan kehidupan yang rukun.

Resume Penelitian
Dalam pelayanan bagi kehidupan umat beriman, KAR dipandang oleh umat memiliki peran dalam menciptakan paguyuban. Pelaksanaan peran tersebut dikonkretkan melalui keterlibatan KAR dalam mengajak umat supaya hidup rukun dan untuk hidup lebih baik. Selain itu, berkaitan dengan pelaksanaan pelayanan hidup duniawi yang berkaitan dengan hidup bermasyarakat, KAR dinilai memiliki peran dalam mendorong umat supaya terlibat di masyarakat, yakni dengan mengajak agar terlibat dalam kegiatan ronda malam.
Berbicara tentang pelayanan KAR bagi kehidupan umat beriman, ada kesamaan dengan pendapat P. Van Hooijdonk yang melihat beberapa pelayanan KAR sebagai bentuk kepemimpinan dalam jemaat[39]. Berkat sakramen baptis, kaum awam ikut ambil bagian dalam tugas pelayanan Gereja. Rahmat dalam sakramen baptis memampukan KAR, sebagai kaum awam, memiliki tugas untuk melanjutkan tiga tugas imamat Yesus Kristus, yaitu sebagai imam, nabi dan raja (bdk. Kan 204; LG 31). Pelaksanaan tugas-tugas itu menjadi bentuk kegiatan pelayanan KAR. Kegiatan pelayanan tersebut menunjuk pada keterlibatan mereka bagi kehidupan umat beriman yang memuat tujuan untuk memimpin komunitas Kristiani agar mengarah pada tujuan yang diharapkan.
Model kepemimpinan yang dimiliki oleh para anggota KAR dalam tugas pelayanan adalah kepemimpinan pelayanan (servant leadership). Model kepemimpinan ini – dalam pelaksanaannya – memiliki tujuh kualitas yang harus dinyatakan, yakni: memiliki kasih yang murni, memiliki kerendahan hati, mengutamakan orang lain, memiliki visi, memberikan kepercayaan, memberdayakan dan melayani. Berdasarkan hasil data penelitian, model kepemimpinan tersebut – yang ditunjukkan dengan dua kualitas kepemimpinan, yakni: kasih dan kerendahan hati – sungguh nampak bagi umat.
Berkaitan dengan kepemimpinan pelayanan (servant leadership), data menunjukkan bahwa para anggota KAR sudah menunjukkannya; sekalipun konsep kepemimpinan ini belum mereka kenali atau sadari. Sebagai model kepemimpinan yang mengambil dari inspirasi Yesus Kristus[40], kepemimpinan pelayanan sungguh tepat jika dijadikan model kepemimpinan KAR; mengingat bahwa KAR adalah para pemimpin lokal bagi umat di tingkat lingkungan maupun paroki. Berpola pada kepemimpinan Yesus Kristus, sebagai Pemimpin yang melayani, kepemimpinan anggota KAR akan mengalir dari rasa cinta yang tulus untuk melayani orang-orang yang dipimpin. Tanpa semangat pelayanan, KAR hanya akan melihat orang-orang yang ia pimpin sebagai “obyek” dari kepemimpinannya atau sebatas tenaga kerja untuk menjalankan sebuah institusi.
Patut untuk diapresiasi atas keikutsertaan anggota KAR dalam pertemuan rutin (lih. Tabel 4.6); meski tidak semua. Melalui pertemuan itu, setiap anggota KAR diberi pembekalan sehingga dapat memiliki kualitas dan keterampilan yang lebih baik dalam memberikan pelayanan. Untuk mendukung itu semua, peran paroki tidak dapat dipisahkan. Paroki, dalam hal ini adalah romo paroki dan DPP, sebenarnya memiliki tempat penting bagi KAR. Hal ini dapat dikonkretkan dengan tidak hanya memberikan pembekalan, tetapi juga berani untuk lebih memperhatikan kesejahteraan KAR.
Data hasil penelitian menunjukkan bahwa pelayanan KAR sungguh diapresiasi oleh umat. Umat yang menjadi responden penelitian menilai bahwa kehadiran KAR dalam pelayanannya ternyata tidak hanya memenuhi kebutuhan pastoral, melainkan juga memberikan keteladanan yang baik. Bentuk-bentuk keteladanan itu meliputi upaya dalam membangun hidup rukun.

USULAN PASTORAL
Selanjutnya akan disampaikan beberapa usulan pastoral terpilih dan perlu untuk segera dilakukan berkaitan dengan usaha peningkatan pelayanan KAR. Beberapa usulan pastoral mencakup pelayanan KAR bagi kehidupan umat, kepemimpinan KAR sebagai kepemimpinan pelayanan (servant leadership) dan faktor-faktor yang menunjang kinerja KAR. Usulan-usulan pastoral ditujukan kepada paroki (pastor paroki dan DPP), anggota KAR serta umat.

Usulan untuk Pastor Paroki dan Dewan Pastoral Paroki (DPP)
Paroki, yakni pastor paroki dan DPP, ikut berperan serta menjamin keberadaan dan pelayanan KAR. Paroki diharapkan tetap setia memberikan pembekalan bagi semua anggota KAR. Pembekalan itu meliputi: materi yang berkaitan tentang tafsiran Kitab Suci; dan pengadaan kursus kepemimpinan. Kursus kepemimpinan diadakan untuk mendalami bagaimana menjadi pemimpin di tengah umat dan bagaimana cara menggunakan metode yang menarik dalam memimpin sebuah pertemuan atau ibadat Sabda.
Selain itu, paroki diharapkan juga memberikan perhatian kepada KAR dengan menjamin kebutuhan operasional pelayanan. Menjamin kebutuhan operasional pelayanan merupakan tanggapan atas data yang menunjukkan bahwa kurang dari separo anggota KAR (45,7%) mengatakan paroki tidak pernah menaruh perhatian pada kesejahteraan KAR (lih. Tabel 4.7). Ini dapat dikonkretkan dengan mengalokasikan dana finansial (khusus) untuk KAR. Dana itu salah satunya difungsikan untuk membeli bahan bakar minyak atau membantu biaya perjalanan ketika KAR memberikan pelayanan atau mengikuti pelbagai pertemuan KAR.

Usulan untuk Anggota Katekis Akar Rumput (KAR)
Pertemuan KAR itu penting dan bagi banyak anggota, pertemuan itu sungguh membantu untuk menambah kualitas pelayanan. Meski demikian, ada saja anggota KAR yang kadang-kadang (14,3%) dan bahkan tidak pernah (2,9%) menghadirinya (lih. Tabel 4.6). Berhadapan dengan kasus demikian, setiap anggota KAR diharapkan untuk mengingatkan para anggota lain berkaitan dengan pertemuan KAR yang akan dilakukan. Ini dapat dilakukan dengan menghubungi langsung anggota KAR yang bersangkutan, menggunakan pesan sms (short message service) dan juga bisa menyisipkannya dalam pengumuman (setelah Misa atau Ibadat Sabda).
Bekerja sama dengan paroki, kelompok KAR perlu untuk memiliki dana keuangan sendiri[41]. Dana keuangan KAR ini dapat dijadikan sebagai “bank utama” yang mengatur segala pemasukan dan pengeluaran KAR selama memberikan pelayanan[42]. Salah satu keuntungannya adalah dana itu dapat dijadikan sebagai pendukung biaya transportasi dalam pelayanan, terlebih untuk membeli bahan bakar minyak.
Berkaitan dengan kualitas kepemimpinan sebagai pelayan (servant leadership), para anggota KAR diharap bersedia untuk lebih rendah hati menerima kritik dari umat. Kritik yang dimaksudkan adalah yang berkaitan dengan pelayanan KAR. Ini dirasa perlu karena kurang dari separo umat (44,2%) menilai bahwa KAR kadang-kadang mau menerima kritik dari umat (lih. Tabel 4.5). Kritik dari umat, terlebih yang berkaitan dengan pelayanan KAR, hendaknya dipandang sebagai evaluasi terhadap pelayanan yang telah dilakukan. Evaluasi itu dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran untuk pelayanan yang lebih baik.

Usulan untuk Umat
Umat diharapkan mampu bekerja sama bersama para anggota KAR dengan mendukung dan mengapresiasi pelayanan yang dilakukan. Ini dikonkretkan dengan ikut terlibat dalam pelaksanaan tugas KAR dan memberikan kritikan yang membangun jika itu diperlukan.
Setiap umat memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi anggota KAR. Maka, hendaknya umat juga memiliki kesadaran untuk siap menjadi pengganti anggota KAR yang lama jika masa tugasnya sudah selesai. Dengan demikian, pelayanan menjadi anggota KAR tidak hanya terfokus pada satu orang saja, melainkan semua.

Gregorius Jenli Imawan
Alumnus Magister Teologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta; sekarang berkarya
di Gereja Katolik Paroki St. Pius X – Gisting, Keuskupan Tanjungkarang
Email: imawangreg@gmail.com











DAFTAR PUSTAKA

Dokumen Gereja
. . . . . . . . . . . ,
1993    Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawardaya, Obor, Jakarta.
Keuskupan Agung Palembang,
Pedoman Pastoral Keuskupan Agung Palembang.
Yohanes Paulus II,
            1989    Christifideles Laici, (12 Maret 1989).

Buku Pokok
Clark, Stephen B.,
1972    Building Christian Communities: Strategy for Renewing the Church, Ave Maria Press, Notre Dame.
Greenleaf, Robert K.,
1977    Servant Leadership: A Journey into the Nature of Legitimate Power and Greatness, Paulist Press, New Jersey.
Lobinger, Fritz,
1999    Melatih Kepemimpinan Partisipatif, diterjemahkan dari Towards Non-dominating Leadership, oleh Nita, Biro Penerbitan Propinsi SVD Ende, Maumere.
1999    Melayani dan Memimpin Jemaat Kristiani: Sebuah Panduan bagi Para Pemimpin Jemaat-jemaat Kristen, diterjemahkan dari Serving and Leading the Christian Community: A handbook for the Leaders of Christian Communities, oleh Yosef Maria-Eugene Schmitz, LPBAJ dan Celesty Hieronika, Jakarta.
2000    Membangun Jemaat Kristen Basis, diterjemakan dari Building Small Christian Communities, oleh Yosef Maria Florisan, LPBAJ, Maumere.
O’Halloran, James,
1991    Signs of Hope: Developing Small Christian Communities, Orbis Books, Maryknoll.
Van Hooijdonk, P.,
1980    Pengertian Pastoral, Seri Pastoral no. 26, Pusat Pastoral Yogyakarta, Yogkakarta. 
1990    Pengembangan Jemaat: Kepemimpinan Pastoral, dalam Seri Pastoral no. 100, Pusat Pastoral Yogyakarta, Yogyakarta.

Buku Pendukung
Balun, Bernard S.,
2012    Komunitas Basis Gerejawi: Paroki, Gereja yang Hidup, Lamalera, Yogyakarta.
D’Souza, Anthony,
2007    Proactive Visionary Leadership, diterjemahkan dari Proactive Visionary Leadership, oleh Lilis Setyayanti, Trisewu Leadership Institute, Jakarta.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1988    Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Dihe Sanga, Laurensius,
2010    Menggugat Pola Pastoral Menurut Cara Hidup Ber-KBG, Amara Books, Yogyakarta.
Heuken, A.,
1967    Kaum Awam dan Kerasulannya, Kursus Kader Katolik, Jakarta.
Mantra, Ida Bagoes,
2001    Langkah-langkah Penelitian Survei, Usulan Penelitian dan Laporan Penelitian, BPFG-UGM, Yogyakarta.
McBrien, Richard P.,
The Church: The Evolution of Catholicism, HarperCollins e-books.
Osborne, Kenan B.,
1993    Ministry: Lay Ministry in the Roman Catholic Church-Its History and Theology, Paulist Press, New York.
Sloyan, Gerard,
1988    John: Interpretation – A Bible Commentary for Teaching and Preaching, John Knox Press, Louisville.
Telaumbanua, Marinus,
1999    Ilmu Kateketik: Hakikat, Metode dan Peserta Katekese Gerejawi, Obor, Jakarta. 
Thomas, H. G.,
1980    Christian Religious Education: Sharing Our Story and Vision, Harper & Row, San Fransisco.


Utama, Ignatius L. Madya,
2013    Kepemimpinan Pastoral yang Efektif, Seri Pastoral no. 425, Pusat Pastoral Yogyakarta (PPY) – Kanisius, Yogyakarta.
Wilkes, C. Gene,
2005    Jesus on Leadership: Temukan Rahasia Kepemimpinan Pelayanan dari Kehidupan Kristus, diterjemakan dari Jesus on Leadership: Discovering the Secrets of Servant Leadership from the Life of the Christ, oleh Danuyasa Asihwardji, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.

Artikel
Hagul, Peter – Chris Manning – Masri Singarimbun,
1989    “Penentuan Variabel Penelitian dan Hubungan Antar Variabel” dalam Masri Singarimbun dan Sofian Effendi (eds.), Metode Penelitian Survai, LP3ES, Jakarta, 38-51.

Data Statistik
Data Statistik Paroki Para Rasul Kudus – Tegalsari, Keuskupan Agung Palembang, tahun 2012.

Internet
Kathleen Patterson, “Servant Leadership: A Theoretical Model”, The School of Leadership Studies (2003), 1-10, diunduh dari https://www.regent.edu/acad/global/publications/sl_proceedings/2003/patterson_servant_leadership.pdf diakses pada tanggal 18 Februari 2015.





[1] A. Heuken, Kaum Awam dan Kerasulannya, Kursus Kader Katolik, Jakarta 1967, 27.
[2] Konsep mengenai komunitas basis ini akan diambil dari James O’Halloran, Signs of Hope: Developing Small Christian Communities, Orbis Books, Maryknoll 1991.
[3] Fritz. Lobinger, Melatih Kepemimpinan Partisipatif, diterjemahkan dari Towards Non-dominating Leadership, oleh Nita, Biro Penerbitan Propinsi SVD Ende, Maumere 1999, 44.
[4] Robert K. Greenleaf, Servant Leadership: A Journey into the Nature of Legitimate Power and Greatness, Paulist Press, New Jersey 1977, 21.
[5] Ketujuh karakteristik kepemimpinan pelayanan ini dapat dilihat dalam Kathleen Patterson, “Servant Leadership: A Theoretical Model”, The School of Leadership Studies (2003), 1-10, diunduh dari https://www.regent.edu/acad/global/publications/sl_proceedings/2003/patterson_servant_leadership.pdf, diakses pada tanggal 18 Februari 2015.
[6] Hasil wawancara dengan Bapak Henricus Wiyatno sebagai anggota KAR, 27 Juni 2015.
[7] Data populasi anggota KAR diambil dari jumlah anggota yang meliputi: anggota DPP, prodiakon, ketua wilayah dan ketua lingkungan.
[8] Data Statistik Umat Paroki Para Rasul Kudus – Tegalsari, Keuskupan Agung Palembang tahun 2012.
[9] Fritz Lobinger, Melatih Kepemimpinan Partisipatif, 19.
[10] James O’Halloran, Signs of Hope: Developing Small Christian Communities, 22.
[11] James O’Halloran, Signs of Hope: Developing Small Christian Communities, 22.
[12] Fritz Lobinger, Melatih Kepemimpinan Partisipatif, 19.
[13] James O’Halloran, Signs of Hope: Developing Small Christian Communities, 99.
[14] Fritz Lobinger, Melatih Kepemimpinan Partisipatif, 38.
[15] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta 1988, 684.
[16] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 530.
[17] Fritz Lobinger, Melatih Kepemimpinan Partisipatif, 44.
[18] Fritz Lobinger, Melatih Kepemimpinan Partisipatif, 19.
[19] Fritz Lobinger, Melatih Kepemimpinan Partisipatif, 27.
[20] Fritz Lobinger, Melayani dan Memimpin Jemaat Kristiani: Sebuah Panduan bagi Para Pemimpin Jemaat-jemaat Kristen, diterjemahkan dari Serving and Leading the Christian Community: A handbook for the Leaders of Christian Communities, oleh Yosef Maria-Eugene Schmitz, LPBAJ dan Celesty Hieronika, Jakarta 1999, 27.
[21] Gerard Sloyan, John: Interpretation – A Bible Commentary for Teaching and Preaching, John Knox Press, Louisville 1988, 170.
[22] Fritz Lobinger, Melayani dan Memimpin Jemaat Kristiani: Sebuah Panduan bagi Para Pemimpin Jemaat-jemaat Kristen, 27.
[23] Robert K. Greenleaf, Servant Leadership: A Journey into the Nature of Legitimate Power and Greatness, 21.
[24] Anthony D’Souza, Proactive Visionary Leadership, diterjemahkan dari Proactive Visionary Leadership, oleh Lilis Setyayanti, Trisewu Leadership Institute, Jakarta 2007, 2.
[25] Kathleen Patterson, “Servant Leadership: A Theoretical Model”, The School of Leadership Studies (2003), 1-10.
[26] P. Van Hooijdonk, Pengertian Pastoral, Seri Pastoral no. 26, Pusat Pastoral Yogyakarta, Yogyakarta 1980, 16-17, 18.
[27] Keuskupan Agung Palembang, Pedoman Pastoral Keuskupan Agung Palembang, 27.
[28] Keuskupan Agung Palembang, Pedoman Pastoral Keuskupan Agung Palembang, 27.
[29] Keuskupan Agung Palembang, Pedoman Pastoral Keuskupan Agung Palembang, 16.
[30] H.G. Thomas, Christian Religious Education: Sharing Our Story and Vision, Harper & Row, San Fransisco 1980, 26.
[31] Marinus Telaumbanua, Ilmu Kateketik: Hakikat, Metode dan Peserta Katekese Gerejawi, Obor, Jakarta 1999, 5.
[32] Sekarang ini, katekis yang diutus dan digaji oleh keuskupan di Paroki Para Rasul Kudus – Tegalsari adalah Bapak Petrus Tarjuki.
[33] Hasil wawancara dengan Bapak Bernardinus Realino Mikirno sebagai anggota KAR, 27 Juni 2015.
[34] Untuk menentukan populasi anggota KAR, yang berpengaruh pada penentuan jumlah sampel penelitian, maka keanggotaan KAR yang dipilih adalah mereka yang menjadi anggota DPP, prodiakon, ketua wilayah dan ketua lingkungan. Ini tidak menegasikan bahwa pada kenyataannya anggota KAR juga meliputi beberapa anggota seksi dalam struktur DPP.
[35] Umat yang terpilih menjadi anggota DPP, prodiakon, ketua wilayah dan ketua lingkungan, otomatis langsung masuk dalam keanggotaan KAR. Maka, masa tugas mereka (sebagai anggota KAR) sama dengan masa tugas sebagai anggota DPP, prodiakon, ketua wilayah dan ketua lingkungan.
[36] Hasil wawancara dengan Bapak Henricus Wiyatno sebagai anggota KAR, 28 Juni 2015.
[37] Para anggota KAR dipandang sebagai pemimpin-pemimpin umat setempat di setiap lingkungan. Hal ini dapat disejajarkan dengan konsep pemimpin lokal menurut Lobinger yang muncul di dalam sebuah jemaat Kristiani dan biasanya tinggal di tengah jemaat itu pula (setempat). Fritz Lobinger, Melatih Kepemimpinan Partisipatif, 44.

[38] Hasil wawancara dengan Bapak Bernardinus Realino Mikirno sebagai anggota KAR, 27 Juni 2015.

[39] P. Van Hooijdonk melihat dimensi kepemimpinan dalam Gereja meliputi: memimpin Ekaristi dan sakramen-sakramen lain, pewartaan dan katekese, bimbingan pribadi dan pastoral, diakonia dan pembentukan jemaat. P. Van Hooijdonk, Pengembangan Jemaat: Kepemimpinan Pastoral, dalam Seri Pastoral no. 100, Pusat Pastoral Yogyakarta, Yogyakarta 1990, 11.
[40] Anthony D’Souza menyebutkan bahwa salah satu ciri pemimpin yang melayani adalah memberikan keteladanan. Dalam hal ini, Yesus Kristus telah menunjukkan keteladanan kepada para murid tentang bagaimana menjadi pemimpin yang melayani, yakni dengan membasuh kaki para murid-Nya (bdk. Yoh 13: 1-20). Anthony D’Souza, Proactive Visionary Leadership, 2.
[41] Langkah ini adalah bentuk kerja sama dengan paroki bagi kesejahteraan KAR dalam melaksanakan pelayanan (lih. Tabel 4.7).
[42] Pengelolaan “bank utama KAR” adalah dengan membuat anggaran keuangan berdasarkan rencana kerja selama setahun kepada DPP; dan melaporkannya sebagai bentuk pertanggungjawaban di setiap akhir tahun. Anggaran keuangan hendaknya juga memuat biaya operasional untuk pelayanan dan kegiatan KAR. 

La présence de Dieu qui accompagne toujours nos vies est un mystère. Sa présence réelle qu'Il soit là ou ici, nous ne pourrons peut-être...