Renungan Singkat Dehonian (26 Februari 2017)
Sahabat dehonian yang terkasih, pada
suatu kesempatan saya berdiri pada perempatan salah satu pasar di Kota
Yogyakarta, tepatnya di pasar Bringharjo. Pasar ini cukup besar karena
menyediakan pelbagai barang dagangan, baik itu papan, sandang bahkan bangunan. Pasar
ini sangat ramai, karena selain yang letaknya di jantung kota, kelengkapan
barang dagangan yang disediakan dan juga penataan tempat jualan yang baik,
sangat membantu para konsumen (pembeli) yang membutuhkan.
Di saat sambil berdiri di tengah lalu
lalang para penjual dan pembeli, mata saya tertuju pada sosok perempuan paruh
baya di seberang jalan. Kedua tangannya terlihat begitu kuat karena membawa
barang belanjaan yang dicengkram dengan begitu hebat. Punggungnya begitu perkasa,
meski sambil sedikit menunduk, menahan berat puluhan kilo – sepertinya beras –
yang membebani. Perempuan pejuang yang perkasa..., serentak itulah yang muncul dari
seruan hati. Saya menyadari bahwa perjuangan hidupnya dengan menjadi “buruh gendong” (yakni, penyedia jasa membawa barang
belanjaan) sangat luar biasa. Di tengah panasnya terik matarhari yang begitu menyengat,
dengan upah yang biasanya tidak begitu fantastis, bahkan kadang menerima begitu
saja apa yang dibayar oleh pengguna jasa, ia tetap tabah dalam bekerja.
Ketabahannya dalam bekerja itu
terlihat dengan tatapan optimis, ke depan, sambil membawa barang bawaan yang
beratnya serasa hampir sepadan dengan berat tubuhnya; menuju tempat di mana barang
belanjaan itu diletakkan. Sepertinya tak ada nada keluh terucap, yang ada hanya
gumaman hati: “Di sana tujuan barang-barang ini”. Tatapan optimis yang
mendorong ketabahannya dalam bekerja berbuah pada hasil yang dicapai, yakni
upah. Ya..., upah inilah yang menjadi daya pacu dan picu. Upah hasil kerja
inilah yang membuatnya merasa cukup untuk hidup, setidaknya hari ini. Upah
inilah yang menutup kekuatirannya akan kebutuhan hidup hari ini.
Sahabat dehonian, pada hari ini Tuhan bersabda: “Janganlah kuatir akan
hidupmu, apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan
tubuhmu, apa yang hendak kamu pakai”. Tuhan mengingatkan kita bahwa kadang
kekuatiran membelenggu ketenangan dan kedamaian hidup. Kita lupa bahwa Tuhan memberikan
kita segala sesuatu yang telah diciptakan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kita memiliki
bakat, kemampuan, talenta, tangan, kaki, tubuh yang sehat, modal, usaha dan
lainnya; bukankah itu semua adalah “sarana” yang Tuhan berikan untuk kita pakai
dalam memenuhi kebutuhan hidup?
Perempuan paruh baya yang menjadi buruh gendong dalam kisah di atas mengajak kita untuk ingat bahwa hidup
ini sejatinya adalah perjuangan. Dengan menggunakan apa yang telah diberikan
Tuhan – tangan, kaki, tubuh yang sehat – ia menunjukkan bahwa perjuangan untuk
terus bekerja adalah langkah nyata yang membuat hidup ini tidak kehilangan asa.
Perjuangannya memberikan hasil, yakni upah yang mengusir kekuatiran terhadap
kebutuhan harian.
Lantas, bagaimana dengan kita? Apakah kita masih terbelenggu akan
kekuatiran hidup ini sehingga mematikan rasa bersyukur atas apa yang telah
diberikan Tuhan, yang sebenarnya adalah anugerah untuk kita gunakan? Teruslah berjuang
dalam hidup ini dengan apa yang telah Tuhan berikan kepada kita. Perjuangan-lah
yang pada akhirnya memberikan harapan, bukan kekuatiran. Tuhan memberkati. Amin!
Aku koq jadi terharu baca kisah ini,...
BalasHapus