Senin, 27 Februari 2017

Nubuat Pedas Sang Nabi

I.       Pendahuluan
“Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa (Yer 1:5).” Dalam Sabda itu terlihat dengan jelas panggilan Allah terhadap Yeremia. Ia telah memilih Yeremia dari sediakala dan menentukannya untuk menjadi nabi-Nya.
Sabda Allah yang mengandung unsur kuat perutusan itu mengharuskan Yeremia untuk mengemban tugas yang dipercayakan kepadanya sebagai orang pilihan Allah. Dengan melihat seluruh nubuat yang terdapat dalam Kitab Yeremia, warna perutusan yang diembannya itu sungguh terasa: hukuman Allah atas bangsa Israel dan seruan kepada Israel supaya bertobat dan kembali kepada Allah mereka[1]. Tugas perutusan yang diemban Yeremia dalam menjawab Sabda Allah terangkum dalam kitabnya yang menampilkan warisan tulisan. Dari warisan tulisan itu, terdapat kesan bahwa ia juga merupakan seorang pribadi yang kaya akan pengalaman. Maka yang kiranya menonjol dalam kitabnya adalah bagaimana ia sendiri mendapatkan pengetahuan tentang karya Allah dan keterlibatan-Nya dalam kehidupan sehari-hari bangsa pilihan, Israel. Berkat wawasan ini, maka Yeremia diakui sebagai nabi besar bangsanya, sehingga nubuatnya pantas dikumpulkan dan diteruskan kepada generasi penerus, bahkan dimanfaatkan, dikembangkan, menjadi semacam pedoman bagi bangsa dalam situasi bahaya, genting dan susah[2].
Dengan melihat kaya dan besarnya penghargaan terhadap Yeremia dan kitabnya, tulisan ini akan menghadirkan sebuah perikop yang terdapat dalam kitabnya itu. Tulisan ini mencoba untuk menguraikan dan memperdalam pemahaman salah satu warisan Yeremia yang terdapat dalam Yer 7:1-11 (yang dalam penanggalan liturgi 2010 merupakan bacaan pertama pada tanggal 24 Juli). Perikop itu menampilkan satu sisi dari kekayaan nabi karena meliputi identitas Yeremia sendiri sebagai sang nabi, sebuah nubuat yang bernuansa ‘pedas’ dan memiliki pesan serta gagasan teologis yang dapat diinterpretasikan sejalan dengan perkembangan sejarah umat beriman akan Allah Yahwe.

II.    Yeremia: Sang Nabi
Untuk dapat mendalami dengan lebih baik perikop Yer 7:1-11, langkah pertama yang patut menjadi perhatian adalah mengenal tokoh Yeremia dan masa karyanya. Dengan mengetahui kedua hal pokok itu pada akhirnya dapat mengantar kepada pemahaman bahwa Yeremia adalah sungguh sang nabi bagi bangsanya.
Pada bagian dari kitabnya telah dituliskan asal usul yang jelas dari nabi yang satu ini : “Inilah perkataan-perkataan Yeremia bin Hilkia, dari keturunan imam yang ada di Anatot di tanah Benyamin (Yer 1:1)”. Yeremia berasal dari keluarga bangsawan, yakni dari keluarga suku Lewi – keturunan imam – yang khusus dipilih oleh Allah bagi pelayanan rohani bangsa Israel. Dari data silsilah keluarga itu, patutlah bagi Yeremia untuk menerima jabatan/tugas pelayanan imamat. Namun tak disangka olehnya bahwa tugas yang harus ia emban adalah bukan hanya tugas untuk menjadi imam saja melainkan sebuah tugas yang telah ditetapkan oleh Allah, yakni untuk menjadi nabi-Nya. Bahkan dalam Sabda-Nya sendiri (Yer 1:5) Allah mengukuhkan Yeremia sebagai orang yang telah dikuduskan dan ditetapkan menjadi nabi bagi bangsa-bangsa.  Panggilan Allah inilah yang memantabkan Yeremia untuk menjadi pewarta Allah!
Lantas, pertanyaan selanjutnya adalah kapan masa karya sang nabi? “Dalam zaman Yosia bin Amon, raja Yehuda, dalam tahun yang ketiga belas dari pemerintahannya datanglah firman TUHAN kepada Yeremia. Firman itu datang juga dalam zaman Yoyakim bin Yosia, raja Yehuda, sampai akhir tahun yang kesebelas zaman Zedekia bin Yosia, raja Yehuda, hingga penduduk Yerusalem diangkut ke dalam pembuangan dalam bulan yang kelima (Yer 1:2-3)”. Dalam kitabnya disebutkan bahwa ia menyadari panggilan baktinya sebagai nabi pada tahun ke-13 pemerintahan raja Yosia, itu berarti sekitar tahun 627 (SM)[3]. Namun, masa bakti tugas kenabian Yeremia yang menonjol dapat dilihat pada masa sesudah pemerintahan raja Yosia sampai dengan jatuhnya kota Yerusalem di sekitar tahun 587. Situasi bangsa Israel yang dihadapi oleh nabi adalah situasi yang memperlihatkan latar belakang pembangunan[4] dan kehancuran[5] bangsa terpilih. Dalam masa yang bersituasikan penuh gejolak itu merupakan ajang pewartaan sang nabi. Maka, salah satu aspek pewartaannya bernada: mengingatkan peranan Yahwe dalam seluruh percaturan hidup Israel sebagai bangsa pilihan-Nya[6].
Boleh dikatakan bahwa Yeremia mengalami masa dinamis ketika ia menghadapi kenyataan bangsanya. Dengan melandaskan pada kekuatan imanlah ia terus menemukan gairah dan kematangan kenabian untuk mewartakan apa yang dapat dan diharapkan dari Tuhan yang mengasihi bangsa pilihan. Kesetian sebagai pewarta yang menyerukan hukuman Allah atas bangsa Israel dan seruan kepada Israel supaya bertobat agar kembali kepada Allah menjadikan Yeremia benar-benar sebagai ‘sang nabi’.

III. Nubuat Pedas
Setelah Yoyakim dinobatkan menjadi raja (sekitar tahun 609 SM) dan ia meninggalkan usaha raja Yosia dalam mengembangkan hidup religius serta pembangunan bangsa, tampillah Yeremia yang mewartakan firman Tuhan di Kenisah. Salah satu firman Tuhan yang disampaikan nabi Yeremia pada masa itu adalah perikop Yer 7:1-11.
Firman yang datang kepada Yeremia dari pada TUHAN, bunyinya: “Berdirilah di pintu gerbang rumah TUHAN, serukanlah di sana firman ini dan katakanlah: Dengarlah firman TUHAN, hai sekalian orang Yehuda yang masuk melalui semua pintu gerbang ini untuk sujud menyembah kepada TUHAN! Beginilah firman TUHAN semesta alam, Allah Israel: Perbaikilah tingkah langkahmu dan perbuatanmu, maka Aku mau diam bersama-sama kamu di tempat ini. Janganlah percaya kepada perkataan dusta yang berbunyi: Ini bait TUHAN, bait TUHAN, bait TUHAN, melainkan jika kamu sungguh-sungguh memperbaiki tingkah langkahmu dan perbuatanmu, jika kamu sungguh-sungguh melaksanakan keadilan di antara kamu masing-masing, tidak menindas orang asing, yatim dan janda, tidak menumpahkan darah orang yang tak bersalah di tempat ini dan tidak mengikuti allah lain, yang menjadi kemalanganmu sendiri, maka Aku mau diam bersama-sama kamu di tempat ini, di tanah yang telah Kuberikan kepada nenek moyangmu, dari dahulu kala sampai selama-lamanya. Tetapi sesungguhnya, kamu percaya kepada perkataan dusta yang tidak memberi faedah. Masakan kamu mencuri, membunuh, berzinah dan bersumpah palsu, membakar korban kepada Baal dan mengikuti allah lain yang tidak kamu kenal, kemudian kamu datang berdiri di hadapan-Ku di rumah yang atasnya nama-Ku diserukan, sambil berkata: Kita selamat, supaya dapat pula melakukan segala perbuatan yang keji ini! Sudahkah menjadi sarang penyamun di matamu rumah yang atasnya nama-Ku diserukan ini? Kalau Aku, Aku sendiri melihat semuanya, demikianlah firman TUHAN (Yer 7:1-11)”.
Firman Allah yang disampaikan itu biasa disebut dengan ‘kotbah kenisah’ karena isinya lebih terpusat pada Kenisah di Yerusalem[7]. Dalam kitab Yeremia dapat ditemukan perikop paralel dari kotbah Yer 7, yakni Yer 26.
Kotbah kenisah dalam Yer 7:1-11 menampilkan kecaman keras dan sangat mencekam bagi bangsa Israel. Nabi mengejutkan telinga pendengar yang datang ke kenisah untuk melaksanakan peribadatan dengan menyatakan bahwa kepercayaan mereka kepada Allah yang melindungi akan tidak ada sama sekali artinya. Kecaman ini sungguh terasa pedas bagi telinga bangsa Israel yang selama ini mempercayai bahwa Allah Yahwe akan mendengarkan seruan umat yang datang kepada-Nya. Bahkan kecaman itu semakin terasa amat pedas ketika sang nabi bernubuat bahwa kenisah itu pantas untuk dihancurkan seperti Allah telah menghancurkan kenisah Silo[8] (Mzm 78: 60-61).
Dalam nubuatnya itu, nabi dengan keberaniannya memberikan kritik terhadap praktik ibadat para pengunjung di kenisah (ay 2). Bukan kepada mereka yang sudah kehilangan semangat hidup religiusnya nabi mengalamatkan kritiknya itu melainkan kepada para pengunjung di kenisah yang menganggap diri sebagai orang Israel sejati/saleh. Kritik pedas sang nabi nampaknya diarahkan pada praktik ibadat – diikuti dengan membawa persembahan – yang dilakukan oleh mereka yang merasa saleh tersebut. Nabi melihat bahwa para ‘pemuja Allah Yahwe’ itu nampaknya sekadar mengikuti tradisi bahwa Yahwe sudah puas dihormati dengan persembahan dan dupa. Bagi mereka pelaksanakan ibadat dan yang diikuti dengan persembahan diyakini akan mendapat perlindungan kuasa-Nya, sekalipun hati dan tingkah laku mereka jahat. Keyakinan yang mendasari mereka untuk hanya melakukukan peribadatan sebagai sarana untuk mendapatkan perlindungan Tuhan dapat ditemukan dalam Mzm 89 dan 132. Sebuah pendasaran iman yang hanya sebatas ranah kultis dan tidak meliputi ranah praktis!
Nabi memulai kecamannya pada ay 3 dengan mendaftar gelar-gelar Yahwe: Tuhan semesta alam, Allah Israel, untuk menekankan kuasa dan wibawa Tuhan atas semuanya, dan bukan terikat pada suatu tempat[9]. Ayat ini kemudian dilanjutkan dengan tuntutan suatu perbuatan bagi umat Israel sebagai syarat agar Tuhan berkenan tinggal di tengah umat. Pertama disebutkan kewajiban bagi Israel untuk tidak mudah percaya terhadap pewartaan nabi-nabi palsu yang menyerukan kedustaan: “Ini bait Tuhan, bait Tuhan, bait Tuhan” (ay 4). Perwartaan para nabi palsu itu dipandang Yeremia dapat menyesatkan Israel dalam melaksanakan ibadat kepada Allah. Dalam ay 5-6 nabi menyerukan agar Israel memperbaiki tingkah langkah dan perbuatan dengan melaksanakan keadilan di antara mereka masing-masing. Mereka dituntut untuk memperlakukan dengan adil orang yang tidak berdaya, orang asing yang tinggal di negeri itu, yaitu piatu dan janda serta semua orang yang tidak lagi mempunyai keluarga (Mzm 10:14.18; 68:6; 146:9; Yes 1:23; Ul 10:18). Selanjutnya, Israel dituntut untuk tidak menumpahkan darah orang yang tidak bersalah – seperti Daud yang merencanakan terbunuhnya Uria dan merebut istrinya serta bagaimana Ahab membunuh Nabot untuk mendapatkan kebun anggurnya – karena kurbannya adalah orang yang disingkirkan dan tidak mempunyai jaminan hukum. Tuntutan terakhir yang disampaikan Yeremia adalah agar Israel tidak mengikuti allah lain. Nampaknya tuntutan terakhir ini menyadarkan Israel untuk kembali kepada Allah mereka dan tidak berbakti kepada allah lain sebagaimana yang dikecam oleh nabi dalam Yer 7: 16-20. Nampaknya nabi menekankan pada dosa vertikal (dengan Allah) dan horisontal (dengan sesama/sosial) yang pada akhirnya akan merugikan dan menjadi sumber kemalangan bagi mereka sendiri.  
Di tengah nubuat pedas dan tuntutan yang disampaikan, ternyata nabi juga menampilkan nubuat harapan (ay 7). Harapan itu adalah bila Israel memperbaiki tingkah langkah dan perbuatannya serta dengan sungguh-sungguh melaksanakan keadilan di antara mereka masing-masing, maka Yahwe akan bersedia untuk tinggal di tanah yang telah diberikan kepada nenek moyang mereka, dari dahulu kala sampai selama-lamanya. Namun, sepertinya harapan itu masih menjadi sebuah tujuan yang hendak dicapai karena pada kenyataannya (ay 8-10) mereka masih percaya kepada perkataan dusta yang tidak memberi faedah, mencuri, membunuh, berzinah dan bersumpah palsu, membakar korban kepada Baal dan mengikuti allah lain yang tidak mereka kenal; kemudian datang berdiri di hadapan Allah di rumah yang atasnya nama-Nya diserukan, sambil berkata: “Kita selamat, supaya dapat pula melakukan segala perbuatan yang keji ini”! Kenyataan dosa[10] yang dibuat oleh Israel inilah yang mambuat Yahwe dengan perantaraan Yeremia menubuatkan kehancuran kenisah di Yerusalem (12-15) sebagai tempat-Nya bertahta di tengah umat. Sebab Ia sendiri melihat kejahatan yang dibuat oleh mereka yang memiliki keyakinan bahwa pelaksanakan ibadat dan yang diikuti dengan persembahan akan mendapat perlindungan kuasa-Nya, sekalipun hati serta perbuatan mereka jahat.
Nubuat tentang penghancuran kenisah Yerusalam yang disampaikan oleh Yeremia sebagai reaksi atas tindakan kejahatan Israel sungguh tidak dapat diterima oleh mereka. Mereka percaya bahwa Yahwe akan tetap tinggal bersama umat-Nya dengan tinggal di kenisah sebagai tahta-Nya di dunia (Mzm 89 dan 132). Namun keyakinan itu kemudian digugat olah Yahwe sendiri sebab melihat tingkah laku Israel yang hanya mementingkan tindakan kultis peribadatan sebagai syarat utama untuk menyenangkan hati-Nya. Nubuat pedas yang dilancarkan oleh Yeremia – sebagai jalan untuk menyadarkan – tidak dapat diterima oleh telinga bangsa Israel karena bagi mereka tidaklah mungkin jika Allah sendiri yang akan menghancurkan tempat-Nya seperti peristiwa di Silo.

IV. Pesan dan Gagasan Teologis
Perwartaan Yeremia memiliki keterpusatan pada ketaatan terhadap kehendak Yahwe, kesetiaan kepada perjanjian Allah yang telah mengambil Israel sebagai bangsa pilihan-Nya. Dalam hal ini ia tidak berbeda dengan nabi-nabi sebelumnya yang ingin menekankan kasih setia Yahwe dengan kesediaan untuk menerima kembali umat kesayangan yang telah tidak setia kepada-Nya.
Dalam banyak kesempatan Yeremia telah bernubuat untuk mengajak Israel bertobat (Yer 2:2-3; 3:12; 3:19-20) dan perikop Yer 7:1-11 merupakan salah satu di antaranya. Dalam seluruh perikop – dan juga dapat diikutkan ay 12-15 – nubuat pedas yang berisikan kecaman bagi Israel ini berisikan tiga hal pokok yang ingin disampaikan: percaya, nama dan allah lain[11]. Ketiga kata kunci itu digunakan untuk menunjukkan betapa bangsa yang terpilih itu gagal dalam percaya kepada Allah dan nama-Nya yang besar, tidak seperti leluhur mereka yang setia kepada-Nya. Abraham dan Yakub dulu percaya kepada nama Allah dengan berlaku setia kepada perjanjian-Nya (Kej 13:14-17; 15:18-21; Kel 3:7-8). Pada kenyatannya mereka (Israel) lebih memilih untuk menyembah kepada allah lain yang tidak mereka kenal sebagaimana kecaman nabi terhadap penyembahan berhala yang menyebar luas di mana-mana (Yer 7:16-20). Ketiga kata kunci itu ditampilkan oleh nabi untuk mengajak Israel agar kembali setia kepada Allah dengan mencontoh para leluhur mereka. Ajakan itu diikuti dengan sebuah ancaman – Tuhan sendiri akan menyerahkan kenisah dan tempat itu untuk dihancurkan seperti pernah terjadi di Silo – dengan maksud agar Israel gentar dan kembali kepada Allah mereka.
Ancaman yang mengetengahkan penghancuran Israel merupakan sebuah nubuat yang menggugat bagi telinga bangsa Israel. Kepercayaan yang familiar dalam lingkungan mereka mengatakan bahwa Allah pasti akan tinggal selalu bersama umat pilihan-Nya, yakni dalam kenisah-Nya. Kepercayaan yang selama ini menjadi pegangan fundamental bagi kehidupan religius bangsa Israel itu telah digugat dalam nubuat Yeremia. Dengan kotbah kenisah, Allah melalui nabi Yeremia ingin memurnikan kepercayaan Israel bahwa Ia sendiri lebih besar dibandingkan dengan simbol di bumi yang dipandang sebagai tempat/tahta kehadiran-Nya[12]. Demikian pula dengan kenisah di Yerusalem. Oleh karena itu, Ia memperingatkan bangsa terpilih itu untuk tidak hanya memusatkan perhatian mereka (dengan ibadat kultis) kepada tempat kenisah sebagai sarana perjumpaan dengan Allah saja. Kenisah bukanlah pula tempat untuk menyelamatkan orang jahat yang mencari perlindungan dari Allah. Ia mengingatkan bahwa perjumpaan dengan Allah pertama-tama harus diikuti dengan pembangunan hati dan tingkah laku yang baik – dengan melaksanakan tuntutan Allah pada ay 5-6 – sehingga pokok harapan yang disampaikan nabi dalam ay 7 dapat dialami.

V.    Refleksi dan Penutup
Sang nabi dalam kotbah kenisahnya mengejutkan para pengengar, yakni Israel, yang datang ke kenisah untuk berdoa dengan menyatakan kepercayaan mereka kepada Allah yang melindungi tidaklah selalu menjadi pegangan religius yang fundamental. Bahkan dengan berani ia menyatakan bahwa kenisah itu pantas untuk dihancurkan! Nubuat yang terasa pedas bagi telinga Israel itu dengan tegas mengkritik bahwa penghormatan berhala dan kemunafikan umat sepantasnya dijawab dengan murka Allah. Ancaman yang disampaikan Yeremia nampaknya sebuah nubuat kehancuran. Namun di balik itu semua, nubuat yang disampaikan oleh nabi – sekalipun itu pedas bagi telinga Israel – ingin menunjukkan kasih setia Allah Yahwe untuk menyadarkan dan menerima kembali umat yang menolak-Nya. 


*  *  *


Daftar Pustaka
Boadt, Lawrence C.S.P.,
         1982       Jeremiah 1-25, Michael Glazier, Inc., Delaware.
Clements, R.E.,
         1988       Jeremiah: Interpretation, A Bible Commentary for Teaching and Preaching, John Knox Press, Atlanta.
Courturier, Guy P. C.S.C.,
1968       “Jeremiah”, dalam Raymond E. Brown S.S. dkk. (eds), The New Jerome Biblical Commentary, Prentice Hall, New Jersey.
Darmawijaya, St.,
         1990       Warta Nabi Sebelum Pembuangan, Kanisius, Yogyakarta.
Lembaga Biblika Indonesia
         2005       Kitab Suci Katolik, Lembaga Biblika Indonesia.
Marx, D.,
1977              Penjelasan Singkat tentang Kitab Yeremia, Gunung Mulia, Jakarta.






1 Dapat dilihat dalam D. Marx, Penjelasan Singkat tentang Kitab Yeremia, Gunung Mulia, Jakarta 1977, 12.
[2] St. Darmawijaya, Warta Nabi Sebelum Pembuangan, Kanisius, Yogyakarta 1990, 78-79.
[3] St. Darmawijaya, Warta Nabi Sebelum Pembuangan, 79.
[4] Pada masa raja Yosia diadakan pembangunan religius bangsa Isarel yang berlandaskan pada ditemukannya bagian dari Kitab Ulangan yang memiliki pesan utama ajakan untuk setia kepada perjanjian Tuhan.
[5] Raja Zedekia memberontak kepada Babel (589 SM) sehingga pada akhirnya Yerusalem dikepung dan tentara Babel tidak membiarkan Yerusalem tetap berdiri dengan mengancurkan kota dan Kenisah (587 SM).
[6] Dapat dilihat dalam St. Darmawijaya, Warta Nabi Sebelum Pembuangan, 80.
[7] Dapat dilihat dalam R. E. Clements, Jeremiah: Interpretation, A Bible Commentary for Teaching and Preaching, John Knox Press, Atlanta 1988, 43-44.
[8] Yer 7:1-11 semakin lengkap dengan tambahan ay 14 yang menyatakan bahwa Allah akan menghancukan kenisah di Yerusalem seperti Ia pernah menghancurkan kenisah di Silo.
[9]  St. Darmawijaya, Warta Nabi Sebelum Pembuangan, 131.
[10] Kenyataannya bahwa Israel telah melawan perintah Allah sebagaimana yang tertulis dalam Kel 20:1-13.
[11] Dapat dilihat dalam Lawrence Boadt, C. S. P., Jeremiah 1-25, Michael Glazier, Inc., Delaware 1982, 64.
[12] Dapat dilihat dalam R. E. Clements, Jeremiah: Interpretation, A Bible Commentary for Teaching and Preaching, 46.
Rama sebagai Konselor

Rama sebagai Konselor adalah sebuah tulisan yang bagi saya adalah sebuah pengalaman dan hasil pendidikan selama kuliah konseling. Dalam tulisan ini saya berusaha untuk menyampaikan beberapa hal penting yang diterima selama proses perkuliahan konseling. Beberapa hal itu dikatakan penting tidak hanya sebatas pada ranah pemenuhan nilai saja melainkan yang lebih utama adalah saya dapat men-share-kan sebuah pemahaman yang sangat berguna bagi tugas pelayanan saya sebagai pribadi yang akan menjadi imam-religius. Dengan kata lain, materi yang akan saya sampaikan ini merupakan suatu hal yang relefan bagi perjalanan panggilan imamat saya kelak!

1.      Latar Belakang
Romo …, bisakah saya berbicara dengan Romo sebentar. Soalnya, saya  sedang mengalami masalah dengan isteri saya”! Keluhan pengalaman seperti itu sepertinya telah menjadi hal yang sangat familiar bila mengaitkannya dengan keberadaan seorang romo/pastor yang berkarya di mana pun, terlebih yang berkarya di paroki. Seorang semanaris/frater yang telah ditahbiskan menjadi seorang romo adalah sebuah anugerah yang menjadikan pribadi itu menjadi pribadi yang memiliki nilai lebih di mata umat Gereja. Romo menjadi pribadi yang lebih di mata umat karena ia menjadi pribadi yang dinomor satukan; seorang pribadi yang sesuai dengan tugas perutusan menjadi gembala bagi umat Allah.
Romo adalah figur utama Gereja yang menjadi orang kepercayaan bagi umat. Maka menjadi hal yang lumrah dan biasa bila menemukan sebuah keluhan seperti pada paragraf awal tadi yang menceritakan kedatangan seorang umat kepada romonya. Umat yang sedang mengalami masalah (dengan istrinya itu) berharap bahwa pastornya dapat membantu dan mengatasi masalah yang sedang dihadapi. Romo telah mendapatkan nilai kepercayaan di mata umat! Mungkin, pengalaman atau kasus seperti pada bagian awal tadi adalah satu di antara banyak kasus yang dihadapai oleh seorang romo dalam karyanya. Berhadapan dengan situasi familiar - bahwa romo adalah seorang figur kepercayaan - yang sering dijumpai dalam pengalaman pastoral, maka bagi saya secara pribadi menilai bahwa seorang romo harus membekali dirinya tidak hanya dengan pengetahuan filsafat-teologi saja! Seorang romo haruslah juga membekali dirinya dengan pengetahuan tentang dunia konseling karena ia akan berhadapan dengan situasi Gereja yang kompleks, di antaranya adalah menghadapi umat yang sedang mengalami permasalahan dengan kehidupan duniawi-dengan sesama, seperti pada contoh kasus di atas. Situasi demikianlah yang menuntut seorang romo untuk harus juga menjadi seorang konselor!
Situas di lapangan pastoral memanglah situasi yang tak terduga. Seorang romo tidak dapat secara eksplisit memperkirakan permasalahan umat yang akan dihadapinya. Dengan memiliki potensi sebagai konselor, seorang romo diharapkan mampu untuk dapat menghadapi situasi insidental yang dialami oleh umat. Pengetahuan yang cukup tentang dunia konseling setidaknya memberikan sumbangan lebih bagi seorang romo untuk memberikan pelayanan “insidental” kepada umat (klien) yang mengalami masalah bila meminta bantuan. Lantas, manuver apa yang seharusnya dapat diberikan oleh seorang romo-konselor dalam “kamar tamu”-nya bila berhadapan dengan umat yang memiliki masalah cukup kompleks? Langkah apa yang secara tepat dapat dilakukan bila umat yang datang kepada romo (dengan masalahnya) dalam keadaan insidental? Pada bagian selanjutnya akan ditampilkan beberapa poin yang bagi saya memberikan sumbangan pengatahuan konseling untuk membantu dalam tugas pelayanan-pastoral ke depan, terutama bagi saya!

2.      Rama sebagai Konselor
Ketika seorang romo berkecimpung dalam dunia karya, entah yang bertugas di dunia pendidikan, karya kategorial, formasio (masa pembentukan bagi para calon), hingga sampai pada pelayanan pastoral-parokial, akan tidak luput dari perjumpaan dengan umat Gereja. Perjumpaan dengan umat inilah yang tidak menutup kemungkinan atas pandangan bahwa sosok seorang romo adalah sosok yang diutamakan dalam kehidupan umat. Maka, akan menjadi hal yang dapat diterima bila umat melihat romonya adalah seorang pribadi yang diharapkan mampu untuk membimbing dan mengarahkan perjalanan domba gembalaannya. Bahkan, tidak dapat disangkal pula bila umat yang sedang mengalami permasalahan datang kepada seorang romo. Kepercayaan inilah yang sebenarnya memberi entry point untuk memiliki kepercayaan dari umat yang digembalakannya. Namun permasalahannya, mampukan seorang romo memiliki potensi untuk menghadapai umat dengan pelbagai keperluan dan permasalahannya? Atas dasar inilah menjadi hal yang sangat relevan bila sang romo dengan pelayanan “kamar tamu”-nya memberikan sumbangan positif bagi domba yang datang kepadanya. Atas dasar itu pula yang menuntut seorang romo untuk menyediakan diri untuk menjadi seorang konselor. Tuntutan inilah yang mendasari sebab di jaman yang terus berkembang, umat tidak hanya berhadapan dengan permasalahan iman melainkan juga dengan permasalahan yang bersinggungan langsung dengan kehidupan duniawi (permasalahan dengan keluarga, tetangga, ekonomi, pendidikan, mentalitas pribadi, emosional dan lain sebagainya).

Yang perlu dihindari
Waah …, Romo …, saya sangat kecewa dengan kedua orang tua saya karena mereka tidak mengerti betapa saya sedih tatkala mereka tidak merestui hubungan saya dengan Hana!”, begitulah salah satu dari sekian contoh-contoh permasalahan/kasus yang dimiliki oleh umat yang datang kepada romo. Kasus itu adalah salah satu dari antara mudika yang sedang mengalami masalah dalam praksis kehidupan. Permasalahan yang dimiliki umat semakin kompleks dan beraneka ragam sesuai dengan umur serta status sosialnya dalam masyarakat. Maka yang datang untuk meminta bimbingan kepada romo sangatlah sulit untuk diprediksikan. Oleh karena itu, romo pun harus siap untuk menghadapi umat yang datang kepadanya!
Menghadapai situasi yang menuntut romo untuk memberikan bantuan kepada uamt yang sedang mengalami sebuah masalah bukanlah hal yang mudah. Romo tidak hanya dituntut untuk memberikan sesuatu dan umat pasti puas! Figur romo diharapkan dapat menjadi lebih dari sekadar romo; romo yang mampu menjadi seorang konselor sehingga siap dalam menghadapi umat (klien). Namun sayangnya, bila umat yang bermasalah datang kepada romo dengan pelbagai permasalahannya malah ditanggapi dengan tanggapan yang tidak berbobot! Artinya, umat hanya mendapatkan peneguhan saja sehingga masalah yang seharusnya diselesaikan tidak tersentuh. Begitulah kiranya bila figur seorang romo dalam tugas pelayanannya hanya mengandalkan kemampuan pengetahuan rasio-reflektif saja! Umat yang datang sebenarnya membutuhkan tanggapan empatik akan tetapi dijamu dengan tanggapan non-empatik dari romo. Tanggapan non-empatik itu dapat menghalangi komunikasi yang lebih dalam (the roadblocks to communication) sehingga mengakibatkan terhalangnya umat (sebagai mitra komunikasi-MK/konseli) untuk mengungkapkan perasaan dan persoalannya kepada romo (pembimbing/P). Oleh karena itu, menjadi hal yang penting untuk mengenali tanggapan non-empatik itu sehingga romo tidak mengecewakan umat yang datang kepadanya. Beberapa tanggapan non-empatik itu adalah:
a)      Mempersamakan persoalan MK dengan P sendiri atau dengan persoalan orang lain.
Apabila P berkata: “Saya dulu juga pernah demikian!”, maka MK akan mendapat kesan bahwa persoalannya dianggap tidak istimewa. Demikian pula jika P berkata tentang persamaan pengalaman MK dengan pengalaman orang lain: “Ibu saya dulu juga memiliki pengalaman yang sama denganmu!”, maka yang akan terjadi adalah yang menjadi pusat dalam bimbingan bukan lagi MK melainkan P. Situasi demikian “mematikan” MK untuk mengungkapkan semua perasaan atau persoalaan yang dimiliki.
b)      Menganggap persoalan MK sebagai persoalan umum dan biasa.
Kalau P menanggap dan menilai bahwa permasalahan MK sebagai permasalahan yang umum serta biasa dengan berkata, “Ah …, itu biasa”, maka MK tidak akan melanjutkan pembicaraannya. Tanggapan, “Ah …, itu biasa” tidak akan menghapus perasaan atau persoalan yang dihadapi MK. Tanggapan demikian hanya menghentikan percakapan dalam bimbingan sehingga komunikasi yang diharapkan pun tidak terjadi.
c)      Menyebutkan suatu kebenaran.
Apabila dalam suatu saat umat mengungkapkan kesedihannya karena adiknya meninggal dunia mendengar P berkata: “Allah telah menerima adikmu di surga”! Tanggapan seperti itu rasanya hanyalah nasihat pada tarap pikiran-akal saja dan bukan untuk mengobati perasaan-permasalahan. Tanggapan seperti itu sebenarnya benar namun tidak tepat dengan situasi yang sedang dihadapi oleh umat sebab umat itu tidak membutuhkan nasihat surgawi saja melainkan sebuah perhatian penuh dari sang gembalanya!
d)     Mengadili.
Apabila P memberi tanggapan “Itu benar”, “Saya sangat setuju dan sependapat denganmu”, “Itu sangat bijaksana”, sebenarnya P sudah mengadili MK. Walaupun tanggapan itu sepertinya memberikan pujian terhadap persoalan yang dihadapi MK namun akan berakibat bahwa MK berfikir kembali untuk melanjutkan sharing persoalannya. MK khawatir bahwa apabila dalam pembicaraan selanjutnya ia menungkapkan perasaan/pernyataan negatif, P juga akan mengadilinya dengan pernyataan yang negatif pula. Dalam hal demikian, P seringkali dianggap sebagai romo yang menghakimi atau mengadili orang yang mencurahkan perasaan/persoalan kepadanya.
e)      Memberikan pertolongan rohani sebelum waktunya.
Sebuah kalimat atau pernyataan yang dapat menghentikan pembicaran dalam bimbingan kamar tamu romo adalah kalimat rohani: ayat Kitab Suci, kebenaran Kitab Suci, renungan pendek dan doa. Itu semua adalah baik namun kurang tepatlah bila diungkapkan dalam situasi bimbingan dengan uamt yang sedang mengalami permasalahan. Maka langkah yang lebih baik dalam bimbingan adalah tidak langsung memberikan pertolongan rohani kepada MK melainkan terlebih dahulu perasaan dan pergolakan batin MK ditangkap, dipahami dan dipantulkan dalam bantuan yang tepat. 
f)       Menasihati.
Salah satu yang sering dijumpai dalam kegiatan bimbingan adalah menasihati. P langsung memberikan nasihat kepada MP pada bagian awal pembicaraan tanpa memahami lebih lanjut permasalahan yang dihadapi. Padahal, dalam keadaan seperti itu MK sebenarnya lebih membutuhkan pengertian dan pemahaman dari P (romo) sehingga ia dengan leluasa dapat mengungkapkan perasaan/persoalan yang dihadapinya.
Dengan mengetahu beberapa tanggapan non-empatik dalam bimbingan yang harus dihindari, seorang romo diharapkan mampu untuk memberikan yang terbaik bagi umat yang dibimbingnya. Seorang romo yang berhadapan dengan klien/umatnya sendiri diharapkan tahu akan situasi umat sehingga ia bersedia untuk menjadi pendengar setia untuk memahami apa yang sedang dikeluhkan oleh umat. Oleh karena itu, kecenderungan yang biasa terjadi dalam praktik kamar tamu dengan memberikan tanggapan-tanggapan non-empatik dapat dihindari sehingga umat dengan rela hati untuk mengungkapkan seluruh perasaan akibat permasalahan yang sedang dihadapi. Mengindari beberapa tanggapan non-empatik adalah sebuah manuver tepat bagi seorang romo untuk melangkah maju menjadi konselor bila berhadapan dengan umat-klien yang sedang mengalami permasalahan yang sedang dihadapi.

Menjadi konselor
Adapun langkah selanjutnya (setelah menghindari beberapa tanggapan non-empatik), seorang romo dimampukan untuk memiliki potensi menjadi seorang konselor dengan memperhatikan beberapa aspek pelancar komunikasi. Aspek-aspek itulah yang menjadi sebuah modal untuk membangun komunikasi yang efektif dengan umat yang meminta bimbingan dengannya. Dengan kata lain, selain memperhatikan beberapa tanggapan yang harus dihindari, seorang romo dalam kegiatan bimbingannya juga harus memperhatikan beberapa tanggapan yang konstruktif untuk membangun penerimaan dan pemahaman umat yang dibimbing.
Ketika umat datang kepada romonya dengan meminta agar mendapat bantuan atau setidaknya mendapat perhatian, maka langkah pertama yang seharusnya dilakukan adalah dengan mendengar pasif/diam. Ada pepatah yang mengatakan “silence is golden”. Dengan sikap diam yang dimiliki, seorang romo memberikan kesempatan kepada umat yang sedang mengalami masalah itu untuk mengungkapkan masalahnya, memberi kesempatan untuk mengalami proses katarsis dan meluapkan/mengungkapkan perasaan/emosinya dan yang lebih penting ialah bahwa ia diterima dengan hangat. Selanjutnya, romo berusaha untuk memberikan tanggapan pengakuan-penerimaan (acknowledgment respons) dengan isyarat non-verbal (mengangguk, tersenyum, dan menunduk ke arah depan) maupun verbal (dengan berkata, “Ya …, saya mengerti”, “Oo …, begitu…”). Ketika umat tadi telah merasa nyaman dengan tanggapan penerimaan yang diberikan maka romo kemudian mengajaknya untuk membuka pintu atau mengundang/mengajaknya untuk bicara lebih banyak.
Ketiga langkah di atas adalah cara mendengarkan pengungkapan perasaan/persoalan umat dalam bimbingan yang masih memiliki keterbatasannya. Ketiga langkah dasar dalam bimbingan tadi kurang memperlihatkan interaksi. Bila diperhatikan ternyata konseli yang lebih aktif sehingga ia hanya tahu bahwa ia didengarkan. Namun di lain pihak, ia mungkin belum mengetahui apakah romo/konselor menerima dirinya dengan persoalannya sebab persoalan yang lebih mendalam dan penyebab dari persoalannya belum tergali. Ketiga cara awal itu kiranya masih relatif dan termasuk pasif serta tidak menunjukkan bahwa umat sudah dipahami. Oleh karena itu, akan menjadi tidak lengkaplah bila seorang romo dalam kegiatan bimbingannya hanya mempraktikkan ketiga cara tadi. Seorang romo bila telah mempraktikkan aspek-aspek tanggapan konstruktif - seperti dalam ketiga langkah tadi - sebenarnya telah membangun sebuah komunikasi yang baik dengan konseli. Hanya saja masih dibutuhkan satu hal lagi yang kiranya menjadi senjata utama untuk menghadapi umat yang bermasalah, yakni: mendengarkan aktif (acktve listening)!
Mendengarkan aktif (acktve listening) merupakan sebuah langkah yang sangat diperlukan dalam proses bimbingan yang diberikan romo kepada umat yang datang kepadanya dengan aneka permasalahan. Sekalipun bagi seorang romo, kegiatan bimbingan adalah sebuah kegiatan yang tidak dapat diprediksikan/insidental maka setidaknya mendengarkan aktif harus dimilikinya. Langkah ini sangat penting karena dalam mendengarkan aktif, penerima/ pendengar berusaha mengerti perasaan pembicara serta arti pesan yang dikirimkannya. Kemudian pengertian yang ditangkap itu dirumuskan dalam kalimat dan dikirimkan kembali kepada pengirim. Hal yang perlu diperhatikan adalah penerima (romo) tidak mengirimkan pesannya sendiri (misal: penilaian, nasihat, analisa dan pertanyaan). Yang mejadi tanggapan balik hanyalah apa yang dianggapnya sebagai arti pesan dari si pengirim. Bagian yang menjadi umpan balik adalah untuk menyesuaikan ketepatan si penerima dalam mendengarkan sharing si pengirim. Hal ini yang yang dapat meyakinkan pengirim (umat) bahwa ia dimengerti oleh romo pada saat ia mendengar pesannya ”diumpan balikkan” dengan tepat. Dengan kata lain bahwa umat yang mengungkapkan perasaan atas permasalahan yang dihadapi menyadari ”dipahami” oleh romonya.
Mendengarkan aktif (acktve listening) membantu romo sebagai konselor untuk mengembangkan hubungan hangat dengan umat (klien); mendorong terjadinya katarsis (perasaan negatif berkurang/hilang dengan jalan mengungkapkannya secara terbuka); menolong umat untuk tidak terlalu takut terhadap permasalahan yang dihadapi; dan pada akhirnya melatih umat itu sendiri untuk mengarahkan dirinya, bertanggung jawab dan berdiri sendiri. Dengan demikian, memudahkan umat yang bermasalah untuk memecahkan masalahnya sendiri!
Berikut ini adalah sebuah contoh konkrit yang menunjukkan bagaimana seorang romo yang menolong mudikanya dengan jalan mendengarkan aktif:
Budi    : “Romo..., Hana tidak bersedia untuk menemani saya pergi ke Gamping untuk                 pertemuan mudika!”
Romo  : “Kamu sepertinya marah ya dengan Hana?”
Budi    : “Ya Romo ..., saya tidak ingin berteman lagi dengan dia. Saya tidak sudi untuk menemuinya!”
Romo  : “Kamu begitu marah sehingga tidak mau untuk berteman dan melihatnya lagi?”
Budi    : ”Em ..., saya kira saya harus tetap berteman dengan dia tapi ..., sulit Romo untuk menahan emosi marah saya ini!”
Romo  : ”Kamu ingin tetap berteman dengannya tapi merasa sulit untuk tidak marah terhadap Hana!”
Budi    : ”Sebenarnya saya tidak perlu untuk marah, kalau dia bersedia untuk menemani saya!”
Romo  : ”Hana tidak mudah untuk diperintah sesuai dengan kehendakmu sekarang!”
Budi   : ”Benar. Ia sekarang bukan anak kecil lagi sebab ia sudah menjadi remaja dewasa dan              sepertinya dia adalah pribadi yang menyenangkan!”
Romo  : ”Kamu lebih menyukainya?”
Budi   : ”Ya ..., tapi saya merasa sulit untuk mengajaknya. Saya sudah terbiasa untuk selalu mengajaknya pergi. Em ..., mungkin kami akan tidak saling bermusuhan bila saya membiarkannya untuk tidak harus menemani saya. Bukankah begitu Romo ...?”
Romo  : ”Ya ..., bila kamu mencoba untuk mengalah kiranya situasi ini akan menjadi lebih baik.”
Budi    : ”Ya ..., mungkin saja hal itu dapat terjadi. Saya akan mencobanya!”
Pada bagian percakapan itu terlihat bagaimana romo terus menerus menggunakan mendengarkan aktif sehingga masalah yang dihadapi tetaplah menjadi masalah Budi. Dengan mendengarkan aktif, romo membantu Budi untuk mengurangi/menghilangkan rasa marah dan mengajaknya untuk mulai mengadakan pemecahan persoalan dengan melihat dirinya secara lebih mendalam. Keadaan itulah yang pada akhirnya menghantarkan Budi untuk sampai pada penyelesaian masalah dan berkembang menjadi seorang yang bertanggung jawab serta mengarahkan pemecahan persoalan sendiri. Inilah letak manfaat dalam mendengarkan aktif bila seorang romo menerapkannya dalam kegiatan bimbingan dengan umat yang sedang mengalami sebuah permasalahan.

3.      Siap Menjadi Konselor!
Jaman semakin berkembang dan peradaban komunitas umat Gereja pun tidak akan terlepas dari pengaruhnya. Saya menyadari bahwa kehidupan saya kelak - tatkala setelah ditahbiskan menjadi seorang imam/romo - harus berhadapan dengan situasi umat yang beraneka ragam dengan perlbagai permasalahan hidup yang dihadapi. Memang benar bila seorang romo memiliki kepercayaan di mata umat sehingga tidak dapat disangkal jika suatu saat umat yang digembalakan mengalami permasalahan akan datang kepada gembala, yakni romonya. Situasi demikianlah yang menunjukkan bahwa tidaklah cukup bagi saya (bila telah menjadi imam nanti) hanya mendasarkan pelayanan pada ranah filosofis-teologis saja; hanya berkarya di sekitar altar! Umat tidak hanya membutuhkan siraman rohani saja. Seorang imam pun dalam tugas pelayanannya juga harus memperhatikan seluruh aspek kehidupan umat secara holistik, termasuk bersinggungan dengan kehidupan awam yang berhadapan pada permasalahan hidup (mental, sosial, ekonomi dan lainnya).
Dengan melihat situasi umat ke depan yang demikian dan juga didukung dengan pengetahuan yang telah saya peroleh dalam mata kuliah koseling, secara pribadi saya menyadari betapa pentingnya diri saya untuk juga menerapkan materi ini dalam tugas pelayanan kelak. Saya menyadari pentingnya hal itu karena sudah menjadi hal familiar bila ada umat yang sedang mengalami permasalahan akan datang kepada romonya. Berbekalkan anugerah panggilan dan disertai dengan pengetahuan dasar tentang konseling (seperti beberapa poin yang saya tuliskan dalam bagian atas) menjadikan saya siap untuk memberikan pelayanan kepada umat Allah yang dipercayakan kepada saya kelak. Di samping menjadi seorang imam-religius, saya pun siap untuk menjadi konselor!

*  *  *


Daftar Pustaka
Prayitno, H., - Erman Amti
            1999               Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, Pusat Pembukuan Departemen                              Pendidikan dan Kebudayaan dengan PT Rineka Cipta, Jakarta.
Sinurat, R. H. Dj.,
            2010               Konseling-Hand Out, Fakultas Teologi – Universitas Sanata Dharma,                                   Yogyakarta.


Rangkuman:
Al-Qur’an Sebagai Sabda Allah
Studi Kristiani Mengenai Doktrin Islam tentang Pewahyuan


Membaca buku “Al-Qur’an Sebagai Sabda Allah” adalah sebuah kerangka dari usaha untuk membuka mata secara lebar dalam melihat praksis pluralitas Indonesia. Buku ini memberikan sebuah insight yang cukup mendalam terlebih bagi saya untuk dapat memahami paham Islam (terlebih dalam pemahaman pewahyuannya) karena buku ini merupakan sebuah studi doktrin Islam tentang pewahyaun secara Kristiani. Pendalaman studi Kristiani terhadap pewahyuan Al-Qur’an sebagai Sabda Allah di dalam buku ini didukung dengan penjelasan dari beberapa pokok pemikiran yang meliputi: teks Al-Qur’an ( yang berbicara tentang asal mula hingga terbentuknya Al-Qur’an menjadi sebuah Kanon), isi pokok Al-Qur’an (yang memberi penjelasan tentang eksistensia Allah, panggilan manusia dan dunia akhirat) dan peran sentral Al-Qur’an dalam kehidupan kaum muslim.
Dengan membaca dan memahami seluruh pokok pembahasan yang ada di dalam buku, secara pribadi saya dapat mengetahui satu hal pokok yang ingin disodorkan oleh sang penulis. Hal yang pokok itu adalah inti pemahaman Islam tentang pewahyuan. Islam meyakini bahwa Allah telah mewahyukan Diri kepada manusia di dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah revelasi (wahyu) dan yang juga menjadi sebuah kitab yang memuat petunjuk Allah kepada manusia. Bahkan, penekanan terhadap revelasi dan petunjuk Allah yang termuat di dalam Al-Qur’an itu dengan jelas ditunjukkan oleh Charles J. Adam sebagai “komunikasi Allah dan manusia”, yaitu “melalui sejumlah tanda dari Allah dalam penciptaan dan melalui para nabi yang sudah diutus-Nya dengan petunjuk”. Oleh karena itu, bagi kaum muslim, Al-Qur’an yang telah diwahyukan ke dalam bahasa Arab adalah Sabda Allah yang tidak terciptakan. Sabda Allah itulah yang menjadikan Al-Qur’an memiliki peran sentral dalam kehidupan kaum muslim.
Pemahaman itu kemudian membuat saya menjadi lebih tahu tentang pemahaman Islam tentang pewahyuan. Pewahyuan ternyata juga menjadi sebuah titik awal bagi landasan agama Islam sebagaimana dengan pemahaman pewahyuan dalam agama Kristen (Katolik). Bagaiamana paham pewahyuan menurut pandangan Kristiani (Katolik)? Secara jelas dalam “Konstitusi Dogmatik tentang Wahyu Ilahi” (Dei Verbum/DV) memberikan penjelasan yang mendasar tentang pewahyuan. Dalam DV 2 dijelaskan bahwa dalam kebaikan dan kebijaksanaan-Nya, Allah berkenan mewahyukan diri-Nya dan memaklumkan rahasia kehendak-Nya; berkat rahasia itu manusia dapat menghadap Bapa melalui Kristus, Sabda yang menjadi daging, dalam Roh Kudus, dan ikut serta dalam kodrat Ilahi. Selanjutnya, DV 2 menambahkan bahwa pewahyuan Allah dan keselamatan bagi mansusia nampak dalam Kristus yang menjadi pengantara dan kepenuhan seluruh wahyu. Maka, orang-orang Kristiani percaya kepada Yesus Kristus sebagai Sabda Allah yang telah menjadi manusia dan memberikan keselamatan kepada manusia atas dosa dengan kematian dan kebangkitan-Nya serta pencurahan Roh Kudus kepada seluruh umat manusia. Pewahyuan dalam Diri Yesus dari Nazareth inilah yang pada akhirnya menjadi landasan iman Kristiani dan sekaligus menjadi titik awal serta sumber kekuatan dari misi Krisrtiani ke seluruh penjuru dunia.
Dari kedua pemahaman tentang pewahyuan (menurut Islam dan Kristen) maka dapat dipahami bahwa keduanya memiliki penekanan yang sangat jelas terhadap arti Sabda Allah. Sabda Allah menurut Islam dan Kristen secara doktrinal memiliki perbedaan: Sabda Allah dalam Islam termuat pada Al-Qur’an yang diyakini sebagai Sabda Allah yang tidak terciptakan; Sabda Allah dalam Kristen secara penuh terwahyukan dalam Yesus Kristus yang diyakini sebagai Sabda Allah yang kekal. Akan tetapi dalam perbedaan itu, ternyata memiliki sebuah sisi yang menarik bahwa Sabda Allah menurut doktrin dari keduanya memiliki sebuah “fungsi yang serupa, yakni sebagai simbolisme doktrinal tentang kehadiran Allah”. Maka, menjadi semakin spesifik bila dikatakan: Al-Qur’an bagi kaum muslim dan Yesus Kristus bagi kaum Kristen adalah “mediator” antara Allah dan manusia, realitas yang sentral dalam kehidupan dari masing-masing komunitas serta sumber dari misinya!
Akhirnya, dengan membaca “Al-Qur’an Sebagai Sabda Allah: Studi Kristiani Mengenai Doktrin Islam tentang Pewahyuan” semakin membantu saya dan setiap orang yang membacanya (terlebih kaum Kristen). Bantuan itu secara nyata dapat membuka pemahaman dengan bersemangatkan aggiornamento (dari semangat Konsili Vatikan II) untuk mencoba dan berani menggali pemahaman tentang Al-Qur’an sebagaimana yang dipahami oleh umat Islam di seluruh penjuru dunia.


*  *  *  *


TENTANG TRITUNGGAL:
Usaha untuk Menjelaskan kepada Kaum Muslim


Dalam pemahaman iman orang Kristen (Katolik), keberadaan Allah Tritunggal merupakan sebuah keyakinan iman yang sangat mendasar. Dalam “tiga cara berada-Nya”, Allah diimani sebagai Allah Bapa, sebagai Yesus Kristus dan sebagai Roh Kudus (Rohul Kudus). Jikalau ingin membedakannya (bukan memisahkan dan memang tidak terpisahkan) adalah sebagai berikut: Allah, yang dengan kata lain disebut Bapa, yaitu Allah Khalik, Pencipta langit dan bumi (Kej 2:3, Mat 11:25, Kis 4:24); Firman-Nya yang disebut sebagai Anak dalam Diri Yesus Kristus (Yoh 1:1-3.14, Kol 1:15); dan Roh-Nya yang juga disebut Roh Allah, ialah Roh Pembimbing (Al Hidayat) bagi setiap orang yang bertaqwa di jalan kebenaran Allah menurut Firman-Nya (Kis 9:31, 1 Kor 3:16). Inilah Realitas misteri: yaitu Allah, Firman-Nya dan Roh-Nya yang adalah Satu dalam Zat Allah Yang Maha Esa serta tak terpisahkan; inilah Tritunggal atau Trinitas. Pengertian Allah Tritunggal, tanpa mengambil perumpamaan, sebenarnya sudah jelas tergambar dalam rangkaian: Allah, Firman dan Roh Kudus. Dari ketiga nama ini tidak dapat dipisahkan dari Satu Zat Allah yang Esa, tetapi satu sama lain memang harus dibedakan. Allah yang disebut Bapa adalah Al Khalik, Pencipta atas semesta alam. Dengan Firman-Nya, Allah melaksanakan kehendak-Nya melalui lidah para nabi dan kemudian menjadi wujud dalam kelahiran-Nya pada Diri manusia Yesus Kristus, Anak, sebagai Firman Allah yang hidup. Dengan Roh-Nya, Allah memberikan pimpinan (hidayat) kepada setiap orang yang bertaqwa kepada-Nya sampai pada kesudahan alam. Pengertian ini dapat dibandingkan dengan ayat Al Quran: “[…] namanya Al Masih Isa putera Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah)” (Ali Imran 45) dan “Sesungguhnya Al Masih, Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya” (An Nisaa 171).


Daftar Pustaka:
H. Ambrie,
            1983    Dialog Tertulis Islam-Kristen, Sinar Kasih, Jakarta.

            1983    Pandangan Kiblat: Keyakinan Trinitas di dalam Dunia Kristen, Sinar Kasih, Jakarta.
Ha… haha…, kasihan deh kamu Jen…”


Jumat siang itu, perjalanan menuju ke stasi Muktikarya sejauh kurang lebih 60 kilometer kutempuh selama satu seperempat jam. Terik matahari yang menyelimuti dengan sapaan sinarnya, menemani perjalanan pastoralku melayani umat (dalam rangka Tahun Orientasi Pastoral dan Panggilan/TOPP). Bukan hanya itu, sepinya jalan yang dilalui dengan deretan tanaman perkebunan – sawit dan karet – semakin melengkapi perjalanan penuh tantangan.
Karena menempuh jarak yang lumayan jauh, tubuh memang terasa capai. Namun, kerinduan untuk bertemu dengan umat rasanya menjadi ‘obat mujarab’. Aku merasa bahwa umat yang akan dilayani sungguh merindukan kehadiranku. Maka, ketika di kapel belum ada satu pun umat yang datang dan pintu masih tertutup dengan rapat, sembari duduk santai di atas sepeda motor, aku menunggu umat.
“Kedatangan umat agaknya terlambat karena mereka pasti banyak urusan,” pikirku dalam hati.
Kurang lebih setengah jam kemudian, ada seorang bapak yang datang. Ia adalah salah satu umat. Kedatangannya menyejukkan hati di tengah suasana penantian. Kedatangannya serasa memberikan kepastian.
“Pak…”, sapaku.
Namun tanpa basa-basi, bapak itu berkata, “Frater…, semalam diumumkan bahwa pada hari ini tidak ada pelayanan dari pastoran…”!
Mendengar kata-kata itu, rasanya ada petir yang menyambarku di siang bolong. Ada rasa menyesal karena datang. Ada rasa ingin menyalahkan umat sebab sesuai jadwal pelayanan paroki, minggu ini jelas-jelas ada pelayanan di kapel lingkungan.
Namun, aku masih bisa menutupi rasa itu dengan menjawab, “Oh…, begitu Pak ya…. Kalau begitu saya langsung pamit saja ya…”.
Ha… haha…, kasihan deh kamu Jen…” ejekku dalam hati sembari menaiki sepeda motor dan meninggalkan bapak tadi.
Ditolak umat adalah salah satu pengalamanku sebagai seorang frater TOPP-er di Paroki Para Rasul Kudus – Tegalsari, BK 20 – OKU Timur, Sumatera Selatan. Pengalaman tersebut ternyata menjadi bahan pembelajaran dan relfleksi bagi hidup.

Siap diterima dan ditolak
“Kematian dan kehidupan Yesus menjadi nyata dalam tubuh kami” (bdk. 2 Kor 4:10) merupakan tema kaul kekal kami. Bagiku, refleksi Paulus yang berjuang dalam mewartakan Sabda Tuhan – sekalipun berhadapan dengan pengalaman diterima atau ditolak – sungguh tepat jika kuhadapkan dengan pengalaman selama TOPP; dan itu menjadi refleksi bagi perjalanan hidup panggilan ke depan.
Di tengah perkembangan jaman yang terus melaju dan diikuti dengan begitu banyak tawaran dunia yang begitu menawan, penghayatan hidup panggilan sebagai (calon) imam-biarawan sungguh tertantang. Kadang, aku sendiri merasa takut dan terus bertanya, “Apa aku bisa dan mampu; Mungkin pengalaman ‘ditolak’ umat seperti dalam pengalaman di Muktikarya akan berulang lagi; bahkan lebih dahsyat dari itu”?
Rasanya, refleksi Santo Paulus tentang perjuangannya dalam menjaga panggilan perutusan menjadi daya pacu dan picu. Ya…, aku dapat menimba semangat darinya. Dalam mempersembahkan diri bagi Tuhan, aku diundang tidak hanya untuk mengalami pengalaman kebahagiaan. Niat untuk mempersembahkan diri kepada-Nya juga menuntut untuk mengalami kematian bersama Tuhan, yakni dengan mengalami pelbagai pengalaman menjatuhkan atau bahkan juga ketika ditolak.


jenli imawan, scj


La présence de Dieu qui accompagne toujours nos vies est un mystère. Sa présence réelle qu'Il soit là ou ici, nous ne pourrons peut-être...