Senin, 27 Februari 2017

Bukan Aku Yang Menyuapi, Tapi Dia


“Keinginan untuk menyuapi merupakan rasa spontan
yang muncul ketika aku melihatnya sedang sarapan....”
-- catatan harian di hari keenam --

Kebersamaan dengan yang lain memungkinkan adanya perjumpaan. Setiap perjumpaan memiliki keberagaman sikap dan tindakan seturut dengan suasana hati yang menjadi inti dari hidup yang bermakna. Perjumpaan dengan seorang kakek di Rumah Sakit Palang Biru – Gombong (Jawa Tengah) adalah pengalamanku. Pengalaman itu adalah bagian dari live in yang diadakan oleh Fakultas Teologi – Sanata Dharma, untuk menunjang mata kuliah Proyek Harapan.
Bila ditanya siapa nama kakek itu, aku tidak ingat! Namun ada beberapa hal yang masih tertinggal dalam ingatanku tentangnya. Ia berumur tujuh puluh dua tahun. Selama masa muda, ia mengabdikan diri sebagai pengajar, khususnya sebagai guru agama Budha. Keahliannya dalam dunia pendidikan menjadi bekal untuk mencari rejeki. Ia bekerja sebagai guru di sebuah propinsi yang terkenal karena keindahan danaunya, Danau Toba.
Sumatera Utara, propinsi itu merupakan tempat perantauan dan lahan mata pencaharian untuk menghidupi istri serta anak-anaknya yang berada di Jawa. Perjuangannya di tanah rantau menandakan bahwa ia adalah seorang kepala keluarga yang bertanggungjawab. Menjadi tenaga pengajar telah dilaluinya selama belasan tahun. Kesempatan untuk berlibur ke tanah Jawa tentunya tidak sering dialami. Namun, kerinduan untuk bercengkerama dengan keluarga membulatkan tekad untuk selalu berlibur ke Jawa, sekurang-kurangnya tiga bulan sekali.
Kini si kakek telah lanjut usia. Umurnya sudah tidak lagi muda. Kerapuhan tubuh yang sekarang dialami membuatnya terbaring tak berdaya di salah satu sudut rumah sakit. Tak banyak kata yang keluar dari mulutnya sebab yang ada hanya kepasrahan pada Sang Kuasa dan kerelaan hati orang-orang sekitar yang menjaga.

Hari keenam
Di awal hari, hari keenam dalam live in, aku mengunjungi si kakek. Ia terbaring dan menunggu sarapan yang akan diantar oleh petugas rumah sakit. Dalam ruangan itu, ia ditemani istri dan adik iparnya. Perjumpaan di pagi itu mengarahkan pandanganku kepada keadaan si kakek.
Saat aku sedang berbicara dengan istri dan adik iparnya, kakek itu terbujur lemas dan berbaring menghadap ke kiri. Pikirku saat itu adalah bahwa ia mungkin sedang tertidur. Untuk itu, kugunakan waktu kunjungan dalam sebuah pembicaraan dengan istri dan adik iparnya.
Tak terasa hampir lima belas menit berlalu di mana kami larut dalam pembicaraan. Tiba-tiba terdengarlah pintu kamar yang diketuk; dan masuklah seorang petugas rumah sakit yang membawakan piring rantang. Dengan segera istri si kakek menerima dan menaruhnya di meja, tepat di sebelah tempat tidur suaminya. Ia kemudian membuka piring rantang itu dan melihat bahwa menu sarapan suaminya adalah bubur nasi. Kemudian ia membuka lemari pasien dan mengambil botol plastik kecil.
Sempat aku bertanya, “Apa isi botol itu, mbah?”
Kemudian dijawabnya bahwa botol itu berisi kecap. Kecap itulah yang kemudian ia campurkan dengan bubur nasi agar dapat memberikan rasa.
Sarapan telah siap! Ia kemudian menyajikannya kepada si kakek. Aku terkejut ketika ia hanya menaruh piring rantang yang berisi bubur nasi dan sendok di tempat tidur si kakek.
“Lantas, siapa yang akan menyuapinya?”, tanyaku dalam hati.
Keterkejutan itu semakin menjadi ketika aku melihat gerakan tubuh si kakek. Ia membalikkan badannya ke kanan dan berusaha mengambil bubur nasi dengan sendok serta memasukkannya ke dalam mulut.
Saat itu merasa trenyuh dan bertanya-tanya tentang sikap nenek, istri si kakek, yang membiarkannya begitu saja: “Kenapa ia tidak menyuapinya?; Bukankah si kakek membutuhkan pertolongan?; Kenapa ia meninggalkan suaminya dan sibuk dengan membereskan barang-barang di lemari?”
Aku tertegun melihat situasi itu. Rasa kemanusiaanku membawa pada kesadaran bahwa setiap orang yang kuat dan sehat harus membantu sesama yang membutuhkan. Kiranya prinsip ini merupakan prinsip kemanusiaan yang secara umum telah dikenal.
Kesadaran itu kemudian menyentuh hatiku dengan bertanya, “Apa yang dapat kamu lakukan untuk si kakek, Jen”?
Tanpa sepengetahuan si nenek, yang saat itu sedang sibuk membereskan barang-barang di lemari, aku kemudian membantu si kakek. Tahu bahwa aku akan membantunya, ia meletakkan sendok yang saat itu di tangan kiri dan memberikan kesempatan padaku untuk menyuapinya. Betapa senangnya hatiku ketika melihat si kakek memakan setiap sendokan bubur yang kusuapkan.
Setelah beberapa kali kuberikan suapan, istri si kakek melihat. Ia kemudian berkata dan memintaku untuk tidak melanjutkan karena (baginya) si kakek dapat melakukan sendiri: “Biar Mas…, ia bisa melakukannya sendiri koq…. Sudah Mas…sudah…”! Karena ia melihat bahwa aku tidak menghiraukan perkataannya, ia meminta dengan sangat untuk memberikan sendok dan kemudian menyuapi si kakek. Mungkin karena merasa malu bahwa aku menyuapi si kakek, sedangkan ia sendiri sibuk dengan hal-hal lain, maka ia melakukannya. Namun bagiku, jika nenek,  istri si kakek tidak menyuapi, aku siap untuk melakukannya.

Bukan aku yang menyuapi, tapi dia
“Keinginan untuk menyuapi merupakan rasa spontan yang muncul ketika aku melihatnya sedang sarapan. Betapa tidak kasihan (si kakek), ketika mbah putri (istrinya) hanya meletakkan piring rantang yang berisi bubur nasi dan membiarkan si kakek makan dengan cara memiringkan tubuhnya?”, itulah catatan harian yang kutulis atas pengalaman perjumpaan dengan si kakek.
Catatan harian dalam masa live in di hari keenam tersebut membawaku pada sebuah pengalaman hidup yang bermakna. Pengalaman itu menatapkanku pada sebuah realitas kerapuhan manusiawi yang menggerakkan sisi kemanusiaan. Derita sakit yang dialami si kakek sungguh menggerakkan hatiku – sebagai sesamanya – untuk berbuat sesuatu.
Mungkin pilihan tindakan dengan menyuapi si kakek adalah tindakan yang sederhana. Namun di balik kesederhanaan itu, aku memaknainya sebagai sesuatu yang luar biasa. Sebenarnya, si kakek sendirilah yang “menyuapiku” dengan sebuah nilai kehidupan. Ia menyadarkanku untuk berani memberikan hati kepada sesama yang membutuhkan. Bisa jadi karena pelbagai kesibukan dalam keseharian telah menutup rasa kemanusiaan dalam hatiku; dan sekarang hatiku diketuk dengan kehadirannya. Kehadiran dengan kerapuhan tubuhnya telah menghantarkanku pada sebuah pemaknaan hidup sebagai sesama bagi yang menderita.
Ya…, sesungguhnya bukan aku, tapi dia, si kakek yang “menyuapiku”.


jenli imawan, scj





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

La présence de Dieu qui accompagne toujours nos vies est un mystère. Sa présence réelle qu'Il soit là ou ici, nous ne pourrons peut-être...