“Sana..., keluar...!”
Tahukah
Anda, bagaimana rasanya jika disuruh dosen keluar (ruangan) ketika ujian
semester lisan? Jawaban pertanyaan itu mengingatkanku pada sebuah pengalaman.
Pengalaman itu adalah ketika berhadapan dengan dosen Hukum Perkawinan dalam
sebuah ujian lisan.
Hukum
Perkawinan adalah salah satu mata kuliah dalam semester enam di fakultas kami,
Fakultas Teologi – Universitas Sanata Dharma. Ada yang menarik dan sekaligus
menakutkan bila berbicara tentang mata kuliah ini. Dosennya diampu oleh salah
satu romo projo Keuskupan Agung Semarang; sebut saja Romo Ruki namanya.
Jika
dipandang, raut mukanya menandakan bahwa ia humoris. Rambutnya selalu disisir
rapi. Tatapan matanya terasa bersahabat; dan kalau bicara nadanya rendah
membuat perasaan tenang. Tapi siapa sangka bahwa dia dikenal sebagai dosen killer ketika menguji mahasiswa.
Saat ujian
Mendengar
omongan mengenai ujian lisan Hukum Perkawinan membuat nyaliku menjadi ciut.
Kata beberapa kakak kelasku, tidak sedikit mahasiswa yang harus mengulang
ujian. Alasannya adalah sama, yakni banyak mahasiswa sudah takut duluan sebelum
mengikuti ujian.
Ada
kakak kelas yang mengatakan, “Romo Ruki itu pintar untuk membuat bingung ketika
ujian”.
Kakak
kelas yang lain mengatakan, “Romo Ruki itu, sulit ditebak. Ia kadang setuju
dengan jawaban mahasiswa, tapi ternyata mahasiswa yang bersangkutan itu salah
dan harus ujian ulang. Kadang ia tidak setuju, tapi ternyata itu jawaban yang
benar”.
Yang
lain lagi menambahkan, “Pokoknya dengan Romo Ruki itu banyak yang her (ujian ulang)”.
Teringat
sore itu, aku harus berhadapan dengan Romo Ruki. Untuk persiapan, segala jurus
sudah kusiapkan. Mulai dari menghafal nomor kanon hingga bagaimana menjawab
pelbagai pertanyaan yang diprediksikan bakal ditanya.
Ketika
kaki masuk ruangan, kulangkahkan dengan tegas. Dengan begitu aku ingin
mengatakan bahwa telah siap untuk ujian; dan mentalku tidak ciut meski
berhadapan dengan Romo Ruki sekalipun.
“Jen...,”
nada sapaannya padaku yang menandakan bahwa aku dipersilahkan untuk duduk di
kursi eksekusi.
Baru
beberapa detik setelah duduk, Romo Ruki menyodorkanku satu kasus umat. Dari
kasus itu, pertanyaan utama yang harus kujawab adalah: “Apakah pasangan itu
dapat menikah dalam Gereja? Jika bisa, apa alasannya; jika tidak, apa
alasannya”.
Namun
dengan melihat kasus dan menganalisanya, aku yakin bahwa pasangan yang menjadi
pembicaraan utama dalam soal itu dapat menikah dalam Gereja Katolik. Atas dasar
itu, aku menjawab, “Bisa, Mo”.
“Opo (apa) dasarmu...?”, tanya Romo Ruki.
“Berdasarkan
kanon ini, Mo... (sambil menyebut beberapa kanon dalam Kitab Hukum Kanonik/KHK)”,
jawabku membela.
Selain
menunjukkan beberapa kanon, aku juga menyebut beberapa dokumen Gereja.
Namun,
dengan nada rendah dan tatapan mata yang tajam, Romo Ruki meminta ketegasanku,
“Ah... tenane (apa benar)...”?
Mendengar
itu aku merasa bimbang; bimbang pada jawabanku yang mengatakan bahwa pasangan
itu dapat menikah secara Katolik.
“Apa
jawabanku salah ya, sehingga Romo Ruki bertanya demikian?”, tanyaku dalam hati.
“Mungkin
benar..., jawabanku kurang memuaskan, atau bahkan malah salah....”, yakinku
dalam hati.
Sontak
aku langsung terdiam sambil mencari argumen lain sebagai dasar jawabanku. Namun
belum lama aku membolak-balik halaman KHK, Romo Ruki berkata padaku, “Wes (sudah)..., sana..., keluar! Jawabanmu mbulet
ra jelas (berputar-putar tidak jelas)!”.
Perkataan
Romo Ruki begitu tegas menghantam gendang telinga hingga membuatku bimbang dan
tanpa harapan.
“Aku
pasti her... ujian ulang!”, kataku
dalam hati.
Detak
jantung terasa begitu hebat. Panas tubuh serasa naik di atas 35 derajat celcius. Aku sungguh takut pada saat itu
juga.
“Wah... berarti saya harus ketemu lagi di
semester depan ya, Romo?”, tanyaku memastikan apakah aku akan ujian ulang atau
tidak.
“Ya...,
ketemu lagi!”, jawab Romo Ruki.
“Berarti
saya pulang tanpa damai ya...?” tanyaku kemudian.
“Tanpa
damai..., sana..., keluar!”, jawab
dan perintahnya dengan nada tinggi.
Aku
pun langsung keluar dari ruangan ujian itu tanpa harapan dan kepastian.
“Aku
pasti ngulang...”, gumamku dalam
hati.
Menanti kepastian dalam
ketidakpastian
Jujur,
selama ini aku tidak pernah ujian ulang. Bahkan nilai ujian semesterku selama
ini selalu baik. Untuk itu, sejauh mungkin aku berusaha agar ujian ulang tidak
pernah kualami .
Pengalaman
setelah ujian Hukum Perkawinan menjadi pengalaman khusus. Aku tidak tahu dengan
pasti apakah aku akan ujian ulang atau tidak. Memang, aku berharap bahwa aku
terhindari dari “bencana” itu. Tapi kemungkinan itu tetap ada. Apalagi jika
mengingat kata-kata terakhir Romo Ruki: “Tanpa damai..., sana..., keluar”!
Menanti
pengumuman nilai Hukum Perkawinan diumumkan adalah masa menanti kepastian dalam
ketidakpastian. Dalam masa penantian ini, aku rajin untuk pergi ke ruang
sekretariat dan bertanya kepada Mas Wawan, karyawan kampus yang mengurusi pelaporan
nilai para mahasiswa. Aku selalu mencari tahu apakah nilai dari Romo Ruki sudah
keluar. Hampir setiap hari aku melakukannya.
Hingga
jelang beberapa hari kemudian, aku melihat bahwa Romo Ruki tengah masuk di
ruang sekretariat. Dari tempatku duduk, dari balik jendela kaca transparan, aku
melihat bahwa ia bertemu dengan Mas Wawan.
“Pasti
Romo Ruki menyerahkan nilai ujian kepada Mas Wawan...”, terkaku dalam hati.
Jika
memang itu yang terjadi, aku sendiri merasa takut untuk bertanya kepada Mas
Wawan. Rasa takut itu muncul karena, entah mengapa, ada keyakinan diri bahwa
aku ujian ulang.
“Ton...,
kayaknya (sepertinya) Romo Ruki
menyerahkan nilai kepada Mas Wawan tuh...”,
kataku pada Anton, salah seorang teman yang juga tengah menanti pengumuman
nilai Hukum Perkawinan.
“Sana Ton..., tanya ya. Siapa tahu bahwa
Romo Ruki benar telah menyerahkannya. Emm...,
sekalian tanyakan pada Mas Wawan ya, berapa nilaiku”, pintaku pada Anton untuk
datang kepada Mas Wawan.
Aku
senang ketika Anton melangkah kakinya menuju ke ruangan Mas Wawan. Sungguh, suasana
hati saat itu terasa dag, dig, dug. Suasana
hati semakin tak menentu ketika aku melihat Anton bertemu dengan Mas Wawan.
Memang
sebelumnya aku telah banyak cerita padanya bahwa aku pasti ujian ulang untuk
mata kuliah Hukum Perkawinan. Untuk menghibur, ia selalu menyakinkanku bahwa
aku tidak akan her.
Anton
tahu pasti bagaimana perasaanku saat itu. Mungkin ia mengerti mengapa aku tidak
ikut bersamanya untuk bertanya langsung soal nilai Hukum Perkawinan, jika
memang itu sudah ada.
Tak
lama aku menunggu. Hingga, ia berjalan kembali ke tempat kami duduk bersama.
Dari kejauhan Anton terlihat berjalan ke arahku. Ia rasanya melihat dengan
jelas ratapan wajahku yang penuh harap akan pengumuman nilai itu.
Langkahnya
semakin mendekat, meski masih jauh. Lantas aku pun bertanya padanya dengan
gerak mulut tanpa suara, “Piro
(berapa) nilaiku....”?
Anton
tahu bahwa yang aku tanyakan padanya adalah tentang nilai Hukum Perkawinan.
Sebuah kepastian
Dari
kejauhan, Anton tersenyum padaku. Dalam hati, aku bertanya-tanya, “Apa dia
tersenyum karena aku tidak her, atau
bahkan sebaliknya? Ia tersenyum supaya aku tidak sedih karena aku harus ujian
ulang?”
Tanya
dalam hati mendapat jawabnya. Dengan menggunakan jari-jari kedua tangan, ia
sebanyak dua kali memperlihatkan padaku. Pertama, ia menunjukkan jumlah jari
“tujuh”; dan pada kali yang kedua, ia menunjukkan jumlah jari “enam”.
“Tujuh
koma enam...?”, tebakku dalam hati.
Ketika
Anton semakin mendekat, aku langsung bertanya padanya, menegaskan apa yang ia
katakan melalui jari-jari tangannya tadi.
“Apa
Ton..., nilai Hukum Perkawinanku tujuh koma enam?”, tanyaku tegas.
“Iya
Jen..., kamu dapat nilai tujuh koma enam. Selamat ya.... Benar kan, kamu nggak her. Selamat ya”, katanya dengan nada tenang dan menyejukkan.
Serasa
tidak percaya namun tercampur dengan rasa senang dan bahagia, aku sungguh
merasa menjadi pemenang pada saat itu. Kuakui, Romo Ruki memang jago dalam
“membolak-balik” jawaban mahasiswa ketika ujian. Itu aku alami sendiri, meski
jawabanku sebenarnya benar. Peristiwa ini aku maknai sebagai pengalaman untuk
berani tegas dan teguh pada pendirian, sekalipun ada yang mencoba untuk
menyangsikannya.
Terima
kasih, Romo Ruki!
jenli imawan, scj
Copas
BalasHapus"berani tegas dan teguh pada pendirian, sekalipun ada yang mencoba untuk menyangsikannya".