ABORSI
Dalam
Perspektif Gaudium Et Spes
Setiap manusia
memiliki hak untuk mempertahankan keberadaannya sebagai manusia. Kesadaran
inilah yang menjadi titik perjuangan untuk saling memberikan penghormatan hak
dan martabat manusia. Adanya pelbagai realitas yang mulai menggerogoti nilai
kemanusiaan merupakan sebuah ancaman bagi manusia untuk mempertahankan hak dan
martabatnya.
Kenyataan bahwa
dunia semakin panas dengan pelbagai persoalan kemanusiaan yang muncul, membuat manusia
merasa khawatir dan terancam, terlebih dengan maraknya kasus aborsi. Adanya
realitas tersebut, menuntut tanggapan dari Gereja Katolik – sebagai pembela
kehidupan yang bermoral – untuk menyikapinya. Jika dilihat dari perspektif Gaudium Et Spes (GS), sikap Gereja
sebenarnya sudah jelas. Dalam dokumen tersebut, Gereja terpanggil untuk
menyikapi sekaligus membantu masyarakat dunia dalam mencari pemecahan masalah
kehidupan dan memperbarui tata hidup masyarakat. Maka, ada satu pertanyaan yang
muncul: bagaimana sikap Gereja Katolik berhadapan dengan praktik aborsi? Dalam
tulisan ini, pertanyaan tersebut akan dibahas dalam perspektif GS.
1. Sebuah Fakta
Hasil
penyelidikan Polres Cilacap terhadap dr. Rejani Djalal benar-benar mencengangkan (Tribunnews.com: 24 Maret 2012).
Dari hasil laporan penyelidikan tersebut disampaikan bahwa Djalal menjadi
tersangka kasus aborsi sebanyak 2.422 pasien. Jumlah aborsi itu diketahui
setelah polisi menyita dan memeriksa buku pasien dari rumah dan tempat praktik
sang dokter. Data yang menyebutkan bahwa sang dokter telah melakukan praktik
aborsi sebanyak 2.422 pasien adalah data yang diambil polisi sejak 2007 yang
lalu. Padahal dari pengakuannya, Djalal telah memulai praktik aborsi sejak
tahun 1991. Jadi dapat dipastikan bahwa praktik kejahatan yang telah dilakukan
oleh tersangka setidaknya lebih dari 2.422 kasus aborsi.
Demikianlah
fenomena yang memperlihatkan tingginya jumlah kasus aborsi, sebuah fakta yang
sekaligus juga menunjukkan adanya dekadensi humanisme peradaban manusia. Banyak
kelompok yang mengecam kekejian aborsi, yakni hukum agama, hukum negara, organisasi
dan lembaga masyarakat. Semua elemen itu berusaha untuk meminimalisir praktik
aborsi. Namun pada kenyataannya, kasus aborsi terus berkembang dan menjamur
seiring dengan kemajuan masyarakat yang semakin sekuler.
2.
Sikap
Gereja Katolik
Aborsi berasal
dari kata Latin (abortion) yang berarti
pengeluaran hasil konsepsi dari uterus secara prematur pada umur di mana janin
belum bisa hidup di luar kandungan – janin belum dapat hidup di luar kandungan
pada umur 24 minggu. Secara medis, aborsi berarti pengeluaran kandungan sebelum
berumur 24 minggu dan mengakibatkan kematian; sedangkan pengeluaran janin
sesudah umur 24 minggu dan mati tidak disebut aborsi tetapi pembunuhan bayi
(CB. Kusmaryanto: 2005: 15). Dalam terminologi moral dan hukum, aborsi
diartikan sebagai pengeluaran janin sejak adanya konsepsi sampai dengan
kelahirannya yang mengakibatkan kematian. Dalam tulisan ini, aborsi yang
dimaksud adalah aborsi dalam arti moral dan hukum.
Fenomena
masyarakat dunia meliputi realitas kemiskinan, minimnya pendidikan dan
informasi, serta adanya arus budaya Barat yang menawarkan pelbagai produk
modern semakin tak terbendung. Selanjutnya, pengaruh globalisasi dan
sekularisme sungguh mewarnai masyarakat secara luas. Hal itu melahirkan kasus
demi kasus, adanya benturan-benturan konflik yang semakin keras, dan adanya
pelbagai praktik dehumanisasi (termasuk aborsi). Gereja, secara khusus Gereja
Katolik telah melarang praktik aborsi, masyarakat banyak juga mengutuknya dan
banyak negara juga telah mengeluarkan undang-undang tentang aborsi. Namun di
sisi lain, ada realitas sosial yang tetap tidak dapat dihindari, yakni praktik
aborsi itu sendiri. Berdasarkan
data yang diperoleh, ada sekitar 2.000.000 kasus aborsi yang terjadi setiap
tahunnya di Indonesia (www.aborsi.org: 17 April 2012). Berarti ada 2.000.000 nyawa yang
dibunuh setiap tahunnya secara keji tanpa banyak yang tahu. Data tersebut belum
termasuk kasus aborsi yang dilakukan di jalur non-medis. Penelitian WHO (World Health Organization) memperkirakan
20-60 persen kasus aborsi di Indonesia merupakan aborsi yang disengaja/induced abortion (Armada
Riyanto-Mistrianto.eds: 2011: 285) dengan klien aborsi terbanyak berada pada
kisaran usia 20-29 tahun. Adapun alasan klien atau pelaku melakukan aborsi
biasanya adalah karena perkosaan, cacat genetik pada janin, sosial-ekonomi dan
gangguan kesehatan.
Posisi Gereja
Katolik terhadap praktik aborsi sangatlah tegas dan tidak tergoyahkan. Beberapa
pandangan Gereja dalam perjalanan sejarah memang beraneka ragam. Akan tetapi,
pada umumnya Gereja berpegang teguh pada pendirian bahwa aborsi adalah tindakan
yang jahat dan dosa. Hal itu dapat dilihat dari beberapa tokoh yang dengan
keras mengutuk aborsi sebagai tindakan yang tidak bermoral. Paus Pius XI dalam Casti Connubi memandang aborsi sebagai
kejahatan yang sangat berat yang dialamatkan kepada hidup anak yang masih ada
di dalam kandungan. Selain itu, Paus Pius XII dalam pidatonya yang ditujukan
kepada Unione Cattolica Italiana
Ostetriche (Persatuan Dokter Obstetri Katolik Italia) juga menentang aborsi
sebagai pelanggaran terhadap perintah Tuhan.
Selain kedua
tokoh itu, Paus Yohanes Paulus II termasuk tokoh yang juga menentang aborsi
dengan tegas. Paus Yohanes Paulus II adalah salah satu sosok pribadi yang
dengan giat dan konsisten mentransformasikan nasihat-nasihat Dokumen Konsili
Vatikan II (GS) dalam dunia zaman sekarang ini.
Konstitusi
Pastoral GS yang diumumkan pada tanggal 7 Desember 1965 merupakan salah satu
dokumen resmi yang paling penting di masa Gereja modern yang mengutuk aborsi.
Dalam GS 27 dituliskan: “Apa saja yang berlawanan dengan kehidupan sendiri,
misalnya bentuk pembunuhan yang mana pun, penumpasan suku, pengguguran,
eutanasia atau bunuh diri yang disengaja; apapun yang melanggar keutuhan
pribadi manusia, seperti pemenggalan anggota badan, siksaan yang ditimpakan
pada jiwa maupun raga […] : semua itu dan hal-hal lain yang serupa memang
perbuatan yang keji. Dan sementara mencoreng peradaban manusiawi,
perbuatan-perbuatan itu lebih mencemarkan mereka yang melakukannya daripada
mereka yang menanggung ketidakadilan, lagi pula sangat berlawanan dengan
kemuliaan Sang Pencipta” (GS 27).
Di bagian lain,
ketika membicarakan mengenai cinta kasih suami-istri dalam hidup perkawinan,
Gereja menegaskan tugas utama dari mereka – sebagai keluarga – adalah
melestarikan kehidupan. Hal tersebut menandaskan
bahwa Gereja bermaksud mendukung kehidupan yang dibuahkan dari hubungan kasih
suami-istri dan melarang dengan tegas adanya praktik aborsi (pengguguran) untuk
membatasi jumlah keturunan: “Sebab Allah, Tuhan kehidupan, telah mempercayakan
pelayanan mulia melestarikan hidup kepada manusia, untuk dijalankan dengan cara
yang layak baginya. Maka, kehidupan, sejak pembuahan, harus dilindungi dengan
sangat cermat. Pengguguran dan pembunuhan anak merupakan tindakan kejahatan
yang durhaka […]. Putera-puteri Gereja, yang berpegang teguh pada asas-asas
itu, dalam mengatur keturunan tidak boleh menempuh cara-cara, yang ditolak oleh
Wewenang Mengajar Gereja dalam menguraikan hukum Ilahi” (GS 51).
Pernyataan GS
tersebut merupakan pernyataan tentang abortus pertama kali yang dinyatakan oleh
sebuah konsili ekumenis Gereja di zaman modern. Pernyataan yang disampaikan itu
merupakan sikap Gereja Katolik atas realitas aborsi yang telah menjamur di
pelbagai belahan dunia. Sikap Gereja yang terungkap dalam pernyataan GS dengan
jelas memperlihatkan kutukan paling keras atas aborsi sebagai bentuk kejahatan
manusia yang berat. Dengan pernyataan ini, para uskup seluruh dunia secara
bersama-sama sekali lagi ingin menegaskan sikap orang Kristiani (Gereja)
berhadapan dengan hidup manusia: suatu sikap penghormatan total dan tanpa
syarat (CB. Kusmaryanto: 2005: 49).
3.
Persoalan
yang Dihadapi
Ketegasan sikap Gereja
Katolik berhadapan dengan kasus aborsi mungkin memunculkan pertanyaan: mengapa
Gereja mempertahankan hidup manusia sedemikian keras dan kuatnya. Jawabannya
terletak pada cara pandang Gereja yang sangat komprehensif dan holistik
terhadap berharganya hidup manusia. Dari cara pandang itu, Gereja menyadari
bahwa aborsi merupakan persoalan kemanusiaan yang melahirkan pelbagai masalah
yang harus di hadapi. Maka, bagian ini akan membahas refleksi tentang manusia –
secara khusus dari perspektif Gereja dalam GS – sebagai persoalan mendasar yang
dihadapi.
3.1
Hak
untuk Hidup sebagai Hak Asasi Paling Dasar
Hak
asasi atau hak yang paling mendasar manusia adalah hak yang ada karena manusia
adalah manusia. Manusia memiliki hak itu karena ia adalah manusia. Hak tersebut
dihubungkan dengan kepemilikan dari statusnya sebagai manusia. Jadi, hak asasi
itu datang dari kodratnya sebagai manusia dan menyatu dengan martabatnya
sebagai manusia. Hak itu tidak diberikan oleh orang atau institusi lain, tetapi
melekat erat dengannya sebagai manusia.
Poin
utama selanjutnya adalah bahwa hak asasi itu dimiliki oleh manusia yang hidup
karena hak itu ada sejak manusia ada dan berakhir ketika berakhirnya hidup
manusia itu sendiri. Segala topik pembicaraan yang membahas mengenai hak asasi
manusia, misalnya: hak untuk berbicara, hak untuk memilih agama atau
kepercayaan, hak untuk menyampaikan pendapat, hak untuk memimpin, hak untuk
merasa aman, hak untuk mendapatkan pendidikan, semuanya itu dibicarakan dalam
kerangka dan demi manusia yang masih hidup. Orang yang mati tidak memiliki
semua hak tersebut. Oleh karena itu, hak untuk hidup merupakan syarat utama dan
mendasar ketika membicarakan mengenai hak asasi manusia. Maka, sebelum orang
menuntut adanya pelaksanaan hak asasi dengan pelbagai macamnya, orang harus
terlebih dahulu menghormati hak yang paling dasar, yakni hak untuk hidup. Bagi
manusia, hidup adalah nilai fundamental untuk dapat merealisasikan nilai-nilai
lainnya.
Selain
itu, hidup adalah syarat yang mutlak untuk dapat mewujudkan dan mengembangkan
segala potensi yang dimiliki, termasuk mimpi atau gagasan yang dimiliki oleh
manusia. Sebagai syarat yang mutlak, hidup merupakan dasar untuk
memperkembangkan diri menjadi individu dan pribadi sehingga menjadi dewasa. Atas
dasar itu, hak untuk hidup merupakan hak pertama dari semua hak asasi manusia,
akar dari semua hak asasi yang dimiliki oleh manusia. Secara singkat dapat
dikatakan bahwa hak untuk hidup lebih dari sekadar hak yang fundamental. Hak
tersebut merupakan kondisi yang memungkinkan hak-hak lainnya untuk ada dan mewujudkan
realisasinya.
Hak
untuk hidup ini memang memiliki perbedaan dengan hak asasi manusia lainnya.
Salah satu perbedaan yang mencolok terletak pada pelaksanaan dan hasil dari hak
itu. Dalam pelbagai kasus, orang menuntut haknya karena dia tidak dapat
mendapatkan hak itu atau dirampas haknya. Misalnya: orang menuntut hak untuk
dapat menjalankan agamanya dengan bebas sebab di negara tempat ia tinggal, hak
untuk menjalankan agama diberangus, maka orang tersebut (dan juga yang lain)
menuntut kepada negara agar mendapatkan hak yang diinginkan. Di lain pihak,
orang tidak perlu menuntut supaya ia mendapatkan hak untuk hidup karena hidup
itu sendiri sudah ada ketika orang tersebut menuntut. Hak untuk hidup bukanlah
hak untuk mendapatkan hidup, melainkan hak untuk bebas dari ancaman yang
membahayakan dan menghilangkan hidup.
Apakah
semua level kehidupan manusia itu harus mendapatkan hak dan perlindungan hukum
serta moral yang sama? Jawabannya adalah tentu saja tidak. Akan tetapi,
perlindungan dasar terhadap hidup agar hidupnya tidak dimusnahkan tentu berlaku
bagi semua hidup manusia. Orang dapat berdiskusi dan berbeda pendapat mengenai
apa saja yang menjadi hak asasi manusia, akan tetapi begitu ada kehidupan, maka
makhluk hidup manusia itu punya hak yang tidak dapat diganggu gugat untuk melanjutkan
hidup dan komunitas masyarakat manusia harus menghormatinya. Perlindungan akan
hak hidup ini pun sudah dicanangkan oleh Deklarasi Hak Asasi Manusia oleh PBB
pada 10 Desember 1948: “Setiap manusia mempunyai hak untuk hidup, bebas dan
keamanan pribadi”.
Berhadapan
dengan kasus aborsi, penghomatan atas hidup manusia yang masih dalam kandungan
juga mendapatkan dasarnya dari prinsip etika dasar, yakni prinsip vulnerability. Prinsip tersebut memiliki
arti bahwa yang kuat berkewajiban untuk melindungi yang lemah. Lepas dari
masalah apakah janin itu adalah persona
atau bukan, tetapi kalau diakui bahwa janin itu adalah makhluk manusia yang
hidup, maka ia mempunyai hak untuk hidup yang harus dihormati dan dilindungi.
Untuk itu, yang kuat (setidaknya sang ibu), harus melindungi janin yang lemah.
Atas dasar tersebut, GS dengan tegas menekankan penghormatan dan tugas untuk
melindungi janin dari bahaya aborsi: “Kehidupan, sejak saat pembuahan, harus
dilindungi dengan sangat cermat” (GS 51). Konsili dengan amat jelas menekankan bahwa
janin yang sudah hidup dalam rahim sang ibu amat sangat riskan terhadap
kemungkinan tindakan kejahatan dan bahkan pembunuhan, seperti aborsi. Hanya
dengan cara demikianlah,
peradaban manusia akan terhindar dari homo
homini lupus (manusia menjadi serigala bagi yang lainnya) di mana terjadi
praksis penindasan orang yang lemah oleh yang kuat.
3.2
Nilai
Intrinsik Hidup Manusia
Bila
seseorang menilai sesuatu, ia dapat mendasarkan penilaiannya pada hal-hal
eksternal dari objek itu sendiri sehingga penilaiannya itu disebut nilai
ekstrinsik. Akan tetapi, apabila orang menilai sesuatu bedasarkan hal-hal yang
intern, maka penilaian atau nilainya disebut intrinsik.
Penilaian
ekstrinsik itu diberikan oleh seseorang berdasarkan faktor-faktor eksternal.
Faktor-fakator eksternal yang dimaksud dapat berupa kegunaan ataupun nilai
sosial-ekonominya. Misalnya: sebuah unit komputer dinilai tinggi karena
komputer itu sangat berguna untuk mengerjakan tugas ataupun pekerjaan yang
berhubungan dengan keadministrasian. Komputer itu juga memiliki nilai ekonomi
yang tinggi sebab dapat dijual dengan harga yang cukup mahal, apalagi bila
memiliki kualitas yang baik. Nilai ekstrinsik ini dapat berubah-ubah, demikian
pula dengan nilai ekstrinsik dari komputer tersebut. Dari segi kegunaannya,
satu unit komputer sangat dihargai tinggi oleh seorang pengusaha. Akan tetapi
nilai ekstrinsiknya dapat menjadi rendah bila dinilai oleh seorang petani
pedesaan yang tidak dapat menggunakannya.
Apabila
nilai ekstrinsik dapat dengan mudah berubah, tidaklah demikian dengan nilai
intrinsik. Nilai intrinsik dapat diartikan bahwa sesuatu itu diinginkan karena
dirinya sendiri, dinilai berdasarkan nilai intern dari dirinya sendiri. Nilai
yang dimiliki itu sudah ada sejak keberadaannya dan berakhir dengan
keberadaannya. Nilai ini tidak diberikan oleh orang atau lembaga tertentu dan
dalam kurun waktu tertentu, tetapi nilai itu ada karena adanya atau
keberadaannya secara kodratiah. Secara khusus, nilai intrinsik yang dimaksud
adalah nilai yang dimiliki oleh dan dijadikan penilaian untuk setiap manusia. Oleh
karena itu, manusia mempunyai nilainya (bermartabat) sebab ia adalah manusia.
Menilai martabat manusia secara ekstrinsik merupakan sebuah dekadensi
kemanusiaan dan pelanggaran berat terhadap martabat manusia. Secara ekstrinsik,
seseorang bisa saja mempunyai nilai yang rendah (misalnya: karena miskin, sakit
atau cacat) tetapi martabatnya tetaplah sama sebab martabat manusia tidak
diukur berdasarkan hal-hal yang eksternal, tetapi diukur berdasarkan kodrat
kemanusiannya yang sama bagi semua orang (CB. Kusmaryanto: 2005: 69).
Berdasarkan
nilai intrinsik yang dimiliki oleh setiap manusia dan menuntut adanya
penghormatan bagi martabat manusia, aborsi menghadapi masalah dalam ranah ini. Aborsi
dipandang sebagai pengingkaran martabat manusia karena secara praktis menghilangkan
nilai intrinsik janin yang adalah manusia. Persoalan inilah yang menjadikan
aborsi sebagai tindak kejahatan yang lebih memandang manusia dari perspektif penilaian
ekstrinsik. Aborsi telah menghilangkan
nilai martabat setiap manusia, padahal nilai itulah yang seharusnya
diperjuangkan demi pencapaian nilai intrinsik manusia.
Berhadapan
dengan kasus aborsi, GS merasa perlu untuk meyakinkan kembali setiap manusia agar
menyadari adanya nilai yang berharga dari dirinya, yakni nilai intrinsik: “berkembanglah
kesadaran dan unggulnya martabat pribadi manusia, karena melampaui segala
sesuatu, lagi pula hak-hak maupun kewajiban-kewajibannya bersifat universal dan
tidak dapat diganggu gugat” (GS 26). Jadi, nilai intrinsik manusia memiliki
arti bawa masing-masing hidup manusia mempunyai nilai yang tak terhingga, lepas
dari keadaannya secara eksternal, sehingga hidup manusia harus dihargai dan
dipandang sebagai yang terpenting: “[…] Konsili menekankan sikap hormat
terhadap manusia sehingga setiap orang wajib memandang sesamanya, tak seorang
pun terkecualikan, sebagai ‘dirinya yang lain’ [….]” (GS 27).
Nilai
intrinsik yang menyatu dalam diri manusia merupakan sesuatu yang unik, tiada
duanya. Oleh karena nilai itu, seseorang memiliki kekhasan dan terbedakan dengan
manusia yang lain. Orang dapat saja memiliki wajah yang sama, berpakaian yang
sama dan memiliki tingkah laku yang sama dengan orang lain, akan tetapi kedua
orang itu tetaplah tidak sama. Keduanya memiliki perbedaan dalam pelbagai hal
sehingga keduanya tidak dapat dipertukarkan begitu saja. Keunikan dan kekhasan
yang termuat dalam nilai intrinsik manusia menjadi dasar dan syarat utama
mengapa setiap orang harus melindungi dan menghormati sesamanya.
3.3
Manusia
sebagai Gambar Allah
Persoalan
aborsi bukanlah semata-mata persoalan sebatas hubungan horizontal (manusia
dengan manusia), melainkan persoalan yang memiliki hubungan vertikal (manusia
dengan Allah Pencipta). Dengan menjadikan manusia – atau janin – sebagai objek
dari kepentingan manusia, aborsi dipandang merendahkan martabat manusia sebagai
makhluk ciptaan Allah. Praktik aborsi menghapuskan karya cipta Allah yang ada
di dalam setiap manusia. GS dengan tegas menekankan bahwa martabat manusia
sebagai makhluk ciptaan Allah merupakan salah satu elemen yang mengharuskan
adanya penghormatan tiap manusia: “Adapun Kitab Suci mengajarkan bahwa manusia
diciptakan ‘menurut gambar Allah’; ia mampu mengenal dan mengasihi Penciptanya;
oleh Allah, manusia ditetapkan sebagai tuan atas semua makhluk di dunia ini,
untuk menguasainya dan menggunakannya sambil meluhurkan Allah” (GS 12).
Tuhan
bersabda, “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya
mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas
ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di
bumi. Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar
Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kej
1:26-27). Setelah menciptakan manusia Ia kemudian bersabda, “Beranakcuculah dan
bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas
ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang
merayap di bumi” (Kej 1:28). Keputusan Allah yang secara sengaja menciptakan
manusia adalah tanda bahwa manusia itu sangat berbeda dengan ciptaan lainnya.
Perbedaan itu terletak pada kualitas yang dimiliki oleh manusia dan martabat
intrinsik yang menyertainya. Kualitas itu menunjukkan dengan jelas bahwa
manusia diciptakan menurut gambar dan wajah Allah melebihi semua ciptaan lain.
Di lain pihak,
dengan mengatakan bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah
menggarisbawahi bahwa manusia mempunyai hubungan yang akrab dengan Allah,
Pencipta-Nya. Dengan demikian, manusia sebenarnya memiliki kualitas intrinsik –
dari dirinya sendiri – untuk berhubungan dengan Allah dan Allah dapat berdialog
dengan manusia. Hal ini berarti bahwa kekhasan manusia sebagai gambar Allah
dapat ditemukan dalam relasinya yang sangat khusus dengan Allah. Realitas
tersebut menandaskan adanya relasi antara manusia dengan Allah sejak manusia
itu sendiri diciptakan.
Dengan aborsi,
kekhasan martabat yang dimiliki oleh setiap manusia dimusnahkan atau
dihancurkan. Manusia yang masih lemah – janin – dibuat tidak berdaya untuk
mempertahankan apa yang sebenarnya telah menjadi hak kodratinya. Aborsi dengan
amat jelas menghilangkan nilai intrinsik yang menjadikan manusia sebagai
makhluk berharga dibandingkan dengan makhluk yang lain. Dengan menghilangkan
dan memusnahkan secara paksa martabat intrinsik manusia sebagai gambaran Allah,
bukankan aborsi menghilangkan anugerah Ilahi yang harus diterima? Inilah realitas
pengingkaran martabat manusia yang harus dihadapi oleh praktik aborsi.
3.4
Nilai
Kesucian Hidup Manusia
Pada
masa sekarang ini, topik pembicaraan mengenai kesucian hidup manusia tampil
kembali sebagai bagian penting dalam diskusi, terlebih dalam dunia bioetika
yang secara khusus menaruh perhatian pada aborsi. Kadang ada anggapan yang
melihat bahwa topik pembicaraan mengenai kesucian hidup manusia menjadi
kekhasan Gereja Katolik apabila berbicara tentang martabat hidup manusia. Akan
tetapi dalam perkembangan sekarang, banyak pihak yang non-Katolik pun mulai
membicarakan tema tentang kesucian hidup manusia, terlebih bila menghadapkannya
dengan realitas kasus aborsi.
Istilah
kesucian berasal dari lingkup agama untuk menunjukkan bahwa sesuatu itu ada
dalam batas wilayah Ilahi, maka manusia tidak boleh untuk melanggar ataupun
menghinanya. Atas dasar itu, apabila berbicara mengenai kesucian hidup manusia
berarti hidup manusia itu berada dalam lingkup Ilahi sehingga manusia lainnya
tidak bisa melanggar dan melecehkannya. Dalam hal ini, kesucian hidup manusia
bukanlah sesuatu yang harus diperjuangkan, tetapi sebagai batas di mana orang
tidak dapat melewatinya (misalnya: kesucian tempat atau rumah ibadat). Karena
tempat atau rumah ibadat itu masuk dalam lingkup Ilahi, maka manusia tidak bisa
melanggar dan melecehkannya.
Sebenarnya
asal konsep ini bersumber dari pandangan religius-agama yang dengan pelbagai
cara mengajarkan bahwa hidup manusia mempunyai asal-usul Ilahi. Dalam teks
Kitab Suci pun dapat dengan mudah ditemukan teks yang menerangkan bahwa Allah
adalah Pencipta dari segala yang ada, termasuk manusia. Dalam Kej 1:1-2:4
diceritakan bahwa Allah menciptakan dunia seutuhnya dan penciptaan itu sampai
pada puncaknya dengan penciptaan manusia. Pada saat menciptakan manusia, Allah
bersabda, “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya
mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas
ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di
bumi. Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar
Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kej
1:26-27). Di lain teks juga dituliskan: “Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan
tanpa Dia tidak ada suatu pun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan”
(Yoh 1:3).
Dari
beberapa teks itu menjadi jelas bahwa Allah sendirilah yang menciptakan semua
yang ada di alam semesta, termasuk manusia. Maka, kapanpun mulainya hidup
manusia, pada saat itulah karya penciptaan Allah hadir dan bekerja. Demikianlah
kesucian hidup manusia pada dasarnya berakar dan berasal dari kawasan Ilahi.
Kesucian itu bukan diberikan atau ditambahkan pada suatu saat tertentu.
Kesucian hidup manusia itu ada bersama dengan adanya manusia itu sendiri dan
terus ada hingga berakhirnya hidup. Dengan kata lain, sejak manusia diciptakan
oleh Sang Pencipta dalam pertemuan sel sperma dan ovum, ia sudah membawa cap
kesucian, dan hal itu ia bawa secara terus-menerus sampai pada kematiannya (CB.
Kusmaryano: 2005: 79).
Nilai
kesucian manusia ini mengandung implikasi dalam banyak hal. Allah adalah
Pencipta yang menjadikan hidup manusia ada: “Adapun Kitab Suci mengajarkan
bahwa manusia diciptakan (Allah) menurut gambar Allah” (GS 12); Dia yang
mempunyai hidup manusia. Manusia bukanlah pemilik absolut kehidupannya. Ia hanya
menjadi penjaga dan yang mengatur hidupnya sendiri. Ia tidak berhak untuk
mengambil hidup orang lain (membunuh) sebagaimana yang ditunjukkan dalam
aborsi. Oleh karena itu, segala macam bentuk pembunuhan, baik hukuman mati,
perang, bunuh diri dan aborsi, tidak dapat dibenarkan. Demikian juga dengan
semua macam pembunuhan kapan pun juga, atau di dalam tahap perkembangan manusia
mana pun juga, entah pada awal kehidupannya (aborsi) atau akhir kehidupannya
(euthanasia), adalah
pelanggaran berat terhadap kesucian hidup manusia. Hanya Allah sendirilah yang
berhak untuk memiliki dan mengambil hidup seseorang, dan bukan manusia yang
lain.
Nilai
kesucian hidup manusia ini merupakan dasar penghormatan terhadap setiap
manusia. Bila aborsi – sebagai kejahatan pembunuhan karena menghancurkan nilai
kesucian manusia – dihadapkan dengan realitas adanya nilai kesucian setiap
manusia, aborsi itu sendiri menjadi sumber kejahatan karena melawan
penghormatan bagi setiap manusia dan berakhir pada hancurnya persaudaraan
seluruh umat manusia. Dalam ranah ini, nilai kesucian hidup manusia menegaskan
kembali bahwa setiap manusia mempunyai martabat yang sama sebagai gambar dan citra
Allah. Itulah yang membuat semua manusia dipersatukan menjadi satu saudara. Adanya
semangat untuk menghormati sesama manusia – seturut GS – sangatlah diperlukan
agar pada akhirnya terciptalah persaudaraan sejati umat manusia: “Beranjak
kepada konsekuensi-konsekuensi praktis yang cukup mendesak, Konsili, menekankan
sikap hormat terhadap manusia sehingga setiap orang wajib memandang sesamanya,
tak seorang pun terkecualikan, sebagai dirinya yang lain […] mendesak kewajiban
menjadikan diri kita sendiri sesama bagi setiap orang [….]” (GS 27).
3.5
Kebebasan
Manusia
Kebebasan
merupakan salah satu elemen utama dalam tindakan manusia. Secara negatif, bebas
dapat diartikan sebagai tidak ada paksaan. Paksaan ini dapat menyangkut
psikologi, fisik, sosial dan lain sebagainya di mana semua faktor itu ikut
menentukan kelakuan manusia dalam bereksistensi. Jika faktor-faktor tersebut
menentukan kelakuan atau cara bereksistensi secara menyeluruh, maka manusia
yang mengalaminya tidak lagi disebut yang bebas. Inti dari kebebasan ialah
bahwa penentuan berasal dari diri sendiri. Maka, hakikat kebebasan adalah
penentuan diri (A. Snijders: 2004: 123).
Bertindak
dari kebebasan bukan berarti meniadakan hukum-hukum moral yang menjadi
kesepakatan bersama. Bertindak pada level tingkatan yang lebih tinggi diartikan
sebagai tindakan yang tidak didikte oleh hukum-hukum tersebut. Konsep cara
bertindak yang menegasikan kebebasan dapat disamakan dengan hanya bertindakan
demi kewajiban semata. Hal itu terjadi karena subjek hanya diminta untuk
memenuhi standar umum yang berlaku.
Dewasa
sekarang ini, ada kelompok yang menamakan dirinya sebagai pro-choice. Kelompok ini berusaha untuk membangun sebuah konsep
yang menentang gagasan Gereja dan ajarannya tentang aborsi. Pro-choice mengutamakan kebebasan
manusia sebagai kepemilikan pribadi yang tidak dapat diganggu gugat.
Konsekuensinya adalah manusia harus diijinkan dan dihargai untuk dapat mengatur
hidupnya sendiri. Karena manusia memiliki hak untuk mengatur hidupnya sendiri –
seturut dengan kebebasan yang dimiliki – maka ia juga berhak untuk memiliki hak
pengaturan diri yang efektif, termasuk melakukan tindakan aborsi. Bagi kelompok
tersebut, janin dinilai sebagai manusia – sekalipun belum memiliki kelengkapan
sebagai manusia sempurna. Jika tindakan untuk mengaborsi janin adalah tindakan
yang efektif bagi si pelaku, maka ia dapat dan berhak untuk memilih atau
memutuskan pilihan untuk aborsi. Itu semua merupakan persoalan pribadi setiap
manusia di mana bukan ranah negara ataupun Gereja untuk ikut campur di
dalamnya.
Jika
perdebatan masuk ke dalam ranah eksistensi, jelas bahwa pandangan kelompok pro-choice tidak mengakui janin sebagai
manusia (the real human being) karena
masih belum sempurna. Di lain pihak, mereka memandang bahwa tak seorang pun
dibenarkan untuk memaksakan teori dan gagasannya kepada orang lain. Maka,
apabila ada orang yang yang bersedia menerima pendapat bahwa janin adalah
manusia dalam eksistensinya yang utuh, itu adalah hak orang tersebut. Namun di
lain pihak, jika ada orang yang yang tidak setuju dan tidak menerimanya, maka
tidak dibenarkan untuk memaksakannya. Keputusan untuk memilih – sebagai
realisasi kebebasan yang dimiliki – adalah persoalan pribadi dan tidak dapat
diganggu gugat, tidak dapat dilegitimasikan terhadap orang lain. Setiap orang
bebas untuk menentukan pilihan dan memutuskan apa yang baik bagi dirinya
sendiri, sekalipun kebebasannya itu terbuka terhadap kemungkinan adanya
penghancuran manusia lain atau tidak.
Legitimasi
dan afirmasi terhadap aborsi pada zaman ini sering terjadi karena adanya konsep
kebebasan dan efek interpretasi atas kebebasan itu sendiri. Salah satu alasan
rasional yang muncul adalah bahwa eksistensi manusia dalam janin dinilai belum menjadi
manusia yang sempurna. Alasan lainnya menunjuk pada pandangan kebebasan manusia
yang membawa seseorang untuk dengan semaunya sendiri masuk dalam pergaulan
bebas tanpa melihat akibat buruk yang menjadi konsekuensinya. Ketika manusia
berhadapan dengan kehamilan karena pergaulan bebas, tak jarang ia akan mencari
jalan pintas yang memberikan nilai efektif dan berguna baginya. Jalan pintas
yang ditempuh adalah aborsi. Dari sinilah awal persoalan aborsi dimulai.
Pandangan
kelompok pro-choice dalam menilai manusia
yang memiliki kebebasan
sungguh berbeda dengan pandangan Gereja. Gereja memandang manusia sebagai imago Dei yang dikaruniai kebebasan
untuk menentukan kehendaknya: “Sementara kebebasan yang sejati merupakan tanda
yang mulia gambar Allah dalam diri manusia” (GS 17). Kebebasan itu merupakan
salah satu ciri utama yang dimiliki oleh setiap manusia. Bahkan Allah menyerahkan
kebebasan itu kepada manusia supaya ia dapat membuat keputusannya sendiri dalam
perjalanan menuju kebahagiaan. Akan tetapi, kebebasan tersebut bukanlah berarti
bahwa manusia bisa berbuat atau bertindak berdasarkan keinginannya sendiri.
Dalam GS, para Bapa Konsili menyerukan agar manusia dengan akal budi yang
dimiliki dapat mencari dan mencintai apa yang baik dan benar: “Akhirnya kodrat
nalariah pribadi manusia disempurnakan dan memang perlu disempurnakan melalui
kebijaksanaan, yang dengan cara yang menyenangkan menarik budi manusia untuk
mencari dan mencintai apa yang serba benar dan baik” (GS 15).
Gereja
Katolik dalam GS dengan tegas melawan aborsi yang bersinggungan dengan
kebebasan manusia. Kebebasan itu seharunya digunakan dengan kebijaksanaan rasional
sehingga tidak mereduksi kebebasan sebagai jalan untuk melegalkan “pembunuhan
manusia”. Gereja menyerukan nilai-nilai moral itu karena Gereja adalah penjaga
moral bagi dunia. Seruan Gereja terhadap persoalan kebebasan manusia dimulai
dari hukum kodrat bahwa manusia dalam kebebasannya seharusnya berpaling pada
kebaikan. Kebebasan manusia perlu dicapai dengan membebaskan diri dari segala
nafsu dan mengejar tujuan yang luhur melalui sarana-sarana yang memadai.
Reduksi kebebasan dan kebaikan inilah yang menjadi titik dasar polemik dan
perdebatan terhadap praktik aborsi (Armada Riyanto-Mistrianto.eds: 2011: 288).
4.
Sebuah
Harapan
Kasus aborsi
yang dilakukan oleh dr. Rejani Djalal menunjukkan bahwa praktik aborsi yang
memunculkan pelbagai persoalan telah menjadi realitas nyata. Kasus itu dapat
dikatakan sebagai salah satu kasus dari banyak kasus di seluruh dunia di mana
aborsi sudah menjadi “jalan pintas” bagi mereka yang buta akan penghormatan martabat
manusia.
Menghadapi
pelbagai persoalan yang muncul, Gereja berada pada sikap yang tegas ketika
menanggapi aborsi. Bagi Gereja, aborsi berhadapan dengan banyak persoalan –
penodaan terhadap hak untuk hidup sebagai hak asasi paling dasar, nilai intrinsik
hidup manusia, manusia sebagai gambar Allah, nilai kesucian hidup manusia dan
kebebasan manusia – yang mendorong Gereja berjuang melawan praktik kejahatan
tersebut. Inilah tugas utama Gereja, yakni menegakkan kembali martabat khusus
manusia yang telah dikaburkan oleh arogansi manusia itu sendiri yang ingin
menguasai manusia lainnya. Hal itu bertujuan untuk menciptakan harapan di atas
keprihatinan yang telah menjadikan kesedihan bagi dunia. Gereja menyadari
bahwa, “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang,
terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan
harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga” (GS 1).
Peran seluruh
anggota Gereja sangatlah penting bagi tugas perutusan itu. Secara khusus, peran
seorang gembala (imam/pastor) menempati posisi yang sentral. Umat awam sebagai
bagian dari Gereja membutuhkan sosok panutan seperti Paus Yohanes Paulus II,
gembala yang berjuang mempromosikan kehidupan bagi dunia. Gereja membutuhkan pemimpin
yang memiliki prinsip dan ketegasan dalam menentukan arah serta posisi Gereja.
Namun di lain pihak, selain peran seorang gembala, Gereja juga membutuhkan
peran dan kerja sama seluruh umat beriman (awam) dalam menjalankan tugas
tersebut. Peran dan kerja sama seluruh umat beriman sebaiknya memiliki arah
pastoral menuju pengejawantahan semangat Injili dalam praksis nyata; dan bukan
sekadar teori belaka. Untuk itu, diperlukan adanya suatu aksi bersama untuk
meningkatkan tata kehidupan masyarakat. Beberapa aksi pastoral itu adalah (CB.
Kusmaryano: 2005: 154-162):
a)
Pendidikan
seksualitas
Pendidikan
seksualitas menjadi bahan pembelajaran yang sangat penting, terlebih bagi kaum
muda, dalam strategi mengatasi aborsi. Pendidikan ini diarahkan pada
penghargaan martabat seksualitas manusia. Martabat yang dimiliki itu merupakan
anugarah dari Allah yang patut untuk disyukuri dan dipergunakan dengan
semestinya – sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh Sang Pencipta.
Dalam
kerangka pendidikan seksualitas ini, mereka juga penting untuk diberikan
penerangan yang jelas mengenai apa yang disebut dengan kontrasepsi. Hal
tersebut perlu ditekankan karena tidak semua alat kontrasepsi merupakan benar-benar alat kontrasepsi, melainkan
alat kontravita (melawan kehidupan).
Selain
itu juga perlu untuk memberikan penjelasan secara terperinci mengenai akibat
langsung dan tidak langsung dari aborsi, baik dari segi kesehatan dan praksis
iman.
b)
Konsientisasi
martabat hidup manusia
Konsientisasi
mengenai martabat manusia dalam strukutur masyrakat dewasa ini menjadi semakin
penting dan mendesak karena hidup manusia menjadi kurang dihargai. Orang dengan
sangat mudah memutuskan untuk melakukan aborsi karena mencari kepentingan diri.
Dengan
memberikan penyuluhan dan pendidikan kepada masyarkat luas, konsientisasi
martabat manusia kiranya dapat ditekankan kembali. Adanya pemahaman bahwa hidup
manusia merupakan sesuatu yang sangat luhur – yang diciptakan Allah sebagai
gambar dan citra-Nya – merupakan dasar bagi setiap manusia untuk menghormati
manusia yang lain. Poin-poin penting martabat manusia ini senantiasa perlu
untuk ditekankan dalam ranah gerak pastoral sehingga pemahaman masyarakat –
mengenai siapakan manusia di hadapan Allah dan di hadapan manusia lain – dapat menjadi
pintu dalam mempromosikan budaya kehidupan.
c)
Pendidikan
masyarakat
Dalam
praksis, masyarakat mudah sekali untuk menghukum dan mengadili orang lain
dengan pengadilan sendiri; kadangkala pengadilan yang dibuat jauh dari norma
dan rasa keadilan. Dalam hubungannya dengan aborsi, masyarakat mudah untuk
memberikan hukuman kepada perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak
dikendaki (misal: hamil tanpa memiliki suami yang sah dituduh sebagai perempuan yang tidak tahu norma dan
aturan). Oleh karena takut akan hukuman yang diberikan
itu, banyak perempuan yang hamil – yang tidak dikehendaki – mengambil jalan
pintas (aborsi).
Atas
dasar itu, maraknya praktik aborsi yang terjadi di masyarakat tidak boleh
dilepaskan dari tanggung jawab masyarakat pada umumnya. Maka, adanya pendidikan
masyarakat yang tidak permisif – memperbolehkan segala sesuatu – juga perlu diikuti
dengan masyarakat yang tidak mudah memberikan hukuman.
d)
Tanggung
jawab bersama
Salah
satu bentuk ketidakadilan dalam masalah aborsi adalah pandangan bahwa masalah
aborsi merupakan masalah bagi para perempuan saja. Ini merupakan pandangan yang
sangat tidak adil. Sumber “persoalannya” adalah janin dalam kandungan; dan
janin itu bukan hanya hasil dari perbuatan perempuan yang bersangkutan, tetapi
juga melibatkan pasangannya (laki-laki atau ayah janin). Oleh karena itu, sudah
selayaknya bahwa realitas adanya janin yang dikandung merupakan tanggung jawab
yang harus dipikul berdua.
Dengan
menyadari posisi tersebut diharapkan perempuan yang bersangkutan tidak terlalu
tertekan dalam memikul tanggung jawab. Adanya pertanggungjawaban pihak
laki-laki atau pasangannya sangatlah diperlukan untuk meringankan tanggung
jawab perempuan (ibu janin) agar tidak melakukan aborsi.
e)
Lembaga
bantuan
Sebagai
anggota Gereja, tidaklah cukup jika umat beriman hanya mengutuk aborsi dan
melarang orang untuk melakukannya. Semangat moral itu juga harus dinyatakan
dalam tindakan konkrit untuk membantu dan menolong orang yang berada dalam
kesulitan (yang hendak melakukan aborsi) agar dapat keluar dari persoalan
tersebut dengan cara yang bermartabat.
Umat
beriman setidaknya menunjukkan sikap itu dengan bekerja sama dengan lembaga
bantuan sosial yang menaruh perhatian pada perempuan yang mengalami kehamilan yang
tidak dikehendaki (kepada perempuan itu sendiri dan juga kepada anak yang akan
dilahirkan). Hal itu dapat ditunjukkan dengan: mendampingi perempuan yang
mengalami kehamilan yang tidak dikehendaki; mencarikan dan menunjukkan alternatif-alternatif
lain yang ada selain tindakan pengguguran; mencarikan lapangan kerja;
memberdayakan dan advokasi perempuan; mengembalikan kepercayaan diri perempuan
yang mengalami goncangan harga diri dan mencarikan orang tua (adopsi) bagi bayi
yang orang tuanya tidak ingin membesarkan.
Dalam dunia yang
semakin modern dan diikuti dengan kasus pelanggaran kemanusiaan yang semakin
bermunculan – salah satunya adalah aborsi – Gereja menjadi barisan terdepan
dalam mempromosikan budaya kehidupan. Itulah sikap Gereja (seluruh anggota) demi
mengaktualkan ketegasannya atas praktik aborsi. Ketika seorang gembala berada
pada posisi yang jelas – melawan aborsi merupakan salah satu tugas yang harus
dilaksanakan – maka ia telah membangun keyakinan bagi umat beriman dalam
menentukan pilihan. Dari sini, kesetiaan dan ketegasan Gereja dalam melawan
aborsi menjadi mungkin terjaga melalui peran para gembala umat dengan memegang
ajaran Gereja dan mempraktikkannya dalam praksis hidup nyata. Pada ranah inilah
lahir harapan baru yang diusahakan Gereja bagi dunia. Harapan itu menunjuk pada
adanya kesadaran masyarakat dunia untuk semakin menghargai martabat manusia
sejak awal mula adanya.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Hardawiryana,
R.,
2009 Dokumen Konsili Vatikan II,
Departeman Dokumentasi dan Penerangan KWI, Jakarta.
Komisi Kepausan
Untuk Keadilan dan Perdamaian,
2009 Kompendium Ajaran Sosial
Gereja, diterjemahkan dari Compendium
of the Social Doctrine of the Church oleh Y. Maria Florisan dkk., Ledalero,
Maumere.
Kusmaryanto,C.B.,
2002 Kontroversi
Aborsi, Grasindo, Jakarta.
2005 Tolak
Aborsi, Kanisius, Yogyakarta.
Riyanto, Armada,
- Mistrianto (eds.),
2011 Gereja: Kegembiraan & Harapan,
Kanisius, Yogyakarta.
Snijders,
A.,
2004 Antropologi
Filsafat Manusia, Paradoks dan Seruan, Kanisius, Yogyakarta.
Internet:
http://www.tribunnews.com/2012/03/24/setahun-djalal-membunuh-2400-janin, diakses pada Selasa 17 april 2012.
http://www.aborsi.org/statistik.htm, diakses pada Selasa, 17 April 2012.
Copas:
BalasHapus"ketika membicarakan mengenai cinta kasih suami-istri dalam hidup perkawinan, Gereja menegaskan tugas utama dari mereka – sebagai keluarga – adalah melestarikan kehidupan".