Bukan Aku Yang
Menyuapi, Tapi Dia
“Keinginan
untuk menyuapi merupakan rasa spontan
yang
muncul ketika aku melihatnya sedang sarapan....”
--
catatan harian di hari keenam --
Kebersamaan dengan yang
lain memungkinkan adanya perjumpaan. Setiap perjumpaan memiliki keberagaman
sikap dan tindakan seturut dengan suasana hati yang menjadi inti dari hidup
yang bermakna. Perjumpaan dengan seorang kakek di Rumah Sakit Palang Biru –
Gombong (Jawa Tengah) adalah pengalamanku. Pengalaman itu adalah bagian dari live in yang diadakan oleh Fakultas
Teologi – Sanata Dharma, untuk menunjang mata kuliah Proyek Harapan.
Bila ditanya siapa nama
kakek itu, aku tidak ingat! Namun ada beberapa hal yang masih tertinggal dalam
ingatanku tentangnya. Ia berumur tujuh puluh dua tahun. Selama masa muda, ia
mengabdikan diri sebagai pengajar, khususnya sebagai guru agama Budha. Keahliannya
dalam dunia pendidikan menjadi bekal untuk mencari rejeki. Ia bekerja sebagai
guru di sebuah propinsi yang terkenal karena keindahan danaunya, Danau Toba.
Sumatera Utara,
propinsi itu merupakan tempat perantauan dan lahan mata pencaharian untuk
menghidupi istri serta anak-anaknya yang berada di Jawa. Perjuangannya di tanah
rantau menandakan bahwa ia adalah seorang kepala keluarga yang bertanggungjawab.
Menjadi tenaga pengajar telah dilaluinya selama belasan tahun. Kesempatan untuk
berlibur ke tanah Jawa tentunya tidak sering dialami. Namun, kerinduan untuk
bercengkerama dengan keluarga membulatkan tekad untuk selalu berlibur ke Jawa,
sekurang-kurangnya tiga bulan sekali.
Kini si kakek telah
lanjut usia. Umurnya sudah tidak lagi muda. Kerapuhan tubuh yang sekarang
dialami membuatnya terbaring tak berdaya di salah satu sudut rumah sakit. Tak
banyak kata yang keluar dari mulutnya sebab yang ada hanya kepasrahan pada Sang
Kuasa dan kerelaan hati orang-orang sekitar yang menjaga.
Hari keenam
Di awal hari, hari
keenam dalam live in, aku mengunjungi
si kakek. Ia terbaring dan menunggu sarapan yang akan diantar oleh petugas rumah
sakit. Dalam ruangan itu, ia ditemani istri dan adik iparnya. Perjumpaan di
pagi itu mengarahkan pandanganku kepada keadaan si kakek.
Saat aku sedang
berbicara dengan istri dan adik iparnya, kakek itu terbujur lemas dan berbaring
menghadap ke kiri. Pikirku saat itu adalah bahwa ia mungkin sedang tertidur. Untuk
itu, kugunakan waktu kunjungan dalam sebuah pembicaraan dengan istri dan adik iparnya.
Tak terasa hampir lima
belas menit berlalu di mana kami larut dalam pembicaraan. Tiba-tiba
terdengarlah pintu kamar yang diketuk; dan masuklah seorang petugas rumah sakit
yang membawakan piring rantang. Dengan segera istri si kakek menerima dan
menaruhnya di meja, tepat di sebelah tempat tidur suaminya. Ia kemudian membuka
piring rantang itu dan melihat bahwa menu sarapan suaminya adalah bubur nasi. Kemudian
ia membuka lemari pasien dan mengambil botol plastik kecil.
Sempat aku bertanya,
“Apa isi botol itu, mbah?”
Kemudian dijawabnya
bahwa botol itu berisi kecap. Kecap itulah yang kemudian ia campurkan dengan
bubur nasi agar dapat memberikan rasa.
Sarapan telah siap! Ia
kemudian menyajikannya kepada si kakek. Aku terkejut ketika ia hanya menaruh piring
rantang yang berisi bubur nasi dan sendok di tempat tidur si kakek.
“Lantas, siapa yang
akan menyuapinya?”, tanyaku dalam hati.
Keterkejutan itu
semakin menjadi ketika aku melihat gerakan tubuh si kakek. Ia membalikkan
badannya ke kanan dan berusaha mengambil bubur nasi dengan sendok serta
memasukkannya ke dalam mulut.
Saat itu merasa trenyuh dan bertanya-tanya tentang sikap
nenek, istri si kakek, yang membiarkannya begitu saja: “Kenapa ia tidak
menyuapinya?; Bukankah si kakek membutuhkan pertolongan?; Kenapa ia
meninggalkan suaminya dan sibuk dengan membereskan barang-barang di lemari?”
Aku tertegun melihat
situasi itu. Rasa kemanusiaanku membawa pada kesadaran bahwa setiap orang yang
kuat dan sehat harus membantu sesama yang membutuhkan. Kiranya prinsip ini
merupakan prinsip kemanusiaan yang secara umum telah dikenal.
Kesadaran itu kemudian menyentuh
hatiku dengan bertanya, “Apa yang dapat kamu lakukan untuk si kakek, Jen”?
Tanpa sepengetahuan si
nenek, yang saat itu sedang sibuk membereskan barang-barang di lemari, aku
kemudian membantu si kakek. Tahu bahwa aku akan membantunya, ia meletakkan
sendok yang saat itu di tangan kiri dan memberikan kesempatan padaku untuk
menyuapinya. Betapa senangnya hatiku ketika melihat si kakek memakan setiap
sendokan bubur yang kusuapkan.
Setelah beberapa kali kuberikan
suapan, istri si kakek melihat. Ia kemudian berkata dan memintaku untuk tidak
melanjutkan karena (baginya) si kakek dapat melakukan sendiri: “Biar Mas…, ia
bisa melakukannya sendiri koq…. Sudah
Mas…sudah…”! Karena ia melihat bahwa aku tidak menghiraukan perkataannya, ia
meminta dengan sangat untuk memberikan sendok dan kemudian menyuapi si kakek.
Mungkin karena merasa malu bahwa aku menyuapi si kakek, sedangkan ia sendiri
sibuk dengan hal-hal lain, maka ia melakukannya. Namun bagiku, jika nenek, istri si kakek tidak menyuapi, aku siap untuk melakukannya.
Bukan aku yang menyuapi, tapi dia
“Keinginan untuk
menyuapi merupakan rasa spontan yang muncul ketika aku melihatnya sedang
sarapan. Betapa tidak kasihan (si kakek), ketika mbah putri (istrinya) hanya meletakkan piring rantang yang berisi bubur
nasi dan membiarkan si kakek makan dengan cara memiringkan tubuhnya?”, itulah
catatan harian yang kutulis atas pengalaman perjumpaan dengan si kakek.
Catatan harian dalam
masa live in di hari keenam tersebut membawaku
pada sebuah pengalaman hidup yang bermakna. Pengalaman itu menatapkanku pada
sebuah realitas kerapuhan manusiawi yang menggerakkan sisi kemanusiaan. Derita
sakit yang dialami si kakek sungguh menggerakkan hatiku – sebagai sesamanya –
untuk berbuat sesuatu.
Mungkin pilihan
tindakan dengan menyuapi si kakek adalah tindakan yang sederhana. Namun di
balik kesederhanaan itu, aku memaknainya sebagai sesuatu yang luar biasa.
Sebenarnya, si kakek sendirilah yang “menyuapiku” dengan sebuah nilai
kehidupan. Ia menyadarkanku untuk berani memberikan hati kepada sesama yang
membutuhkan. Bisa jadi karena pelbagai kesibukan dalam keseharian telah menutup
rasa kemanusiaan dalam hatiku; dan sekarang hatiku diketuk dengan kehadirannya.
Kehadiran dengan kerapuhan tubuhnya telah menghantarkanku pada sebuah pemaknaan
hidup sebagai sesama bagi yang menderita.
Ya…, sesungguhnya bukan
aku, tapi dia, si kakek yang “menyuapiku”.
jenli imawan, scj
Tidak ada komentar:
Posting Komentar