Rabu, 01 Maret 2017

IBU TERESA
Menemukan Tuhan dalam Pelayanan

Pengantar
Ketika Paus Yohanes Paulus II memimpin Perayaan Ekaristi di Kalkuta, beliau memberikan homili dengan berkata: “Kerangka kerja mesianis Yesus dari Nazaret, yang tidak lain merupakan program Injil sendiri, menemukan wujud aktualnya di sini, India, tepatnya di Kalkuta. Kesaksian tersebut diberikan oleh Ibu teresa di Kalkuta. Ibu Teresa menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin. Ia memberikan pengajaran dan teladan kepada dunia tentang sikap belarasa dan kemurahan kasih bagi mereka yang membutuhkan. Kesaksian akan kasih dan pengorbanan diri tersebut bersumber dari kasih Kristus. Lebih dari itu, kesaksian tersebut diberikan di tengah dunia yang sudah akrab dengan perilaku egoisme, hedonisme, nafsu akan uang, serta mengejar prestisme dan kekuasaan”[1].
Figur dari homili Paus itulah yang akan dibicarakan di dalam tulisan ini. Ibu Teresa, itulah nama panggilannya, menunjuk pada seorang pribadi karismatis yang tidak hanya terkenal di tanah India melainkan juga di seluruh dunia. Mengapa dunia begitu mengenalnya, padahal ia hanyalah seorang birawati biasa, bahkan ia hanya berkarya di lingkungan kumuh seperti di Kalkuta dan tidak menangani pelayanan yang sangat besar sehingga mencengangkan mata dunia? Bahkan ketika Ibu Teresa meninggal dunia pada 10 September 1997, begitu banyak hati yang berduka mengantar kepergiannya. Akankah ada seorang pribadi lain yang mampu menggantikan Ibu Teresa untuk menjadi tangan kasih Allah di tengah dunia ini? Apakah Allah akan mengutus orang pilihan-Nya seperti Ibu Teresa yang dengan setia memberikan pelayanan kepada mereka yang menderita, tersingkir, dan miskin, bahkan bagi yang termiskin dari yang miskin (the poorest of the poor)? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang terdengar dari orang banyak ketika mengetahui kabar tentang kematiannya.
Pribadi Teresa adalah figur menarik sepanjang masa. Pribadi karismatis ini begitu dikagumi oleh banyak orang karena keteladan hidupnya sebagai penerusan kasih Allah yang nyata di tengah dunia yang sarat dengan penderitaan. Dalam sejarah Gereja Katolik, karya kasih Allah itu juga nyata dalam diri orang-orang pilihannya, seperti: Fransiskus Asisi yang dengan teguh menunjukkan jalan hidup kesucian melalui karya pelayanaan dan kemiskinan; Uskup Romero di Amerika Latin yang menjadi korban kekerasan karena membela orang miskin; bahkan di Indonesia pun kita mengenal Romo Mangunwijaya yang memiliki keteladanan suci sebagai penerusan akan kasih Allah. Tokoh-tokoh itu adalah pribadi karismatis Gereja yang mampu menghadirkan tangan kasih Allah. Demikianlah pula dengan Ibu Teresa. Ia adalah pribadi yang patut menjadi teladan bagi dunia, terlebih bagi seluruh anggota Gereja Katolik. Keteladannya untuk mengabdi kepada Allah dengan melayani the poorest of the poor yang didasari dengan hidup rohani yang mendalam memampukannya mengalami persatuan yang mesra dengan Allah sendiri. Pengalaman persatuan dengan Allah inilah yang kemudian memampukannya dapat membaca tanda-tanda zaman akan realitas hidup nyata -keadaan sosial- bahwa Yesus yang hadir dalam diri mereka yang miskin dan menderita sungguh merindukan pelayanan darinya.
Oleh karena itu, dalam tulisan ini akan diuraikan beberapa hal penting yang mendasari Ibu Teresa dalam tugas pelayanannya itu: Panggilan Ibu Teresa, Panggilan Pelayanan, dan Melayani Yesus. Beberapa pokok penting itulah yang pada akhirnya memampukannya menjadi pewarta kasih Allah di tengah dunia.

Panggilan Ibu Teresa
Agnes Bojaxhiu, itulah nama bagi ibu Teresa. Nama itu diberikan kepadanya ketika ia lahir pada 26 Agustus 1910 di Skopje, sebuah kota kecil di Kosova, wilayah utara Makedonia yang kemudian menjadi bagian dari Albania. Ia adalah anak ketiga dari tiga bersaudara, ayahnya adalah Nicolas Bojaxhiu dan ibunya Dranafile Bernie. Ayahnya, yang biasa dipanggil Kole adalah seorang yang terlibat aktif dalam berbagai kegiatan politik. Keterlibatannya secara aktif inilah yang kemudiaan menjadi penyebab (kemungkinan besar) dari kematiaannya. Mulai sejak itu hanya ibu Agnes kecil yang menjadi penyokong utama hidup keluarga.
Di tengah situasi keluarga yang tidak menentu itu, Teresa kecil sangat terkesan dengan keteladanan dari keluarganya. Di tengah perjuangan keluarganya untuk memenuhi kebutuhan hidup, Teresa belajar untuk memiliki kepedulian terhadap sesama, terutama yang miskin dan menderita. Ia juga belajar untuk menjadi seorang pribadi yang terlibat aktif dalam kegiatan Gereja. Di antara pengalaman-pengalaman hidup yang ia peroleh itu, ada sebuah pengalaman yang membuatnya sangat berkesan, yakni pengalaman akan keterlibatannya di dalam komunitas Kongregasi Maria yang didirikan oleh pastor parokinya, Pater Franjo Jambrekovi. Pengalaman ini yang kelak menjadi pendorong bagi arah panggilan hidupnya.
Pada perjalanan kehidupan selanjutnya, ia semakin dekat dengan Pater Jambrekovi. Kedekatan itu yang membuat Pater Jambrekovi sesekali menceritakan kepada Teresa tentang bagaimana teman-temannya (Pater Jambrekovi), para imam Yesuit, berkarya di tanah misi India. Pater Jambrekovi juga menceritakan pengalaman misi kepada Teresa melalui surat ataupun dari majalah tentang sepak terjang para misionaris. Lebih dari itu, Pater Jambrekovi kemudian mengajaknya untuk selalu bertanya kepada Tuhan Yesus yang tergantung di kayu salib: “Apakah yang telah aku lakukan untuk Kristus, apakah yang sedang aku lakukan untuk Kristus, dan apakah yang akan aku lakukan untuk Krsitus?”[2] Doa ini pada akhirnya membawa Teresa kecil pada sebuah kesadaran bahwa hidupnya bukanlah sekadar untuk mencari kesenangan duniawi belaka. Doa ini menyadarkannya bahwa hidup merupakan persembahan kepada Allah, memberikan diri untuk Dia. Baginya, pemberian diri kepada Allah dapat diwujudkan dengan memberikan diri bagi sesama sebagaimana pemberian diri Tuhan Yesus di kayu salib.
Kesadaran diri untuk memberikan diri yang seutuhnya kepada Tuhan membulatkan tekadnya pada sebuah pilihan hidup yang jelas, yakni menjadi seorang suster. Kebiasaannya untuk mendengar dan membaca kisah para misionaris di India dari Pater Jambrekovi mengarahkan pandangannya untuk menjadi Suster Loreto yang telah berkarya di India sejak 1841 dengan bidang pelayanan pada pendidikan, terutama di wilayah Kalkuta. Pilihan hidup itu dijalaninya dengan masuk ke Biara Induk Loreto di Irlandia sebagai masa persiapan, sedangkan masa novisiat dan pengolahan rohani akan ia jalani nantinya di Darjeeling, India. Akhirnya, tepat pada Hari Raya Penampakan Tuhan, 6 januari 1929, ia tiba di India.[3] Begitu tiba di India, Teresa sungguh melihat pengalaman yang nyata akan kerinduan hatinya untuk melayani yang miskin. Kenyataan itu dilihatnya ketika ia menyaksikan kemiskinan dan perjuangan hidup orang India serta kesenjangan sosial yang sangat mencolok. Ia ingin melayani mereka, seperti itulah kerinduan hatinya yang terdalam.
Dengan menjadi sorang guru, Teresa, demikian nama biaranya, memulai karyanya sebagai seorang Suster Loreto. Di balik pengalaman itu sebenarnya Teresa tidak merasa puas dengan keinginannya untuk mempersembahkan diri kepada Tuhan sebab dengan menjadi seorang guru, ia harus tinggal di sebuah biara yang memisahkan keinginannya untuk melayani kaum miskin. Keadaan inilah yang mencemaskan hatinya. Di dalam hati sebenarnya ia ingin tinggal dan melayani Tuhan dengan mendatangai orang-orang miskin India kemudian menemani dan melayani mereka. Kerinduan hati itu seakan terpendam dengan keharusannya untuk tinggal di belakang tembok biara dengan segala kenyamanan dan kecukupannya. Akankan Teresa dapat menggapai kerinduan hatinya untuk melayani Tuhan dalam diri orang miskin? Ataukah ia akan hanya menetap di biara saja?

Panggilan Kepada Pelayanan
Kegelisahan hati itu membuatnya semakin mengusik dirinya. Dalam hati, ia sungguh ingin datang kepada mereka yang miskin itu karena dengan itu ia dapat melayani mereka. Itulah dambaan hatinya. Pertanyaan reflektif yang biasa diajarkan oleh Pater Jambrekovi kini kembali terlintas dalam benak hatinya: Apakah yang telah aku lakukan untuk Kristus, apakah yang sedang aku lakukan untuk Kristus, dan apakah yang akan aku lakukan untuk Krsitus? Pertanyaan itu semakin keras terdengar di dalam hatinya tatkala kenyataan akan kemiskinan itu sungguh terlihat dekat dengan komunitas biaranya. Ibu Teresa senantiasa menempatkan dirinya agar berguna bagi sesama, sehingga orang-orang miskin yang ada di depan matanya, di balik tembok biara semakin hari semakin dipandangnya sebagai sesama yang membutuhkan uluran tangan kasih.[4] Dari pengalaman inilah kemudian ia merasa lebih berguna melayani mereka yang menderita itu dari pada pelayannya sebagai pengajar.
  Tanggal 10 September 1946 adalah sebuah hari yang bersejarah baginya. Waktu itu, ia mendengarkan suara panggilan Tuhan yang berseru kepadanya untuk meninggalkan biara dan melayani orang-orang miskin. Pengalaman itu dipahaminya sebagai undangan Tuhan untuk pergi ke kampung-kamung kumuh Kalkuta serta melayani-Nya di antara mereka yang miskin itu. Pengalaman rohani inilah yang sering disebutnya sebagai panggilan kedua. Baginya, panggilan untuk menjadi seorang biarawati Loreto di India adalah pengalaman panggilan yang pertama. Kini ia tidak hanya ingin menjadi seorang biarawati yang berkarya di India, tetapi ia ingin menjadi seorang biarawati yang berkarya di India dengan melayani Allah dalam diri orang yang miskin, terlantar, sakit, kelaparan, dan menderita. Panggilan inilah yang kemudian diistilahkan dengan melayani mereka yang termiskin dari yang miskin (the poorest of the poor). Itulah peristiwa ‘a call within a call’, panggilan untuk mempertajam dan memperdalam panggilan religiusnya.[5] Maka, pada 12 April 1948, Paus Pius XII memberikan izin kepadanya untuk menjadi seorang suster yang mengabdikan diri sepenuhnya bagi mereka yang miskin. Izin dari Paus inilah yang membuatnya semakin terdukung untuk mencapai keinginan hatinya yang selama ini terpendam.
Ia tetap menjadi seorang biarawati, namun tidak lagi berada di Loreto. Ia berada langsung di bawah uskup. Kemudian  ia mempersiapkan dirinya dengan mengganti jubahnya dengan jubah sari dan menyesuaikan cara hidupnya dengan menyesuaikan diri dengan kehidupan orang-orang miskin yang hendak ia layani. Setelah memiliki persiapan yang cukup, kemudian ia melangkah ke depan dan siap untuk melayani Tuhan yang telah memanggil dan mengundangnya. Titik awal yang menjadi perwujudan dari karyanya adalah kampung kumuh Motijhil di Kota Kalkuta, sebuah kampung yang menjadi tempat penampungan sampah. “Hanya ada satu sumur untuk kampung yang besar dan begitu padat, sehingga di situlah para penghuninya mandi, mencuci, dan mengambil air untuk memasak”[6]. Di kampung itulah ia kemudian melayani Dia yang memanggilnya dengan hal biasa yang sering dikerjakannya, yaitu mengajar anak-anak. Ibu Teresa kemudian mengajari penduduk di kampung itu untuk hidup sehat, dengan mengajari mereka untuk mandi dan membersihkan lingkungan di sekitar rumah.
Pada awalnya, Ibu Teresa menjalankan semua karyanya itu sendirian, namun ternyata karya kasihnya itu juga mengundang para relawan yang datang untuk membantunya. Atas dasar pengalaman inilah kemudian ia memikirkan untuk mendirikan sebuah tarekat religius yang menghayati spiritualitas hidupnya itu.
Berawal dari kedatangan Subashini Das, Magdalena Gomez, dan beberapa murid yang lain untuk bergabung dengan Ibu Teresa, rencana untuk mendirikan sebuah Tarekat pun semakin menuju titik puncaknya. Kemudian, dengan mendapatkan pengesahan dari Roma, berdirilah sebuah tarekat baru yang dicita-citakan oleh Ibu Teresa. Nama yang diambil untuk tarekat baru itu adalah Missionaries of Charity (MC) atau Tarekat Misionaris Cinta Kasih. Tarekat yang anggota-anggotanya menghidupi semangat Ibu Teresa ini kemudian berkembang dengan pembentukan cabang baru tarekat, yakni bruer-bruder Misionaris Cinta Kasih yang disahkan oleh Uskup Agung Kalkuta pada Maret 1963. Tidak hanya itu saja, spiritualitas Ibu Teresa ini juga semakin berkembang dengan terbentuknya “Kerabat Kerja” sebagai komunitas dari “orang-orang yang terlibat, bersama para suster/bruder Misionaris Cinta Kasih, dalam karya pelayanan kasih Misionaris Cinta Kasih” [7] dan juga terbentuknya komunitas Misionaris Cinta Kasih pada tahun 1984, termasuk di dalamnya gerakan Corpus Christi bagi Kerabat Kerja Para Imam.
Panggilan pelayanan yang ditujukan Allah kepada Ibu Teresa semakin berkembang. Hal itu sungguh menjadi nyata bahwa panggilan yang menunjukkan kasih Allah bagi the poorest of the poor telah membuka mata dunia untuk mengikuti keteladanan Ibu Teresa. Keteladanan untuk mewujudnyatakan kasih Allah itu adalah sebuah jalan pelayanan kasih yang ditunjukkan olehnya. Jalan itu semakin terwujud dalam semangat hidup Ibu Teresa dalam  menghayati pelayanan kepada mereka yang termiskin dalam semangat kemiskinan. Kini semangat hidupnya itu berkembang. Bukan hanya karena begitu banyak orang yang mengikutinya, lebih dari itu, satu hal yang  menjadi karya misinya adalah cinta kasih;  menanamkan benih cinta kasih dalam diri setiap orang sehingga mampu untuk menjadi penyalur kasih Allah, terlebih bagi mereka yang termiskin dari yang miskin. “Sebab dia memahami bahwa panggilan untuk melayani mereka yang termiskin, sebenarnya tidak lain adalah perutusan untuk membagikan kasih”[8]. Ia hanya ingin membagikan kasih Allah yang telah mengundangnya!

Melayani Yesus
Pengalaman rohani yang telah lahir sejak ia kecil sungguh membuahkan hasil yang nyata atas pelayanan yang telah dilakukannya. Salah satu pengalaman itu adalah pertanyaan reflektif: “Apakah yang telah aku lakukan untuk Kristus, apakah yang sedang aku lakukan untuk Kristus, dan apakah yang akan aku lakukan untuk Krsitus?” sungguh membuat dirinya memiliki kedalaman hidup rohani sehingga memampukannya untuk dapat memberikan pelayanan bagi mereka yang menderita. Lantas yang menjadi pertanyaan adalah: bagaimana Ibu Teresa memandang dan menempatkan dirinya dalam  relasi dengan Kristus yang telah mengajarinya untuk mengasihi serta yang memperlihatkan kepadanya, kepada siapa kasih itu terwujudkan?
Baginya Pribadi Yesus adalah pusat dari seluruh hidup. “Mengenai karya-karyanya dia senantiasa mengatakan, ‘Aku melakukannya karena Yesus, bersama Yesus, dalam Yesus, dan untuk Yesus"[9]. Oleh karena itu, dengan meneladan kasih Yesus yang setara dengan Allah telah rela datang ke dunia untuk memulihkan mansuia dari dosa, membuat Ibu Teresa pun ingin menjawab tawaran kasih Tuhan. Sebagaimana Tuhan mengasihi manusia yang menderita karena dosa demikina pula Ibu Teresa ingin mengasihi sesama yang menderita, yang kini terlihat jelas di matanya.
“Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku …. Sesungguhnya, segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku” (Mat. 25: 40, 45). Ibu Teresa menyukai Sabda Tuhan ini. Sabda inilah yang juga kemudian mendorongnya untuk mewujudkan kasih Allah yang berkarya di dalam dirinya itu kepada mereka yang miskin, lapar, telanjang, sakit, dan tersingkirkan. Baginya, dalam diri mereka itulah Yesus hadir secara tersamar. Yesus yang tersamar itu sungguh nyata baginya dan itu ia temukan dengan situasi nyata di Kota Kalkuta. “In Calcutta alone there are more than 400,000 homeless. In the railway stations thousands of men, women and children sleep among parcels of laundry on cement floor of the hallway. Out-side – a swarming mass of humanity, which looks as if it has come from some enormous, ripped-open anthill.[10] Dengan melayani mereka itulah Ibu Teresa dapat melayai Yesus yang secara nyata mengundangnya dalam diri orang-orang yang menderita.
Karena Yesus adalah pusat dari seluruh hidupnya maka panggilan hidup Ibu Teresa pertama-tama merupakan panggilan untuk melayani Yesus. Panggilan ini menuntutnya untuk juga menjadi seperti Yesus, berarti melayani Yesus dengan mendasarkan pada semangat kemiskinan baik material maupun spiritual. Maka dalam semangat hidupnya yang kemudian diikuti oleh para anggota MC, ia mengatakan: “Kami masih mengikrarkan kaul keempat: dengan sepenuh hati melayani yang termiskin di antara yang miskin, artinya Kristus dalam penampakan orang miskin yang tertindas”[11]. Spiritualitas Ibu Teresa ini sungguh menunjukkan secara jelas bahwa untuk dapat melayani Yesus yang tersamar dibutuhkan sebuah kedalaman hidup rohani yang mendalam. Kedalaman hidup rohani itu hanya dapat terbangun dengan memiliki persatuan kasih yang erat dan mesra dengan Yesus sendiri, kedalaman rohani yang dikobarkan dengan semangat Roh Kristus.
Atas dasar hidup spiritual dengan memandang dan menempatkan dirinya dalam relasi dengan Kristus yang telah mengajarinya untuk mengasihi serta yang memperlihatkan kepadanya, kepada siapa kasih itu terwujudkan, maka dapat dipahami mengapa Ibu Teresa hingga sampai dapat melakukan karya-karya yang begitu membuka mata dunia. Berbagai karya bagi mereka yang termiskin dari yang miskin adalah sebuah wujud konkrit dari hidup spiritual yang mendalam bagi Kristus yang telah memanggilnya.

Penutup
 Jalan pelayanan yang telah dilakukan oleh Ibu Teresa dalah sebuah jalan pelayanan kasih. Jalan pelayanan kasih itu secara nyata merupakan jalan akan kasih Allah sendiri yang telah berkarya dalam dirinya. Jalan pelayanan itu bukan semata-mata sebuah panggilan yang begitu saja muncul dari hatinya, jalan pelayanan itu semata-mata adalah panggilan Allah yang dianugerahkan kepadanya. Panggilan Allah itulah yang kemudian dalam perjalanan selanjutnya mendasari seluruh karya pelayanannya yang meliputi: Panggilan Ibu Teresa yang mendasarinya untuk terpanggil sebagai seorang biarawati yang berkarya di Kalkuta-India; Panggilan Pelayanan yang merupakan panggilan untuk melayani mereka yang termiskin dari yang miskin (the poorest of the poor) hingga berbuah pada pembentukan Missionaries of Charity (MC); dan Melayani Yesus. Panggilan untuk Melayani Yesus inilah yang kemudian mengundangnya untuk berkarya bagi mereka yang menderita sebab “yang dilayaninya adalah Allah semata, dan jalan pelayanan itu diwujudkan melaui pelayanan kepada sesama manusia, terutama mereka yang berkekurangan dan membutuhkan”[12].
Kini Ibu Teresa sudah tiada namun namanya tetap begema sepanjang masa. Keteladanan dari pribadi ini sungguh patut menjadi teladan bagi seluruh anggota Gereja, terlebih anggota Gereja Katolik yang memiliki iman sepertinya. Keteladanan untuk bersedia menjawab panggilan Tuhan yang telah muncul dan membawanya untuk menjadi perpanjangan tangan kasih-Nya merupakan sebuah keteladanan “siap sedia” untuk menjawab “utuslah aku, ya Tuhan!”. “Sungguh, Aku datang … untuk melakukan kehendak-Mu, ya AllahKu” (Ibr. 10: 7) adalah jawaban Kristus pada kesediaan akan tugas perutusan dari Bapa-Nya. Dan kini Sabda-Nya itu kembali nyata terlihat dalam diri Pribadi Teresa. Sikap siap sedianya inilah yang kemudian nampak dalam berbagai karyanya yang telah berkembang di seluruh penjuru dunia. Keteladanan untuk siap sedia dalam menjawab panggilan Allah inilah yang patut menjadi suri teladan bagi kita semua. Semoga!   

Catatan Akhir
Bebicara mengenai Ibu Teresa adalah sebuah hal yang terus relevan di tengah zaman berkembang seperti sekarang ini. Tokoh yang cukup dikenal oleh banyak orang ini sungguh seorang tokoh karismatis yang dengan keteladanan akan karyannya mampu menghadirkan kasih Allah di tengah dunia, terlebih pelayanan bagi the poorest of the poor.
Seluruh perjalanan panggilan Ibu Teresa yang  membukakan mata dunia akan mereka yang menderita sungguh sebuah hidup rohani yang dinampakkan dalam praksis hidup nyata. Bila melihat seluruh pejalanan hidupnya, kita dapat melihat beberapa benang merah yang mendasari hidupnya dalam melakukan karya nyata itu. Pertama, dengan menanggapi panggilan Allah yang mengundangnya untuk bekarya bagi the poorest of the poor adalah sebuah awal perjalanan dari hidup rohani yang selanjutnya berkembang pada pembentukan Missionaries of Charity (MC). Kedua, dengan didasari oleh sikap rohani mendalam yang dibentuknya dengan memiliki pesatuan kasih yang mesra dengan Yesus, mamampukannya untuk terus berkembang dan berjalan pada jalan panggilan-Nya. Kedalaman hidup rohani inilah yang pada akhirnya memampukan Ibu Teresa dapat melihat “tanda-tanda zaman” akan mereka yang menderita sebagai undangan Yesus yang merindukan pelayanan darinya.


*  *  *  *  * 

DAFTAR PUSTAKA
Cahyadi, T. Krispurwana, Jalan Kemiskinan Ibu Teresa, Obor, Jakarta, 2003.
Cahyadi, T. Krispurwana, Jalan Kesucian Ibu Teresa, Obor, Jakarta, 2003.
Cahyadi, T. Krispurwana, Jalan Pelayanan Ibu Teresa, Obor, Jakarta, 2003.
Gorree, G., and J. Barbier, For The Love of God: Mother Teresa of Calcutta, Veritas Publications,   Dublin, 1974.
Ibu Teresa, Cinta yang Total, diterjemahkan dari Lieben Bis Es Weh Tut, oleh A. Widyarsono,      Kanisius, Yogyakarta, 1998.





[1] T. Krispurwana Cahyadi, Jalan Pelayanan Ibu Teresa, 2.
[2] T. Krispurwana Cahyadi, Jalan Pelayanan Ibu Teresa, 39.
[3] T. Krispurwana Cahyadi, Jalan Pelayanan Ibu Teresa, 40.
[4] T. Krispurwana Cahyadi, Jalan Pelayanan Ibu Teresa, 42.
[5] T. Krispurwana Cahyadi, Jalan Pelayanan Ibu Teresa, 46.
[6] T. Krispurwana Cahyadi, Jalan Pelayanan Ibu Teresa, 50.
[7] T. Krispurwana Cahyadi, Jalan Pelayanan Ibu Teresa, 206.
[8] T. Krispurwana Cahyadi, Jalan Pelayanan Ibu Teresa, 52.
[9] T. Krispurwana Cahyadi, Jalan Kesucian Ibu Teresa, 107.
[10] G. Gorree and J. Barbier, For The Love of God: Mother Teresa of Calcutta, 14.
[11] Ibu Teresa, Cinta yang Total, 31.
[12] T. Krispurwana Cahyadi, Jalan Kemiskinan Ibu Teresa, 28.

1 komentar:

  1. Copas
    "Jalan pelayanan yang telah dilakukan oleh Ibu Teresa dalah sebuah jalan pelayanan kasih.

    BalasHapus

La présence de Dieu qui accompagne toujours nos vies est un mystère. Sa présence réelle qu'Il soit là ou ici, nous ne pourrons peut-être...