Rabu, 28 Desember 2016

Kolekte

Kolekte – pengumpulan uang dana – mengingatkan kita akan kebiasaan orang Israel untuk mempersembahkan hasil karya yang pertama kepada Tuhan, baik hewan maupun hasil panen perdana (Im 1:3; Im 23:10-13; Ul 26:2). Orang-orang Israel mengenal kebiasaan memberi dua persepuluhan, yang menjadi tanda syukur atas anugerah dari Tuhan, berupa hasil ternak dan panen. Secara konkret pemberian itu digunakan untuk memberi makan kepada kaum Lewi yang menjalankan fungsi pelayanan sebagai imam. Sebagian lagi diberikan kepada orang-orang miskin yang sangat membutuhkan pertolongan.
Kebiasaan mempersembahkan persepuluhan ini diteruskan juga oleh para pengikut Kristus. Banyak Gereja mempraktekkan cara persembahan ini. Besarnya persembahan itu bisa  tepat sebagai persepuluhan, tetapi ada juga pemberian yang kurang atau bahkan lebih dari persepuluhan. Kita mengenal bentuk pemberian sebagian dari hasil karya atau pendapatan kita (yang secara konkret dalam bentuk uang) pada saat perayaan liturgis – baik dalam Misa atau Ibadat – dengan nama kolekte.
Pada hari Minggu, Hari Raya atau hari-hari perayaan khusus, biasanya dibuat kolekte untuk disatukan dengan bahan persembahan roti dan anggur serta bahan persembahan lain yang diarak ke altar agar diambil oleh pemimpin perayaan yang bertindak selaku Kristus yang menghargai setiap pemberian sekecil apa pun (bdk. Mat. 14:15-19). Kolekte bersama bahan persembahan lainnya seharusnya diterima dengan penuh sukacita dan dihargai dengan meletakkannya di suatu tempat yang pantas, sebaiknya dekat altar (bukan di atas meja altar), karena di atas altar hanya diletakkan bahan korban syukur Yesus Kristus yaitu roti dan anggur yang akan diubah menjadi Tubuh dan Darah Yesus Kristus.

frd. jenli, scj


 Suami Sibuk Kerja

Setiap orang dewasa, secara khusus mereka yang memutuskan untuk hidup berkeluarga, memiliki pelbagai peran dalam kehidupan, yakni sebagai pekerja atau pencari nafkah bagi keluarga. Ini ditunjukkan dengan peran suami untuk istri dan sebaliknya; serta kehadiran ayah-ibu untuk anak. Dalam keadaan tersebut, supaya semua peran dapat berjalan dengan baik, pembagian waktu untuk pelaksanaan peran menjadi penting.
Bila pembagian waktu kurang baik dan bijak, ada peran yang tidak dijalani sehingga terjadi konflik peran. Hal inilah yang kadang dialami oleh banyak pasangan suami-istri dalam hidup berkeluarga, misal: suami terlalu sibuk bekerja hingga mengurangi waktu kebersamaan dengan keluarga. Kenyataan ini yang sering diungkapkan oleh istri: “Suamiku sangat sibuk”! Dalam kasus tersebut, konflik peran terjadi ketika suami tidak memberikan waktu semaksimal mungkin untuk keluarga (istri dan anak-anak).
Memang, situasi di mana suami sibuk kerja tidak dapat dipersalahkan begitu saja. Suami kadang sebenarnya dengan berat hati meninggalkan keluarga, termasuk waktu kebersamaan, untuk mencari penghasilan bagi istri dan anak-anak. Pada ranah ini, kebijaksanaan istri untuk menyikapinya sangat dibutuhkan. Istri bisa mengutarakan kerinduannya dan kebutuhan keluarga soal kehadiran suami atau ayah di rumah. Ini untuk menyadarkan suami bahwa yang dibutuhkan oleh keluarga bukan hanya nafkah sebagai lahir, tetapi juga kebutuhan batin yang hanya bisa dipenuhi bila suami ada di rumah.
Hal lain yang bisa dilakukan – untuk menyikapi suami yang sibuk kerja – adalah meningkatkan kualitas interaksi selama suami di rumah. Interaksi dalam keluarga tidak hanya ditentukan oleh kuantitas atau lamanya waktu bersama, tetapi juga oleh kualitas interaksi selama kebersamaan berlangsung. Untuk meningkatkan kualitas kebersamaan suami-istri dapat dilakukan degan makan dan mengurus anak bersama-sama, membersihkan rumah atau melakukan aktivitas lain bersama seluruh anggota keluarga.
Akhirnya, yang perlu selalu disadari adalah bahwa keluarga dan segala aktivitasnya milik dan tanggung jawab bersama, bukan hanya milik suami atau istri. Semoga Anda, baik sebagai suami atau istri, mampu untuk semakin meningkatkan kuantitas dan kualitas kebersamaan dalam keluarga.


frd. jenli, scj

Selasa, 20 Desember 2016

 Natal Bersama Keluarga

Setelah melewati dan memaknai masa persiapan Natal, yakni masa Adven, kini perayaan kelahiran Tuhan telah tiba. Ada sukacita besar yang meliputi hati. Sukacita besar itu pertam-tama membawa suasana hati untuk bersuka cita sebab Allah yang menjadi Manusia dapat dirayakan secara manusiawi, maksudnya dapat kita rayakan sebagaimana perayaan ulang tahun pada umumnya.
Sukacita itu membawa konsekuensi besar pada peristiwa pengenangan dan penghadiran Allah yang sudi menyelamatkan umat-Nya dengan menjadi manusia seperti kita. Hal ini sejalan dengan tema Pesan Natal Bersama Persekutuan Gereja-gereja Di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI): “Hari Ini Telah Lahir Bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, Di Kota Daud” (Luk 2:11).
Sukacita yang ditawarkan dalam Natal sepatutnya juga menjadi sukacita bagi keluarga kita masing-masing. Jika Allah telah menawarkan keselamatan dalam Diri Yesus Kristus yang menjadi Manusia, maka keluarga pun seharusnya menjadi wadah keselamatan. Untuk itu, Natal tidak hanya dipandang sebagai perayaan yang memberikan sukacita secara umum saja, tetapi juga memberikan nuansa sukacita yang sangat dapat dialami secara nyata, yakni dalam lingkup keluarga.
Natal bersama keluarga adalah sebuah harapan bagi kita. Saat-saat di mana banyak dan bahkan hampir semua anggota dapat berkumpul bersama adalah ketika kita merayakan Natal. Merayakan Natal dalam keluarga menjadikan Natal itu sendiri memiliki makna yang lebih mendalam. Setidaknya ada dua poin utama jika kita ingin lebih memaknai Natal dalam keluarga. Pertama, kebersamaan dengan keluarga untuk merayakan Natal menjadikan Natal itu sendiri sebagai kesempatan untuk berbagi sukacita. Rasanya, saat inilah sebagai kesempatan yang baik untuk saling berbagi cerita dan pengalaman meneguhkan. Setiap anggota keluarga diberi kesempatan untuk saling bercerita dan mendengar. Mungkin kesempatan seperti ini jarang ditemukan pada hari-hari biasa yang lebih banyak dihabiskan untuk belajar dan bekerja.
Kedua, kebersamaan dengan keluarga untuk merayakan Natal menjadikan Natal itu sendiri sebagai kesempatan ber-rahmat untuk saling berbagi kasih. Saling berbagi rahmat untuk mengasihi adalah wujud konkret dari Natal karena refleksi tentang Allah yang menjadi Manusia semakin menjadi nyata. Maka, tepatlah jika dalam suasana Natal, keluarga mengembangkan semangat saling mengampuni – jika terdapat konflik atau salah paham antar anggota keluarga – dengan semangat kekeluargaan dan persaudaraan.
Akhirnya, selamat Natal untuk kita semua. Semoga damai Natal dapat kita alamai dan hadirkan dalam keluarga kita masing-masing. Amin!


 frd. jenli, scj
Gua Natal

Salah satu kekhasan Natal di Gereja Katolik adalah Gua Natal. Dengan Gua Natal, Gereja ingin menghadirkan kembali kisah perjumpaan Allah dengan manusia. Tradisi asal mula Gua Natal berawal dari kisah orang kudus, St. Fransiskus dari Asisi. Pada tahun 1223, Fransiskus mengunjungi kota Grecio untuk merayakan Natal.
Fransiskus menyadari bahwa Kapel Pertapaan Fransiskan di kota itu terlalu kecil untuk dapat menampung umat yang akan hadir pada Misa Natal tengah malam. Jadi, ia mendapatkan sebuah gua di bukit karang dekat alun-alun kota dan mendirikan altar di sana. Dia berharap agar Misa Natal tersebut akan sangat istimewa, tidak seperti beberapa Misa Natal sebelumnya.
St. Bonaventura dalam buku Riwayat St. Fransiskus dari Asisi menceritakannya dengan sangat baik: “Hal itu terjadi tiga tahun sebelum wafatnya. Guna membangkitkan gairah penduduk Grecio dalam mengenangkan kelahiran Bayi Yesus dengan devosi yang mendalam, St. Fransiskus memutuskan untuk merayakan Natal dengan sekhidmat mungkin. Kemudian St. Fransiskus mempersiapkan sebuah palungan, mengangkut jerami, juga menggiring seekor lembu jantan dan keledai ke tempat yang telah ditentukannya.”
Meskipun kisah itu cukup kuno, pesannya sangat jelas bagi kita yang hidup sebagai orang Katolik di jaman sekarang. Kekhasan untuk membuat gua dalam Perayaan Natal ingin mengingatkan kita bahwa Allah yang Maha Agung telah datang ke dunia untuk berjumpa dengan umat-Nya. Ia telah menjadi Yesus kecil yang terbaring di palungan dalam sebuah gua. Kehadirannya sebagai manusia menunjuk dengan jelas bahwa Allah cinta dan ingin mengampuni manusia yang berdosa.


frd. jenli, scj

Senin, 12 Desember 2016

 Sudahkah Anak Anda Aktif di Gereja?

Tidak hanya di paroki kita, ternyata sudah di beberapa paroki lain yang menunjukkan keprihatinan bahwa masih ada beberapa generasi muda Gereja (anak, remaja dan orang muda) yang kurang maksimal dalam hidup menggereja. Hidup menggereja di sini tidak hanya sebatas pada kegiatan kebaktian (Misa atau pun ibadat), tetapi juga seputar kegiatan kebersamaan (kegiatan misdinar dan orang muda). Pertanyaan yang patut kita renungkan adalah “Apakah anak Anda sudah aktif dalam hidup menggereja”?
Memang, anak tidak dapat disalahkan begitu saja jika mereka kurang dan bahkan tidak aktif di Gereja. Ada beberapa alasan yang menjadi alasannya. Pertama, kondisi bahwa anak sedang sekolah atau kerja. Banyak waktu mereka yang terpakai selama di sekolah maupun di tempat kerja. Tenaga mereka mungkin terkuras untuk itu sehingga enggan menambah kegiatan lain, termasuk acara di lingkungan dan paroki. Kedua, situasi di Gereja berbeda dengan situasi di sekolah dan tempat kerja. Di Gereja, anak bertemu dengan temannya hanya pada hari-hari terntentu saja. Mereka butuh penyesuaian diri dan lingkungan karena jarang bertemu. Tapi ketika di sekolah dan di tempat kerja, mereka bertemu hampir setiap hari. Intensitas perjumpaan ini menjadi faktor utama di mana mereka saling mempererat tali pertemanan.
Ketiga, tidak ada peraturan resmi dari Gereja yang mewajibkan dan mengharuskan anak, remaja dan kaum muda untuk ikut dalam kegiatan menggeraja; biasanya hanya sebatas anjuran meski anjuran itu seyogiyannya dipahami sebagai “aturan”. Bahkan, di Gereja tidak ada sanksi untuk itu. Hal ini berbeda dengan di sekolah atau pun tempat kerja, tak hanya diwajibkan, tetapi ada sanksi yang mengaturnya. Kelima, orang tua sengaja tidak melibatkan anak mereka untuk aktif dan terlibat dalam kegiatan menggereja. Alasan yang biasanya dilontarkan bahwa anak butuh fokus pada pelajaran di sekolah atau pekerjaan.
Bagaimana bisa mendorong anak aktif di Gereja bila situasinya demikian? Mungkin itu menjadi pertanyaan yang menggugah hati bagi para orang tua. Ada beberapa cara yang mungkin dapat digunakan untuk mendorong anak supaya terlibat dalam Gereja. Tetapi cara ini belum tentu juga efektif karena bagaimanapun juga, dorongan dan semangat untuk mengikuti kegiatan di Gereja mestinya datang dari kesadaran pribadi dan pilihan atau kehendak bebas anak.
Metode yang ditawarkan antara lain sebagai berikut. Pertama, meminta teman dekat anak yang aktif di Gereja untuk mengajak anak Anda. Kedua, bila anak Anda memiliki talenta yang berguna untuk Gereja (seperti musik, dekorasi, menyanyi, membaca sebagai lektor dan lain-lain) ajaklah ia supaya terlibat dalam Gereja. Langkah ini dipakai untuk memosisikannya sesuai dengan talenta yang dimiliki. Harapannya, anak Anda akan senang melakukan atau menjalankan kepercayaan yang diberikan dengan menggunakan talenta yang dimiliki untuk Gereja. Ketiga, perlu kesadaran bagi orang tua untuk mendorong anak supaya terlibat di Gereja, bukan malah melarangnya dengan pelbagai alasan yang dilogiskan. Untuk tawaran langkah yang terakhir ini memang perlu kesadaran dari orang tua untuk “memberi kesempatan” kepada anak supaya aktif di Gereja. Dengan mendorong anak supaya terlibat di Gereja, orang tua sebenarnya sudah melaksanakan salah satu tugas mereka, yakni: mendidik anak secara Katolik.
Semoga metode-metode ini dapat bermanfaat bagi Anda yang memegang mandat sebagai orang tua Katolik. Sekali lagi, mendorong anak supaya mau aktif dalam Gereja pertama-tama harus berangkat dari kesadaran pribadi anak itu sendiri, bukan karena paksaan atau ambisi orang tua semata.

frd. jenli, scj
Konsili Efesus

Konsili Efesus diselenggarakan di Efesus, Asia kecil, tahun 431 oleh Kaisar Theodosius II. Salah satu tujuan dari konsili ini adalah untuk melawan bidaah Nestorianisme yang mengajarkan bahwa hakikat manusiawi Yesus lebih besar dibandingkan dengan hakikat ke-Ilahian-Nya. Bidaah ini lebih menitikberatkan pada pemahaman bahwa Yesus itu lebih manusiawi dari pada Ilahi.
Konsili Efesus melawan dan menolah ajaran Nestorianisme sebagai ajaran yang sesat. Konsili mengajarkan – sebagai ajaran resmi Gereja – bahwa Yesus itu sepenuhnya manusia dan sepenuhnya Allah. Persatuan kedua hakikat itu terjadi sedemikan rupa sehingga yang satu tidak mengganggu yang lain (persatuan hipostatik).
Selain itu, konsili juga mengajarkan dua ajaran penting dalam Gereja. Pertama, konsili menegaskan bahwa Maria, sebagai ibu Yesus, adalah Bunda Allah karena ia melahirkan Allah sebagai manusia (Yesus Kristus). Kedua, konsili mengajarkan bahwa Sakramen Pengampunan (tobat) itu penting karena umat Allah dapat mengalami Kerahiman Allah atas dosa yang telah dibuatnya. Hal ini untuk menentang dan menolak ajaran Pelagianisme yang menekankan bahwa Gereja tidak membutuhkan Sakramen Pengampunan.


frd. jenli, scj

Jumat, 09 Desember 2016

Judul Buku     :    Kecerdasan Emosional: Mengapa EI Lebih Penting dari pada IQ (Terj.)
Penulis            :    Daniel Goleman
Penerbit          :    PT Gramedia Pustaka Utama - Jakarta
Tahun Terbit  :    2016

Ada realitas dalam kehidupan yang menunjuk pertanyaan: “Bagaimana mungkin seseorang yang jelas-jelas cerdas melakukan sesuatu yang tak rasional – sesuatu yang betu-betul bodoh”? Jawaban atas pertanyaan itu adalah bahwa kecerdasan akademis sedikit saja kaitannya dengan kehidupan emosional. Di sini ingin ditegaskan “yang paling cerdas di antara kita dapat terperosok ke dalam nafsu tak terkendali dan impuls meledak-ledak; orang dengan IQ (kecerdasan intelektual) tinggi dapat menjadi ‘pilot’ yang tak cakap dalam kehidupan pribadi mereka” (hal. 42).
Goleman dalam bukunya ingin menunjukkan bahwa seseorang hidup tidak hanya mendasarkan diri pada kecerdasan IQ saja, tetapi juga membutuhkan kecerdasan emosional (EQ). Orang bisa saja, di satu sisi, mengagungkan kemampuan intelektualnya dengan melihat tata dunia sebagai “aturan logika” yang dapat dimengerti secara nalar. Meski demikian, kemampuan intelektual kadang bisa saja “terbajak” dengan kungkungan emosi. Jika yang terjadi demikian, pikiran logis tidak bekerja dengan baik, bahkan terkalahkan dengan kuatnya daya emosi – suasana hati – yang lebih menguasai. Contoh konkret: seseorang dapat merasa cemas dan takut luar biasa berhadapan dengan realitas yang akan terjadi berkaitan dengan konsekuensi apa yang telah dilakukannya. Padahal ketakutan dan kecemasannya itu, bila dipikir secara rasional, tidak dapat dipertanggunjawabkan. Ia sudah “dibajak” oleh kecemasan dan ketakutan dengan mengafirmasi secara membabi-buta alasan-alasan atas pengandaian supaya keceamasan dan ketakutannya dapat dinalar secara logis. Di sini letak kesalahannya, yakni: bahwa pikirang logis “terbajak” oleh emosi.
Dalam pelbagai realitas kehidupan, manusia sebagai pribadi yang memiliki dua kemampuan sekaligus – IQ dan EQ – seharusnya mampu menggunakannya dengan baik serta bijaksana. Di satu sisi, memang dibutuhkan IQ, namun di sisi lain, juga patut mengikutsertakan EQ.
Yang ingin dicapai oleh Goleman adalah bahwa seseorang harus memiliki, mengembangkan dan menggunakan kecerdasan emosional semaksimal mungkin. Beberapa aspek kecerdasan emosial adalah “kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi; mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan; mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir; berempati dan berdoa” (hal. 43). Menurut Goleman, kecerdasan emosional seseorang dapat diajarkan dan dikembangkan sebagaimana juga dengan kecerdasan intelektual. Di sini, ia menyarankan bahwa salah satu jalan yang dapat dilakukan untuk mengajar dan mengembangkan kecerdasan emosional melalui peningkatan peran sekolah, yakni dengan “meninjau ulang peran sekolah: mengajar dengan kerelaan, komunitas yang peduli” (hal. 394).
Karya Goleman sangat bersifat akademis dan dapat dipertanggungjawabkan. Ia tidak hanya mendasarkan tulisannya pada tataran teori belaka, tetapi juga memasukkan data-data penelitian yang telah dilakukan. Sebagai tulisan yang apik dengan bahasa yang mudah dimengerti, buku ini baik dibaca bagi semua yang ingin mengembangkan dan mengajarkan kecerdasan emosional, baik bagi diri sendiri maupun untuk yang lain. 

Kamis, 08 Desember 2016

Konsili Konstantinopel II

Konsili Konstantinopel II juga sering disebut sebagai Konsili Ekumenis Kelima yang diselanggarakan di Konstantinopel pada 5 Mei-2 Juni 553. Salah satu tujuan dari konsili ini adalah menentang ajaran monofisit yang berkembang-menentang ajaran resmi Gereja.
Secara singkat, ajaran monofisit dapat diartikan sebagai ajaran yang menekankan bahwa Yesus Kristus hanya memiliki satu kodrat saja, yakni kodrat sebagai manusia. Padahal ajaran resmi Gereja mengatakan bahwa Yesus Kristus adalah Allah-Manusia, sebagai pribadi yang memiliki dua kodrat sekaligus, yakni kodrat Ilahi (sebagai Allah) dan kodrat manusiawi (sebagai manusia Yesus Kristus yang hidup di tanah Israel).
Setelah konsili berlangsung, memang paham monofisit tidak berhenti begitu saja. Ini terbukti dari masih berdirinya Gereja Siria Barat dan Gereja Ortodoks Siria atau yang disebut juga sebagai Gereja Yakobit. Keberadaan Gereja tersebut masih ada sampai sekarang; dan dikenal sebagai Gereja Ortodoks Siria.   


frd. jenli, scj
TRADISI Berdoa dalam Keluarga

Apakah dalam keluarga Anda memiliki kebiasaan untuk berdoa? Apakah dalam keluarga Anda memiliki kebiasaan untuk berdoa rosario bersama? Apakah dalam keluarga Anda memiliki kebiasaan dalam doa malam bersama? Rasanya jawaban itu dapat dijawab oleh Anda semua, baik yang termasuk memiliki tradisi berdoa dalam keluarga atau pun yang tidak memilikinya sama sekali.
Jika diminta untuk memilih dan menjawab pertanyaan ini: “Anda lebih memilih keluarga yang memiliki tradisi berdoa ataukah lebih memilih yang sebaliknya”? Tentunya, kalau diadakan survei secara menyeluruh, memilih untuk menjadi keluarga yang memiliki tradisi berdoa adalah jawaban yang lebih besar atau lebih banyak. Anda pasti tahu mana yang terbaik!
Memang, butuh kehendak dan kesetiaan jika mengharapkan bahwa keluarga Anda menjadi keluarga yang memiliki tradisi berdoa. Kehendak dan kesetiaan di sini lebih menekankan pada kemauan semua anggota keluarga, yakni: orang tua dan (anak-) anak. Orang tua memiliki peran penting jika tradisi berdoa ingin digalakkan. Oleh karena itu, orang tua hendaknya yang menjadi penggagas utama. Dengan menjadi penggagas utama, orang tua dapat mendidik dan sekaligus mengundang (anak-) anak supaya memiliki kemauan yang sama. Adanya peran serta semua anggota keluarga, harapan untuk menjadikan keluarga yang memiliki tradisi doa bersama dapat dimulai dan dicapai.
Lantas, apa yang dapat didoakan ketika keluarga berdoa? Beberapa contoh doa yang dapat dibuat adalah: doa rosario, doa Malaikan Tuhan (lih. Puji Syukur hal. 15), doa pagi (lih. Puji Syukur hal. 48-50), doa sore (lih. Puji Syukur hal. 67-68), doa malam (lih. Puji Syukur hal. 80-82) dan beberapa doa pilihan yang semuanya dapat dilihat dalam Puji Syukur. Jika dirasa masih kurang bervariasi, Anda bersama keluarga juga dapat mengambil beberapa doa yang berasal dari Kitab Suci. Doa-doa pilihan pada Kitab Suci dapat dilihat dalam Kitab Mazmur di mana beberapa mazmurnya memuat macam-macam doa.
 Jika keluarga Anda adalah keluarga yang memiliki tradisi doa bersama, maka orang tua sebenarnya sudah mengkonretkan dua tanggung jawab utama. Pertama adalah menjadikan keluarga sebagai saksi dan teladan sebagai keluarga Katolik sejati. Kedua, orang tua telah mendidik iman (anak-) anak supaya memiliki kehidupan rohani yang semakin dewasa.


frd. jenli, scj

Rabu, 30 November 2016

Untuk Orang Tua:
Bila Amarah Berarti “Bunuh Diri”

Dari banyak penelitian dan studi mengatakan ada sebuah relasi antara kekuatan emosi dan fisik. Salah satu temuan yang berdasarkan penelitian dan studi mengatakan bahwa kekuatan amarah dapat memicu pada rusaknya daya kerja jantung; hal ini semakin menjadi jika orang atau pribadi yang bersangkutan sudah memiliki “bibit” penyakit jantung.
Setiap amarah yang disertai dengan suasana hati yang ingin menyerang pihak lawan, setiap amarah itu pula menyumbang tekanan stres tambahan bagi jantung dengan meningkatkan laju denyut jantung serta tekanan darah. Apabila hal ini berulang secara terus-menerus, hal tersebut akan bersifat merusak; terutama karena golakan darah yang mengalir melalui arteri koroner bersama dengan detak jantung dapat menimbulkan robekan-robekan mikro pada pembuluh tersebut, yang merupakan tempat bertumbuhnya plak. Apabila jantung berdenyut lebih cepat dan tekanan darah lebih tinggi karena kebiasaan untuk marah-marah, jika selama 30 tahun, hal tersebut barangkali menyebabkan timbunan plak yang terus menumpuk lebih cepat. Dengan demikian, keadaannya menjurus pada peyakit koroner.
Begitu penyakit jantung menyerang, mekanisme yang dipicu oleh amarah menghambat efisiensi jantung sebagai pemompa darah. Efek dari hambatan efisien itu membuat amarah pada akhirnya menjadi faktor mematikan, faktor “bunuh diri” yang disebabkan oleh kesalahan diri sendiri.
Pertanyaan yang patut menjadi bahan refleksi bagi kita adalah “apakah saya adalah pribadi yang memiliki karakter cepat untuk marah”? Mungkin untuk menjawabnya, sangat tepat bila kita mengingat sejenak pengalaman hidup sebagai orang tua atau sebagai pasangan suami-istri. Adakalanya kita marah ketika menghadapi dan mendidik anak yang sulit untuk diarahkan. Adakalanya kita marah ketika pasangan (suami-istri Anda) kurang memahami dan bahkan sulit untuk mengerti apa yang menjadi kehendak dan perasaan kita.
Rasanya, perlu bagi kita, yang memangku tugas sebagai pasangan suami-istri atau pun sebagai orang tua untuk menambah panjang kesabaran dalam menjalani hidup. Kesabaran memampukan untuk berani “ambil nafas” ketika “virus kemarahan” menyerang. Kesabaran membantu untuk meminimalisir hanyutnya diri dalam rasa marah yang membakar. Akhirnya, dengan memiliki dan menambah panjang kesabaran, hanyutnya diri untuk menjadi pribadi yang cepat marah pun dapat dihindarkan sedini mungkin; dan jantung Anda pun akan selalu berdetak dengan rileks-santai. Itulah arti hidup yang sehat secara emosi dan fisik. Semoga, Anda dan pasangah hidup Anda pun demikian!

jenli, scj

Jumat, 25 November 2016

MENDENGAR


Seni Menjaga Kelanggengan Hidup Berkeluarga

Dalam suatu pertengkaran keluarga terjadi demikian. Suami berkata dengan keras kepada istrinya, “Tidak usah berteriak”! Lantas, si istri pun menjawabnya tak mau kalah, “Tentu saja aku berteriak, sebab kamu tidak mendengar apa yang kukatakan. Kamu bahkan tidak mau mendengarkan”!
Mendengarkan merupakan keterampilan yang membuat pasangan-pasangan, atau mereka yang telah menjalin hidup perkawinan-keluarga tetap bersatu. Bahkan, di tengah-tengah panasnya pertengkaran – ketika kedua pihak terjebak oleh pembajakan emosi (diri dikuasai oleh emosi yang terus membara) – bila salah satunya dan terkadang keduanya dapat menerapkan keterampilan mendengarkan, pihak tersebut akan berhasil meredam api amarah. Ini mau menekankan bahwa mendengarkan pasangan dan menanggapinya dengan tindakan yang tenang, tanpa juga ikut terpengaruh suasana kemarahan, akan menjadi langkah perbaikan untuk pasangannya sendiri. Pasangan yang terjebak dalam emosi kemarahan atau emosi yang merugikan akan merasa “diorangkan”, merasa dihargai dan merasa didengarkan.
Pada beberapa kasus konkret, pasangan-pasangan yang sudah mendekat ke arah perceraian akan tenggelam dalam amarah terpaku pada detail-detail persoalan yang dipertengkarkan, sehingga tidak mampu mendengarkan – apalagi menjawab – tawaran damai yang barangkali tersirat dalam kata-kata yang dilontarkan oleh pasangannya. Tentu saja, dalam suatu pertengkaran – suami dan istri – apa yang dikatakan sering kali berupa serangan; atau yang dikatakan, disampaikan dengan sikap negatif begitu kuat sehingga masing-masing pribadi sulit untuk mendengarkan.
Dalam mengarungi hidup berkeluarga, kita tidak menutup mata bahwa pertikaian, atau dapat disebut sebagai konflik antara suami dan istri, menjadi kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Bisa jadi letak permasalahannya adalah bahwa istri tidak puas terhadap tanggung jawab suami dalam mencari penghidupan yang layak, suami tidak puas atas pelayanan istri terhadap pengurusan keadaan rumah tangga dan permasalahan-permasalahan lainnya.
Di sini, salah satu tindakan penting yang perlu dibuat, yakni: mendengarkan. Mendengarkan yang dimaksud adalah mendengarkan dengan jalan berempati. Mendengarkan dengan jalan berempati memampukan pasangan untuk tidak hanya sekadar mendengarkan keluhan pasangannya, tetap juga berani untuk tidak kembali membalas keluhan dengan keluhan atau serangan serupa. Mendengar dengan jalan berempati berarti berani mendengar semua keluhan pasangan dengan hati terbuka tanpa menyela; dan dengan tetap mengutamakan semagat kasih pasangang untuk mencintai seumur hidup. Semoga Anda dan pasangan Anda pun demikian.


jenli, scj

Minggu, 20 November 2016

Muda Foya-foya, Tua Kaya-raya, Mati Masuk Surga



Pernahkah Anda mengenal semboyan ini: “Muda Foya-foya, Tua Kaya-raya, Mati Masuk Surga”? Agaknya semboyan itu telah membudaya di kalangan masyarakat kita, secara khusus kalangan anak muda. Bisa jadi semboyan itu ingin mendengungkan semangat hidup yang intinya ingin menghabiskan segala seusatu yang dipunya tanpa melihat sejauh mana mendapatkannya. Atau, semboyan itu ingin mengatakan bahwa tiket masuk surga juga terbuka bagi orang-orang yang hidupnya penuh dengan suasana foya dan kaya.
Pertanyaan yang patut direnungkan berkaitan dengan semboyan itu adalah apakah sejalan antara hidup yang foya-foya dengan kaya raya dan masuk surga? Faktanya, foya-foya itu justru menghabiskan harta, bukan menggunakannya dengan bijak,  bukan membuat kaya, dan ujung-ujungnya malah dijauhkan dari surga! Kalau boleh dibilang jujur, semboyan di atas hanyalah bentuk legitimasi untuk melanggar berbagai aturan. Alhasil, masa mudanya habis untuk sia-sia, rambu-rambu nilai agama dilanggar, yang penting bahagia; itu prinsipnya.
Kita berfokus pada “hidup foya-foya”. Mungkin jaman sekarang, banyak orang hidup dengan mode dan gaya demikian. Kalau boleh disebut, manusia faktanya memiliki ketertarikan pada suasana “pesta pora” dalam merayakan setiap pengalaman hidup, baik pengalaman keseharian ataupun pengalaman yang besar. Bentuk pesta pora mungkin berubah setiap waktu dan tempat, tapi esensinya tetap sama: manusia ingin memanjakan egonya dengan kemabukan dan penghabisan harta yang dimiliki, baik itu berlimpah ataupun yang berkecukupan.
Yang mau ditekankan di sini adalah bahwa bukannya kita tidak diizinkan untuk membuat perayaan dalam setiap pengalaman hidup; tapi yang kadang menjadi masalah adalah ketika kita menjadi terlalu terikat pada pesta pora dan kemewahan sehingga membuatnya sebagai bagian dari identitas kita. Faktanya: ada orang-orang yang membutuhkan pengakuan sosial untuk merasa dirinya berharga, sehingga rela menghabiskan harta hanya untuk memiliki penampilan yang memukau. Padahal, sejatinya jati diri tidak hanya dapat dinilai dari apa yang kita miliki atau kenakan.
Dunia terus berubah; dan manusia pun juga mengikutinya. Tapi peringatan Tuhan – yang mengatakan: “Jagalah dirimu, jangan sampai hatimu sarat dengan pesta pora dan kemabukan serta kepentingan-kepentingan duniawi....” – masih tetap relevan hingga sekarang. Kita disadarkan untuk tidak terjebak dalam “lubang pesta pora dan hidup foya-foya”. Tuhan tidak menginginkan agar kita terjatuh dalam lubang kepurukan itu.
Lantas, bagaimana kalau kita sudah terlanjur terpuruk? Mungkin nasihat ini patut untuk direnungkan: “Jangan terpuruk ketika kamu tengah berada dalam situasi terburuk; Tuhan memberikannya padamu, karena Dia ingin kamu lebih kuat dari sebelumnya”.

Tuhan memberkati. Amin!

Jumat, 18 November 2016

Orang Tuaku HEBAT!



Ada kata-kata bijak yang mengatakan demikian: “Hal-hal terbaik yang dapat orang tua berikan kepada anak-anak, selain tingkah laku yang baik adalah kenangan indah”. Kata-kata itu memuat makna mendalam yang ingin mengatakan bahwa salah satu tugas dari orang tua bagi anak adalah memberikan teladan. Keteladanan itu dikonretkan dengan menunjukkan kepada mereka cara berada dan cara hidup sebagai ayah-ibu yang baik.
Tentunya, masing-masing dari kita tahu pasti menjadi yang baik itu seperti apa. Menjadi yang baik sebenarnya mengarah pada penghadiran diri sebagai figur atau sosok yang dapat diterima. Dalam hal ini, kehadiran dan cara berada orang tua sudah sepantasnya bukan menjadi penghalang bagi perkembangan kepribadian anak, melainkan semestinya menjadi pendukung. Namun, bagaimana dengan praksisnya?
Kita tidak menutup mata bahwa menuju orang tua yang ideal, orang tua yang menjadi kebanggaan anak, bukanlah sesuatu hal yang mudah; mungkin mudah untuk diucapkan tapi sulit untuk dikonkretkan. Ada begitu banyak tantangan dan halangan – belum lagi godaan dari dalam diri – yang mengaburkan orang tua untuk menjadi “idola” anak; sebut saja misalnya dalam keteladanan hidup beriman. Banyak orang tua ingin anak mereka rajin dalam hidup beriman, yakni dengan mendorong anak untuk rajin ke Gereja; padahal mereka sendiri – sebagai orang tua – malah jarang dan sering absen ke Gereja. Bila melihatnya, patutlah jika anak tidak menunjukkan harapan orang tua sebab mereka belum melihat teladan konkret dari orang tua mereka sendiri. Di sini, orang tua tidak seharusnya menuntut anak, padahal orang tua itu sendiri tidak menunjukkan keteladanan yang diharapkan.
Kita juga patut untuk tidak hilang asa tatkala harapan untuk menjadi orang tua yang “di-idolakan” anak belum tercapai. Yang ditekankan di sini adalah kata “belum”, bukan “tidak”. Untuk itu, upaya dan usaha pencapaian penghadiran diri sebagai orang tua kebanggaan anak masih ada. Orang tua – yakni suami dan istri yang bertekad menjadi “satu” dengan konsekuensi pada tugas mendidik anak – diharap selalu memberikan teladan atau contoh konkret sebelum memerintahkan kepada anak untuk bertindak sesuatu.
Yang ditekankan di sini adalah “orang tua harus memberikan keteladanan kepada anak”. Contoh konkretnya: jika orang tua ingin anak mereka rajin ke Gereja, maka mereka harus rajin ke Gereja dulu; jika orang tua mengharapkan anak mereka tidak merokok, maka mereka harus menunjukkan bahwa mereka juga tidak merokok; jika orang tua mengharapkan anak rajin bekerja di rumah, maka orang tua juga diharap menunjukkan semangat kerja mereka.
Cita-cita semua orang tua adalah supaya anak mereka menjadi pribadi yang baik sesuai dengan harapan. Tentunya, harapan ini juga harus di-barengi dengan keteladanan dari orang tua itu sendiri. Bentuk keteladanan yang dikonkretkan pada akhirnya membuat anak bangga terhadap orang tua dengan mengakui “orang tuaku HEBAT”! Semoga Anda pun menjadi orang tua demikian.


jenli, scj

Jumat, 11 November 2016

Rp 10.000 untuk Kolekte dan Rp 1.000 untuk Jajan Ataukah Sebaliknya?


Keluaga merupakan lingkup pertama dan utama di mana anak-anak belajar untuk mendapat pendidikan serta pengalaman hidup. Tidak dapat disangkal bahwa keluarga menjadi basic atau dasar pembentukan kepribadian anak sebelum mereka mampu beradaptasi dengan baik di lingkungan luar. Korelasinya adalah bahwa jika anak sudah diajari dengan baik apa yang menjadi nilai atau norma hidup di lingkungan keluarga, maka anak pun (diharapkan) akan mampu untuk beradaptasi – menghadirkan diri – di lingkungan luar (bersosial dengan masyarakat luas). Anak pun akan dapat menyerap dan mengolah nilai-nilai hidup yang mereka temui ketika berjumpa dengan teman atau pun masyarakat.
Jika memang keluarga dapat dikatakan sebagai “tempat pendidikan awal” bagi anak-anak, maka peran orang tua sangat tepat disebut. Sebagai penanggung jawab utama dalam hidup berkeluarga, orang tua – yakni: suami dan istri – memiliki kewajiban moral untuk mendidik anak-anak sesuai dengan semangat hidup perkawinan. Salah satu bentuk konkret mendidik anak sebenarnya dapat dilakukan dengan menghadirkan diri sebagai figur yang patut diteladani dan ditiru; bukan malah sebaliknya.
Dalam keluarga, kecenderungan anak untuk meniru kebiasaan orang tua lebih besar dari pada meniru anggota keluarga lain seperti kakek, nenek atau saudara yang lain. Ini terjadi karena keberadaan orang tua menjadi sosok yang intensitas pertemuannya lebih rapat dengan mereka, terutama pada anak-anak yang masih berada di golden age zone (usia emas: 0-5 tahun). Pada tahap ini anak akan menyerap apa saja yang mereka dapat dari orang tua sebagai suatu stimulus (rangsangan), memprosesnya dalam bentuk skema dan pola informasi yang mereka bangun dalam pikiran, lalu mengeluarkannya dalam bentuk respon konkret (tindakan).
Lantas, apa contohnya? Sadarkah Anda ketika memberikan uang untuk anak Anda? Misalkan uang itu adalah sebagai berikut: Rp 10.000 diberikan untuk kolekte dan Rp 1.000 untuk jajan. Tentu anak akan meresponnya dengan menggunakan uang itu sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh orang tua. Anak tidak akan berfikir panjang mengapa jumlahnya berbeda: antara untuk kolekte dan untuk jajan. Di balik itu semua, sebenarnya orang tua memberikan pengajaran kepada anak untuk memberikan yang terbaik kepada Gereja; meski kadang orang tua tidak menyadarinya. Sisi bawah sadar anak akan merekam pengalaman itu: bahwa untuk Gereja harus lebih baik, harus lebih besar, harus yang terbaik. Inilah yang akan dipelajari oleh anak dan akan terbawa dalam pengalaman bawah sadarnya di mana pengalaman ini akan selalu mengajari dan mendorong mereka untuk memberikan diri yang terbaik bagi Gereja.
Saya yakin bahwa Anda adalah salah satu dari orang tua yang memberikan Rp 10.000 untuk kolekte dan Rp 1.000 untuk jajan. Ataukah sebaliknya?


jenli, scj

Senin, 07 November 2016

Sadar Kaya

Judul Buku     :    Sadar Kaya
Penulis            :    Mardigu WP
Penerbit          :    TransMedia Pustaka - Jakarta
Tahun Terbit  :    2015

“Aku bisa”! Seruan ungkapan itu memuat kesadaran diri bahwa tujuan atau capaian yang hendak diinginkan pasti dapat dimiliki. Itulah salah satu sisi motivasi diri yang ingin ditekankan Mardigu dalam bukunya yang berjudul Sadar Kaya. Ketika kita mengatakan bahwa “Aku Bisa”, hal itu menunjukkan kemampuan dan kapasitas diri sebagai pribadi yang memiliki kualitas. Kualitas yang dimiliki berkaitan dengan talenta atau bakat-bakat yang disadari dan dijadikan sebagai modal dalam bertindak aktif.
Ketika berbicara mengenai kesadaran diri sebagai pribadi yang kaya atau pribadi yang makmur (prosperity consciousness), seseorang diingatkan bahwa dalam diri setiap manusia – setidaknya dalam dirinya – memiliki kemampuan. Hanya saja yang patut menjadi perhatian adalah pada titik pengambilan keputusan: Apakah dia mau menggunakannya atau tidak. Seseorang yang menyadari diri sebagai pribadi yang kaya dan bernilai, sebenarnya bertitik pada orang itu sendiri, tergantung cara kerja otaknya: “Jadi, bagaimana Anda bisa memprogram otak Anda untuk menjadi orang kaya, Anda-lah yang menentukannya” (hal 1).
Kualitas pribadi yang kaya juga terletak pada kemampuan yang dimiliki untuk berfikir jauh ke depan; bahkan mampu untuk mengatasi dan mendobrak situasi sekarang menuju lebih baik. Dengan kata lain, pribadi demikian berani untuk “bermimpi”. Ia berani untuk membuat cita hidup dan itu yang akan menjadi “rel” perjalanan langkahnya. Ia meyakini bahwa dengan berani bermimpi sebenarnya ia pun sudah memulai mengubah hidup: “Impian bisa mengubah fakta, selama kamu percaya dan tidak menyerah” (hal 171).
Dalam pemrograman pikiran bawah sadar, ada satu kunci yang harus dipahami dalam cara otak bekerja. “Peranti lunak” dalam pikiran itu hanya mengenal kalimat “sekarang” atau “present tense”. Otak kecil manusia yang berada di belahan dalam, amigdala yang membuat pemrograman, tidak mengenal kata “akan”, “seandainya”, “mudah-mudahan”, “nanti” dan sebagainya. Yang dikenal adalah kekinian, sekarang. Untuk itu, pribadi sadar kaya mengetahui celah ini. Ia akan mengerjakan apa yang menjadi impian atau tujuan hidupnya, seakan ia sudah memilikinya. “Apa pun yang Anda percayai dan inginkan dalam pikiran, Anda ulangi berkali-kali bahwa Anda sudah di sana dan sudah memilikinya” (hal 183).
Buku Sadar Kaya tulisan Mardigu WP ini sangat baik dibaca untuk siapa saja yang memiliki keyakinan pada perkembangan diri. Baik untuk siapa saja karena semua orang memiliki hak untuk menyadari diri sebagai pribadi yang kaya. Hanya saja, tidak semua orang bisa menyadarinya dan butuh disadarkan oleh yang lain. 

Kamis, 03 November 2016

Anak Ribut Ketika Misa?



Mungkin bagi sebagian umat sudah menjadi hal yang lumrah ketika mendengar dan menyaksikan tingkah laku anak-anak ketika Misa sedang berlangsung. Bagi sebagian umat memandangnya sebagai hal yang wajar, sebab bagi mereka seperti itulah anak-anak. Namun ada juga sebagian umat yang memandang sangat mengganggu berjalannya Misa. Di lain pihak, bagi romo yang memimpin Misa pun kadang memiliki pandangan yang berbeda antara yang satu dengan yang lain. Ada romo yang bisa menerimanya dan tidak jarang juga ada romo yang menentangnya dengan keras, bahkan menyuruh orang tua untuk membawa anak mereka keluar atau diikutsertakan dalam kegiatan anak-anak (yang biasanya di paroki-paroki tertentu ada pembimbingnya sendiri).
Menghadapi hal itu, banyak orang tua merasa tertekan dan memiliki perasaan tidak enak ketika melihat anak mereka dipandang sebagai sumber “keributan” Misa. Dalam hal ini, orang tua tentu tidak dapat menyalahkan umat atau romo. Orang tua tentu tidak disarankan untuk menyalahkan anak karena pada umur itu, anak berada pada tahap perkembangan diri: melakukan partisipasi dalam pelbagi kegiatan fisik dan mampu mengambil inisiatif untuk suatu tindakan yang akan dilakukan. Pada tahap ini, anak akan lebih menghabiskan waktunya untuk melakukan gerak fisik atau pun wicara. Melalui tindakan-tindakan tersebut, mereka ingin merealisasikan apa yang menjadi kebutuhan diri; meski tak jarang membuat suasana ribut.
Banyak orang tua lebih memilih membawa anak mereka keluar dari Gereja dan momong mereka. Bahkan, ada orang tua yang memberikan makanan dan minuman kepada anak agar mereka diam-tenang. Itu semua dilakukan agar anak tidak menjadi sumber keributan dan tidak mengganggu umat lain yang sedang khusuk berdoa. Namun apa langkah itu bijak bagi perkembangan diri anak?
Sebenarnya, langkah orang tua untuk berusaha menjaga anak agar tidak ribut selama misa dengan pelbagai kegiatan yang dilakukan – seperti contoh di atas – cukup baik. Tapi hal itu tentu harus dipertimbangkan lebih lanjut: Apakah dengan mengajak mereka ke luar Gereja bisa membiasakan anak untuk menjadi pribadi yang merasa betah di dalam Gereja? Bukankan mereka nantinya malah terasing dengan kegiatan Misa itu sendiri? Apakah dengan memberikan mereka minuman dan makanan akan mendidik mereka menjadi dewasa? Bukankan hal itu malah menjauhkan pengenalan mereka terhadap pemahaman doa yang khusuk?
Salah satu tugas orang tua Katolik adalah mendidik iman anak. Dalam ranah ini, adalah tugas orang tua untuk mendampingin anak, secara khusus mengikut-sertakan mereka dalam pelbagai kegiatan rohani (misal: Misa). Maka, peran orang tua yang bijak dalam memilih solusi ketika menghadapi tahap perkembangan anak sungguh diperlukan. Di satu sisi, orang tua tidak harus selalu meng-iya-kan apa yang menjadi kehendak anak: bermain, makan, minum, ribut dan lain sebagainya. Di lain sisi, orang tua tentu juga tidak boleh mengekang apa yang menjadi kebutuhan anak. Maka, menyeimbangkan antara apa yang baik dan yang menjadi kebutuhan anak adalah langkah pilihan yang bijak.
Ketika anak ingin bermain dan ingin ke luar dari Gereja; ketika anak ingin makan dan minum ketika Misa sedang berlangsung; berhadapan dengan situasi itu, orang tua diajak untuk memilih tindakan yang bijak. Tindakan yang bijak lebih menekankan pada pertimbangan: “Apakah dengan tindakanku, iman anak akan terdidik? Apakah hal itu malah sekadar memenuhi kebutuhan mereka semata tanpa ada didikan iman?


jenli, scj

Kamis, 27 Oktober 2016

Resep 8 Keluarga Katolik Bahagia:


Cinta yang Tak Berkesudahan

Jika Anda sekarang adalah seorang suami atau istri, mari saatnya untuk bernostalgia sejenak. Masih ingatkah Anda dengan masa pacaran Anda? Bukankah pada masa itu, dunia serasa milik Anda berdua? Bukankan pada masa itu, Anda selalu berani untuk berkorban demi pasangan Anda – yang sekarang menjadi istri Anda? Pelbagai pertanyaan itu akan mengingatkan pada sebuah pengalaman mencinta; mencinta seseorang yang kini menjadi pendamping hidup dalam membangun keluarga.
 Mungkin jika bukan karena cinta, setiap dari Anda merasa sulit untuk mengerti mengapa Anda berani berkorban dan memilih pasangan hidup. Cinta menjadi dasar untuk berani memilih dan memutuskan “ya” bahwa “dia” adalah pendamping hidupku. Cinta bukan hanya sebatas kata yang tak ada daya, melainkan sebuah realitas yang memiliki daya pacu dan picu hidup berkeluarga. Jika saja semua itu tanpa didasari cinta, mungkin Anda tidak akan hidup bersama dengan suami atau istri yang sampai detik ini menjadi pendamping hidup.
Saya teringat dengan pengalaman beberapa hari yang lalu di mana saya mengunjungi kakak dari teman saya yang sedang sakit dan sedang dirawat di salah satu rumah sakit Jakarta. Memang, sakit yang diderita sungguh akut dan kemungkinan untuk hidup sangatlah kecil. Namun, saya sendiri kagum oleh ibu yang adalah istri dari kakak teman saya yang sedang sakit. Meski tidak hanya sesekali saya melihat guratan wajah kesedihan di muka ibu itu, namun saya takjub oleh penghiburan dan kesetiaan yang dibuat olehnya bagi suami tercinta: “Tetap semangat ya Pak.... besok kita pulang....”. Kata-kata pengharapan itu mungkin bagi saya hanyalah sebatas penghiburan belaka, tapi bagi sang suami, kata-kata itu menjadi motivasi untuk tenang dan bersemangat; sekalipun menahan sakit dan penyakit yang terus menggerogoti raganya.
Saudara-saudariku terkasih, adakalanya Tuhan melatih cinta Anda kepada pasangan hidup Anda masing-masing dengan jalan yang berbeda-beda; dan pengalaman tadi adalah salah satunya. Dengan caranya, Tuhan ingin melatih cinta Anda supaya tidak pupus tergerus oleh pengalaman kegundahan dan tanpa harapan. Tuhan ingin cinta pada pasangan Anda tetap terjaga dan tanpa berkesudahan.Harapannya, Anda dan pasangan hidup Anda pun demikian!


jenli, scj

Rabu, 19 Oktober 2016

Etika Umum: Kajian tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif


Judul Buku        : Etika Umum: Kajian tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif
Pengarang         : J. Sudarminta
Penerbit            : Kanisius
Tempat terbit    : Yogyakarta
Tahun               : 2013
Tebal buku        : 186 halaman

Etika sebagai salah satu cabang ilmu filsafat yang secara khusus mengkaji perilaku manusia dari segi baik-buruknya atau benar-salahnya tindakan manusia sebagai manusia, dewasa ini telah cukup berkembang dan memiliki pelbagai cabang atau spesialisasi. Di antara pelbagai cabang atau spesialisasi itu, secara umum dapat dibedakan dua cabang besar etika, yakni etika umum dan etika khusus. Etika umum adalah etika yang menyajikan beberapa pengertian dasar dan mengkaji beberapa masalah pokok dalam filsafat moral. Sedangkan etika khusus adalah etika yang mengkaji beberapa permasalahan moral dalam bidang-bidang khusus, misalnya: etika sosial, etika biomedis, etika bisnis, etika profesi dan etika jurnalistik.
Buku Etika Umum: Kajian tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif merupakan sebuah karya tulis yang secara khusus membicarakan salah satu dari cabang besar dari etika, yakni etika umum. Seperti yang tertulis dari anak judul, buku ini dibagi ke dalam dua bagian utama. Bagian pertama membahas tentang beberapa persoalan pokok yang dikaji dalam etika umum. Bagian yang kedua menyajikan garis besar pemikiran beberapa teori etika normatif pokok yang berpengaruh dalam sejarah etika dan mencoba untuk memberikan tanggapan kritis atasnya.
Bagian pertama terdiri dari enam bab. Bab pertama berbicara tentang “Beberapa Pengertian Dasar dan Relevansi Etika”. Bagian ini menyajikan keterangan tentang pelbagai  pengertian dasar dalam etika dan menunjukkan relevansi untuk mempelajari etika. Bab kedua berbicara mengenai “Moralitas, Hukum dan Agama” yang menyajikan uraian penjelasan tentang norma umum dalam masyarakat. Bab ketiga menjelaskan “Relativisme Moral” sebagai salah satu aliran pemikiran yang belakangan ini cukup memberikan pengaruh terhadap perkembangan konsep etika. Bab keempat menyajikan pembahasan tentang “Kebebasan dan Tanggung Jawab Moral”. Bagian ini memberikan konsep pemikiran bahwa pengertian ‘tanggung jawab moral’ mengandaikan adanya kebebasan dari pelaku tindakan moral. “Suara Hati” menjadi pokok pembahasan dalam bab kelima. Bab ini menjelaskan apa itu suara hati, manakah ciri pokok yang menandainya serta bagaimana cara dan mengembangkannya. Bagian pertama dalam buku ini ditutup dengan bab yang keenam. Bab keenam mengkaji tentang “Tahap-tahap Perkembangan Kesadaran Moral munurut L. Kohlberg”.
Bagian kedua dalam buku ini secara khusus membahas beberapa teori etika normatif yang berpengaruh dalam sejarah etika. Bagian kedua ini mengulas tentang enam teori etika normatif dan dicoba untuk dijelaskan serta ditunjukkan, baik kekuatan maupun kelemahannya. Enam teori etika normatif itu adalah: 1) Egoisme etis sebagai paham yang menilai baik-buruknya perilaku orang dari apa yang paling menguntungan atau menunjang pengembangan dirinya sendiri sebagai individu; 2) Eudaimonisme atau paham yang menekankan pencarian kebahagiaan sebagai tujuan hidup manusia; 3) Utilitarianisme atau paham yang dalam melakukan penilaian moral menekankan keuntungan yang lebih besar bagi semakin banyak orang; 4) Teori etika deontologis dari Immanuel Kant yang mendasarkan penilaian moral pada motif dasar sikap hormat terhadap kewajiban atau hukum moral yang secara mutlak mengikat manusia sebagai makhluk rasional dan otonom; 5) Teori etika nilai dari Max Scheler yang menggarisbawahi sumbangan dan kelemahan etika deontologis Immanuel Kant; 6) Etika keutamaan, dari model Aristoteles dan Thomas Aquinas, yang mengutamakan kualitas kemanusiaan berikut watak luhur yang layak untuk menjadi cita-cita. Bagian kedua dalam buku ini ditutup dengan bab yang kedelapan sebagai penyimpulan dari pelbagai teori etika normatif yang dibahas dalam bab-bab sebelumnya. Bab kedelapan ini juga memuat beberapa prinsip moral dasar yang layak diperhatikan dalam menilai moralitas suatu tindakan atau kebijakan serta menilai baik-buruknya perilaku manusia sebagai manusia.
Buku ini sungguh memberikan sumbangan khusus karena mengantar pembaca ke pelbagai persoalan pokok yang dikaji dalam etika umum. Selain itu, buku ini juga memperkenalkan teori-teori etika normatif kepada pembaca yang dalam perjalanan sejarah filsafat banyak dirujuk untuk menilai moralitas suatu tindakan atau kebijakan. Tanggapan penulis pada setiap akhir kajian tentang etika normatif diharapkan dapat merangsang pembaca untuk secara kritis mengambil butiran gagasan yang disumbangkan oleh setiap teori pembahasan dan sekaligus melihat keterbatasannya.
Pada akhirnya, buku ini sungguh sangat berguna bagi siapa saja yang menaruh perhatian terhadap pemikiran etika. Harapannya adalah bahwa buku ini menyediakan ‘alat intelektual’ bagi pembaca untuk menganggapi masalah-masalah moral baru yang muncul sebagai dampak modernisasi dan perkembangan pesat ilmu pengetahuan serta teknologi.




Resep 6 Keluarga Katolik Bahagia:


MEMAAFKAN

Sebagai manusia, kita sadar bahwa Allah menciptakan kita sebagai citra-Nya. Keadaan ini tidak ingin mengatakan bahwa kita sudah seperti Dia. Keadaan ini juga tidak ingin mengatakan bahwa kita – sebagai manusia – adalah ciptaan yang sepadan dan bahkan berani untuk menyamakan diri dengan-Nya. Kesadaran bahwa kita, sebagai manusia adalah ciptaan-Nya, semestinya mengantar pada pemahaman bahwa Dia itu Pencipta; dan kita adalah ciptaan-Nya. Maka, kita bukanlah tuhan sebagaimana Dia yang sempurna ada-Nya; tapi kita tidak terbebas dari segala kecacatan dan kerapuhan.
Manusia jika ditilik dari sisi duniawi adalah makhluk yang sangat rapuh. Kerapuhannya terletak pada kelemahan dan kecenderungan terhadap prilaku dosa. Kita mengamini bahwa Iblis diciptakan dan memilik misi untuk menggiring manusia agar bertindak dosa. Dan..., karena kerapuhannya, manusia kadang terpengaruh serta terperosok dalam hidup penuh kedosaan.
            Dari dua poin di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan, yakni: meski manusia dicipta sebagai citra Allah, tapi karena kerapuhannya, manusia masih tetap bisa jatuh ke dalam dosa. Salah satu identifikasinya adalah manusia tidak lepas untuk dapat berlaku salah atau melakukan kesalahan.
Sebagai umat Katolik, kita semakin sadar bahwa kita memiliki sifat manusiawi untuk berlaku salah: saling menjatuhkan; melakukan kegagalan; berlaku tidak sesuai dengan kaidah yang ditetapkan. Kecenderungan dan kenyataan berbuat salah rasanya tidak hanya kita temukan dalam lingkup masyarakat luas, tetapi juga dalam keluarga kita masing-masing. Memang, Tuhan menginginkan agar setiap umat-Nya berlaku sempurna “seperti Bapa sempurna”. Namun, kenyataan hidup berkata beda. Keluarga yang seharusnya menjadi paguyuban damai kadang dan bahkan sering ternodai oleh konflik yang berakar pada kesalahan yang telah dibuat; entah konflik antara suami-istri maupun antara orang tua-anak.
Meski demikian, kita harus sadar bahwa kesalahan dalam keluarga adalah sesuatu yang manusiawi dan wajar. Sekarang yang diperlukan adalah kesedian setiap pribadi untuk berani memaafkan; memaafkan anggota keluarga yang telah berbuat salah. Harapannya, keluarga Anda pun demikian!


jenli, scj

La présence de Dieu qui accompagne toujours nos vies est un mystère. Sa présence réelle qu'Il soit là ou ici, nous ne pourrons peut-être...