Senin, 23 Januari 2017

Judul Buku     :    This is Truth, That too is Truth: Perpetual Spiritual Diary
Penulis            :    Anand Krishna
Penerbit          :    PT Gramedia Pustaka Utama – Jakarta
Tahun Terbit  :    2014

“Kebenaran memiliki banyak sisi....” (hal. 5), tepat seperti itu yang dituliskan Anand Krishna diawal buku. Melalui karya tulis ini, Anand Krsihna ingin mengajak setiap insan untuk mengenal dan menggali lebih jauh realitas kebenaran yang ada dalam kehidupan. Memang, kebenaran memiliki banyak sisi – jika ditilik dari pelbagai sudut pandang – namun sebenarnya itu semua menambah keindahan dan kilauannya. Namun, kebanyakan dari kita hanya menerima satu sisi dan menolak yang lainnya; dan inilah penyebab segala konflik, segala perselisihan, segala kesalahpahaman, dan segala pertempuran dan peperangan (hal. 5).
Dalam buku This is Truth, That too is Truth: Perpetual Spiritual Diary, Anand mengajak para pembaca untuk merefleksikan kehidupan dengan deretan singkat kata-kata bermakna. Mungkin lebih tepatnya, kata-kata itu seperti untaian syair lagu yang tidak hanya memberikan makna mendalam, tetapi juga menampilkan “paduan nada kehidupan” yang memberikan pencerahan. Dengan memberikan pokok permenungan di setiap lembarnya, Anand membantu pembaca untuk memahami apa yang sebenarnya hendak disampaikan. Setiap pokok permenungan memberikan pencerahan yang diharap menjadi langkah awal untuk mentransformasikan diri menjadi pribadi yang tercerahkan; dan untuk memulainya harus dari diri sendiri serta menjadi guru untuk diri sendiri: “...adalah lebih baik bila Anda berjalan sendiri” (hal. 273).
Anand Krishna menuliskan bahwa hampir separuh kutipan-kutipan dari bukunya ini merupakan hasil inspirasi dari apa yang pernah dibaca, dilihat dan didengarnya. Kutipan-kutipan itu merupakan buah dari apa yang selama ini ia pelajari; sementara lainnya lagi sebagai buah dari permenungan dari apa yang ia pelajari. Ia berharap semoga karyanya ini membuat para pembaca dan banyak insan menjadi sadar akan sisi-sisi Kebenaran Tunggal yang beragam, dan mencegah banyak orang terperangkap dalam perdebatan, kesalahpahaman dan konflik yang tak berguna tentang sisi mana yang lebih benar (hal. 377).
Om Saha Naa-vavatu
Saha Nau Bhunaktu
Saha Viiryam Karavaavahai
Tejasvi-naavadhii-tamastu Maa Vidvishaavahai
Om Shaantih Shaantih Shaantih

Minggu, 15 Januari 2017


Sahabat dehonian yang terkasih, adalah seorang romo dari Keuskupan Tanjung Karang yang lebih dari sepuluh tahun yang lalu berkaya di salah satu paroki. Romo Roy, sebut saja namanya demikian, sebagai romo rekan di paroki tersebut, beliau menunjukkan keseriusan dan ketekunan dalam memberikan pelayanan kepada umat. Dengan gaya, cara bicara dan penyampaian homili yang menarik, Romo Roy sungguh disenangi oleh umat.
Banyak umat sungguh kagum terhadap Romo Roy, termasuk juga ada salah seorang anak yang diam-diam juga menaruh kagum padanya. Dengan melihat gaya pelayanan yang ramah, sopan dan menarik, Romo Roy mampu membangun suasana penuh keakraban dan kekeluargaan dengan siapa saja, termasuk dengan anak itu. Bahkan, kedekatan antara Romo Roy dengannya semakin terjalin oleh karena kesamaan hobi antara keduanya, yakni ikan cupang.
Romo Roy memang supel orangnya, bahkan sering menyapa anak itu dengan kata kunci “ikan cupang”. Lantas, keduanya pun, jika berbicara soal hobi yang sama itu, serasa tidak ada sekat pemisah. Lambat laun, anak itu semakin terasa dekat dengan gembalanya. Kedekatan inilah yang kemudian hari membangkitkan semangat panggilan dalam dirinya yang mengatakan: “Saya ingin menjadi Romo, seperti Romo Roy”! Inilah awah panggilan dalam sejarah hidupnya.
Kini, sudah hampir 14 tahun anak itu menjalani hidup panggilannya. Kehadiran Romo Roy sungguh mengena di hati sehingga memampukannya untuk mengenal hidup panggilan sebagai imamat. Tidak ada kata lain, selain ucapan syukur kepada Tuhan Allah yang telah memanggilnya – dengan cara yang sungguh sangat sederhana – yakni: dengan memperkenalkan Romo Roy karena perjumpaan dengan hobi yang sama (ikan cupang). Anak itulah yang kini sedang berbicara kepada Anda.
Sahabat dehonian yang terkasih, setiap dari kita dikarunia talenta, sebuah kemampuan diri yang berbeda antara yang satu dengan yang lain; jika ditilik secara kuantitas maupun kualitas. Talenta itu seyogiyannya menjadi tanda bagi kita untuk tampil di hadapan dunia, sebagia saksi kebaikan Allah dengan menyumbangkan talenta yang kita miliki bagi perkembangan hidup sesama. Tuhan Yesus berkata demikian, “Orang memasang pelita bukan supaya ditempatkan di bawah gantang atau di bawah tempat tidup, melainkan supaya ditaruh di atas kaki dian”. “Pelita” itulah sumber cahaya yang seharusnya membuat kita bersinar, seperti talenta kita masing-masing yang harapannya juga demikian.
Romo Roy, dengan talenta panggilan imamatnya, mampu memberikan kesejukan kepada umat yang di layaninya; dan bahkan membangkitkan jiwa panggilan imamat dalam diri seorang anak kecil pada waktu itu. Demikian dengan kita pulalah harapannya. Setiap dari kita diundang untuk menunjukkan, menyinarkan dan membagikan talenta yang kita punya – entah itu panggilan sebagai orang tua, anak, pekerja, pelajar, kesediaan hati untuk berbagi, mengasihi dan lain sebagainya – untuk menjadikannya sebagai “sinar” bagi dunia.

Tuhan itu baik; dan kita pun mengamininya demikian. Ia pasti memberikan kita sesuatu untuk dapat dibagikan kepada sesama; tinggal kita sendiri mau membagikannya atau tidak. Tuhan memberkati. Amin!
Membentengi Anak dari Pengaruh Buruk

Menyadari kuatnya pengaruh negatif dari mass media maupun lingkungan pergaulan di sekitar kita, orang tua harus mempunyai perhatian untuk turut menyeleksi hal-hal tersebut demi anak. Orang tua perlu menegaskan kehadiran mereka sebagai pendidik anak, tidak hanya sebatas pada pendidik iman saja, tetapi juga menjadi benteng anak agar tidak terkena pengaruh negatif. Pengaruh negeatif itu berkaitan dengan perkembangan teknologi dan lingkungan yang jika dibiarkan, tanpa pengawasan, memberikan efek kurang baik bagi anak.
Terlalu banyak menonton TV tidak memberikan efek yang baik pada anak, apalagi jika anak-anak menonton TV tanpa pendampingan dari orang tua. Demikian pula dengan terlalu banyak bermain video game, apalagi jika permainannya bersifat kekerasan yang sadis, seperti tembak-tembakan, pembunuhan dan seterusnya. Itu semua secara tidak langsung merangsang sifat-sifat agresif pada anak-anak, seperti kemarahan, kekerasan dan tidak mau mengalah.
Mungkin perlu juga mendapat perhatian, adalah kebiasaan ber-FB (Face book) di kalangan anak-anak dan remaja. Produk perkembangan jaman di era sekarang ini memang tidak semuanya memberikan efek negatif, tapi itu semua tetap membutuhkan peran orang tua. Orang tua diharap tetap mengawasi anak agar sarana perkembangan jaman itu dapat berguna sebagaimana mestinya.
Ada resiko yang umum terjadi, yaitu jika anak memiliki pergaulan yang salah, kurang bijak dalam memilih teman, tentu hal itu akan memberikan efek kurang baik bagi perkembangan mental. Bisa jadi, sifat nakal dan tidak mau dididik anak terjadi karena mereka mengikuti atau terpengaruh teman-temannya. Dalam hal ini, orang tua patut memantau pergaulan anak; dan bahkan jika dirasa perlu, orang tua harus berani menegur dan membatasi anak jika ia memiliki teman pergaulan yang kurang baik.
Memang, menjadi orang tua tidak semudah membalik telapak tangan. Menjadi orang tua, dengan melaksanakan tugas atau peran dalam mendidik anak, tidak semudah ketika dikatakan. Menjadi orang tua adalah tantangan untuk menunjukkan kesetiaan dalam mendidik anak yang Tuhan “titipkan” kepada mereka.


rm. jenli, scj
Doa dalam Keluarga

Doa adalah nafas iman. Maka jika orang tua ingin menanamkan iman kepada anak-anak, langkah pertama yang dilakukan adalah mengajari mereka berdoa. Mengembangkan hidup doa anak berarti juga berusaha mengembangkan iman anak agar menjadi lebih dewasa sejalan dengan perkembangan hidup mereka. Maka, peran penting yang perlu dilakukan orang tua adalah bukan hanya mengajari anak berdoa, tetapi orang tua perlu menunjukkan cara berdoa dengan menghidupkan tradisi berdoa bersama-sama dengan mereka. Inilah salah satu aspek doa bersama dalam keluarga.  
Sabda Tuhan mengajarkan, “… nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur” (Flp 4:6).  Apa yang hendak disampaikan dalam Sabda itu sebenarnya menjadi undangan bagi orang tua. Undangan itu mengajak orang tua untuk mengajarkan kepada anak supaya selalu mengikutsertakan peran Allah dalam segala suasana atau keadaan. Baik itu dalam suasana penuh ramat ataupun dalam suasana pencobaan, orang tua perlu selalu menunjukkan dan mengajak anak supaya mengikutsertakan peran Allah; dan itu diungkapkan dengan jalan berdoa.
Paus Paulus VI mengajarkan: “Para ibu, apakah engkau mengajarkan anak-anak doa- doa Kristiani?... Apakah ketika mereka sakit engkau mendorong mereka untuk merenungkan penderitaan Kristus, untuk memohon pertolongan dari Bunda Maria dan para orang kudus? Apakah keluarga berdoa rosario bersama? Dan engkau, para bapak, apakah engkau berdoa bersama dengan anak-anakmu…? Teladan kejujuranmu dalam pikiran dan perbuatan, yang disertai dengan doa bersama, adalah pelajaran kehidupan, dan sebuah tindakan penyembahan yang bernilai tunggal. Dengan cara ini engkau membawa damai ke rumahmu… Ingatlah bahwa dengan cara ini kamu membangun Gereja.”
Sapaan Paus Paulus VI mengingatkan setiap dari kita – sebagai orang tua – untuk menjadi pendidik iman anak. Poin utama dari yang dapat dipetik dari Paus Paulus VI adalah undangan bagi setiap orang tua supaya mengajari anak berdoa. Hal yang patut diapresiasi adalah jika orang tua memberikan waktu kebersamaan dalam keluarga untuk berdoa bersama (orang tua dan anak).
Selain sebagai bahan ajar bagi anak untuk mengembangkan hidup doa, doa dalam keluarga sebenarnya juga menghadirkan Tuhan di tengah keluarga itu sendiri. Doa bersama sekeluarga merupakan sesuatu yang sangat penting, sebab dengan melaksakan hal ini, Sabda Allah digenapi, “Jika dua orang dari padamu di dunia ini sepakat meminta apapun juga, permintaan mereka itu akan dikabulkan oleh Bapa-Ku yang di sorga. Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Mat 18:19-20). Pertanyaannya adalah “Sudahkan keluarga kita memiliki tradisi berdoa bersama”?


rm. jenli, scj
Mengajari Nilai Hidup

Melalui orang tua, anak- anak belajar nilai-nilai hidup yang esensial dan terpenting. Nilai-nilai esensial ini menurut Paus Yohanes Paulus II adalah: keadilan yang menghormati martabat setiap manusia, terutama mereka yang termiskin dan yang paling membutuhkan; melaksanakan hukum kasih dengan memberikan diri untuk orang lain; pendidikan seksualitas yang menyangkut keseluruhan pribadi manusia, baik tubuh, emosi maupun jiwa; pendidikan moral yang menjamin anak-anak bertindak dengan penuh tanggung jawab.
Pertama, sebagai pendidik nilai hidup yang esensial bagi anak, orang tua perlu mengajarkan tentang prinsip keadilan yang menghormati setiap orang, terutama mereka yang memerlukan perhatian dan bantuan kita secara khusus. Dengan mengembangkan semangat keadilan dalam hidup, anak dididik untuk semakin mengenali makna “berbuat adil” kepada sesama. Melalui pendidikan ini, anak dikenalkan dengan pelbagai tindakan yang mampu membawanya pada sebuah kesadaran bahwa berbuat adil itu memang baik. Langkah konkret yang dapat dilakukan, anak diajari untuk tidak memaksakan kehendak memiliki barang atau mainan teman sepermainannya. Dalam hal ini, peran orang tua adalah perlu memberikan penjelasan kepada anak, mengapa tindakan itu diperjuangkan.
Kedua, orang tua perlu memberikan teladan kepada anak-anak, bahwa memberi merupakan wujud konkret dari berbuat kasih kepada sesama. Ini sangat penting, untuk membentuk karakter anak agar murah hati dan tidak egois. Orang tua perlu untuk mengajari mereka, bukan hanya melalui kata-kata pengajaran saja, tetapi dituntut untuk memberikan teladan di depan anak itu sendiri. Dengan demikian, anak semakin terbantu untuk mengembangkan semangat berbagi dalam dirinya melalui tindakan atau keteladanan dari orang tua.
Ketiga, pendidikan seksualitas pada anak juga perlu mendapat perhatian, yang dapat disampaikan sesuai dengan umur anak. Jangan sampai seksualitas dibatasi menjadi sensualitas; namun harus mencakup keseluruhan pribadi seseorang, tubuh, jiwa maupun emosi. Memang, dalam hal ini, orang tua dituntut untuk memberikan pendidikan kepada anak secara bijak sehingga apa yang disampaikan sungguh dapat dipahami. Anak mulai diajari untuk menyadari jenis kelamin dirinya sendiri dan diajari memberikan penghormatan kepada teman atau sesama yang memiliki jenis kelami yang berbeda. Konkretnya, anak dibimbing untuk menggunakan semua anggota tubuhnya dengan bijaksana dan tidak melecehkan teman yang memiliki jenis kelamin berbeda.
Terakhir, orang tua perlu memberikan pengarahan tentang pendidikan moral kepada anak-anak, supaya anak-anak dapat menjadi pribadi yang bertanggung jawab. Anak diharap memiliki kemampuan untuk dapat memilih mana yang baik dan mana yang buruk; bahkan anak diharap memiliki kemampuan untuk memilih yang baik bila dihadapkan dengan pilihan-pilihan yang buruk.
Dengan memberikan pendidikan nilai-nilai hidup yang esensial, orang tua melaksanakan fungsi dan tugasnya sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak. Memang dibutuhkan ketekunan dalam mendidik, mengingat semua anak memiliki karakter yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain. Meski demikian, komitmen untuk tidak mudah menyerah adalah langkah terbaik. Harapannya, anak dapat menjadi pribadi yang dewasa.

rm. jenli, scj
Ketua Lingkungan

Ketua Lingkungan dalam Gereja Katolik adalah “pamong” (pemelihara) umat di lingkungannya. Karena dipercayai sebagai pemelihara oleh umat, ia memiliki tugas pokok, yakni mempersatukan jemaat di lingkungan yang bersangkutan dan mengkoordinasikan aktivitas pelayanan pastoral di lingkungannya. Dengan demikian, lingkungan yang dipimpinnya sungguh menjadi Tubuh Kristus yang hidup dan dinamis (1Kor 12:12-31).
Untuk menjalankan itu semua, ketua lingkungan dituntut memiliki semangat dan kemauan untuk melayani umat. Semangat dan kemauan itu harus didasari dengan keikhlasan karena pada kenyataannya memimpin umat tidaklah mudah; sering dituntut pengorbanan, palinga tidak berkorban “rasa hati”, materi, waktu dan tenaga.
Karena tidak mudah menjadi ketua lingkungan, maka tak jarang jika banyak umat merasa “takut” jika terpilih memangku jabatan ini. Hanya orang-orang tertentu saja yang berani dan sanggup memangku jabatan kepemimpinan pelayanan ini. Maka, berbahagialah Anda sekalian yang sekarang menjadi ketua lingkungan sebab rahmat Tuhan akan selalu menyertai tugas pelayanan.


rm. jenli, scj
Dewan (Pastoral) Paroki

Kitab Hukum Kanonik (Kan. 536 §1) mendefinisikan Dewan (Pastoral) Paroki sebagai “dewan pastoral yang diketuai oleh pastor paroki; dalam dewan pastoral itu, kaum beriman Kristiani, bersama dengan mereka yang berdasarkan jabatannya mengambil bagian dalam reksa pastoral di paroki, hendaknya memberikan bantuannya untuk mengembangkan kegiatan pastoral”.
Dari rumusan di atas – sebagai pengertian dari Dewan (Pastoral) Paroki – kelihatan ada dua hal pokok yang ingin ditekankan. Pertama, Dewan (Pastoral) Paroki mencerminkan fungsi dan dinamika pelayanan dan pengembangan seluruh jemaat sehingga semakin hidup dalam Kristus. Kedua, Dewan (Pastoral) Paroki mendukung dan mempermudah terwujudnya persekutuan jemaat beriman walau di dalamnya ada bermacam-macam tanggung jawab dan karisma anugerah Roh Kudus.


rm. jenli, scj
Paroki

Paroki adalah umat beriman Katolik yang dibentuk secara tetap di dalam suatu keuskupan dan reksa pastoralnya dipercayakan kepada romo paroki sebagai gembala (perwakilan uskup). Paroki merupakan badan hukum gerejani – yang biasanya juga badan hukum negara – yang didirikan, ditiadakan atau diubah oleh uskup setelah mendengarkan pertimbangan dari dewan imam dalam suatu keuskupan. Agar lebih efisien, reksa pastoral dibantu oleh imam (selain romo paroki), diakon dan biarawan/wati atau awam.


rm. jenli, scj
Lingkungan

Salah satu kekhasan Gereja Katolik Indonesia adalah adanya sistem lingkungan atau kring dalam pelayanan pastoral parokial, yang memungkingkan semakin banyak kaum beriman awam terlibat dalam pengembangan Gereja.
Ada tiga fungsi lingkungan. Pertama, sebagai pusat persekutuan yang lebih luas karena – sebenarnya - lingkungan merupakan ujung tombak Gereja. Kedua, lingkungan adalah bentuk Gereja yang konkret di mana dalam lingkungan, tiap anggotanya saling berhubungan, bukan saling menjatuhkan. Ketiga, sebagai arena peran aktif kaum awam, lingkungan menjadi wadah bagi umat untuk menunjukkan dinamika hidup beriman bersama dengan umat yang lain; di sini harapannya bahwa umat terlibat tidak hanya dalam lingkup Gereja saja, tetapi juga dalam masyarakat luas.  
Lingkungan sebaiknya diisi oleh umat sejumlah 10 sampai 50 keluarga. Maka setiap lingkungan yang memiliki jumlah lebih dari 50 keluarga, harapannya diadakan pemekaran dengan berkomunikasi bersama romo paroki. Dengan adanya pemekaran lingkungan, terbuka pula kesempatan yang lebar bagi beberapa umat lain untuk tampil sebagai aktor penggerak lingkungan yang baru.


frd. jenli, scj

Jumat, 13 Januari 2017

Orang Tua sebagai Pendidik Anak

Mengingat pentingnya tujuan pendidikan dan bagaimana seharusnya dilaksanakan secara Kristiani, maka penting digarisbawahi peran orang tua sebagai pendidik utama anak-anak. Gereja Katolik dalam Dokumen Pernyataan tentang Pendidikan Kristen (Gravissimum Educationis) mengajarkan demikian: “Karena orang tua telah menyalurkan kehidupan kepada anak-anak, orang tua terikat kewajiban amat serius  untuk mendidik anak-anak mereka. Maka orang tua-lah yang harus diakui sebagai pendidik yang pertama dan utama bagi anak-anak mereka” (GE 3).
Jika orang tua sebagai pendidik utama dalam hal iman kepada anak-anak berarti orang tua harus secara aktif mendidik anak-anak dalam hal hidup beriman. Cara mendidik yang bijak pertama-tama adalah bahwa orang tua sendiri harus mempraktekkan imannya, berusaha untuk hidup kudus, dan terus menerapkan ajaran iman dalam kehidupan keluarga di rumah. Ini adalah sangat penting, agar anak melihat bahwa iman itu bukan hanya untuk diajarkan tetapi untuk dilakukan. Ini akan menjadi model bagi anak-anak jika mereka nanti tumbuh dewasa dan memiliki tugas menjadi pendidik iman. 
Sebagai pendidik utama, orang tua harus terlibat dalam proses pendidikan yang dilakukan oleh sekolah; dan orang tua bertugas membentuk anak-anaknya. Orang tua harus mengetahui apa yang sedang dipelajari oleh anak-anaknya di sekolah, buku-buku yang mereka baca, bagaimana sikap dan tabiat anaknya di sekolah, siapakah teman-teman anak-anaknya dan sebagainya. Tugas dan tanggung jawab ini ini tidak dapat dialihkan ataupun dipasrahkan kepada guru di sekolah, pembantu rumah tangga ataupun guru les. Yang ingin ditekankan di sini adalah bahwa orang tua tetap harus menjadi pendidik dengan mengontrol dan mendampingi perkembangan akademis anak.
Jika dirumuskan lebih singkat, tugas dan peran orang tua bagi anak memuat dua hal penting. Dua hal itu adalah orang tua menjadi pendidik iman dan pendidik akademis anak. Pendidikan iman berkaitan dengan tugas orang tua dalam mengusahakan pendewasaan iman anak. Pendidikan akademis berkaitan dengan usaha orang tua untuk mengembangkan sisi kognitif anak agar semakin berkembang menjadi pribadi yang cerdas dan bijaksana. Maka, pertanyaan yang patut direnungkan – jika Anda sebagai orang tua – adalah “Apakah saya sudah melaksanakan tugas sebagai orang tua dengan mendidik anak-anak”?


frd. jenli, scj
Keluarga Menjadi Sekolah Kasih

Dalam suasana kasih, keluarga harus menjadi sekolah yang pertama untuk menanamkan nilai-nilai dan kebajikan Kristiani, seperti: memaafkan kesalahan orang lain, belajar meminta maaf jika berbuat salah, saling menghormati, saling berbagi, saling menolong, saling menghibur jika ada yang kesusahan, saling memperhatikan terutama kepada yang lemah, sakit, dan miskin, saling mengakui kelebihan dan kekurangan tiap-tiap anggota keluarga, rela berkorban demi kebaikan orang lain serta seterusnya.
Pada ranah ini, orang tua selayaknya memberikan teladan dalam nilai-nilai Kristiani tersebut, dan bukan hanya dengan perkataan, tetapi terlebih dengan perbuatan. Yang patut ditekankan adalah bahwa anak-anak akan lebih cepat belajar menjadi pelaku kasih melalui keteladanan orang tua daripada hanya mendengar apa yang diajarkan orang tua melalui perkataan saja.
Untuk menanamkan kasih – sebagai wujud kebajikan Kristiani – orang tua mengambil bagian di dalam otoritas Allah Bapa dan Kristus Sang Gembala. Orang tua tidak boleh enggan untuk memberi koreksi jika anak melakukan kesalahan, namun tentu saja koreksi itu diberikan dengan motivasi kasih, bukan hanya sebatas pelampiasan emosi semata. Jadi, dalam penerapannya, orang tua boleh tegas, tetapi jangan sampai kehilangan pengendalian diri pada waktu menegur anak.
Selanjutnya, setelah memberikan koreksi, dan anak telah menyadari kesalahannya; penting sekali anak itu kembali dirangkul dan menerima peneguhan bahwa kita sebagai orang tua tetap mengasihinya. Maka tujuan koreksi tersebut adalah pertama-tama bukan supaya mereka takut kepada orang tua, tetapi supaya anak-anak dapat mengetahui bahwa  perbuatan salahnya itu mendukakan Hati Tuhan.


frd. jenli, scj
Prodiakon

Istilah “Prodiakon” adalah kata bentukan dari kata 'pro’ (kata Latin 'yang berarti 'demi'), dan kata 'diakon' (yang berarti 'melayani'). Dengan demikian, kata 'prodiakon' dapat diartikan sebagai 'untuk melayani'; ini berkaitan dengan tugas-tugasnya yang adalah untuk melayani umat dalam berbagai kepentingan yang berkaitan dengan kehidupan beragamanya.
Sebutan 'prodiakon' merupakan pilihan sebutan yang digunakan sejak tahun 1985. Sebelumnya, digunakan sebutan 'diakon awam' (1966) atau 'diakon paroki' (1983) yang diberlakukan di Keuskupan Agung Semarang. Kini, sebutan 'prodiakon' berlaku di seluruh Gereja di Indonesia. Di luar Indonesia tidak dikenal sebutan seperti itu, namun hanya sebagai pembantu penerimaan komuni saja.

frd. jenli, scj

Kamis, 05 Januari 2017

Koor dalam Gereja

Pada setiap momen perayaan Gereja, kerap tampil kelompok paduan suara (koor), salah satunya dalam Perayaan Ekaristi. Suasana Perayaan Ekaristi pun menjadi lebih semarak dengan kehadiran kelompok ini. Kelompok koor adalah pelayan liturgis yang terbentuk bukan karena hobi semata, melainkan karena semangat persembahan diri sebagaimana Kristus telah mempersembakan Diri-Nya untuk kita.
Fungsi penting kehadiran kelompok atau petugas koor adalah sebagai motivator, penunjuk bernyanyi yang benar dan tepat bagi umat. Maka tidak tepat bila koor ‘menguasai’ semua lagu, sementara umat menonton saja. Penekanan yang ingin ditunjukkan adalah bahwa koor seyogiyannya tidak memonopoli lagu saat Perayaan Ekaristi.  Kalau ada lagu baru, lebih baik dirigen melatih umat sebelum Perayaan Ekaristi berlangsung. Hal ini dapat mendorong keterlibatan umat bernyanyi dan mengenal lagu baru. 
Kelompok koor hadir sebagai bentuk persembahan diri bagi Tuhan. Maka, setiap anggota  harus ‘benar’ terlebih dulu dalam bernyanyi. Untuk itu, koor tidak harus empat suara. Yang lebih utama adalah bahwa kelompok koor harus bernyanyi dengan baik dan benar, meski hanya terdiri dari satu suara saja.



frd. jenli, scj
Peran Orang Tua bagi Anak

Realitas perkembangan jaman sekarang ini, ada banyak anak-anak yang menganggap rumah hanya sebagai tempat makan dan tidur. Di lain pihak, kedua orang tua sibuk dengan urusan mereka masing-masing, sehingga tidak ada waktu yang cukup untuk berkomunikasi dengan anak-anak. Jika berkomunikasi tentang hal-hal yang sehari-hari saja sudah kurang, apalagi pembicaraan tentang Tuhan dan iman Katolik?
Kurangnya perhatian dari orang tua, konsekuensinya mengakibatkan anak-anak mencari kesenangannya sendiri. Mereka asyik dengan dunia sendiri dan mencari pemenuhan kebutuhan mereka untuk diperhatikan serta dikasihi dengan cara mereka sendiri. Sebagian mungkin mendapatkannya dari permainan game di komputer/internet, chatting di FB (Face Book), BBM (Black Berry Messenger), nonton TV atau jalan- jalan.
Jika terus dibiarkan, anak-anak akan berkembang menjadi pribadi yang cenderung individualistik dari pada berorientasi komunal dan berinteraksi langsung dengan orang- orang di sekitar mereka. Selain itu, kesenangan sesaat dan kehidupan hura-hura yang serba instant menjadi pilihan, sebagaimana ditunjukkan oleh banyak anak muda sekarang ini. Soal iman? Bagi mereka sepertinya hanya prioritas kedua, atau bahkan tidak menjadi prioritas sama sekali. Soal Tuhan? Mungkin kurang menarik perhatian mereka. Dalam kondisi ini, orang tua seolah tak berdaya, dan akhirnya menyerah.
Ibarat sebuah rumah, keluarga juga harus dibangun atas dasar yang kuat. Dasar pondasi yang kuat itu adalah iman akan sabda Tuhan dan penerapannya di dalam perbuatan kita (Mat 7: 24-27). Keluarga adalah tempat pertama bagi anak-anak untuk menerima pendidikan iman dan mempraktikkannya. Dalam hal ini orang tua mengambil peran utama, yaitu untuk menampakkan kasih Allah, dan mendidik anak-anak agar mengenal serta mengasihi Allah dan karena mengasihi Allah, mereka dapat mengasihi sesama.
Bentuk konkret perwujudan tugas orang tua dalam mendidika anak dapat dilakukan dengan langkah-langkah berikut: doa bersama sekeluarga dan mendampingi anak-anak menerima sakramen-sakramen; mengusahakan suasana kasih dan kebersamaan dalam keluarga; orang tua berusaha menjadikan keluarga sebagai sekolah pertama untuk menanamkan kebajikan Kristiani.



frd. jenli, scj

La présence de Dieu qui accompagne toujours nos vies est un mystère. Sa présence réelle qu'Il soit là ou ici, nous ne pourrons peut-être...