Selasa, 21 Maret 2017

ABORSI
Dalam Perspektif Gaudium Et Spes


Setiap manusia memiliki hak untuk mempertahankan keberadaannya sebagai manusia. Kesadaran inilah yang menjadi titik perjuangan untuk saling memberikan penghormatan hak dan martabat manusia. Adanya pelbagai realitas yang mulai menggerogoti nilai kemanusiaan merupakan sebuah ancaman bagi manusia untuk mempertahankan hak dan martabatnya. 
Kenyataan bahwa dunia semakin panas dengan pelbagai persoalan kemanusiaan yang muncul, membuat manusia merasa khawatir dan terancam, terlebih dengan maraknya kasus aborsi. Adanya realitas tersebut, menuntut tanggapan dari Gereja Katolik – sebagai pembela kehidupan yang bermoral – untuk menyikapinya. Jika dilihat dari perspektif Gaudium Et Spes (GS), sikap Gereja sebenarnya sudah jelas. Dalam dokumen tersebut, Gereja terpanggil untuk menyikapi sekaligus membantu masyarakat dunia dalam mencari pemecahan masalah kehidupan dan memperbarui tata hidup masyarakat. Maka, ada satu pertanyaan yang muncul: bagaimana sikap Gereja Katolik berhadapan dengan praktik aborsi? Dalam tulisan ini, pertanyaan tersebut akan dibahas dalam perspektif GS.

1.      Sebuah Fakta
Hasil penyelidikan Polres Cilacap terhadap dr. Rejani Djalal benar-benar mencengangkan (Tribunnews.com: 24 Maret 2012). Dari hasil laporan penyelidikan tersebut disampaikan bahwa Djalal menjadi tersangka kasus aborsi sebanyak 2.422 pasien. Jumlah aborsi itu diketahui setelah polisi menyita dan memeriksa buku pasien dari rumah dan tempat praktik sang dokter. Data yang menyebutkan bahwa sang dokter telah melakukan praktik aborsi sebanyak 2.422 pasien adalah data yang diambil polisi sejak 2007 yang lalu. Padahal dari pengakuannya, Djalal telah memulai praktik aborsi sejak tahun 1991. Jadi dapat dipastikan bahwa praktik kejahatan yang telah dilakukan oleh tersangka setidaknya lebih dari 2.422 kasus aborsi.
Demikianlah fenomena yang memperlihatkan tingginya jumlah kasus aborsi, sebuah fakta yang sekaligus juga menunjukkan adanya dekadensi humanisme peradaban manusia. Banyak kelompok yang mengecam kekejian aborsi, yakni hukum agama, hukum negara, organisasi dan lembaga masyarakat. Semua elemen itu berusaha untuk meminimalisir praktik aborsi. Namun pada kenyataannya, kasus aborsi terus berkembang dan menjamur seiring dengan kemajuan masyarakat yang semakin sekuler.

2.      Sikap Gereja Katolik
Aborsi berasal dari kata Latin (abortion) yang berarti pengeluaran hasil konsepsi dari uterus secara prematur pada umur di mana janin belum bisa hidup di luar kandungan – janin belum dapat hidup di luar kandungan pada umur 24 minggu. Secara medis, aborsi berarti pengeluaran kandungan sebelum berumur 24 minggu dan mengakibatkan kematian; sedangkan pengeluaran janin sesudah umur 24 minggu dan mati tidak disebut aborsi tetapi pembunuhan bayi (CB. Kusmaryanto: 2005: 15). Dalam terminologi moral dan hukum, aborsi diartikan sebagai pengeluaran janin sejak adanya konsepsi sampai dengan kelahirannya yang mengakibatkan kematian. Dalam tulisan ini, aborsi yang dimaksud adalah aborsi dalam arti moral dan hukum.
Fenomena masyarakat dunia meliputi realitas kemiskinan, minimnya pendidikan dan informasi, serta adanya arus budaya Barat yang menawarkan pelbagai produk modern semakin tak terbendung. Selanjutnya, pengaruh globalisasi dan sekularisme sungguh mewarnai masyarakat secara luas. Hal itu melahirkan kasus demi kasus, adanya benturan-benturan konflik yang semakin keras, dan adanya pelbagai praktik dehumanisasi (termasuk aborsi). Gereja, secara khusus Gereja Katolik telah melarang praktik aborsi, masyarakat banyak juga mengutuknya dan banyak negara juga telah mengeluarkan undang-undang tentang aborsi. Namun di sisi lain, ada realitas sosial yang tetap tidak dapat dihindari, yakni praktik aborsi itu sendiri. Berdasarkan data yang diperoleh, ada sekitar 2.000.000 kasus aborsi yang terjadi setiap tahunnya di Indonesia (www.aborsi.org: 17 April 2012). Berarti ada 2.000.000 nyawa yang dibunuh setiap tahunnya secara keji tanpa banyak yang tahu. Data tersebut belum termasuk kasus aborsi yang dilakukan di jalur non-medis. Penelitian WHO (World Health Organization) memperkirakan 20-60 persen kasus aborsi di Indonesia merupakan aborsi yang disengaja/induced abortion (Armada Riyanto-Mistrianto.eds: 2011: 285) dengan klien aborsi terbanyak berada pada kisaran usia 20-29 tahun. Adapun alasan klien atau pelaku melakukan aborsi biasanya adalah karena perkosaan, cacat genetik pada janin, sosial-ekonomi dan gangguan kesehatan.
Posisi Gereja Katolik terhadap praktik aborsi sangatlah tegas dan tidak tergoyahkan. Beberapa pandangan Gereja dalam perjalanan sejarah memang beraneka ragam. Akan tetapi, pada umumnya Gereja berpegang teguh pada pendirian bahwa aborsi adalah tindakan yang jahat dan dosa. Hal itu dapat dilihat dari beberapa tokoh yang dengan keras mengutuk aborsi sebagai tindakan yang tidak bermoral. Paus Pius XI dalam Casti Connubi memandang aborsi sebagai kejahatan yang sangat berat yang dialamatkan kepada hidup anak yang masih ada di dalam kandungan. Selain itu, Paus Pius XII dalam pidatonya yang ditujukan kepada Unione Cattolica Italiana Ostetriche (Persatuan Dokter Obstetri Katolik Italia) juga menentang aborsi sebagai pelanggaran terhadap perintah Tuhan.
Selain kedua tokoh itu, Paus Yohanes Paulus II termasuk tokoh yang juga menentang aborsi dengan tegas. Paus Yohanes Paulus II adalah salah satu sosok pribadi yang dengan giat dan konsisten mentransformasikan nasihat-nasihat Dokumen Konsili Vatikan II (GS) dalam dunia zaman sekarang ini.
Konstitusi Pastoral GS yang diumumkan pada tanggal 7 Desember 1965 merupakan salah satu dokumen resmi yang paling penting di masa Gereja modern yang mengutuk aborsi. Dalam GS 27 dituliskan: “Apa saja yang berlawanan dengan kehidupan sendiri, misalnya bentuk pembunuhan yang mana pun, penumpasan suku, pengguguran, eutanasia atau bunuh diri yang disengaja; apapun yang melanggar keutuhan pribadi manusia, seperti pemenggalan anggota badan, siksaan yang ditimpakan pada jiwa maupun raga […] : semua itu dan hal-hal lain yang serupa memang perbuatan yang keji. Dan sementara mencoreng peradaban manusiawi, perbuatan-perbuatan itu lebih mencemarkan mereka yang melakukannya daripada mereka yang menanggung ketidakadilan, lagi pula sangat berlawanan dengan kemuliaan Sang Pencipta” (GS 27).
Di bagian lain, ketika membicarakan mengenai cinta kasih suami-istri dalam hidup perkawinan, Gereja menegaskan tugas utama dari mereka – sebagai keluarga – adalah melestarikan kehidupan. Hal tersebut menandaskan bahwa Gereja bermaksud mendukung kehidupan yang dibuahkan dari hubungan kasih suami-istri dan melarang dengan tegas adanya praktik aborsi (pengguguran) untuk membatasi jumlah keturunan: “Sebab Allah, Tuhan kehidupan, telah mempercayakan pelayanan mulia melestarikan hidup kepada manusia, untuk dijalankan dengan cara yang layak baginya. Maka, kehidupan, sejak pembuahan, harus dilindungi dengan sangat cermat. Pengguguran dan pembunuhan anak merupakan tindakan kejahatan yang durhaka […]. Putera-puteri Gereja, yang berpegang teguh pada asas-asas itu, dalam mengatur keturunan tidak boleh menempuh cara-cara, yang ditolak oleh Wewenang Mengajar Gereja dalam menguraikan hukum Ilahi” (GS 51).
Pernyataan GS tersebut merupakan pernyataan tentang abortus pertama kali yang dinyatakan oleh sebuah konsili ekumenis Gereja di zaman modern. Pernyataan yang disampaikan itu merupakan sikap Gereja Katolik atas realitas aborsi yang telah menjamur di pelbagai belahan dunia. Sikap Gereja yang terungkap dalam pernyataan GS dengan jelas memperlihatkan kutukan paling keras atas aborsi sebagai bentuk kejahatan manusia yang berat. Dengan pernyataan ini, para uskup seluruh dunia secara bersama-sama sekali lagi ingin menegaskan sikap orang Kristiani (Gereja) berhadapan dengan hidup manusia: suatu sikap penghormatan total dan tanpa syarat (CB. Kusmaryanto: 2005: 49).

3.      Persoalan yang Dihadapi
Ketegasan sikap Gereja Katolik berhadapan dengan kasus aborsi mungkin memunculkan pertanyaan: mengapa Gereja mempertahankan hidup manusia sedemikian keras dan kuatnya. Jawabannya terletak pada cara pandang Gereja yang sangat komprehensif dan holistik terhadap berharganya hidup manusia. Dari cara pandang itu, Gereja menyadari bahwa aborsi merupakan persoalan kemanusiaan yang melahirkan pelbagai masalah yang harus di hadapi. Maka, bagian ini akan membahas refleksi tentang manusia – secara khusus dari perspektif Gereja dalam GS – sebagai persoalan mendasar yang dihadapi.

3.1  Hak untuk Hidup sebagai Hak Asasi Paling Dasar
Hak asasi atau hak yang paling mendasar manusia adalah hak yang ada karena manusia adalah manusia. Manusia memiliki hak itu karena ia adalah manusia. Hak tersebut dihubungkan dengan kepemilikan dari statusnya sebagai manusia. Jadi, hak asasi itu datang dari kodratnya sebagai manusia dan menyatu dengan martabatnya sebagai manusia. Hak itu tidak diberikan oleh orang atau institusi lain, tetapi melekat erat dengannya sebagai manusia.
Poin utama selanjutnya adalah bahwa hak asasi itu dimiliki oleh manusia yang hidup karena hak itu ada sejak manusia ada dan berakhir ketika berakhirnya hidup manusia itu sendiri. Segala topik pembicaraan yang membahas mengenai hak asasi manusia, misalnya: hak untuk berbicara, hak untuk memilih agama atau kepercayaan, hak untuk menyampaikan pendapat, hak untuk memimpin, hak untuk merasa aman, hak untuk mendapatkan pendidikan, semuanya itu dibicarakan dalam kerangka dan demi manusia yang masih hidup. Orang yang mati tidak memiliki semua hak tersebut. Oleh karena itu, hak untuk hidup merupakan syarat utama dan mendasar ketika membicarakan mengenai hak asasi manusia. Maka, sebelum orang menuntut adanya pelaksanaan hak asasi dengan pelbagai macamnya, orang harus terlebih dahulu menghormati hak yang paling dasar, yakni hak untuk hidup. Bagi manusia, hidup adalah nilai fundamental untuk dapat merealisasikan nilai-nilai lainnya.
Selain itu, hidup adalah syarat yang mutlak untuk dapat mewujudkan dan mengembangkan segala potensi yang dimiliki, termasuk mimpi atau gagasan yang dimiliki oleh manusia. Sebagai syarat yang mutlak, hidup merupakan dasar untuk memperkembangkan diri menjadi individu dan pribadi sehingga menjadi dewasa. Atas dasar itu, hak untuk hidup merupakan hak pertama dari semua hak asasi manusia, akar dari semua hak asasi yang dimiliki oleh manusia. Secara singkat dapat dikatakan bahwa hak untuk hidup lebih dari sekadar hak yang fundamental. Hak tersebut merupakan kondisi yang memungkinkan hak-hak lainnya untuk ada dan mewujudkan realisasinya.
Hak untuk hidup ini memang memiliki perbedaan dengan hak asasi manusia lainnya. Salah satu perbedaan yang mencolok terletak pada pelaksanaan dan hasil dari hak itu. Dalam pelbagai kasus, orang menuntut haknya karena dia tidak dapat mendapatkan hak itu atau dirampas haknya. Misalnya: orang menuntut hak untuk dapat menjalankan agamanya dengan bebas sebab di negara tempat ia tinggal, hak untuk menjalankan agama diberangus, maka orang tersebut (dan juga yang lain) menuntut kepada negara agar mendapatkan hak yang diinginkan. Di lain pihak, orang tidak perlu menuntut supaya ia mendapatkan hak untuk hidup karena hidup itu sendiri sudah ada ketika orang tersebut menuntut. Hak untuk hidup bukanlah hak untuk mendapatkan hidup, melainkan hak untuk bebas dari ancaman yang membahayakan dan menghilangkan hidup.
Apakah semua level kehidupan manusia itu harus mendapatkan hak dan perlindungan hukum serta moral yang sama? Jawabannya adalah tentu saja tidak. Akan tetapi, perlindungan dasar terhadap hidup agar hidupnya tidak dimusnahkan tentu berlaku bagi semua hidup manusia. Orang dapat berdiskusi dan berbeda pendapat mengenai apa saja yang menjadi hak asasi manusia, akan tetapi begitu ada kehidupan, maka makhluk hidup manusia itu punya hak yang tidak dapat diganggu gugat untuk melanjutkan hidup dan komunitas masyarakat manusia harus menghormatinya. Perlindungan akan hak hidup ini pun sudah dicanangkan oleh Deklarasi Hak Asasi Manusia oleh PBB pada 10 Desember 1948: “Setiap manusia mempunyai hak untuk hidup, bebas dan keamanan pribadi”.
Berhadapan dengan kasus aborsi, penghomatan atas hidup manusia yang masih dalam kandungan juga mendapatkan dasarnya dari prinsip etika dasar, yakni prinsip vulnerability. Prinsip tersebut memiliki arti bahwa yang kuat berkewajiban untuk melindungi yang lemah. Lepas dari masalah apakah janin itu adalah persona atau bukan, tetapi kalau diakui bahwa janin itu adalah makhluk manusia yang hidup, maka ia mempunyai hak untuk hidup yang harus dihormati dan dilindungi. Untuk itu, yang kuat (setidaknya sang ibu), harus melindungi janin yang lemah. Atas dasar tersebut, GS dengan tegas menekankan penghormatan dan tugas untuk melindungi janin dari bahaya aborsi: “Kehidupan, sejak saat pembuahan, harus dilindungi dengan sangat cermat” (GS 51). Konsili dengan amat jelas menekankan bahwa janin yang sudah hidup dalam rahim sang ibu amat sangat riskan terhadap kemungkinan tindakan kejahatan dan bahkan pembunuhan, seperti aborsi. Hanya dengan cara demikianlah, peradaban manusia akan terhindar dari homo homini lupus (manusia menjadi serigala bagi yang lainnya) di mana terjadi praksis penindasan orang yang lemah oleh yang kuat.

3.2  Nilai Intrinsik Hidup Manusia
Bila seseorang menilai sesuatu, ia dapat mendasarkan penilaiannya pada hal-hal eksternal dari objek itu sendiri sehingga penilaiannya itu disebut nilai ekstrinsik. Akan tetapi, apabila orang menilai sesuatu bedasarkan hal-hal yang intern, maka penilaian atau nilainya disebut intrinsik.
Penilaian ekstrinsik itu diberikan oleh seseorang berdasarkan faktor-faktor eksternal. Faktor-fakator eksternal yang dimaksud dapat berupa kegunaan ataupun nilai sosial-ekonominya. Misalnya: sebuah unit komputer dinilai tinggi karena komputer itu sangat berguna untuk mengerjakan tugas ataupun pekerjaan yang berhubungan dengan keadministrasian. Komputer itu juga memiliki nilai ekonomi yang tinggi sebab dapat dijual dengan harga yang cukup mahal, apalagi bila memiliki kualitas yang baik. Nilai ekstrinsik ini dapat berubah-ubah, demikian pula dengan nilai ekstrinsik dari komputer tersebut. Dari segi kegunaannya, satu unit komputer sangat dihargai tinggi oleh seorang pengusaha. Akan tetapi nilai ekstrinsiknya dapat menjadi rendah bila dinilai oleh seorang petani pedesaan yang tidak dapat menggunakannya.
Apabila nilai ekstrinsik dapat dengan mudah berubah, tidaklah demikian dengan nilai intrinsik. Nilai intrinsik dapat diartikan bahwa sesuatu itu diinginkan karena dirinya sendiri, dinilai berdasarkan nilai intern dari dirinya sendiri. Nilai yang dimiliki itu sudah ada sejak keberadaannya dan berakhir dengan keberadaannya. Nilai ini tidak diberikan oleh orang atau lembaga tertentu dan dalam kurun waktu tertentu, tetapi nilai itu ada karena adanya atau keberadaannya secara kodratiah. Secara khusus, nilai intrinsik yang dimaksud adalah nilai yang dimiliki oleh dan dijadikan penilaian untuk setiap manusia. Oleh karena itu, manusia mempunyai nilainya (bermartabat) sebab ia adalah manusia. Menilai martabat manusia secara ekstrinsik merupakan sebuah dekadensi kemanusiaan dan pelanggaran berat terhadap martabat manusia. Secara ekstrinsik, seseorang bisa saja mempunyai nilai yang rendah (misalnya: karena miskin, sakit atau cacat) tetapi martabatnya tetaplah sama sebab martabat manusia tidak diukur berdasarkan hal-hal yang eksternal, tetapi diukur berdasarkan kodrat kemanusiannya yang sama bagi semua orang (CB. Kusmaryanto: 2005: 69).
Berdasarkan nilai intrinsik yang dimiliki oleh setiap manusia dan menuntut adanya penghormatan bagi martabat manusia, aborsi menghadapi masalah dalam ranah ini. Aborsi dipandang sebagai pengingkaran martabat manusia karena secara praktis menghilangkan nilai intrinsik janin yang adalah manusia. Persoalan inilah yang menjadikan aborsi sebagai tindak kejahatan yang lebih memandang manusia dari perspektif penilaian ekstrinsik. Aborsi telah menghilangkan nilai martabat setiap manusia, padahal nilai itulah yang seharusnya diperjuangkan demi pencapaian nilai intrinsik manusia.
Berhadapan dengan kasus aborsi, GS merasa perlu untuk meyakinkan kembali setiap manusia agar menyadari adanya nilai yang berharga dari dirinya, yakni nilai intrinsik: “berkembanglah kesadaran dan unggulnya martabat pribadi manusia, karena melampaui segala sesuatu, lagi pula hak-hak maupun kewajiban-kewajibannya bersifat universal dan tidak dapat diganggu gugat” (GS 26). Jadi, nilai intrinsik manusia memiliki arti bawa masing-masing hidup manusia mempunyai nilai yang tak terhingga, lepas dari keadaannya secara eksternal, sehingga hidup manusia harus dihargai dan dipandang sebagai yang terpenting: “[…] Konsili menekankan sikap hormat terhadap manusia sehingga setiap orang wajib memandang sesamanya, tak seorang pun terkecualikan, sebagai ‘dirinya yang lain’ [….]” (GS 27).
Nilai intrinsik yang menyatu dalam diri manusia merupakan sesuatu yang unik, tiada duanya. Oleh karena nilai itu, seseorang memiliki kekhasan dan terbedakan dengan manusia yang lain. Orang dapat saja memiliki wajah yang sama, berpakaian yang sama dan memiliki tingkah laku yang sama dengan orang lain, akan tetapi kedua orang itu tetaplah tidak sama. Keduanya memiliki perbedaan dalam pelbagai hal sehingga keduanya tidak dapat dipertukarkan begitu saja. Keunikan dan kekhasan yang termuat dalam nilai intrinsik manusia menjadi dasar dan syarat utama mengapa setiap orang harus melindungi dan menghormati sesamanya.

3.3  Manusia sebagai Gambar Allah
Persoalan aborsi bukanlah semata-mata persoalan sebatas hubungan horizontal (manusia dengan manusia), melainkan persoalan yang memiliki hubungan vertikal (manusia dengan Allah Pencipta). Dengan menjadikan manusia – atau janin – sebagai objek dari kepentingan manusia, aborsi dipandang merendahkan martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Allah. Praktik aborsi menghapuskan karya cipta Allah yang ada di dalam setiap manusia. GS dengan tegas menekankan bahwa martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Allah merupakan salah satu elemen yang mengharuskan adanya penghormatan tiap manusia: “Adapun Kitab Suci mengajarkan bahwa manusia diciptakan ‘menurut gambar Allah’; ia mampu mengenal dan mengasihi Penciptanya; oleh Allah, manusia ditetapkan sebagai tuan atas semua makhluk di dunia ini, untuk menguasainya dan menggunakannya sambil meluhurkan Allah” (GS 12).
Tuhan bersabda, “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi. Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kej 1:26-27). Setelah menciptakan manusia Ia kemudian bersabda, “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi” (Kej 1:28). Keputusan Allah yang secara sengaja menciptakan manusia adalah tanda bahwa manusia itu sangat berbeda dengan ciptaan lainnya. Perbedaan itu terletak pada kualitas yang dimiliki oleh manusia dan martabat intrinsik yang menyertainya. Kualitas itu menunjukkan dengan jelas bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan wajah Allah melebihi semua ciptaan lain.
Di lain pihak, dengan mengatakan bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah menggarisbawahi bahwa manusia mempunyai hubungan yang akrab dengan Allah, Pencipta-Nya. Dengan demikian, manusia sebenarnya memiliki kualitas intrinsik – dari dirinya sendiri – untuk berhubungan dengan Allah dan Allah dapat berdialog dengan manusia. Hal ini berarti bahwa kekhasan manusia sebagai gambar Allah dapat ditemukan dalam relasinya yang sangat khusus dengan Allah. Realitas tersebut menandaskan adanya relasi antara manusia dengan Allah sejak manusia itu sendiri diciptakan.
Dengan aborsi, kekhasan martabat yang dimiliki oleh setiap manusia dimusnahkan atau dihancurkan. Manusia yang masih lemah – janin – dibuat tidak berdaya untuk mempertahankan apa yang sebenarnya telah menjadi hak kodratinya. Aborsi dengan amat jelas menghilangkan nilai intrinsik yang menjadikan manusia sebagai makhluk berharga dibandingkan dengan makhluk yang lain. Dengan menghilangkan dan memusnahkan secara paksa martabat intrinsik manusia sebagai gambaran Allah, bukankan aborsi menghilangkan anugerah Ilahi yang harus diterima? Inilah realitas pengingkaran martabat manusia yang harus dihadapi oleh praktik aborsi.

3.4  Nilai Kesucian Hidup Manusia
Pada masa sekarang ini, topik pembicaraan mengenai kesucian hidup manusia tampil kembali sebagai bagian penting dalam diskusi, terlebih dalam dunia bioetika yang secara khusus menaruh perhatian pada aborsi. Kadang ada anggapan yang melihat bahwa topik pembicaraan mengenai kesucian hidup manusia menjadi kekhasan Gereja Katolik apabila berbicara tentang martabat hidup manusia. Akan tetapi dalam perkembangan sekarang, banyak pihak yang non-Katolik pun mulai membicarakan tema tentang kesucian hidup manusia, terlebih bila menghadapkannya dengan realitas kasus aborsi.
Istilah kesucian berasal dari lingkup agama untuk menunjukkan bahwa sesuatu itu ada dalam batas wilayah Ilahi, maka manusia tidak boleh untuk melanggar ataupun menghinanya. Atas dasar itu, apabila berbicara mengenai kesucian hidup manusia berarti hidup manusia itu berada dalam lingkup Ilahi sehingga manusia lainnya tidak bisa melanggar dan melecehkannya. Dalam hal ini, kesucian hidup manusia bukanlah sesuatu yang harus diperjuangkan, tetapi sebagai batas di mana orang tidak dapat melewatinya (misalnya: kesucian tempat atau rumah ibadat). Karena tempat atau rumah ibadat itu masuk dalam lingkup Ilahi, maka manusia tidak bisa melanggar dan melecehkannya.
Sebenarnya asal konsep ini bersumber dari pandangan religius-agama yang dengan pelbagai cara mengajarkan bahwa hidup manusia mempunyai asal-usul Ilahi. Dalam teks Kitab Suci pun dapat dengan mudah ditemukan teks yang menerangkan bahwa Allah adalah Pencipta dari segala yang ada, termasuk manusia. Dalam Kej 1:1-2:4 diceritakan bahwa Allah menciptakan dunia seutuhnya dan penciptaan itu sampai pada puncaknya dengan penciptaan manusia. Pada saat menciptakan manusia, Allah bersabda, “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi. Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kej 1:26-27). Di lain teks juga dituliskan: “Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatu pun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan” (Yoh 1:3).
Dari beberapa teks itu menjadi jelas bahwa Allah sendirilah yang menciptakan semua yang ada di alam semesta, termasuk manusia. Maka, kapanpun mulainya hidup manusia, pada saat itulah karya penciptaan Allah hadir dan bekerja. Demikianlah kesucian hidup manusia pada dasarnya berakar dan berasal dari kawasan Ilahi. Kesucian itu bukan diberikan atau ditambahkan pada suatu saat tertentu. Kesucian hidup manusia itu ada bersama dengan adanya manusia itu sendiri dan terus ada hingga berakhirnya hidup. Dengan kata lain, sejak manusia diciptakan oleh Sang Pencipta dalam pertemuan sel sperma dan ovum, ia sudah membawa cap kesucian, dan hal itu ia bawa secara terus-menerus sampai pada kematiannya (CB. Kusmaryano: 2005: 79).
Nilai kesucian manusia ini mengandung implikasi dalam banyak hal. Allah adalah Pencipta yang menjadikan hidup manusia ada: “Adapun Kitab Suci mengajarkan bahwa manusia diciptakan (Allah) menurut gambar Allah” (GS 12); Dia yang mempunyai hidup manusia. Manusia bukanlah pemilik absolut kehidupannya. Ia hanya menjadi penjaga dan yang mengatur hidupnya sendiri. Ia tidak berhak untuk mengambil hidup orang lain (membunuh) sebagaimana yang ditunjukkan dalam aborsi. Oleh karena itu, segala macam bentuk pembunuhan, baik hukuman mati, perang, bunuh diri dan aborsi, tidak dapat dibenarkan. Demikian juga dengan semua macam pembunuhan kapan pun juga, atau di dalam tahap perkembangan manusia mana pun juga, entah pada awal kehidupannya (aborsi) atau akhir kehidupannya (euthanasia), adalah pelanggaran berat terhadap kesucian hidup manusia. Hanya Allah sendirilah yang berhak untuk memiliki dan mengambil hidup seseorang, dan bukan manusia yang lain.
Nilai kesucian hidup manusia ini merupakan dasar penghormatan terhadap setiap manusia. Bila aborsi – sebagai kejahatan pembunuhan karena menghancurkan nilai kesucian manusia – dihadapkan dengan realitas adanya nilai kesucian setiap manusia, aborsi itu sendiri menjadi sumber kejahatan karena melawan penghormatan bagi setiap manusia dan berakhir pada hancurnya persaudaraan seluruh umat manusia. Dalam ranah ini, nilai kesucian hidup manusia menegaskan kembali bahwa setiap manusia mempunyai martabat yang sama sebagai gambar dan citra Allah. Itulah yang membuat semua manusia dipersatukan menjadi satu saudara. Adanya semangat untuk menghormati sesama manusia – seturut GS – sangatlah diperlukan agar pada akhirnya terciptalah persaudaraan sejati umat manusia: “Beranjak kepada konsekuensi-konsekuensi praktis yang cukup mendesak, Konsili, menekankan sikap hormat terhadap manusia sehingga setiap orang wajib memandang sesamanya, tak seorang pun terkecualikan, sebagai dirinya yang lain […] mendesak kewajiban menjadikan diri kita sendiri sesama bagi setiap orang [….]” (GS 27).

3.5  Kebebasan Manusia
Kebebasan merupakan salah satu elemen utama dalam tindakan manusia. Secara negatif, bebas dapat diartikan sebagai tidak ada paksaan. Paksaan ini dapat menyangkut psikologi, fisik, sosial dan lain sebagainya di mana semua faktor itu ikut menentukan kelakuan manusia dalam bereksistensi. Jika faktor-faktor tersebut menentukan kelakuan atau cara bereksistensi secara menyeluruh, maka manusia yang mengalaminya tidak lagi disebut yang bebas. Inti dari kebebasan ialah bahwa penentuan berasal dari diri sendiri. Maka, hakikat kebebasan adalah penentuan diri (A. Snijders: 2004: 123).
Bertindak dari kebebasan bukan berarti meniadakan hukum-hukum moral yang menjadi kesepakatan bersama. Bertindak pada level tingkatan yang lebih tinggi diartikan sebagai tindakan yang tidak didikte oleh hukum-hukum tersebut. Konsep cara bertindak yang menegasikan kebebasan dapat disamakan dengan hanya bertindakan demi kewajiban semata. Hal itu terjadi karena subjek hanya diminta untuk memenuhi standar umum yang berlaku.
Dewasa sekarang ini, ada kelompok yang menamakan dirinya sebagai pro-choice. Kelompok ini berusaha untuk membangun sebuah konsep yang menentang gagasan Gereja dan ajarannya tentang aborsi. Pro-choice mengutamakan kebebasan manusia sebagai kepemilikan pribadi yang tidak dapat diganggu gugat. Konsekuensinya adalah manusia harus diijinkan dan dihargai untuk dapat mengatur hidupnya sendiri. Karena manusia memiliki hak untuk mengatur hidupnya sendiri – seturut dengan kebebasan yang dimiliki – maka ia juga berhak untuk memiliki hak pengaturan diri yang efektif, termasuk melakukan tindakan aborsi. Bagi kelompok tersebut, janin dinilai sebagai manusia – sekalipun belum memiliki kelengkapan sebagai manusia sempurna. Jika tindakan untuk mengaborsi janin adalah tindakan yang efektif bagi si pelaku, maka ia dapat dan berhak untuk memilih atau memutuskan pilihan untuk aborsi. Itu semua merupakan persoalan pribadi setiap manusia di mana bukan ranah negara ataupun Gereja untuk ikut campur di dalamnya.
Jika perdebatan masuk ke dalam ranah eksistensi, jelas bahwa pandangan kelompok pro-choice tidak mengakui janin sebagai manusia (the real human being) karena masih belum sempurna. Di lain pihak, mereka memandang bahwa tak seorang pun dibenarkan untuk memaksakan teori dan gagasannya kepada orang lain. Maka, apabila ada orang yang yang bersedia menerima pendapat bahwa janin adalah manusia dalam eksistensinya yang utuh, itu adalah hak orang tersebut. Namun di lain pihak, jika ada orang yang yang tidak setuju dan tidak menerimanya, maka tidak dibenarkan untuk memaksakannya. Keputusan untuk memilih – sebagai realisasi kebebasan yang dimiliki – adalah persoalan pribadi dan tidak dapat diganggu gugat, tidak dapat dilegitimasikan terhadap orang lain. Setiap orang bebas untuk menentukan pilihan dan memutuskan apa yang baik bagi dirinya sendiri, sekalipun kebebasannya itu terbuka terhadap kemungkinan adanya penghancuran manusia lain atau tidak.
Legitimasi dan afirmasi terhadap aborsi pada zaman ini sering terjadi karena adanya konsep kebebasan dan efek interpretasi atas kebebasan itu sendiri. Salah satu alasan rasional yang muncul adalah bahwa eksistensi manusia dalam janin dinilai belum menjadi manusia yang sempurna. Alasan lainnya menunjuk pada pandangan kebebasan manusia yang membawa seseorang untuk dengan semaunya sendiri masuk dalam pergaulan bebas tanpa melihat akibat buruk yang menjadi konsekuensinya. Ketika manusia berhadapan dengan kehamilan karena pergaulan bebas, tak jarang ia akan mencari jalan pintas yang memberikan nilai efektif dan berguna baginya. Jalan pintas yang ditempuh adalah aborsi. Dari sinilah awal persoalan aborsi dimulai.
Pandangan kelompok pro-choice dalam menilai manusia yang memiliki kebebasan sungguh berbeda dengan pandangan Gereja. Gereja memandang manusia sebagai imago Dei yang dikaruniai kebebasan untuk menentukan kehendaknya: “Sementara kebebasan yang sejati merupakan tanda yang mulia gambar Allah dalam diri manusia” (GS 17). Kebebasan itu merupakan salah satu ciri utama yang dimiliki oleh setiap manusia. Bahkan Allah menyerahkan kebebasan itu kepada manusia supaya ia dapat membuat keputusannya sendiri dalam perjalanan menuju kebahagiaan. Akan tetapi, kebebasan tersebut bukanlah berarti bahwa manusia bisa berbuat atau bertindak berdasarkan keinginannya sendiri. Dalam GS, para Bapa Konsili menyerukan agar manusia dengan akal budi yang dimiliki dapat mencari dan mencintai apa yang baik dan benar: “Akhirnya kodrat nalariah pribadi manusia disempurnakan dan memang perlu disempurnakan melalui kebijaksanaan, yang dengan cara yang menyenangkan menarik budi manusia untuk mencari dan mencintai apa yang serba benar dan baik” (GS 15).
Gereja Katolik dalam GS dengan tegas melawan aborsi yang bersinggungan dengan kebebasan manusia. Kebebasan itu seharunya digunakan dengan kebijaksanaan rasional sehingga tidak mereduksi kebebasan sebagai jalan untuk melegalkan “pembunuhan manusia”. Gereja menyerukan nilai-nilai moral itu karena Gereja adalah penjaga moral bagi dunia. Seruan Gereja terhadap persoalan kebebasan manusia dimulai dari hukum kodrat bahwa manusia dalam kebebasannya seharusnya berpaling pada kebaikan. Kebebasan manusia perlu dicapai dengan membebaskan diri dari segala nafsu dan mengejar tujuan yang luhur melalui sarana-sarana yang memadai. Reduksi kebebasan dan kebaikan inilah yang menjadi titik dasar polemik dan perdebatan terhadap praktik aborsi (Armada Riyanto-Mistrianto.eds: 2011: 288).

4.      Sebuah Harapan
Kasus aborsi yang dilakukan oleh dr. Rejani Djalal menunjukkan bahwa praktik aborsi yang memunculkan pelbagai persoalan telah menjadi realitas nyata. Kasus itu dapat dikatakan sebagai salah satu kasus dari banyak kasus di seluruh dunia di mana aborsi sudah menjadi “jalan pintas” bagi mereka yang buta akan penghormatan martabat manusia.
Menghadapi pelbagai persoalan yang muncul, Gereja berada pada sikap yang tegas ketika menanggapi aborsi. Bagi Gereja, aborsi berhadapan dengan banyak persoalan – penodaan terhadap hak untuk hidup sebagai hak asasi paling dasar, nilai intrinsik hidup manusia, manusia sebagai gambar Allah, nilai kesucian hidup manusia dan kebebasan manusia – yang mendorong Gereja berjuang melawan praktik kejahatan tersebut. Inilah tugas utama Gereja, yakni menegakkan kembali martabat khusus manusia yang telah dikaburkan oleh arogansi manusia itu sendiri yang ingin menguasai manusia lainnya. Hal itu bertujuan untuk menciptakan harapan di atas keprihatinan yang telah menjadikan kesedihan bagi dunia. Gereja menyadari bahwa, “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga” (GS 1).
Peran seluruh anggota Gereja sangatlah penting bagi tugas perutusan itu. Secara khusus, peran seorang gembala (imam/pastor) menempati posisi yang sentral. Umat awam sebagai bagian dari Gereja membutuhkan sosok panutan seperti Paus Yohanes Paulus II, gembala yang berjuang mempromosikan kehidupan bagi dunia. Gereja membutuhkan pemimpin yang memiliki prinsip dan ketegasan dalam menentukan arah serta posisi Gereja. Namun di lain pihak, selain peran seorang gembala, Gereja juga membutuhkan peran dan kerja sama seluruh umat beriman (awam) dalam menjalankan tugas tersebut. Peran dan kerja sama seluruh umat beriman sebaiknya memiliki arah pastoral menuju pengejawantahan semangat Injili dalam praksis nyata; dan bukan sekadar teori belaka. Untuk itu, diperlukan adanya suatu aksi bersama untuk meningkatkan tata kehidupan masyarakat. Beberapa aksi pastoral itu adalah (CB. Kusmaryano: 2005: 154-162):
a)      Pendidikan seksualitas
Pendidikan seksualitas menjadi bahan pembelajaran yang sangat penting, terlebih bagi kaum muda, dalam strategi mengatasi aborsi. Pendidikan ini diarahkan pada penghargaan martabat seksualitas manusia. Martabat yang dimiliki itu merupakan anugarah dari Allah yang patut untuk disyukuri dan dipergunakan dengan semestinya – sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh Sang Pencipta.
Dalam kerangka pendidikan seksualitas ini, mereka juga penting untuk diberikan penerangan yang jelas mengenai apa yang disebut dengan kontrasepsi. Hal tersebut perlu ditekankan karena tidak semua alat kontrasepsi merupakan benar-benar alat kontrasepsi, melainkan alat kontravita (melawan kehidupan).
Selain itu juga perlu untuk memberikan penjelasan secara terperinci mengenai akibat langsung dan tidak langsung dari aborsi, baik dari segi kesehatan dan praksis iman.
b)      Konsientisasi martabat hidup manusia
Konsientisasi mengenai martabat manusia dalam strukutur masyrakat dewasa ini menjadi semakin penting dan mendesak karena hidup manusia menjadi kurang dihargai. Orang dengan sangat mudah memutuskan untuk melakukan aborsi karena mencari kepentingan diri.
Dengan memberikan penyuluhan dan pendidikan kepada masyarkat luas, konsientisasi martabat manusia kiranya dapat ditekankan kembali. Adanya pemahaman bahwa hidup manusia merupakan sesuatu yang sangat luhur – yang diciptakan Allah sebagai gambar dan citra-Nya – merupakan dasar bagi setiap manusia untuk menghormati manusia yang lain. Poin-poin penting martabat manusia ini senantiasa perlu untuk ditekankan dalam ranah gerak pastoral sehingga pemahaman masyarakat – mengenai siapakan manusia di hadapan Allah dan di hadapan manusia lain – dapat menjadi pintu dalam mempromosikan budaya kehidupan.
c)      Pendidikan masyarakat
Dalam praksis, masyarakat mudah sekali untuk menghukum dan mengadili orang lain dengan pengadilan sendiri; kadangkala pengadilan yang dibuat jauh dari norma dan rasa keadilan. Dalam hubungannya dengan aborsi, masyarakat mudah untuk memberikan hukuman kepada perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak dikendaki (misal: hamil tanpa memiliki suami yang sah dituduh sebagai perempuan yang tidak tahu norma dan aturan). Oleh karena takut akan hukuman yang diberikan itu, banyak perempuan yang hamil – yang tidak dikehendaki – mengambil jalan pintas (aborsi).
Atas dasar itu, maraknya praktik aborsi yang terjadi di masyarakat tidak boleh dilepaskan dari tanggung jawab masyarakat pada umumnya. Maka, adanya pendidikan masyarakat yang tidak permisif – memperbolehkan segala sesuatu – juga perlu diikuti dengan masyarakat yang tidak mudah memberikan hukuman.
d)      Tanggung jawab bersama
Salah satu bentuk ketidakadilan dalam masalah aborsi adalah pandangan bahwa masalah aborsi merupakan masalah bagi para perempuan saja. Ini merupakan pandangan yang sangat tidak adil. Sumber “persoalannya” adalah janin dalam kandungan; dan janin itu bukan hanya hasil dari perbuatan perempuan yang bersangkutan, tetapi juga melibatkan pasangannya (laki-laki atau ayah janin). Oleh karena itu, sudah selayaknya bahwa realitas adanya janin yang dikandung merupakan tanggung jawab yang harus dipikul berdua.
Dengan menyadari posisi tersebut diharapkan perempuan yang bersangkutan tidak terlalu tertekan dalam memikul tanggung jawab. Adanya pertanggungjawaban pihak laki-laki atau pasangannya sangatlah diperlukan untuk meringankan tanggung jawab perempuan (ibu janin) agar tidak melakukan aborsi.
e)      Lembaga bantuan
Sebagai anggota Gereja, tidaklah cukup jika umat beriman hanya mengutuk aborsi dan melarang orang untuk melakukannya. Semangat moral itu juga harus dinyatakan dalam tindakan konkrit untuk membantu dan menolong orang yang berada dalam kesulitan (yang hendak melakukan aborsi) agar dapat keluar dari persoalan tersebut dengan cara yang bermartabat.
Umat beriman setidaknya menunjukkan sikap itu dengan bekerja sama dengan lembaga bantuan sosial yang menaruh perhatian pada perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak dikehendaki (kepada perempuan itu sendiri dan juga kepada anak yang akan dilahirkan). Hal itu dapat ditunjukkan dengan: mendampingi perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak dikehendaki; mencarikan dan menunjukkan alternatif-alternatif lain yang ada selain tindakan pengguguran; mencarikan lapangan kerja; memberdayakan dan advokasi perempuan; mengembalikan kepercayaan diri perempuan yang mengalami goncangan harga diri dan mencarikan orang tua (adopsi) bagi bayi yang orang tuanya tidak ingin membesarkan.
Dalam dunia yang semakin modern dan diikuti dengan kasus pelanggaran kemanusiaan yang semakin bermunculan – salah satunya adalah aborsi – Gereja menjadi barisan terdepan dalam mempromosikan budaya kehidupan. Itulah sikap Gereja (seluruh anggota) demi mengaktualkan ketegasannya atas praktik aborsi. Ketika seorang gembala berada pada posisi yang jelas – melawan aborsi merupakan salah satu tugas yang harus dilaksanakan – maka ia telah membangun keyakinan bagi umat beriman dalam menentukan pilihan. Dari sini, kesetiaan dan ketegasan Gereja dalam melawan aborsi menjadi mungkin terjaga melalui peran para gembala umat dengan memegang ajaran Gereja dan mempraktikkannya dalam praksis hidup nyata. Pada ranah inilah lahir harapan baru yang diusahakan Gereja bagi dunia. Harapan itu menunjuk pada adanya kesadaran masyarakat dunia untuk semakin menghargai martabat manusia sejak awal mula adanya.


DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Hardawiryana, R.,
2009    Dokumen Konsili Vatikan II, Departeman Dokumentasi dan Penerangan KWI, Jakarta.
Komisi Kepausan Untuk Keadilan dan Perdamaian,
2009    Kompendium Ajaran Sosial Gereja, diterjemahkan dari Compendium of the Social Doctrine of the Church oleh Y. Maria Florisan dkk., Ledalero, Maumere.
Kusmaryanto,C.B.,
2002    Kontroversi Aborsi, Grasindo, Jakarta.
2005    Tolak Aborsi, Kanisius, Yogyakarta.
Riyanto, Armada, - Mistrianto (eds.),
            2011    Gereja: Kegembiraan & Harapan, Kanisius, Yogyakarta.
Snijders, A.,
2004    Antropologi Filsafat Manusia, Paradoks dan Seruan, Kanisius,                                            Yogyakarta.

Internet:
http://www.aborsi.org/statistik.htm, diakses pada Selasa, 17 April 2012.










1 komentar:

  1. Copas:
    "ketika membicarakan mengenai cinta kasih suami-istri dalam hidup perkawinan, Gereja menegaskan tugas utama dari mereka – sebagai keluarga – adalah melestarikan kehidupan".

    BalasHapus

La présence de Dieu qui accompagne toujours nos vies est un mystère. Sa présence réelle qu'Il soit là ou ici, nous ne pourrons peut-être...