Senin, 27 Februari 2017

Sana..., keluar...!”


Tahukah Anda, bagaimana rasanya jika disuruh dosen keluar (ruangan) ketika ujian semester lisan? Jawaban pertanyaan itu mengingatkanku pada sebuah pengalaman. Pengalaman itu adalah ketika berhadapan dengan dosen Hukum Perkawinan dalam sebuah ujian lisan.
Hukum Perkawinan adalah salah satu mata kuliah dalam semester enam di fakultas kami, Fakultas Teologi – Universitas Sanata Dharma. Ada yang menarik dan sekaligus menakutkan bila berbicara tentang mata kuliah ini. Dosennya diampu oleh salah satu romo projo Keuskupan Agung Semarang; sebut saja Romo Ruki namanya.
Jika dipandang, raut mukanya menandakan bahwa ia humoris. Rambutnya selalu disisir rapi. Tatapan matanya terasa bersahabat; dan kalau bicara nadanya rendah membuat perasaan tenang. Tapi siapa sangka bahwa dia dikenal sebagai dosen killer ketika menguji mahasiswa.

Saat ujian
Mendengar omongan mengenai ujian lisan Hukum Perkawinan membuat nyaliku menjadi ciut. Kata beberapa kakak kelasku, tidak sedikit mahasiswa yang harus mengulang ujian. Alasannya adalah sama, yakni banyak mahasiswa sudah takut duluan sebelum mengikuti ujian.
Ada kakak kelas yang mengatakan, “Romo Ruki itu pintar untuk membuat bingung ketika ujian”.
Kakak kelas yang lain mengatakan, “Romo Ruki itu, sulit ditebak. Ia kadang setuju dengan jawaban mahasiswa, tapi ternyata mahasiswa yang bersangkutan itu salah dan harus ujian ulang. Kadang ia tidak setuju, tapi ternyata itu jawaban yang benar”.
Yang lain lagi menambahkan, “Pokoknya dengan Romo Ruki itu banyak yang her (ujian ulang)”.
Teringat sore itu, aku harus berhadapan dengan Romo Ruki. Untuk persiapan, segala jurus sudah kusiapkan. Mulai dari menghafal nomor kanon hingga bagaimana menjawab pelbagai pertanyaan yang diprediksikan bakal ditanya.
Ketika kaki masuk ruangan, kulangkahkan dengan tegas. Dengan begitu aku ingin mengatakan bahwa telah siap untuk ujian; dan mentalku tidak ciut meski berhadapan dengan Romo Ruki sekalipun.
“Jen...,” nada sapaannya padaku yang menandakan bahwa aku dipersilahkan untuk duduk di kursi eksekusi.
Baru beberapa detik setelah duduk, Romo Ruki menyodorkanku satu kasus umat. Dari kasus itu, pertanyaan utama yang harus kujawab adalah: “Apakah pasangan itu dapat menikah dalam Gereja? Jika bisa, apa alasannya; jika tidak, apa alasannya”.
Namun dengan melihat kasus dan menganalisanya, aku yakin bahwa pasangan yang menjadi pembicaraan utama dalam soal itu dapat menikah dalam Gereja Katolik. Atas dasar itu, aku menjawab, “Bisa, Mo”.
Opo (apa) dasarmu...?”, tanya Romo Ruki.
“Berdasarkan kanon ini, Mo... (sambil menyebut beberapa kanon dalam Kitab Hukum Kanonik/KHK)”, jawabku membela.
Selain menunjukkan beberapa kanon, aku juga menyebut beberapa dokumen Gereja.
Namun, dengan nada rendah dan tatapan mata yang tajam, Romo Ruki meminta ketegasanku, “Ah... tenane (apa benar)...”?
Mendengar itu aku merasa bimbang; bimbang pada jawabanku yang mengatakan bahwa pasangan itu dapat menikah secara Katolik.
“Apa jawabanku salah ya, sehingga Romo Ruki bertanya demikian?”, tanyaku dalam hati.
“Mungkin benar..., jawabanku kurang memuaskan, atau bahkan malah salah....”, yakinku dalam hati.
Sontak aku langsung terdiam sambil mencari argumen lain sebagai dasar jawabanku. Namun belum lama aku membolak-balik halaman KHK, Romo Ruki berkata padaku, “Wes (sudah)..., sana..., keluar! Jawabanmu mbulet ra jelas (berputar-putar tidak jelas)!”.
Perkataan Romo Ruki begitu tegas menghantam gendang telinga hingga membuatku bimbang dan tanpa harapan.
“Aku pasti her... ujian ulang!”, kataku dalam hati.
Detak jantung terasa begitu hebat. Panas tubuh serasa naik di atas 35 derajat celcius. Aku sungguh takut pada saat itu juga.
Wah... berarti saya harus ketemu lagi di semester depan ya, Romo?”, tanyaku memastikan apakah aku akan ujian ulang atau tidak.
“Ya..., ketemu lagi!”, jawab Romo Ruki.
“Berarti saya pulang tanpa damai ya...?” tanyaku kemudian.
“Tanpa damai..., sana..., keluar!”, jawab dan perintahnya dengan nada tinggi.  
Aku pun langsung keluar dari ruangan ujian itu tanpa harapan dan kepastian.
“Aku pasti ngulang...”, gumamku dalam hati.

Menanti kepastian dalam ketidakpastian
Jujur, selama ini aku tidak pernah ujian ulang. Bahkan nilai ujian semesterku selama ini selalu baik. Untuk itu, sejauh mungkin aku berusaha agar ujian ulang tidak pernah kualami .
Pengalaman setelah ujian Hukum Perkawinan menjadi pengalaman khusus. Aku tidak tahu dengan pasti apakah aku akan ujian ulang atau tidak. Memang, aku berharap bahwa aku terhindari dari “bencana” itu. Tapi kemungkinan itu tetap ada. Apalagi jika mengingat kata-kata terakhir Romo Ruki: “Tanpa damai..., sana..., keluar”!
Menanti pengumuman nilai Hukum Perkawinan diumumkan adalah masa menanti kepastian dalam ketidakpastian. Dalam masa penantian ini, aku rajin untuk pergi ke ruang sekretariat dan bertanya kepada Mas Wawan, karyawan kampus yang mengurusi pelaporan nilai para mahasiswa. Aku selalu mencari tahu apakah nilai dari Romo Ruki sudah keluar. Hampir setiap hari aku melakukannya.
Hingga jelang beberapa hari kemudian, aku melihat bahwa Romo Ruki tengah masuk di ruang sekretariat. Dari tempatku duduk, dari balik jendela kaca transparan, aku melihat bahwa ia bertemu dengan Mas Wawan.
“Pasti Romo Ruki menyerahkan nilai ujian kepada Mas Wawan...”, terkaku dalam hati.
Jika memang itu yang terjadi, aku sendiri merasa takut untuk bertanya kepada Mas Wawan. Rasa takut itu muncul karena, entah mengapa, ada keyakinan diri bahwa aku ujian ulang.
“Ton..., kayaknya (sepertinya) Romo Ruki menyerahkan nilai kepada Mas Wawan tuh...”, kataku pada Anton, salah seorang teman yang juga tengah menanti pengumuman nilai Hukum Perkawinan.
Sana Ton..., tanya ya. Siapa tahu bahwa Romo Ruki benar telah menyerahkannya. Emm..., sekalian tanyakan pada Mas Wawan ya, berapa nilaiku”, pintaku pada Anton untuk datang kepada Mas Wawan.
Aku senang ketika Anton melangkah kakinya menuju ke ruangan Mas Wawan. Sungguh, suasana hati saat itu terasa dag, dig, dug. Suasana hati semakin tak menentu ketika aku melihat Anton bertemu dengan Mas Wawan.
Memang sebelumnya aku telah banyak cerita padanya bahwa aku pasti ujian ulang untuk mata kuliah Hukum Perkawinan. Untuk menghibur, ia selalu menyakinkanku bahwa aku tidak akan her.
Anton tahu pasti bagaimana perasaanku saat itu. Mungkin ia mengerti mengapa aku tidak ikut bersamanya untuk bertanya langsung soal nilai Hukum Perkawinan, jika memang itu sudah ada.
Tak lama aku menunggu. Hingga, ia berjalan kembali ke tempat kami duduk bersama. Dari kejauhan Anton terlihat berjalan ke arahku. Ia rasanya melihat dengan jelas ratapan wajahku yang penuh harap akan pengumuman nilai itu.
Langkahnya semakin mendekat, meski masih jauh. Lantas aku pun bertanya padanya dengan gerak mulut tanpa suara, “Piro (berapa) nilaiku....”?
Anton tahu bahwa yang aku tanyakan padanya adalah tentang nilai Hukum Perkawinan.

Sebuah kepastian
Dari kejauhan, Anton tersenyum padaku. Dalam hati, aku bertanya-tanya, “Apa dia tersenyum karena aku tidak her, atau bahkan sebaliknya? Ia tersenyum supaya aku tidak sedih karena aku harus ujian ulang?”
Tanya dalam hati mendapat jawabnya. Dengan menggunakan jari-jari kedua tangan, ia sebanyak dua kali memperlihatkan padaku. Pertama, ia menunjukkan jumlah jari “tujuh”; dan pada kali yang kedua, ia menunjukkan jumlah jari “enam”.
“Tujuh koma enam...?”, tebakku dalam hati.
Ketika Anton semakin mendekat, aku langsung bertanya padanya, menegaskan apa yang ia katakan melalui jari-jari tangannya tadi.
“Apa Ton..., nilai Hukum Perkawinanku tujuh koma enam?”, tanyaku tegas.
“Iya Jen..., kamu dapat nilai tujuh koma enam. Selamat ya.... Benar kan, kamu nggak her. Selamat ya”, katanya dengan nada tenang dan menyejukkan.
Serasa tidak percaya namun tercampur dengan rasa senang dan bahagia, aku sungguh merasa menjadi pemenang pada saat itu. Kuakui, Romo Ruki memang jago dalam “membolak-balik” jawaban mahasiswa ketika ujian. Itu aku alami sendiri, meski jawabanku sebenarnya benar. Peristiwa ini aku maknai sebagai pengalaman untuk berani tegas dan teguh pada pendirian, sekalipun ada yang mencoba untuk menyangsikannya.
Terima kasih, Romo Ruki!


jenli imawan, scj





1 komentar:

  1. Copas
    "berani tegas dan teguh pada pendirian, sekalipun ada yang mencoba untuk menyangsikannya".

    BalasHapus

La présence de Dieu qui accompagne toujours nos vies est un mystère. Sa présence réelle qu'Il soit là ou ici, nous ne pourrons peut-être...