Senin, 27 Februari 2017

Ha… haha…, kasihan deh kamu Jen…”


Jumat siang itu, perjalanan menuju ke stasi Muktikarya sejauh kurang lebih 60 kilometer kutempuh selama satu seperempat jam. Terik matahari yang menyelimuti dengan sapaan sinarnya, menemani perjalanan pastoralku melayani umat (dalam rangka Tahun Orientasi Pastoral dan Panggilan/TOPP). Bukan hanya itu, sepinya jalan yang dilalui dengan deretan tanaman perkebunan – sawit dan karet – semakin melengkapi perjalanan penuh tantangan.
Karena menempuh jarak yang lumayan jauh, tubuh memang terasa capai. Namun, kerinduan untuk bertemu dengan umat rasanya menjadi ‘obat mujarab’. Aku merasa bahwa umat yang akan dilayani sungguh merindukan kehadiranku. Maka, ketika di kapel belum ada satu pun umat yang datang dan pintu masih tertutup dengan rapat, sembari duduk santai di atas sepeda motor, aku menunggu umat.
“Kedatangan umat agaknya terlambat karena mereka pasti banyak urusan,” pikirku dalam hati.
Kurang lebih setengah jam kemudian, ada seorang bapak yang datang. Ia adalah salah satu umat. Kedatangannya menyejukkan hati di tengah suasana penantian. Kedatangannya serasa memberikan kepastian.
“Pak…”, sapaku.
Namun tanpa basa-basi, bapak itu berkata, “Frater…, semalam diumumkan bahwa pada hari ini tidak ada pelayanan dari pastoran…”!
Mendengar kata-kata itu, rasanya ada petir yang menyambarku di siang bolong. Ada rasa menyesal karena datang. Ada rasa ingin menyalahkan umat sebab sesuai jadwal pelayanan paroki, minggu ini jelas-jelas ada pelayanan di kapel lingkungan.
Namun, aku masih bisa menutupi rasa itu dengan menjawab, “Oh…, begitu Pak ya…. Kalau begitu saya langsung pamit saja ya…”.
Ha… haha…, kasihan deh kamu Jen…” ejekku dalam hati sembari menaiki sepeda motor dan meninggalkan bapak tadi.
Ditolak umat adalah salah satu pengalamanku sebagai seorang frater TOPP-er di Paroki Para Rasul Kudus – Tegalsari, BK 20 – OKU Timur, Sumatera Selatan. Pengalaman tersebut ternyata menjadi bahan pembelajaran dan relfleksi bagi hidup.

Siap diterima dan ditolak
“Kematian dan kehidupan Yesus menjadi nyata dalam tubuh kami” (bdk. 2 Kor 4:10) merupakan tema kaul kekal kami. Bagiku, refleksi Paulus yang berjuang dalam mewartakan Sabda Tuhan – sekalipun berhadapan dengan pengalaman diterima atau ditolak – sungguh tepat jika kuhadapkan dengan pengalaman selama TOPP; dan itu menjadi refleksi bagi perjalanan hidup panggilan ke depan.
Di tengah perkembangan jaman yang terus melaju dan diikuti dengan begitu banyak tawaran dunia yang begitu menawan, penghayatan hidup panggilan sebagai (calon) imam-biarawan sungguh tertantang. Kadang, aku sendiri merasa takut dan terus bertanya, “Apa aku bisa dan mampu; Mungkin pengalaman ‘ditolak’ umat seperti dalam pengalaman di Muktikarya akan berulang lagi; bahkan lebih dahsyat dari itu”?
Rasanya, refleksi Santo Paulus tentang perjuangannya dalam menjaga panggilan perutusan menjadi daya pacu dan picu. Ya…, aku dapat menimba semangat darinya. Dalam mempersembahkan diri bagi Tuhan, aku diundang tidak hanya untuk mengalami pengalaman kebahagiaan. Niat untuk mempersembahkan diri kepada-Nya juga menuntut untuk mengalami kematian bersama Tuhan, yakni dengan mengalami pelbagai pengalaman menjatuhkan atau bahkan juga ketika ditolak.


jenli imawan, scj


1 komentar:

  1. Copas:
    "menuntut untuk mengalami kematian bersama Tuhan, yakni dengan mengalami pelbagai pengalaman menjatuhkan atau bahkan juga ketika ditolak".

    BalasHapus

La présence de Dieu qui accompagne toujours nos vies est un mystère. Sa présence réelle qu'Il soit là ou ici, nous ne pourrons peut-être...