IBU TERESA
Menemukan Tuhan dalam Pelayanan
Pengantar
Ketika Paus Yohanes Paulus II memimpin Perayaan
Ekaristi di Kalkuta, beliau memberikan homili dengan berkata: “Kerangka kerja
mesianis Yesus dari Nazaret, yang tidak lain merupakan program Injil sendiri,
menemukan wujud aktualnya di sini, India, tepatnya di Kalkuta. Kesaksian
tersebut diberikan oleh Ibu teresa di Kalkuta. Ibu Teresa menyampaikan kabar
baik kepada orang-orang miskin. Ia memberikan pengajaran dan teladan kepada
dunia tentang sikap belarasa dan kemurahan kasih bagi mereka yang membutuhkan.
Kesaksian akan kasih dan pengorbanan diri tersebut bersumber dari kasih
Kristus. Lebih dari itu, kesaksian tersebut diberikan di tengah dunia yang
sudah akrab dengan perilaku egoisme, hedonisme, nafsu akan uang, serta mengejar
prestisme dan kekuasaan”[1].
Figur dari homili Paus itulah yang akan dibicarakan di
dalam tulisan ini. Ibu Teresa, itulah nama panggilannya, menunjuk pada seorang
pribadi karismatis yang tidak hanya terkenal di tanah India melainkan juga di
seluruh dunia. Mengapa dunia begitu mengenalnya, padahal ia hanyalah seorang
birawati biasa, bahkan ia hanya berkarya di lingkungan kumuh seperti di Kalkuta
dan tidak menangani pelayanan yang sangat besar sehingga mencengangkan mata
dunia? Bahkan ketika Ibu Teresa meninggal dunia pada 10 September 1997, begitu
banyak hati yang berduka mengantar kepergiannya. Akankah ada seorang pribadi
lain yang mampu menggantikan Ibu Teresa untuk menjadi tangan kasih Allah di
tengah dunia ini? Apakah Allah akan mengutus orang pilihan-Nya seperti Ibu
Teresa yang dengan setia memberikan pelayanan kepada mereka yang menderita,
tersingkir, dan miskin, bahkan bagi yang termiskin dari yang miskin (the poorest of the poor)?
Pertanyaan-pertanyaan itulah yang terdengar dari orang banyak ketika mengetahui
kabar tentang kematiannya.
Pribadi Teresa adalah figur menarik sepanjang masa.
Pribadi karismatis ini begitu dikagumi oleh banyak orang karena keteladan
hidupnya sebagai penerusan kasih Allah yang nyata di tengah dunia yang sarat
dengan penderitaan. Dalam sejarah Gereja Katolik, karya kasih Allah itu juga
nyata dalam diri orang-orang pilihannya, seperti: Fransiskus Asisi yang dengan
teguh menunjukkan jalan hidup kesucian melalui karya pelayanaan dan kemiskinan;
Uskup Romero di Amerika Latin yang menjadi korban kekerasan karena membela
orang miskin; bahkan di Indonesia pun kita mengenal Romo Mangunwijaya yang
memiliki keteladanan suci sebagai penerusan akan kasih Allah. Tokoh-tokoh itu
adalah pribadi karismatis Gereja yang mampu menghadirkan tangan kasih Allah.
Demikianlah pula dengan Ibu Teresa. Ia adalah pribadi yang patut menjadi
teladan bagi dunia, terlebih bagi seluruh anggota Gereja Katolik. Keteladannya
untuk mengabdi kepada Allah dengan melayani the
poorest of the poor yang didasari dengan hidup rohani yang mendalam memampukannya
mengalami persatuan yang mesra dengan Allah sendiri. Pengalaman persatuan
dengan Allah inilah yang kemudian memampukannya dapat membaca tanda-tanda zaman
akan realitas hidup nyata -keadaan sosial- bahwa Yesus yang hadir dalam diri
mereka yang miskin dan menderita sungguh merindukan pelayanan darinya.
Oleh karena itu, dalam tulisan ini akan diuraikan
beberapa hal penting yang mendasari Ibu Teresa dalam tugas pelayanannya itu:
Panggilan Ibu Teresa, Panggilan Pelayanan, dan Melayani Yesus. Beberapa pokok
penting itulah yang pada akhirnya memampukannya menjadi pewarta kasih Allah di tengah
dunia.
Panggilan Ibu Teresa
Agnes Bojaxhiu, itulah nama bagi ibu Teresa. Nama itu
diberikan kepadanya ketika ia lahir pada 26 Agustus 1910 di Skopje, sebuah kota
kecil di Kosova, wilayah utara Makedonia yang kemudian menjadi bagian dari
Albania. Ia adalah anak ketiga dari tiga bersaudara, ayahnya adalah Nicolas
Bojaxhiu dan ibunya Dranafile Bernie. Ayahnya, yang biasa dipanggil Kole adalah
seorang yang terlibat aktif dalam berbagai kegiatan politik. Keterlibatannya
secara aktif inilah yang kemudiaan menjadi penyebab (kemungkinan besar) dari
kematiaannya. Mulai sejak itu hanya ibu Agnes kecil yang menjadi penyokong utama
hidup keluarga.
Di tengah situasi keluarga yang tidak menentu itu,
Teresa kecil sangat terkesan dengan keteladanan dari keluarganya. Di tengah
perjuangan keluarganya untuk memenuhi kebutuhan hidup, Teresa belajar untuk
memiliki kepedulian terhadap sesama, terutama yang miskin dan menderita. Ia
juga belajar untuk menjadi seorang pribadi yang terlibat aktif dalam kegiatan
Gereja. Di antara pengalaman-pengalaman hidup yang ia peroleh itu, ada sebuah
pengalaman yang membuatnya sangat berkesan, yakni pengalaman akan
keterlibatannya di dalam komunitas Kongregasi Maria yang didirikan oleh pastor
parokinya, Pater Franjo Jambrekovi. Pengalaman ini yang kelak menjadi pendorong
bagi arah panggilan hidupnya.
Pada perjalanan kehidupan selanjutnya, ia semakin
dekat dengan Pater Jambrekovi. Kedekatan itu yang membuat Pater Jambrekovi
sesekali menceritakan kepada Teresa tentang bagaimana teman-temannya (Pater
Jambrekovi), para imam Yesuit, berkarya di tanah misi India. Pater Jambrekovi
juga menceritakan pengalaman misi kepada Teresa melalui surat ataupun dari
majalah tentang sepak terjang para misionaris. Lebih dari itu, Pater Jambrekovi
kemudian mengajaknya untuk selalu bertanya kepada Tuhan Yesus yang tergantung
di kayu salib: “Apakah yang telah aku lakukan untuk Kristus, apakah yang sedang
aku lakukan untuk Kristus, dan apakah yang akan aku lakukan untuk Krsitus?”[2]
Doa ini pada akhirnya membawa Teresa kecil pada sebuah kesadaran bahwa hidupnya
bukanlah sekadar untuk mencari kesenangan duniawi belaka. Doa ini
menyadarkannya bahwa hidup merupakan persembahan kepada Allah, memberikan diri
untuk Dia. Baginya, pemberian diri kepada Allah dapat diwujudkan dengan
memberikan diri bagi sesama sebagaimana pemberian diri Tuhan Yesus di kayu
salib.
Kesadaran diri untuk memberikan diri yang seutuhnya
kepada Tuhan membulatkan tekadnya pada sebuah pilihan hidup yang jelas, yakni
menjadi seorang suster. Kebiasaannya untuk mendengar dan membaca kisah para
misionaris di India dari Pater Jambrekovi mengarahkan pandangannya untuk menjadi
Suster Loreto yang telah berkarya di India sejak 1841 dengan bidang pelayanan
pada pendidikan, terutama di wilayah Kalkuta. Pilihan hidup itu dijalaninya
dengan masuk ke Biara Induk Loreto di Irlandia sebagai masa persiapan, sedangkan
masa novisiat dan pengolahan rohani akan ia jalani nantinya di Darjeeling,
India. Akhirnya, tepat pada Hari Raya Penampakan Tuhan, 6 januari 1929, ia tiba
di India.[3]
Begitu tiba di India, Teresa sungguh melihat pengalaman yang nyata akan
kerinduan hatinya untuk melayani yang miskin. Kenyataan itu dilihatnya ketika
ia menyaksikan kemiskinan dan perjuangan hidup orang India serta kesenjangan
sosial yang sangat mencolok. Ia ingin melayani mereka, seperti itulah kerinduan
hatinya yang terdalam.
Dengan menjadi sorang guru, Teresa, demikian nama
biaranya, memulai karyanya sebagai seorang Suster Loreto. Di balik pengalaman
itu sebenarnya Teresa tidak merasa puas dengan keinginannya untuk
mempersembahkan diri kepada Tuhan sebab dengan menjadi seorang guru, ia harus
tinggal di sebuah biara yang memisahkan keinginannya untuk melayani kaum
miskin. Keadaan inilah yang mencemaskan hatinya. Di dalam hati sebenarnya ia
ingin tinggal dan melayani Tuhan dengan mendatangai orang-orang miskin India
kemudian menemani dan melayani mereka. Kerinduan hati itu seakan terpendam
dengan keharusannya untuk tinggal di belakang tembok biara dengan segala
kenyamanan dan kecukupannya. Akankan Teresa dapat menggapai kerinduan hatinya untuk
melayani Tuhan dalam diri orang miskin? Ataukah ia akan hanya menetap di biara saja?
Panggilan Kepada Pelayanan
Kegelisahan hati itu membuatnya semakin mengusik
dirinya. Dalam hati, ia sungguh ingin datang kepada mereka yang miskin itu
karena dengan itu ia dapat melayani mereka. Itulah dambaan hatinya. Pertanyaan
reflektif yang biasa diajarkan oleh Pater Jambrekovi kini kembali terlintas
dalam benak hatinya: Apakah yang telah aku lakukan untuk Kristus, apakah yang
sedang aku lakukan untuk Kristus, dan apakah yang akan aku lakukan untuk
Krsitus? Pertanyaan itu semakin keras terdengar di dalam hatinya tatkala
kenyataan akan kemiskinan itu sungguh terlihat dekat dengan komunitas biaranya.
Ibu Teresa senantiasa menempatkan dirinya agar berguna bagi sesama, sehingga
orang-orang miskin yang ada di depan matanya, di balik tembok biara semakin
hari semakin dipandangnya sebagai sesama yang membutuhkan uluran tangan kasih.[4]
Dari pengalaman inilah kemudian ia merasa lebih berguna melayani mereka yang menderita
itu dari pada pelayannya sebagai pengajar.
Tanggal 10
September 1946 adalah sebuah hari yang bersejarah baginya. Waktu itu, ia
mendengarkan suara panggilan Tuhan yang berseru kepadanya untuk meninggalkan
biara dan melayani orang-orang miskin. Pengalaman itu dipahaminya sebagai
undangan Tuhan untuk pergi ke kampung-kamung kumuh Kalkuta serta melayani-Nya
di antara mereka yang miskin itu. Pengalaman rohani inilah yang sering
disebutnya sebagai panggilan kedua. Baginya, panggilan untuk menjadi seorang
biarawati Loreto di India adalah pengalaman panggilan yang pertama. Kini ia
tidak hanya ingin menjadi seorang biarawati yang berkarya di India, tetapi ia
ingin menjadi seorang biarawati yang berkarya di India dengan melayani Allah
dalam diri orang yang miskin, terlantar, sakit, kelaparan, dan menderita.
Panggilan inilah yang kemudian diistilahkan dengan melayani mereka yang
termiskin dari yang miskin (the poorest
of the poor). Itulah peristiwa ‘a
call within a call’, panggilan untuk mempertajam dan memperdalam panggilan
religiusnya.[5]
Maka, pada 12 April 1948, Paus Pius XII memberikan izin kepadanya untuk menjadi
seorang suster yang mengabdikan diri sepenuhnya bagi mereka yang miskin. Izin
dari Paus inilah yang membuatnya semakin terdukung untuk mencapai keinginan
hatinya yang selama ini terpendam.
Ia tetap menjadi seorang biarawati, namun tidak lagi berada
di Loreto. Ia berada langsung di bawah uskup. Kemudian ia mempersiapkan dirinya dengan mengganti
jubahnya dengan jubah sari dan menyesuaikan cara hidupnya dengan menyesuaikan
diri dengan kehidupan orang-orang miskin yang hendak ia layani. Setelah
memiliki persiapan yang cukup, kemudian ia melangkah ke depan dan siap untuk
melayani Tuhan yang telah memanggil dan mengundangnya. Titik awal yang menjadi
perwujudan dari karyanya adalah kampung kumuh Motijhil di Kota Kalkuta, sebuah
kampung yang menjadi tempat penampungan sampah. “Hanya ada satu sumur untuk
kampung yang besar dan begitu padat, sehingga di situlah para penghuninya
mandi, mencuci, dan mengambil air untuk memasak”[6].
Di kampung itulah ia kemudian melayani Dia yang memanggilnya dengan hal biasa
yang sering dikerjakannya, yaitu mengajar anak-anak. Ibu Teresa kemudian
mengajari penduduk di kampung itu untuk hidup sehat, dengan mengajari mereka
untuk mandi dan membersihkan lingkungan di sekitar rumah.
Pada awalnya, Ibu Teresa menjalankan semua karyanya
itu sendirian, namun ternyata karya kasihnya itu juga mengundang para relawan
yang datang untuk membantunya. Atas dasar pengalaman inilah kemudian ia
memikirkan untuk mendirikan sebuah tarekat religius yang menghayati
spiritualitas hidupnya itu.
Berawal dari kedatangan Subashini Das, Magdalena
Gomez, dan beberapa murid yang lain untuk bergabung dengan Ibu Teresa, rencana
untuk mendirikan sebuah Tarekat pun semakin menuju titik puncaknya. Kemudian,
dengan mendapatkan pengesahan dari Roma, berdirilah sebuah tarekat baru yang
dicita-citakan oleh Ibu Teresa. Nama yang diambil untuk tarekat baru itu adalah
Missionaries of Charity (MC) atau
Tarekat Misionaris Cinta Kasih. Tarekat yang anggota-anggotanya menghidupi semangat
Ibu Teresa ini kemudian berkembang dengan pembentukan cabang baru tarekat,
yakni bruer-bruder Misionaris Cinta Kasih yang disahkan oleh Uskup Agung
Kalkuta pada Maret 1963. Tidak hanya itu saja, spiritualitas Ibu Teresa ini juga
semakin berkembang dengan terbentuknya “Kerabat Kerja” sebagai komunitas dari
“orang-orang yang terlibat, bersama para suster/bruder Misionaris Cinta Kasih,
dalam karya pelayanan kasih Misionaris Cinta Kasih” [7]
dan juga terbentuknya komunitas Misionaris Cinta Kasih pada tahun 1984,
termasuk di dalamnya gerakan Corpus
Christi bagi Kerabat Kerja Para Imam.
Panggilan pelayanan yang ditujukan Allah kepada Ibu
Teresa semakin berkembang. Hal itu sungguh menjadi nyata bahwa panggilan yang
menunjukkan kasih Allah bagi the poorest
of the poor telah membuka mata dunia untuk mengikuti keteladanan Ibu
Teresa. Keteladanan untuk mewujudnyatakan kasih Allah itu adalah sebuah jalan
pelayanan kasih yang ditunjukkan olehnya. Jalan itu semakin terwujud dalam
semangat hidup Ibu Teresa dalam menghayati
pelayanan kepada mereka yang termiskin dalam semangat kemiskinan. Kini semangat
hidupnya itu berkembang. Bukan hanya karena begitu banyak orang yang
mengikutinya, lebih dari itu, satu hal yang menjadi karya misinya adalah cinta kasih; menanamkan benih cinta kasih dalam diri setiap
orang sehingga mampu untuk menjadi penyalur kasih Allah, terlebih bagi mereka
yang termiskin dari yang miskin. “Sebab dia memahami bahwa panggilan untuk
melayani mereka yang termiskin, sebenarnya tidak lain adalah perutusan untuk
membagikan kasih”[8].
Ia hanya ingin membagikan kasih Allah yang telah mengundangnya!
Melayani Yesus
Pengalaman rohani yang telah lahir sejak ia kecil
sungguh membuahkan hasil yang nyata atas pelayanan yang telah dilakukannya.
Salah satu pengalaman itu adalah pertanyaan reflektif: “Apakah yang telah aku
lakukan untuk Kristus, apakah yang sedang aku lakukan untuk Kristus, dan apakah
yang akan aku lakukan untuk Krsitus?” sungguh membuat dirinya memiliki
kedalaman hidup rohani sehingga memampukannya untuk dapat memberikan pelayanan
bagi mereka yang menderita. Lantas yang menjadi pertanyaan adalah: bagaimana
Ibu Teresa memandang dan menempatkan dirinya dalam relasi dengan Kristus yang telah mengajarinya
untuk mengasihi serta yang memperlihatkan kepadanya, kepada siapa kasih itu
terwujudkan?
Baginya Pribadi Yesus adalah pusat dari seluruh hidup.
“Mengenai karya-karyanya dia senantiasa mengatakan, ‘Aku melakukannya karena
Yesus, bersama Yesus, dalam Yesus, dan untuk Yesus"[9].
Oleh karena itu, dengan meneladan kasih Yesus yang setara dengan Allah telah
rela datang ke dunia untuk memulihkan mansuia dari dosa, membuat Ibu Teresa pun
ingin menjawab tawaran kasih Tuhan. Sebagaimana Tuhan mengasihi manusia yang
menderita karena dosa demikina pula Ibu Teresa ingin mengasihi sesama yang
menderita, yang kini terlihat jelas di matanya.
“Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang
dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku ….
Sesungguhnya, segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari
yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku” (Mat. 25: 40,
45). Ibu Teresa menyukai Sabda Tuhan ini. Sabda inilah yang juga kemudian
mendorongnya untuk mewujudkan kasih Allah yang berkarya di dalam dirinya itu
kepada mereka yang miskin, lapar, telanjang, sakit, dan tersingkirkan. Baginya,
dalam diri mereka itulah Yesus hadir secara tersamar. Yesus yang tersamar itu
sungguh nyata baginya dan itu ia temukan dengan situasi nyata di Kota Kalkuta.
“In Calcutta alone there are more than
400,000 homeless. In the railway stations thousands of men, women and children
sleep among parcels of laundry on cement floor of the hallway. Out-side – a
swarming mass of humanity, which looks as if it has come from some enormous,
ripped-open anthill.”[10]
Dengan melayani mereka itulah Ibu Teresa dapat melayai Yesus yang secara nyata
mengundangnya dalam diri orang-orang yang menderita.
Karena Yesus adalah pusat dari seluruh hidupnya maka
panggilan hidup Ibu Teresa pertama-tama merupakan panggilan untuk melayani
Yesus. Panggilan ini menuntutnya untuk juga menjadi seperti Yesus, berarti
melayani Yesus dengan mendasarkan pada semangat kemiskinan baik material maupun
spiritual. Maka dalam semangat hidupnya yang kemudian diikuti oleh para anggota
MC, ia mengatakan: “Kami masih mengikrarkan kaul keempat: dengan sepenuh hati
melayani yang termiskin di antara yang
miskin, artinya Kristus dalam penampakan orang miskin yang tertindas”[11].
Spiritualitas Ibu Teresa ini sungguh menunjukkan secara jelas bahwa untuk dapat
melayani Yesus yang tersamar dibutuhkan sebuah kedalaman hidup rohani yang mendalam.
Kedalaman hidup rohani itu hanya dapat terbangun dengan memiliki persatuan
kasih yang erat dan mesra dengan Yesus sendiri, kedalaman rohani yang
dikobarkan dengan semangat Roh Kristus.
Atas dasar hidup spiritual dengan memandang dan
menempatkan dirinya dalam relasi dengan Kristus yang telah mengajarinya untuk
mengasihi serta yang memperlihatkan kepadanya, kepada siapa kasih itu
terwujudkan, maka dapat dipahami mengapa Ibu Teresa hingga sampai dapat melakukan
karya-karya yang begitu membuka mata dunia. Berbagai karya bagi mereka yang
termiskin dari yang miskin adalah sebuah wujud konkrit dari hidup spiritual
yang mendalam bagi Kristus yang telah memanggilnya.
Penutup
Jalan pelayanan yang telah dilakukan oleh Ibu Teresa dalah sebuah jalan
pelayanan kasih. Jalan pelayanan kasih itu secara nyata merupakan jalan akan
kasih Allah sendiri yang telah berkarya dalam dirinya. Jalan pelayanan itu
bukan semata-mata sebuah panggilan yang begitu saja muncul dari hatinya, jalan
pelayanan itu semata-mata adalah panggilan Allah yang dianugerahkan kepadanya.
Panggilan Allah itulah yang kemudian dalam perjalanan selanjutnya mendasari
seluruh karya pelayanannya yang meliputi: Panggilan Ibu Teresa yang
mendasarinya untuk terpanggil sebagai seorang biarawati yang berkarya di
Kalkuta-India; Panggilan Pelayanan yang merupakan panggilan untuk melayani
mereka yang termiskin dari yang miskin (the
poorest of the poor) hingga berbuah pada pembentukan Missionaries of Charity (MC); dan Melayani Yesus. Panggilan untuk
Melayani Yesus inilah yang kemudian mengundangnya untuk berkarya bagi mereka
yang menderita sebab “yang dilayaninya adalah Allah semata, dan jalan pelayanan
itu diwujudkan melaui pelayanan kepada sesama manusia, terutama mereka yang
berkekurangan dan membutuhkan”[12].
Kini Ibu Teresa sudah tiada namun namanya tetap begema
sepanjang masa. Keteladanan dari pribadi ini sungguh patut menjadi teladan bagi
seluruh anggota Gereja, terlebih anggota Gereja Katolik yang memiliki iman
sepertinya. Keteladanan untuk bersedia menjawab panggilan Tuhan yang telah
muncul dan membawanya untuk menjadi perpanjangan tangan kasih-Nya merupakan
sebuah keteladanan “siap sedia” untuk menjawab “utuslah aku, ya Tuhan!”. “Sungguh,
Aku datang … untuk melakukan kehendak-Mu, ya AllahKu” (Ibr. 10: 7) adalah
jawaban Kristus pada kesediaan akan tugas perutusan dari Bapa-Nya. Dan kini
Sabda-Nya itu kembali nyata terlihat dalam diri Pribadi Teresa. Sikap siap
sedianya inilah yang kemudian nampak dalam berbagai karyanya yang telah
berkembang di seluruh penjuru dunia. Keteladanan untuk siap sedia dalam
menjawab panggilan Allah inilah yang patut menjadi suri teladan bagi kita
semua. Semoga!
Catatan Akhir
Bebicara mengenai Ibu Teresa adalah sebuah hal yang
terus relevan di tengah zaman berkembang seperti sekarang ini. Tokoh yang cukup
dikenal oleh banyak orang ini sungguh seorang tokoh karismatis yang dengan
keteladanan akan karyannya mampu menghadirkan kasih Allah di tengah dunia,
terlebih pelayanan bagi the poorest of
the poor.
Seluruh perjalanan panggilan Ibu Teresa yang membukakan mata dunia akan mereka yang
menderita sungguh sebuah hidup rohani yang dinampakkan dalam praksis hidup
nyata. Bila melihat seluruh pejalanan hidupnya, kita dapat melihat beberapa
benang merah yang mendasari hidupnya dalam melakukan karya nyata itu. Pertama, dengan menanggapi panggilan
Allah yang mengundangnya untuk bekarya bagi the
poorest of the poor adalah sebuah awal perjalanan dari hidup rohani yang
selanjutnya berkembang pada pembentukan Missionaries
of Charity (MC). Kedua, dengan
didasari oleh sikap rohani mendalam yang dibentuknya dengan memiliki pesatuan
kasih yang mesra dengan Yesus, mamampukannya untuk terus berkembang dan berjalan
pada jalan panggilan-Nya. Kedalaman hidup rohani inilah yang pada akhirnya
memampukan Ibu Teresa dapat melihat “tanda-tanda zaman” akan mereka yang
menderita sebagai undangan Yesus yang merindukan pelayanan darinya.
* * *
* *
DAFTAR PUSTAKA
Cahyadi, T. Krispurwana, Jalan Kemiskinan Ibu Teresa, Obor,
Jakarta, 2003.
Cahyadi, T. Krispurwana, Jalan Kesucian Ibu Teresa, Obor, Jakarta, 2003.
Cahyadi, T. Krispurwana, Jalan Pelayanan Ibu Teresa, Obor, Jakarta, 2003.
Gorree, G., and
J. Barbier, For The Love of God: Mother
Teresa of Calcutta, Veritas Publications, Dublin,
1974.
Ibu Teresa, Cinta
yang Total, diterjemahkan dari Lieben
Bis Es Weh Tut, oleh A. Widyarsono, Kanisius,
Yogyakarta, 1998.
Copas
BalasHapus"Jalan pelayanan yang telah dilakukan oleh Ibu Teresa dalah sebuah jalan pelayanan kasih.