“Ha… ha… ha…, kasihan deh kamu Jen…”
Jumat
siang itu, perjalanan menuju ke stasi Muktikarya sejauh kurang lebih 60
kilometer kutempuh selama satu seperempat jam. Terik matahari yang menyelimuti
dengan sapaan sinarnya, menemani perjalanan pastoralku melayani umat (dalam
rangka Tahun Orientasi Pastoral dan Panggilan/TOPP). Bukan hanya itu, sepinya
jalan yang dilalui dengan deretan tanaman perkebunan – sawit dan karet –
semakin melengkapi perjalanan penuh tantangan.
Karena
menempuh jarak yang lumayan jauh, tubuh memang terasa capai. Namun, kerinduan
untuk bertemu dengan umat rasanya menjadi ‘obat mujarab’. Aku merasa bahwa umat
yang akan dilayani sungguh merindukan kehadiranku. Maka, ketika di kapel belum
ada satu pun umat yang datang dan pintu masih tertutup dengan rapat, sembari
duduk santai di atas sepeda motor, aku menunggu umat.
“Kedatangan
umat agaknya terlambat karena mereka pasti banyak urusan,” pikirku dalam hati.
Kurang
lebih setengah jam kemudian, ada seorang bapak yang datang. Ia adalah salah
satu umat. Kedatangannya menyejukkan hati di tengah suasana penantian. Kedatangannya
serasa memberikan kepastian.
“Pak…”,
sapaku.
Namun
tanpa basa-basi, bapak itu berkata,
“Frater…, semalam diumumkan bahwa pada hari ini tidak ada pelayanan dari
pastoran…”!
Mendengar
kata-kata itu, rasanya ada petir yang menyambarku di siang bolong. Ada rasa menyesal karena datang. Ada rasa ingin menyalahkan
umat sebab sesuai jadwal pelayanan paroki, minggu ini jelas-jelas ada pelayanan di kapel lingkungan.
Namun,
aku masih bisa menutupi rasa itu dengan menjawab, “Oh…, begitu Pak ya…. Kalau begitu saya langsung pamit saja ya…”.
“Ha… ha…
ha…, kasihan deh kamu Jen…” ejekku dalam hati sembari menaiki sepeda motor dan
meninggalkan bapak tadi.
Ditolak
umat adalah salah satu pengalamanku sebagai seorang frater TOPP-er di Paroki
Para Rasul Kudus – Tegalsari, BK 20 – OKU Timur, Sumatera Selatan. Pengalaman
tersebut ternyata menjadi bahan pembelajaran dan relfleksi bagi hidup.
Siap diterima dan
ditolak
“Kematian
dan kehidupan Yesus menjadi nyata dalam tubuh kami” (bdk. 2 Kor 4:10) merupakan
tema kaul kekal kami. Bagiku, refleksi Paulus yang berjuang dalam mewartakan
Sabda Tuhan – sekalipun berhadapan dengan pengalaman diterima atau ditolak –
sungguh tepat jika kuhadapkan dengan pengalaman selama TOPP; dan itu menjadi
refleksi bagi perjalanan hidup panggilan ke depan.
Di
tengah perkembangan jaman yang terus melaju dan diikuti dengan begitu banyak
tawaran dunia yang begitu menawan, penghayatan hidup panggilan sebagai (calon)
imam-biarawan sungguh tertantang. Kadang, aku sendiri merasa takut dan terus
bertanya, “Apa aku bisa dan mampu; Mungkin pengalaman ‘ditolak’ umat seperti
dalam pengalaman di Muktikarya akan berulang lagi; bahkan lebih dahsyat dari
itu”?
Rasanya,
refleksi Santo Paulus tentang perjuangannya dalam menjaga panggilan perutusan
menjadi daya pacu dan picu. Ya…, aku dapat menimba semangat darinya. Dalam
mempersembahkan diri bagi Tuhan, aku diundang tidak hanya untuk mengalami
pengalaman kebahagiaan. Niat untuk mempersembahkan diri kepada-Nya juga
menuntut untuk mengalami kematian bersama Tuhan, yakni dengan mengalami
pelbagai pengalaman menjatuhkan atau bahkan juga ketika ditolak.
jenli imawan, scj
Copas:
BalasHapus"menuntut untuk mengalami kematian bersama Tuhan, yakni dengan mengalami pelbagai pengalaman menjatuhkan atau bahkan juga ketika ditolak".