MENGHADAPI DIRI BERSAMA ALLAH
MENUJU BERKAT
(Kejadian 32: 22 – 32)
I. PENDAHULUAN
Pentateukh atau sebutan untuk kelima kitab Musa yang
terdiri dari Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan dan Ulangan, merupakan sebuah
kesatuan yang mengisi perpustakaan Perjanjian Lama dalam Alkitab. Kelima kitab
ini sungguh memiliki keistimewaan dalam kehidupan iman Israel karena
menceritakan tentang sejarah keselamatan Allah yang berpusat pada seorang tokoh
utama, yakni Musa. Oleh karena itu, kelima kitab itu sering disebut sebagai
kitab Musa atau Taurat Musa.
Rangkaian kelima dari kitab-kitab itu berasal dari
sekitar tahun 400 SM yang isinya berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang
terjadi beratus-ratus tahun sebelumnya. Kumpulan dari peristiwa itu kemudian
diproses lebih lanjut dan berlangsung cukup panjang. Dalam proses itu bahan-bahan
diwariskan secara turun-temurun (secara lisan maupun tertulis) hingga sampai
terbentuk terakhirnya seperti sekarang ini. Dari bahan-bahan yang memuat
kumpulan peristiwa/kisah dapat dikatakan sebagai kisah kepahlawanan umat
Israel: mulai dari kisah para bapa Bangsa, kisah pembebasan dari Mesir (exodus) hingga sampai pada kisah
pengalaman Sinai (Israel sebagai bangsa yang mengikat perjanjian vasal[1] dengan Yahwe, Allah mereka) yang pada
akhirnya membawa mereka ke Tanah Terjanji, Kanaan.
Di antara kumpulan kisah-kisah historis kepahlawanan
itu, ada sebuah perikop dari kesatuan tokoh-tokoh kepahlawanan Israel yang
terdapat di dalam Kejadian. Kisah itu adalah tentang Ishak, Yakub, dan
Anak-anak Yakub. Kisah dari tokoh-tokoh itu dapat disatukan dalam Kejadian
25-36. Sebuah kisah yang menarik adalah sebuah kisah tentang Yakub yang
terdapat dalam Kejadian 32: 22-32, yang ditulis dalam Alkitab dengan judul:
Pergumulan Yakub dengan Allah. Kisah ini menceritakan tentang pergulatan Yakub
dengan seseorang (ay. 25) setelah ia menyeberangkan kedua isteri, kedua budak
perempuan, kesebelas anak dan segala yang dimilikinya di sungai Yabok. Yang
menarik dari kisah ini adalah saat Yakub bergumul dengan seseorang. Pergumulan
itu berjalan dengan sengitnya hingga sampai fajar menyingsing (ay. 26). Dari
pergulatan itulah Yakub baru mengatahui bahwa seseorang itu adalah Allah: “Aku
telah melihat Allah berhadapan muka, tetapi nyawaku tertolong!” (ay. 30). Pertemuan
Yakub dengan Allah dalam sebuah pergulatan itu pada akhinya membawa Yakub pada
sebuah perjumpaan dengan Yang Kudus yang memberinya sebuah nama baru: Israel
(nama bagi keturunan Yakub); perjumpaan dengan Yang Kudus yang memberinya
berkat (ay. 29).
Didalam tulisan ini akan dibahas lebih lanjut
perikop Pergumulan Yakub dengan Allah (Kej 32:22-32) dengan mengaitkannya pada
sebuah pembahasan utama: Menghadapi Diri Bersama Allah Menuju Berkat. Untuk
dapat mendalaminya lebih lanjut, tulisan ini akan memuat dua pokok pembahasan
yang meliputi: Perikop – Tafsiran dan Pengajaran Iman.
II. PERIKOP - TAFSIRAN
Dalam Kejadian 32: 22-32,
22 Pada
malam itu Yakub bangun dan ia membawa kedua isterinya, kedua budaknya perempuan dan kesebelas anaknya, dan
menyeberang di tempat penyeberangan sungai Yabok.
23 Sesudah
ia menyeberangkan mereka, ia menyeberangkan juga segala miliknya.
24 Lalu
tinggallah Yakub seorang diri. Dan seorang laki-laki bergulat dengan dia sampai
fajar menyingsing.
25 Ketika orang itu melihat, bahwa ia tidak dapat
mengalahkannya, ia memukul sendi pangkal
paha Yakub, sehingga sendi pangkal paha itu terpelecok, ketika ia bergulat dengan
orang itu.
26 Lalu kata orang itu: "Biarkanlah aku
pergi, karena fajar telah menyingsing." Sahut Yakub: "Aku tidak akan
membiarkan engkau pergi, jika engkau tidak memberkati aku."
27
Bertanyalah orang itu kepadanya: "Siapakah
namamu?" Sahutnya: "Yakub."
28
Lalu kata orang itu: "Namamu tidak
akan disebutkan lagi Yakub, tetapi Israel , sebab engkau
telah bergumul melawan Allah dan manusia, dan engkau menang."
29
Bertanyalah Yakub: "Katakanlah juga
namamu." Tetapi sahutnya: "Mengapa engkau menanyakan namaku?" Lalu diberkatinyalah Yakub di situ.
30
Yakub menamai tempat itu Pniel, sebab
katanya: "Aku telah melihat Allah berhadapan muka, tetapi nyawaku tertolong!"
31
Lalu tampaklah kepadanya matahari
terbit, ketika ia telah melewati Pniel; dan Yakub pincang karena pangkal pahanya.
32 Itulah
sebabnya sampai sekarang orang Israel
tidak memakan daging yang menutupi sendi
pangkal paha, karena Dia telah memukul
sendi pangkal paha Yakub, pada otot pangkal pahanya.
Mengenai perikop ini, banyak ahli
tafsir mengatakan bahwa kisah Yakub dan Allah yang beradu kekuatan ini berasal
dari tradisi Yahwista (J). Perikop ini memiliki kekhususan pada ucapan rangkap
yang jelas kelihatan, yakni ay. 22 dan 23. Menurut ay. 22, Yakub sendiri
bersama dengan seluruh keluarga dan segala miliknya “menyeberangi” sungai
Yabok, sedangkan dalam ay. 23, ia “menyeberangkan” keluarga serta segala
miliknya itu melalui sungai Yabok, tetapi ia sendiri masih tinggal di belakang
(ay. 24)[2].
Kisah pergulatan Yakub dengan Allah ini sangat kuno sifatnya karena berasal
dari waktu pra-Israel, yaitu dalam kekafiran Palestina; mungkin pengarang kitab
ingin memanfaatkan sebuah cerita kuno guna menerangkan asal-usul nama Pniel,
yang letaknya dekat dengan sungai Yabok[3].
Jika dilihat
dari sudut pandang aitiologi[4], perikop ini memiliki keanekaragaman cerita-cerita
yang terkandung di dalamnya. Keanekaragaman cerita itu dapat dirangkum ke dalam empat serita-sebab[5]:
1.
Cerita-sebab
nama sungai Yabok (jabboq)
Kisah ini menunjuk pada cerita mengenai salah satu
hantu-malam yang berada di pinggir sungai penyeberangan dan menghadang orang
ataupun kelompok orang yang hendak menyeberang. Demikian pula dengan kelompok
Yakub yang hendak menyeberang sungai Yabok. Hantu itu tidak menghadang kelompok
besar dari rombongan Yakub melainkan menjumpai dan bahkan bergulat secara
langsung dengan Yakub ketika ia seorang diri (ay. 24). Pergulatan sengit yang
berakhir dengan kemengangan Yakub ini ingin menjelaskan bahwa Yakub diteguhkan
sebagai tokoh unggul bapa leluhur Israel. Inilah letak cerita rakyat yang ingin
mengetengahkan kelebihan dan kebanggaan dari leluhur Israel, Yakub. Oleh karena
cerita itu berpusat pada pergulatan Yakub, maka sungai itu dinamakan Yabok yang
searti dengan jabboq (sungai pergulatan).
2.
Cerita-sebab
pantangan makan daging sendi pangkal paha
Menurut ay. 32, urat saraf (daging yang menutupi
sendi pangkal paha) dipandang dan bahkan diklaim sebagai barang yang haram
(pantangan) yang tidak boleh dimakan. Dari perikop yang tersedia itu, ternyata
pengarang ingin mengetengahkan penyucian pantangan agama yang dianggap mutlak
untuk dilaksanan berhubung dengan pantang akan bagian daging yang dianggap
haram itu. Bila dilihat secara lebih mendalam, iman Israel mempergunakan dan
memperalat cerita keangkuhan rakyat tadi untuk mengesahkan dan meresmikan serta
menyucikan larangan/pantangan dari agama. Kalau begitu, bukanlah salah satu
hantu-malam setempat (lokal), melainkan Allah Israel sendirilah yang melarang
dan mengharamkan (mengutuki) makanan tersebut[6].
3.
Cerita-sebab
nama tempat-suci Pniel
Penil-El atau Penu-El (ay.30) berarti wajah Allah,
atau juga “Allah melihat, memandang”. Dalam ayat ini terlihat dengan jelas
bahwa cerita-sebab dari perikop kisah ini mengetengahkan pergulatan yang
terjadi antara Yakub dengan “seseorang” yang pada akhirnya ia mengetahui bahwa “seseorang”
itu adalah Allahnya. Pergulatan itu terjadi cukup lama dan bahkan sampai fajar
menyingsing. Pergulatan yang pada akhirnya membawa Yakub pada sebuah kesadaran
menjadikannya sungguh merasa takjub. Ketakjuban itu didasarkan pada kesadaran
akan imannya bahwa Allah Yang Kudus telah berhadapan muka dengannya: “Aku telah
melihat Allah berhadapan muka, tetapi nyawaku tertolong!” (30). Perjumpaan dengan Allah bagi iman Israel
adalah sebuah perjumpaan yang membawa pada kematian. Namun kepercayaan itu
tidak berlaku bagi Yakub sebab perjumpaannya dengan Allah tidak membuatnya mati
tetapi menjadi berkat baginya. Maka, Yakub mengabdikan tempat itu dengan nama
Pniel sebab di tempat itulah ia melihat wajah Allah.
4.
Cerita-sebab
nama Israel (Yakub)
Pergulatan yang mengarah pada perjumpaan Yakub
dengan seseorang yang memiliki kekuatan yang luar biasa itu membuat Yakub
semakin terbuka akan siapa dirinya. Perjumpaan dengan pribadi adikodrati ini pada
akhirnya memampukan Yakub untuk menyadari bahwa seseorang yang tengah
dihadapinya itu adalah Allahnya sendiri. Atas dasar kesadaran rohani inilah
kemudian Yakub menjadi pribadi yang terbuka akan Allah yang sedang berjumpa
dengannya. Maka ketika Yakub ditanya tentang siapa namanya, dengan jelas ia
menjawab: “Yakub” (ay. 27). Keterbukaan Yakub untuk memberikan namanya ini
sekaligus menunjuk pada arti pribadi dirinya sendiri sebagai seorang “penipu”
(Yakub searti dengan jaaqob = penipu)
sebab ia telah menipu hak kesulungan dari abangnya, Esau (bdk. Kej 25: 19-34).
Namun dengan mengakui akan arti sejati dari dirinya itu, Yakub kemudian
mendapat berkat dengan nama baru, Israel (bdk. ay. 28), sebuah nama baru yang
sekaligus juga mengubah hidup serta kepribadiannya menjadi baru pula. Kini ia
bukan lagi “penipu” melainkan orang “pilihan Allah”. Nama baru itu tidak hanya
menjadi berkat baginya saja melainkan juga bagi seluruh keturunannya sebagai
penggenapan janji Allah kepada Abraham, bapa leluhurnya.
Setelah melihat ada empat bentuk cerita
kuno dari perikop Pergulatan Yakub dengan
22 Ayat ini ternyata memiliki
hubungan dengan ay. 21 (perikop sebelumnya) : “Pada malam itu”. Hubungan ini
ternyata merupakan sebuah persiapan untuk ay. 31: “tampaklah kepadanya matahari
terbit”. Maka dapat dijelaskan bahwa malam yang tengah dilalui adalah kegelapan
malam alamiah (fisik) dengan kegelisahan akan penyeberangan lembah sungai yang
cukup berbahaya. Oleh karena itu, karena memilki hubungan yang erat dengan ay.
31 maka penjelaskan tentang terbitnya matahari dapat diartikan sebagai
penerimaan berkat dan sekaligus nama baru yang diperoleh Yakub. Di lain pihak,
kekelaman suasana hati Yakub yang ditafsir dari ay. 21: Pada malam itu, dapat
juga diartikan dengan kesalahannya yang tidak dapat diampuni dengan
kecurangannya dalam mengambil hak sulung dari kakaknya, Esau (bdk. Kej 25:
19-34).
23 “Sesudah ia menyeberangkan
mereka, ia menyeberangkan juga segala miliknya.” Ayat ini merupakan semacam
pengulangan dari ay. 22. Dalam ayat ini diceritakan bahwa Yakub tidak ikut
menyeberang sungai Yabok, namun ia hanya menjaga keamanan keluarga beserta
segala yang dimilikinya. Penyeberangan sungai itu cukup berbahaya karena tidak
hanya airnya yang deras tetapi oleh karena gelapnya malam yang semakin
menyulitkan bagi operasi penyeberangan besar itu. Oleh karena itu, setelah
menyeberangkan semuanya Yakub kemudian masih tinggal di belakang rombongan
sembari tetap waspada. Dalam hal ini Yakub sungguh pandai dalam memposisikan
diri. Dengan berada di belakang rombongan ia menjaga operasi penyebarangan itu
dari berbagai ancaman. Di lain pihak, posisinya di belakang rombongan adalah
langkah ketakutannya karena ia mengetahui bahwa di depan rombongan itu ada Esau
beserta dengan segala pengawalnya (bdk. Kej 33:1).
24 “Lalu tinggallah Yakub seorang
diri.” Kegelapan yang telah membuat kegelisahan Yakub kini telah menguat
kembali. Kegelisahan yang telah dibuatnya sendiri terlebih oleh karena kakaknya,
Esau, kini telah mengurungnya di dalam suasana hati yang menggelisahkan. Kini
ia seorang diri dan kesendirian itu kemudian menghantarnya pada perjumpaan
dengan Allah. Sebuah perjumpaan langsung dan tanpa menggunakan perantara. “Dan
seorang laki-laki bergulat dengan dia sampai fajar menyingsing”. Awalnya
seorang laki-laki yang bergulat dengannya itu tidak diketahui jati dirinya.
Namun yang pasti bahwa serangan itu berusaha untuk menghancurkan-membunuh
Yakub. Berhadapan dengan ancaman itu, Yakub pun tak berhenti diam. Dengan
segala kekuatan ia curahkan untuk menahan dan melawan serangan itu, bahkan
semalam-malaman. Kata “bergulat” (wajje’abeq)
dapat diartikan sebagai permainan dari kata
Yabok (jabboq), sehingga dapat
dimengerti bahwa seluruh perikop kisah adalah semacam cerita-etimologi sungai
Yabok. Dari cerita ini kemudian bangsa Israel mengiaskan Yakub seperti Musa, seorang
tokoh pilihan Allah.
25 Dengan sebuah pukulan, seseorang
yang berhadapan dengan Yakub itu memukul sendi pangkal pahanya sehingga Yakub
tidak dapat berjuang dan mempertahankan diri lagi. Para penafsir melihat ayat
ini sebagai tindakan Allah sendiri. Sebenarnya Ia mampu dan sanggup untuk
memukul mati Yakub, namun hal itu tidak terjadi. Allah hanya menjadikannya
pincang dan tidak dapat meneruskan pergulatan. Yakub yang lama telah
dihancurkan kekuatannya sehingga ia tidak dapat bergulat dan berjalan tegak
lagi, bahkan Allah pun ingin meninggalkannya.
26 Lalu kata orang itu: “Biarkanlah
aku pergi, karena fajar telah menyingsing”. Dari cerita sebab dari sungai Yabok
dapat dilihat bahwa hantu malamlah yang bergulat dengannya. Oleh karena hantu
itu hanya berkuasa pada malam hari maka ketika fajar menyingsing ia meminta menarik diri dari Yakub agar cahaya
fajar tidak menangkap/membinasakannya. Namun, di lain pihak banyak penafsir
menjelaskan bagian dari ayat ini sebagai peran serta Allah. Tapi juga patut
untuk dikritisi bahwa Allah berkuasa tidak hanya di malam hari melainkan juga
seluruh hari. Hal ini sepertinya tidak diperhatikan secara kritis oleh si
pengarang! Maka dapat dikatakan bahwa Allah berkenan meninggalkan orang
pilihannya itu dalam keadaan pincang; Ia tidak memperdulikan lagi orang
pilihan-Nya.
Sahut Yakub: “Aku tidak akan
membiarkan engkau pergi, jika engkau tidak memberkati aku”. Di satu pihak,
bagian ayat ini menjelaskan bagaimana Yakub meminta berkat dari seseorang yang
berhadapan dengannya itu. Tapi di pihak lain diceritakan bahwa Allah ingin
pergi dari Yakub dan atas tindakan itu Yakub kemudian memohon kepada-Nya untuk
tidak menginggalkannya begitu saja. Yakub memohon agar
Allah tidak pergi darinya; agar Ia berkenan untuk memberkatinya. Dengan penuh
kepercayaan-keberanian Yakub meminta berkat karena ia yakin bahwa Allah tetap
setia akan janji-Nya kepada bapa leluhur Israel , Abraham (bdk. Kej 12:2).
Atas permohonan Yakub ini sepertinya Allah mendengar seruan hambanya. Allah
tidak meninggalkan Yakub dan menjawabnya (terdapat dalam ay. 27).
27 Bertanyalah orang itu kepadanya: “Siapakah
namamu?” Pertanyaan ini bukanlah sekadar pertanyaan biasa yang kerap kali
disampaikan ketika seseorang belum mengenal yang lain. Pertanyaan yang diajukan
oleh Allah Israel
ini sebenarnya sebuah pertanyaan yang ingin menunjukkan jati diri sejati Yakub.
Berhubung dengan pertanyaan itu maka Yakub mengakui inti hidup dan tabiatnya:
“Sahutnya Penipu” (Yakub=jaaqob, bdk.
Kej 25: 26; 27: 36). Jawaban Yakub ini tidak hanya memperkenalkan siapa dirinya
melainkan sebuah pengakuan akan seluruh diri, termasuk pengakuan akan
kedosaannya.
28 Ayat ini menjelaskan dengan baik bagaimana
Yakub mendapatkan sebuah nama baru: Israel . Nama baru ini diberikan kepada Yakub sebab “ia
telah bergumul” dengan Alah dan manusia. Oleh karena itu, ayat ini memiliki
hubungan yang erat dengan cerita-sebab (etimologi) untuk nama baru: Israel.
Nama Israel ini menunjuk pada “bergumul melawan Allah” yang dalam bahasa Ibrani
diterjemahkan dengan sara: Allah
menyatakan diri-Nya kuat. Pada penafsiran kemudian, arti Israel ini kemudian
diartikan: ia yang telah kuat melawan Allah, dan dalam arti tertentu
penekanannya dipusatkan pada tokoh utama, yakni Yakub.
“Melawan Allah dan manusia”. Sesuai
dengan hubungan ayat ini dengan beberapa perikop sebelumnya (bdk. Kej 31: 1-55;
32: 1-21), maka dapat dilihat bahwa adanya sebuah keterkaitan dengan beberapa tokoh:
Laban dan Esau. Inti dari bagian ayat ini ingin mengatakan bahwa Yakub sekarang
telah berpengalaman dan berada pada sebuah keberanian yang matang. Yakub
sekarang telah berani menghadapai dua lawan yang siap menghadangnya, baik Allah
maupun manusia. Ia dengan sabar menahan/berjuang dalam masa yang panjang setelah
perpisahannya dengan Laban dan dengan gagah berani menahan perlawana-pencobaan
dari Allah. Pada akhinya ia pun “menang”. Sepertinya memang aneh bila Allah dikalah
oleh Yakub. Akan tetapi ternyata Allah membiarkan terjadi demikian (membiarkan
Diri-Nya kalah) agar manusia yang (seharusnya) kalah oleh karena kuasa Allah
dapat menang karena kasih-Nya!
29 Dalam ayat sebelumnya Allah
menanyakan jati diri-identitas Yakub (ay. 27). Sekarang saatnya bagi Yakub
untuk menanyakan jati diri Allah: “Katakanlah juga namamu”. Yakub meminta agar
Ia membuka rahasia kepribadian-Nya. Berhadapan dengan pertanyaan itu ternyata
Allah tidak menghiraukan permintaannya. Namun sebaliknya, Ia menanyakan apa sebab
dan untuk apa maksudnya Yakub bertanya demikian: ”Mengapa engkau menanyakan
namaku?”. Dengan pertanyaan itu sebenarnya Allah mengajar Yakub bahwa nama-Nya
tetap rahasia, agung dan luhur sehingga tidak dapat disalahgunakan oleh manusia
(bdk. Kel 20: 7; Ul 5: 11). Dari ungkapan Allah ini dapat diterangkan bahwa
Allah tetap ingin menjaga kekudusan-Nya dengan manusia. Namun jarak yang
dipertahankan itu tidak menghapus kedekatan-Nya dengan Yakub: “Lalu
diberkatinyalah Yakub di situ”. Barulah terlihat dengan jelas bahwa Allah
Abraham dan Ishak memberkati Yakub. Berkat inilah yang menyempurnakan berkat
yang ia curi dengan tipu muslihat dari orang tua dan kakaknya. Kini berkat yang
diterima Yakub telah dibenarkan dan direstui oleh Allah sendiri.
30 “Aku telah melihat Allah
berhadapan muka, tetapi nyawaku tertolong!” Dalam kalimat ini terangkum
pengalaman yang dialami Yakub dan ia mengabdikan tempat perjumpaan dengan Allah
itu dengan nama Pniel (wajah Allah) sebab di tempat itu ia melihat wajah Allah.
Di lain pihak, Yakub menyadari bahwa pengalamannya memandang wajah Allah itu
ternyata tidak menjadikannya binasa dengan menghanguskannya ( bdk. Kel 24: 17;
Hak 6: 22-23; 13: 22). Namun ia menyadari bahwa ia selamat: “Tetapi nyawaku
tertolong!”. Pengalaman perjumpaan dengan Allah ternyata tidak membawa Yakub
kepada kebinasaan melainkan membawanya kepada keselamatan. Maka, betapa besar
rahmat yang diberikan Allah kepada Yakub bahkan ia diperkenankan untuk melihat
wajah-Nya. Perjumpaan inilah yang menyatakan bahwa Yakub mendapat perlindungan
dan karunia istimewa dari Allah ( bdk. I Sam 3).
31 “Lalu tampaklah kepadanya
matahari terbit, ketika ia telah melewati Pniel.” Dengan menyampaikan sebuah
informasi bahwa matahari terbit adalah untuk menandakan bahwa kuasa hantu-malam
yang menghadang Yakub telah berakhir kuasanya dan kini saatnya untuk menarik
diri. Di lain pihak, bagian ayat ini menjelaskan bagaimana dasyatnya malam yang
kelam telah dilalui oleh Yakub. Segala ketakutan dan kedosaan yang dialami
telah diambil dari Yakub. Fajar-pagi baru kini telah terbit, sebuah masa depan
yang baru pula telah dikaruniakan Allah bagi Yakub. Maka segala “pergulatan”
dengan Allah kini telah selesai. Oleh karena rahmat yang telah diterima,
sekarang Yakub telah dipersiapkan secara matang. Ia telah siap-matang (setelah
melihat wajah Allah) berjalan ke depan; ia pun siap untuk berhadapan dengan
Esau (Kej 33: 1-16).
“Dan Yakub pincang karena
pangkal pahanya.” Bila dilihat dari sudut pandang sastra, bagian ayat ini
sebenarnya mempersiapkan cerita-sebab ay. 32 yang menjadikan daging pangkal
paha adalah sebuah pantangan untuk memakannya. Kini Yakub menderita luka oleh
karena pergulatannya dengan Allah. Di sisi lain, hal ini menujukkan bahwa Yakub
sekarang adalah Yakub yang baru. Yakub yang siap untuk melangkah ke depan,
terlebih untuk berjumpa dengan Esau!
32 Ayat
ini dapat dikatakan sebagai suatu cerita-sebab tentang hal tertentu (aitiologi)
yang mengatakan bahwa larangan untuk memakan daging yang menutupi sendi pangkal
paha masih berlaku hingga pada masa penulis menceritakan kisah ini. Kisah yang
bernuansakan religius ini mendapatkan penekanan yang kuat dalam iman Israel
karena diceritakan dengan pengalaman bapa leluhur, Yakub. Dengan dipukulnya
bagian daging itu maka kini Allah yang memilikinya dan tidak dapat dipergunakan
lagi oleh Yakub dan bahkan keturunannya. Oleh karena itu, setiap kali orang
Israel menyembelih binatang, bagian dari daging itu harus
dipersembahkan-dibakar bagi Allah Yahwe karena Dialah yang menyentuh dan
memilikinya.
Ketika Yakub berada sendirian setelah
menyeberangkan keluarga dan segala yang dimilikinya di tepi sungai Yabok, maka
datanglah seorang laki-laki dan bergulat semalam-malaman dengannya (ay. 24). Pergulatan
itu sungguh sangat sengit. Orang itu tidak dapat mengalahkan Yakub, maka pada
bagian akhir dari pergulatan itu ia memukul sendi pangkal paha Yakub sampai
Yakub terpelecok (ay. 25). Karena merasa sulit untuk menjatuhkan Yakub maka
orang itu mohon diri untuk pergi darinya, akan tetapi Yakub menjawab permintaan
itu bila ia memberkatinya. Dengan menerima berkat karena memperoleh nama baru:
Israel (ay. 28), Yakub akhirnya mencapai sebuah kesadaran rohani bahwa
seseorang yang tengah dihadapinya itu ternyata Allah (ay. 30). Yakub menamai
tempat pergulatan itu dengan nama Pniel sebagai tanda bahwa di tempat itulah ia
telah melihat wajah Allah dan ia selamat.
Sebagai seorang beriman, keberanian untuk memiliki
arah hidup ke depan adalah sebuah perjalanan panjang di depan mata. Namun untuk
menghadap dan melangkah ke depan, sesekali mungkin kita merasa takut oleh
karena kelemahan manusiawi. Lantas
bagaimana cara menghadapinya? Cara yang paling mendasar dari hidup orang
beriman adalah dengan berdoa. Berdoa adalah sebuah saat di mana kita dapat
mengheningkan-menemukan diri dan Tuhan. Dengan menekankan hidup doa, kita dapat
belajar dari Yakub. Dari pengalaman religius Yakub kita dapat belajar untuk
berdoa dan menemukan diri serta Allah dengan perjuangan yang radikal-saperti ia
sampai terpelecok sendi pangkal pahanya. Melaui pengalaman itu pada akhirnya
Yakub mengalami sebuah penemuan diri-jati diri yang matang sekaligus baru
karena ia telah menghadapi dirinya sendiri yang diberkati oleh Allah.
Pengalaman inilah yang kemudian memampukannya untuk berani melangkah ke depan.
Dengan belajar dari pengalaman Yakub, Gereja
mengajarkan agar umat Allah memiliki hidup yang bernafaskan doa dalam kehidupan
sehari-hari. Gereja mengharapkan agar umat Allah mampu mengarahkan segala
hidupnya kepada Tuhan sehingga dengan rahmat-Nya dimampukan untuk berani
melangkah ke depan. Harapan Gereja itu terangkum dalam sebuah keutamaan, yakni hidup
doa!
IV. PENUTUP
Perikop ”Pergumulan Yakub dengan Allah” (Kej 32:
22-32) dengan jelas menjelaskan sebuah pengalaman hidup rohani dari salah satu
tokoh penting leluhur Israel, Yakub. Dengan memberi perhatian yang lebih khusus
pada setiap ayat yang merangkainya, maka dapat diketahui maksud tulisan dari si
pengarang. Secara ringkas dapat dilihat bahwa perikop ini setidaknya menyajikan
empat buah cerita aitiologi (cerita sebab). Di lain pihak, perikop ini
menceritakan bagian dari perjalanan Yakub beserta dengan rombongannya.
Rombongan besar itu berada di tepi sungai Yabok. Di tepi sungai itulah Yakub
berjumpa dengan Allah dan bergulat semalam-malaman dengan-Nya. Pergulatan Yakub
yang sengit itu pada akhirnya membawanya pada sebuah penemuan diri yang sejati
oleh karena perjumpaan-Nya dengan Allah Israel.
”Menghadapi diri bersama Allah menuju berkat”. Saat
sendirian setelah menyeberangkan segala yang dimilikinya itulah yang kemudian
menjadi sebuah kesempatan emas bagi Yakub untuk memiliki kehenaingan batin:
bertanya akan siapa dirinya! Ia menyadari akan kedosaan yang mengotori jiwanya
–berhubung dengan kelicikannya terhadap bapa dan kakaknya- sehingga ia merasa
tak pantas diri. Dalam kesendirian akan keheningan itu, Allah datang dan
menemaninya dalam sebuah ”pergulatan batin” yang membawanya pada sebuah berkat,
nama baru: Israel. Berkat baru yang diterimanya dari Allah secara langsung itulah
yang menjadikan dirinya sebagai ”Yakub baru” yang siap untuk melangkah ke
depan; sebuah berkat yang pada akhirnya tidak hanya menjadi berkat bagi dirinya
sendiri, melainkan juga bagi seluruh keturunannya!
* * *
* *
DAFTAR PUSTAKA
Bulan
Kitab Suci Nasional 2009,
2009 Yakub:
Bergulat dengan Allah dan Manusia - Renungan
Untuk Orang Muda Katolik.
Lembaga
Biblika Indonesia,
2005 Kitab Suci Katolik, Arnoldus, Ende.
Lempp,Walter,
1974 Tafsiran: Kejadian (32: 1-36: 43)- Kej.
IV/bg. 2, BPK Gunung Mulia, Jakarta.
Lukefahr, Oscar,
2007 A Catholic Guide to
The Bible: Memahami dan Menafsir Kitab Suci Secara Katolik, diterjemahkan oleh V.
Prabowo Shakti, Obor, Jakarta.
Sanjaya,
V. Indra,
2001 Kitab Taurat: Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan,
Ulangan, Fakultas Teologi Wedabhakti,
Yogyakarta.
[1] Perjanjian antara dua pihak yang tidak setaraf: yang lebih kuat bertanggung
jawab menjamin keamanan, ketentraman
serta kesejahteraan yang lebih lemah; sementara dari pihak yang lebih lemah dituntut
kesetiaan/loyalitas.
[2] Bdk. Walter Lempp, Tafsiran: Kejadian
(32: 1-36: 43)- Kej. IV/bg. 2, BPK Gunung Mulia, Jakarta 1974, 33.
[3] Bdk. Walter Lempp, Tafsiran: Kejadian (32: 1-36: 43)- Kej. IV/bg 2, 33.
[4] Sebuah cerita yang menjelaskan sebab
terjadinya suatu hal (cerita-sebab).
[6] Tafsiran ini dikembangkan dari Walter
Lempp, Tafsiran: Kejadian (32: 1-36: 43)- Kej. IV/bg. 2, 39-50.
[7] Bulan Kitab Suci Nasional 2009, Yakub:
Bergulat dengan Allah dan Manusia - Renungan
Untuk Orang Muda Katolik,
18-20.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar