Selasa, 21 Februari 2017

Renungan Singkat Dehonian (26 Februari 2017)

Sahabat dehonian yang terkasih, pada suatu kesempatan saya berdiri pada perempatan salah satu pasar di Kota Yogyakarta, tepatnya di pasar Bringharjo. Pasar ini cukup besar karena menyediakan pelbagai barang dagangan, baik itu papan, sandang bahkan bangunan. Pasar ini sangat ramai, karena selain yang letaknya di jantung kota, kelengkapan barang dagangan yang disediakan dan juga penataan tempat jualan yang baik, sangat membantu para konsumen (pembeli) yang membutuhkan.
Di saat sambil berdiri di tengah lalu lalang para penjual dan pembeli, mata saya tertuju pada sosok perempuan paruh baya di seberang jalan. Kedua tangannya terlihat begitu kuat karena membawa barang belanjaan yang dicengkram dengan begitu hebat. Punggungnya begitu perkasa, meski sambil sedikit menunduk, menahan berat puluhan kilo – sepertinya beras – yang membebani. Perempuan pejuang yang perkasa..., serentak itulah yang muncul dari seruan hati. Saya menyadari bahwa perjuangan hidupnya dengan menjadi “buruh gendong” (yakni, penyedia jasa membawa barang belanjaan) sangat luar biasa. Di tengah panasnya terik matarhari yang begitu menyengat, dengan upah yang biasanya tidak begitu fantastis, bahkan kadang menerima begitu saja apa yang dibayar oleh pengguna jasa, ia tetap tabah dalam bekerja.
Ketabahannya dalam bekerja itu terlihat dengan tatapan optimis, ke depan, sambil membawa barang bawaan yang beratnya serasa hampir sepadan dengan berat tubuhnya; menuju tempat di mana barang belanjaan itu diletakkan. Sepertinya tak ada nada keluh terucap, yang ada hanya gumaman hati: “Di sana tujuan barang-barang ini”. Tatapan optimis yang mendorong ketabahannya dalam bekerja berbuah pada hasil yang dicapai, yakni upah. Ya..., upah inilah yang menjadi daya pacu dan picu. Upah hasil kerja inilah yang membuatnya merasa cukup untuk hidup, setidaknya hari ini. Upah inilah yang menutup kekuatirannya akan kebutuhan hidup hari ini.
Sahabat dehonian, pada hari ini Tuhan bersabda: “Janganlah kuatir akan hidupmu, apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, apa yang hendak kamu pakai”. Tuhan mengingatkan kita bahwa kadang kekuatiran membelenggu ketenangan dan kedamaian hidup. Kita lupa bahwa Tuhan memberikan kita segala sesuatu yang telah diciptakan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kita memiliki bakat, kemampuan, talenta, tangan, kaki, tubuh yang sehat, modal, usaha dan lainnya; bukankah itu semua adalah “sarana” yang Tuhan berikan untuk kita pakai dalam memenuhi kebutuhan hidup?
Perempuan paruh baya yang menjadi buruh gendong dalam kisah di atas mengajak kita untuk ingat bahwa hidup ini sejatinya adalah perjuangan. Dengan menggunakan apa yang telah diberikan Tuhan – tangan, kaki, tubuh yang sehat – ia menunjukkan bahwa perjuangan untuk terus bekerja adalah langkah nyata yang membuat hidup ini tidak kehilangan asa. Perjuangannya memberikan hasil, yakni upah yang mengusir kekuatiran terhadap kebutuhan harian.
Lantas, bagaimana dengan kita? Apakah kita masih terbelenggu akan kekuatiran hidup ini sehingga mematikan rasa bersyukur atas apa yang telah diberikan Tuhan, yang sebenarnya adalah anugerah untuk kita gunakan? Teruslah berjuang dalam hidup ini dengan apa yang telah Tuhan berikan kepada kita. Perjuangan-lah yang pada akhirnya memberikan harapan, bukan kekuatiran. Tuhan memberkati. Amin!  

1 komentar:

La présence de Dieu qui accompagne toujours nos vies est un mystère. Sa présence réelle qu'Il soit là ou ici, nous ne pourrons peut-être...