CINTA: JALAN MENUJU ALLAH
(Leo Yohanes Dehon - Maulana Jalaluddin Rumi)
1. Pengantar
Eksistensi Allah sebagai Realitas adalah sebuah
misteri bagi segenap ciptaan. Allah adalah Pencipta yang di dalam Dia segala
sesuatu dijadikan dan dari Dia segala sesuatu berasal. Karena Ia
begitu tinggi di antara seluruh ciptaan, maka tidak ada satu pun yang mampu
untuk mengenal-Nya. Allah sangat jauh dari ciptaan dan inilah segi transenden
keberadaan-Nya yang sungguh misteri di hadapan ciptaan, bahkan manusia
sekalipun.
Manusia sebagai makhluk yang memiliki martabat lebih
tinggi dibandingkan dengan makhluk ciptaan lain juga tidak mampu untuk
menggapai Realitas tertinggi itu. Segi transenden Allah yang jauh dari manusia
menjadikan manusia terus berusaha untuk mengenal dan menangkap Realitas Abadi
yang telah menjadikannya. Begitu besar perjuangan manusia untuk mengenal
Pribadi yang transenden itu hingga segala cara pun dilakukan. Rasanya usaha
manusia itu akan menjadi sia-sia belaka jika bukan Allah sendiri yang datang
dan menyapa. Segi imanen Allah inilah yang pada akhirnya akan membantu manusia
untuk mengenal Pencipta.
Segi imanen Allah ini merupakan sebuah anugerah yang
diberikan kepada manusia. Melalui segi imanen di mana Allah datang dan menyapa
manusia, Allah kini tidak lagi dikenal sebagai Pribadi yang transenden saja. Ia
menyapa manusia dengan pelbagai cara. Dengan memberikan wahyu-Nya, Allah
memperkenalkan Diri-Nya sebagai Pribadi yang penuh kasih. Kasih itu dapat
dialami oleh manusia sebagai dasar penciptaan dan dasar untuk menyatakan
Diri-Nya di hadapan kerapuhan manusia. Bagi banyak orang yang mengimani-Nya
melalui pelbagai agama di dunia, Allah dikenal sebagai Pribadi yang penuh
cinta.
2. Dua
Pribadi Mistik
Adalah dua pribadi manusia yang sangat merasakan
kehadiran cinta Allah. Cinta Allah sungguh mempesona hingga membuat mereka
semakin sadar dan ingin kembali dalam pelukan cinta Sang Cinta. Dua pribadi itu
adalah Leo Yohanes Dehon (1843-1925) dan Maulana Jalaluddin Rumi (1207-1273).
Cinta Allah bagi mereka merupakan sebuah jalan utama untuk kembali kepada-Nya.
Berhubung dengan topik tersebut, dalam tulisan ini
penulis mengangkat judul “Cinta: Jalan Menuju Allah”. Tema ini sungguh menarik
bagi penulis karena dengan memahami cinta Allah yang ditangkap oleh kedua tokoh
– Dehon dan Rumi dengan memiliki latar belakang agama yang berbeda – sungguh
memberikan khasanah dalam mencari titik temu antara dunia ke-Islam-an dan
ke-Kristen-an. Kedua pribadi itu dapat dikatakan sebagai pribadi-pribadi
mistikus antara dua agama yang berbeda. Baik Dehon ataupun Rumi, kedua pribadi
ini sungguh memiliki jasa dalam mengembangkan dunia spiritual dalam menanggapi
cinta Allah yang dinyatakan kepada manusia. Bagaimana cara dua pribadi mistik
itu “menangkap” dan menanggapi cinta Allah? Dalam tulisan ini, penulis mencoba
untuk menguraikannya.
3. Leo Yohanes Dehon
Kontemplasi merupakan nafas dan jiwa dari setiap
panggilan rohani Kristiani. Kontemplasi juga merupakan sebuah sumber yang
mengalir terus-menerus dengan memberikan air kesegaran bagi hidup umat beriman.
Untuk itu, panggilan untuk menghayati hidup doa/kontemplasi sebagai persatuan
yang utuh dengan Sang Pencipta merupakan panggilan sejati bagi seorang mistikus
layaknya Leo Yohanes Dehon. Pribadi yang lahir pada tanggal 14 Maret 1843 di La
Capelle, Aisne , Perancis ini sungguh menjadi
pribadi yang karismatis karena dengan penghayatan hidup rohani yang sungguh
menakjubkan, ia mampu untuk menangkap cinta Allah. Hidup rohani Dehon yang
sungguh kaya itu memampukannya untuk memberikan sumbangan besar bagi Gereja
Katolik dengan lahirnya Congregatio
Sacerdotum A Sacro Corde Jesu (Kongregasi Imam-imam Hati Kudus Yesus/SCJ).
Untuk dapat mendirikan sebuah kongregasi dengan nuansa
devosi kepada Hati Kudus, tentunya Dehon memiliki hidup rohani yang unggul. Hidup
rohani ini pasti bukan sekadar hidup yang dijalani dengan hidup doa saja. Bagi
Dehon, semangat untuk memberikan diri seutuhnya kepada Allah – salah satunya
dengan mendirikan kongregasi – didasarkan pada kasih Allah. Kasih Allah itu
menjadi nyata dalam Diri Yesus Kristus yang diimaninya sebagai penyelamat dunia
dari kuasa dosa. Yesus itu pula yang memberikan teladan kepadanya untuk dapat
menangkap cinta Allah dan sekaligus memberikan keteladanan untuk dapat
menjawab-membalas cinta-Nya.
Contoh teladan yang paling sempurna dari hidup cinta
kasih, pengorbanan diri, penyerahan diri, penyesuaian diri dengan kehendak
Allah ialah Yesus sendiri[1]. Bagi
Dehon, Yesus adalah Pelopor Utama pada jalan pengorbanan diri. Yesus adalah
wujud nyata dari cinta Allah yang menyapa dan menyelamatkan manusia: “Kita
telah percaya akan kasih Allah” (1 Yoh 4:16). Teks itu merupakan ungkapan iman
Dehon untuk mengerti sumber utama karya penyelamatan Allah bagi dunia. Baginya,
Hati Yesus adalah ungkapan yang nyata dari kasih Allah. Dia yang tersalib, yang
lambung-Nya tertikam (Yoh 19:34) dan Dia yang bangkit serta berkata kepada
Tomas: “Taruhlah jarimu di sini […] dan jangan engkau tidak percaya” (Yoh 20:27),
dan Dia yang adalah Penyelamat, Pemberi kehidupan kepada manusia (Yoh 15:13)
telah menunjukkan kepada Dehon sumber misteri yang sejati, yaitu Kasih Allah
Tritunggal.
Dehon menyadari perjuangan hidup manusia: “takut akan
Allah” yang disebabkan oleh dosa (Kej 3:8.10) dan sikap tergantung sepenuhnya
pada citra Allah yang telah diterima: penuh kasih. Baginya, Tuhan Yesus yang
lambung-Nya tertikam selalu mengulangi sabda-sabda-Nya: “Allah begitu mencintai
manusia dengan menyerahkan Putera-Nya yang tunggal kepada kita” (Yoh 3:16) dan
bahwa “Allah adalah kasih” (1 Yoh 4:8); Dia mengundang manusia untuk “percaya
akan kasih Allah” (1 Yoh 4:16). Dehon merasa bahwa Allah yang penuh kasih itu
telah menyentuh hatinya. Sentuhan kasih Allah itu kemudian mendorong dirinya
untuk menanggapi cinta Allah yang ditawarkan kepadanya. Keterpesonaan akan
cinta Allah telah membuatnya menjadi pribadi yang diselamatkan. Keterpesonaan
ini pula yang menggerakkan hati untuk menjawab-Nya dan menjadikannya pula sebuah
undangan untuk merasakan kasih Allah.
Penyerahan diri
Undangan untuk terus-menerus menemukan misteri kasih
Allah yang benar – yaitu bahwa Allah adalah kasih – adalah sebuah panggilan
mulia bagi Dehon. Ia pun dipanggil secara rohani untuk menyadari bahwa dirinya
adalah satu dari sekian banyak orang yang diselamatkan oleh karena jasa Dia
yang adalah baik.
Allah adalah kasih, dan kasih yang menantikan balasan
dari manusia[2]. Bagaimana
untuk membalas kasih Allah? Bagi Dehon, jawaban untuk membalas kasih Allah
adalah dengan jalan memberikan penyerahan diri kepada-Nya. Semangat ini
merupakan satu dari semangat spiritual kongregasi yang telah didirikannya dan
menjadi semangat para anggotanya untuk memberikan diri sepenuhnya bagi kehendak
Allah. Semangat penyerahan diri itu terwujud dalam ecce venio: “Aku datang untuk melakukan kehendak-Mu, ya Allah-ku”
(Ibr 10:7) dan ecce ancilla: “Aku ini
hamba Tuhan, jadilah padaku menurut kehendak-Mu” (Luk 1:38).
Semboyan ecce
venio, “aku datang” dengan semangat “hamba” merupakan pedoman yang
mengarahkannya untuk rela berbuat, menangani dan menderita apapun juga demi apa
yang diinginkan oleh Allah. Dengan semangat penyerahan diri yang seutuhnya itu,
Dehon selalu mengandalkan karya Allah dalam melaksanakan kehendak-Nya. Ia
menekankan semangat ini dengan memberikan sebuah gambaran: seorang yang
merelakan diri sebagai “kurban” kepada Allah sudah merasa cukup terhadap
sesuatu; ia sudah memilih bahwa kehendaknya sudah berada di tangan Tuhan,
Tuhan-lah yang memilikinya sehingga kepada Dia seluruh bakti dan penyerahan
diri diarahkan.
Dalam salah satu bagian refleksinya, Dehon berkata:
“Adalah sebuah seni untuk menjadi kurban bagi Hati Ilahi. Seni inilah yang
harus kita pelajari dan harus kita kembangkan tanpa henti. Rahasia dari seni
ini adalah keselarasan dengan kehendak Ilahi, penyerahan kebebasan dan
penyerahan diri kepada kehendak Ilahi[3]”. Maka,
makna panggilan cinta kasih Allah adalah menyerahkan diri sepenuh-penuhnya
dengan membiarkan Tuhan menentukan jalan hidup. Penyerahan diri kepada Allah
adalah sesuatu yang utama untuk membalas kasih Allah. Baginya, kalau seorang
manusia menyerahkan diri dengan sepenuh hati kepada Yesus, maka Yesus
menganugerahkan Diri-Nya sendiri kepada dia[4].
Semangat rohani untuk membalas cinta Allah kepada
manusia telah menjadi penghayatan spiritual bagi Dehon. Semua itu menjadi daya
dorong bagi perjalanan hidup rohaninya karena dengan memberikan persembahan
diri kepada Allah, ia telah menjawab undangan Allah Putera-Yesus yang
merindukan balasan kasih dari manusia. Refleksi ini pertama-tama ia ambil dari
pengalaman St. Margareta Maria (1647-1690)
yang menunjukkan Hati-Nya yang tertikam sambil berkata: “Inilah Hati-Ku yang
begitu banyak mencintai manusia; tetapi dari kebanyakan manusia, Hati-Ku hanya
mengalami sikap tidak tahu terima kasih, sikap dingin, sikap tidak peka[5]”. Pengalaman
rohani inilah yang mendorong Dehon untuk menanggapi cinta Allah itu dengan
sikap penyerahan diri seutuhnya terhadap karya Ilahi.
“Bagi-Nya aku hidup, bagi-Nya aku
mati”
Spritualitas Dehon yang mengarah kepada cinta Hati Kudus
Tuhan Yesus sungguh menjiwai seluruh hidupnya. Kesadarannya akan kasih Allah –
dalam Kristus – yang menyelamatkan semua manusia dan memihak kepada yang lemah
telah memberikan semangat bagi perjuangan hidup panggilan. Dengan “menangkap”
arti Allah yang penuh cinta, Dehon mampu menghadirkan kesaksian Kristiani tidak
hanya bagi para anggota kongregasi, melainkan bagi seluruh Gereja.
Kesetiaannya dalam menghidupi cinta Allah terus ia
hidupi hingga pada saat kematian akan menjemput. Kecintaan kepada Allah yang
mengasihi membuat Dehon tegar dalam menghadapi kematian. Ia melihat bahwa
hidupnya yang selama ini diabdikan kepada Hati Tuhan akan memberinya jalan
kehidupan untuk bersatu dengan-Nya. “Bagi-Nya aku hidup, bagi-Nya aku mati[6]”
adalah kata-kata akhir Dehon sebelum meninggal. Kata-kata itu menunjukkan
dengan jelas bagaimana persatuannya yang sangat mesra dengan Sang Cinta.
Persatuan itu dialaminya sebagai dasar bagi peziarahan hidup selama di dunia
dan sebagai tujuan akhir bagi hidupnya.
Akhirnya, Dehon meninggal pada tanggal 12 Agustus
1925. Kepergiannya meninggalkan sebuah warisan rohani yang sungguh berguna bagi
Gereja; warisan yang mengarahkan untuk menghidupi spiritualitasnya bukan hanya
dengan doa-doa saja, tetapi juga dalam keseluruhan hidup. Dehon menempati
peristirahatan terakhir di makam kongregasi. Jenazahnya dimasukkan ke dalam
makam batu pualam hitam dan ditempatkan dalam Gereja St. Martinus di
Saint-Quentin, Perancis. Pada waktu proses beatifikasi dimulai (1952), ia
diberi gelar “Servus Dei” (Hamba
Tuhan). Sebuah gelar dari Gereja yang patut baginya.
4. Maulana Jalaluddin Rumi
Dunia sufi merupakan salah satu gerakan mistik dalam
dunia Islam. Gerakan ini tidak hanya memperkaya Islam dalam ranah kepustakaannya
– yang kaya dengan uraian-uraian keagamaan dan kesufian – melainkan juga memperkaya
khasanah spiritualitas Islam. Mengenai bagaimana manusia menjalin hubungan
dengan Allah transenden adalah salah satu topik utama dalam dunia sufi, tidak
terkecuali juga dengan Maulana Jalaluddin Rumi. Sufi yang lahir pada tanggal 6
Rabiul-Awwal 604 atau tanggal 30 September 1207 SM dengan nama lengkap: Maulana
Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin al Khattabi al-Bakri, adalah seorang mistikus
yang cukup berpengaruh dalam dunia ke-sufi-an. Tidak hanya karya-karyanya saja
yang sangat mempesona, tetapi permenungan misitknya mengenai Tuhan juga sangat
menarik.
Tuhan dipandang oleh Rumi sebagai Pencipta[7].
Dengan pemahaman ini, Rumi melihat alam raya sebagai “medan kegiatan kratif” Allah. Alam diciptakan
Tuhan dengan sangat cepat dan kreatif sehingga keberadaan dan keadaannya
terus-menerus berubah dan diperbaharui setiap saat (Ar Rahman 55:29): “Setiap
saat dunia diperbaharui, dan kita tidak merasa sadar pada pembaharuannya[8]”. Pembaharuan
dunia dan seluruh alam raya merupakan penciptaan Allah yang terus menerus.
Adapun yang pertama kali diciptakan oleh Tuhan, menurut Rumi adalah cinta[9].
Dari pernyataan itu, Rumi mengajukan sebuah pemahaman spekulasi-filosofis yang
sangat cemerlang. Pernyataan itu mengarah pada suatu pemahaman bahwa cinta
Allah merupakan kekuatan kreatif fundamental dalam karya penciptaan. Cinta
Allah itu yang bertanggungjawab atas pertumbuhan alam dari tingkat yang rendah
menuju tingkat yang lebih tinggi. Cinta memberi kesatuan pada partikel-partikel
materi di dunia sehingga membuat tumbuh-tumbuhan berkembang dan menyebabkan
hewan bergerak serta berkembang biak.
Cinta menurut Rumi adalah kasih Allah yang sungguh
dahsyat. Kedahsyatan cinta Allah tidak hanya sebagai karya fundamental bagi
karya penciptaan, tetapi juga sebagai landasan bagi penciptaan Allah secara
terus-menerus. Dalam sebuah syair Matsnawi-yi Ma’nawi, ia melukiskan dengan
jelas kedahsyatan tenaga kreatif cinta: “Ketahuilah bahwa langit-langit
berputar karena gelombang cinta, kalau bukan karena cinta, dunia menjadi tidak
berdaya; (Kalau bukan karena cinta) bagaimana bisa benda mati menjadi tumbuhan[10]”.
Kedahsyatan cinta Allah itu dipahami oleh Rumi sebagai kebijaksanaan Pencipta
dalam menciptakan alam semesta agar manusia dapat mengenal-Nya. Karena itu,
menurut Rumi, kita (manusia) dapat mengenal Tuhan lewat alam karena alam adalah
cermin-universal yang dapat memantulkan sifat-sifat Tuhan (yang) sepadan dengan
ketinggian derajat (tingkat) eksistensi mereka[11].
Cinta, menurut Rumi, terdapat dalam Diri Allah. Cinta
itu pula yang kemudian diberikan kepada manusia sebagai potensi lahiriah; dan
itu yang dialami oleh Rumi sendiri. Cintanya pada Tuhan – yang nyata dalam
cinta fundamental-kratif penciptaan
semesta – menimbulkan hasrat dan kerinduan untuk kembali kepada-Nya.
Cinta Allah telah dianugerahkan dan tinggal dalam hati setiap manusia. Cinta
itulah yang menggerakkan manusia untuk dapat menangkap karya penciptaan Allah
sebagai wujud cinta Ilahi; dan kepada cinta Ilahi itulah hati manusia
mengarahkan tujuan hidupnya: “Apabila kilat cinta telah menyambar hati yang
ini, ketahuilah bahwa ada cinta di hati yang lain; Apabila cinta Tuhan
bertambah besar di relung hatimu, pastilah Ia menaruh cinta atasmu[12]”.
Cinta dipandang oleh Rumi sebagai “astrolabe dari rahasia-rahasia Tuhan[13]”
yang memberikan pedoman bagi para pecinta (manusia) untuk mendapatkan arah
menuju yang dicintai. Allah sebagai sumber cinta merupakan tujuan akhir bagi
segala cinta yang ada: “Apakah cinta itu berasal dari dunia atau dari langit,
itu akan mengarahkan kita ke sana (Allah – Sumber Cinta) [14]”.
Selain itu, cinta yang ada dalam diri setiap manusia, dengan segala kekuatannya
dapat melipatgandakan kecepatan daya tempuh si pecinta untuk menjumpai Allah,
Sang Kekasih: “Pertapa penakut berlari menggunakan kaki; para pecinta (Allah)
terbang lebih cepat dari pada kilat dan angin[15]”.
Pecinta yang berkorban
Perjuangan pecinta – para pencari Allah – yang
terpesona akan cinta Allah yang terwujud dalam semesta, menggerakkan hati Rumi
untuk mengarahkan seluruh tujuan hidup kepada-Nya. Baginya, perjuangan untuk
bersatu dengan Allah tidak hanya didasarkan pada cinta dalam diri. Perjuangan
itu membutuhkan sebuah pengorbanan diri pula karena “cinta membutuhkan
keikhlasan”. Cinta yang dimaksudkan Rumi adalah lenyapnya ke-diri-an, yaitu
kesatuan sempurna dengan kekasih Tuhan dengan Tuhan. Baginya, selama dalam diri
masih bersemayam ribuan berhala atau satu saja berhala selain Sang Kekasih,
jalan masuk kepada-Nya akan tertutup. Berhala yang paling besar adalah egoisme
dan kesombongan diri yang sulit diobati, kecuali dengan cinta.
Pengurbanan diri para pecinta untuk mencapai Cinta
Ilahi adalah sebuah pengorbanan yang menuntut kematian egoisme diri. Sekalipun
dengan pengorbanan diri itu para pecinta mengalami kematian, Rumi memandang
bahwa hanya dengan kematian itu para pecinta akan menuju Allah; sebuah kehidupan
baru dalam cinta setelah kematian: “Melalui cinta, yang mati menjadi hidup[16]”.
Jadi, tujuan dari pengorbanan diri melalui peniadaan diri tiada lain adalah
untuk memperterang jalan yang akan ditempuh menuju ke pemahaman kenyataan,
bahwa tidak ada wujud hakiki utama kecuali Allah. “Aku tiada” berarti “Tuhan
adalah segala-galanya”[17].
Ketika itu semua terjadi, Rumi menggambarkan bahwa kesatuan cinta antara
kekasih Tuhan (pecinta) dengan Tuhan bagaikan “puncak kemabukan cinta”. Itulah
“perkawinan jiwa” yang menggambarkan persatuan mistis, di mana sintesa pecinta
dan yang dicinta teratasi oleh sebuah perubahan bentuk mereka ke dalam esensi
“Cinta Universal”.
Akhir Hidup
Hidup mistis dengan perjuangan untuk bersatu dengan
Sang Cinta adalah misi hidup Rumi. Khasanah rohani hidupnya itu sungguh
memperkaya dunia Islami. Dengan kematiannya (pada tanggal 3 Jumadilakhir 627 H
atau 16 Desember 1273), Rumi meninggalkan warisan rohani yang memuat kekayan
hidup spiritual yang terwujud nyata dalam Tarekat Maulawiyah-nya. Dengan segala
penghormatan, orang suci yang berpengaruh dalam dunia sufi Islam itu
dibaringkan di tempat peristirahatannya.
5. Cinta: Jalan Menuju Allah
Cinta merupakan tema utama bagi Dehon dan Rumi. Cinta
dialami oleh mereka sebagai wujud nyata dari realitas Allah yang adalah Cinta
itu sendiri. Bagi keduanya, cinta Allah sungguh menyentuh mereka. Sekalipun
keduanya memiliki topik permenungan yang sama mengenai cinta, tapi cinta Allah
yang mereka tangkap – sebagai dasar permenungan – memiliki perbedaan antara
yang satu dengan yang lain. Bagi Dehon, cinta Allah sungguh nyata dalam Yesus
Kristus yang telah menunjukkan kasih Allah. Kasih/cinta Allah sebagai anugerah
yang menyelamatkan manusia dari belenggu dosa, sungguh menyentuh hati Dehon. Bagi
Rumi, cinta Allah itu dipahaminya sebagai daya kreatif Allah dalam karya
penciptaan-Nya. Karya cinta Allah itulah yang menggerakkan hati Maulana untuk
mengarahkan seluruh hidup kepada tujuan akhir, yakni Sang Cinta itu sendiri.
Ketika Dehon sungguh terpesona kepada cinta Allah yang
terwujud kepada Hati Yesus yang rela menderita, Rumi juga mengalami keterpesonaan
itu dengan melihat kedahsyatan karya Allah dalam menciptakan jagad raya. Bagi
keduanya, keterpesonaan terhadap manifestasi-manifestasi Allah yang imanen
sungguh memberikan dorongan spiritual. Dorongan spiritual itulah yang
menggerakkan mereka untuk memiliki “hasrat” untuk mengarahkan diri kepada
Allah. Dehon merasa bahwa Hati Yesus sungguh merindukan balasan/tanggapan hati
manusia untuk datang kepada-Nya. Demikian pula bagi Rumi, karya penciptaan
Allah telah menanamkan cinta dalam hati manusia dan dengan hati itu pula manusia
diundang untuk kembali kepada-Nya.
Demikian besar cinta Allah yang tertanam di dalam dua
mistikus ini. Cinta Allah sungguh menjiwai mereka untuk mengarahkan seluruh
hidup kepada-Nya. Cinta yang terjadi atas keterpesonaan pada cinta Allah itu
membukakan pintu bagi mereka menuju kepada Allah: bersatu dengan Kekasih cinta
mereka. Kalau Dehon mengungkapkan jalan menuju Allah itu dengan memberikan
penyerahan diri seutuhnya kepada Allah dengan sikap ecce venio dan ecce ancilla,
Rumi mengungkapkannya dengan cara pengorbanan diri/egoisme. Cinta dalam diri
menggerakkan daya pengorbanan mereka; sebuah kematian karena pengorbanan menuju
ke hidup baru, yakni bersatu dengan Allah!
Dehon dan Rumi merupakan dua pribadi yang berbeda.
Keberbedaan mereka tidak hanya terletak dari perbedaan pribadi dan budaya.
Keduanya memiliki perbedaan hakiki dari latar belakang spiritualitas keagamaan:
Katolik dan Islam. Ketika pribadi dan budaya, bahkan juga agama sungguh
menjadikan keduanya memiliki perbedaan hakiki, ada realitas yang dapat
menyatukan mereka: cinta. Cinta akan kasih Allah sungguh mempesona mereka.
Cinta Allah itu pula yang menggerakkan mereka untuk menanggapi kasih Allah itu
dan memberikan pedoman untuk mengarahkan seluruh hidup hanya kepada-Nya.
6. Penutup
Praksis dunia modern saat ini sangat diwarnai dengan
pelbagai tindakan kekerasan yang bernuansakan agama. Agama sendiri seringkali
menjadi bungkus rapi untuk menutupi suatu tindakan kriminal yang sebenarnya
berwarna politik, ekonomi dan lain sebagainya. Kejadian yang tidak jarang
menelan korban banyak jiwa itu terjadi di seluruh penjuru dunia, tidak
terkecuali di Indonesia .
Sebagai negara yang ber-Bhenika Tunggal Ika, Indonesia pun tidak luput dari
praksis kekerasan yang terjadi atas nama agama: perusakan tempat ibadah,
sulitnya untuk mencari Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) atas suatu tempat ibadah
tertentu, penganiayaan yang terjadi atas nama agama dan pelbagai peristiwa
lainnya.
Jika yang terjadi adalah demikian, sudah saatnya agama
bercermin dan membaharui diri agar menjadi sarana perdamaian antara pemeluk
agama. Salah satu contoh yang patut untuk dilaksanakan adalah dengan mencari
titik temu di antara agama yang ada. Titik temu itu dapat dimanifestasikan
dengan pelbagai cara. Tapi di antara banyak cara yang ditawarkan, Dehon dan
Rumi telah memulainya. Dehon dan Rumi telah memberikan sumbangan yang berarti
bagi dunia keagamaan dengan mengetengahkan permenungan mistis mereka akan
Realitas Ilahi: cinta. Hanya dengan melalui cinta, seluruh pemeluk antara agama
dapat saling mengormati. Hanya dengan melalui cinta pula, seluruh pemeluk agama
dapat menjalin kerja sama untuk mewujudkan cinta itu dalam kegiatan
kemanusiaan.
Mungkin Dehon dan Rumi kini telah menjadi tokoh klasik
yang suaranya tidak terdengar jelas oleh karena kebisingan dunia. Padahal kedua
tokoh mistik itu telah memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi
perkembangan perdamaian antara pemeluk agama yang saat ini mengalami dekadensi
moral yang sungguh luar biasa. Lantas, apa yang seharusnya dilakukan? Mungkinkah
saat ini muncul Dehon dan Rumi jaman sekarang, yang memiliki tema permenungan
keagaamaan yang dapat dipertemukan? Dengan demikian, segala perbedaan yang
memicu konflik antara pemeluk agama dapat dielakkan? Kiranya inilah tugas para
pemeluk agama yang mengimani Allah pada jaman modern ini!
* * *
Daftar Pustaka
Dehon, L.Y.,
2003 Direktorium Rohani, SCJ Indonesia , Palembang .
Dorresteijn, H.,
2004 Leo Dehon: Seorang Imam Untuk Masa Modern,
I, diterjemahkan dari Leven en Persoonlijkheid van Pater Dehon,
oleh C.P.M. van Paassen, Provinsialat
SCJ, Palembang .
Hadi, A., W.M.,
1985 Rumi: Sufi dan Penyair, Pustaka, Bandung .
Kartanegara,
R.M.,
1986 Renungan Mistik Jalal Ad-Din Rumi, Pustaka Jaya, Jakarta .
Komisi Spiritualitas
dan Kerasulan SCJ Indonesia,
2001 Satu Hati dalam Tuhan (Buku Doa Keluarga
SCJ), Kongregasi Imam-imam
Hati Kudus Yesus (SCJ) Indonesia , Palembang .
Rúmi, J.,
2001 “The
Mathnawi”, dalam R.A. Nicholson (ed.), The
Mathnawi of Jalálu’ddin Rúmi: Translation of books I and II, E.J.W. Gibb
Memorial, Inggris.
2001 “The
Mathnawi”, dalam R.A. Nicholson (ed.), The
Mathnawi of Jalálu’ddin Rúmi: Translation of books III and IV, E.J.W. Gibb
Memorial, Inggris.
2001 “The
Mathnawi”, dalam R.A. Nicholson (ed.), The
Mathnawi of Jalálu’ddin Rúmi: Translation of books V and VI, E.J.W. Gibb
Memorial, Inggris.
Schimmel, D.F.,
1986 The Concept Of “Victim” In The Thought Of
Leo John Dehon, The Catholic Theological, Chicago.
[1] L.Y.
Dehon, Direktorium Rohani, SCJ Indonesia ,
Palembang 2003, 16.
[2] Komisi
Spiritualitas dan Kerasulan SCJ Indonesia, Satu
Hati dalam Tuhan (Buku Doa Keluarga SCJ), Kongregasi Imam-imam Hati Kudus
Yesus (SCJ) Indonesia, Palembang 2001, 174.
[3] D.F.
Schimmel, The Concept Of “Victim” In The
Thought Of Leo John Dehon, The Catholic Theological, Chicago 1986, 57.
[4] L.Y.
Dehon, Direktorium Rohani, 5.
[5] L.Y.
Dehon, Direktorium Rohani, 11.
[6] H.
Dorresteijn, Leo Dehon: Seorang Imam
Untuk Masa Modern, I, diterjemahkan dari Leven en Persoonlijkheid van Pater Dehon, oleh C.P.M. van Paassen,
Provinsialat SCJ, Palembang 2004, 311.
[7] R.M.
Kartanegara, Renungan Mistik Jalal Ad-Din
Rumi, Pustaka Jaya, Jakarta
1986, 53.
[8] J. Rúmi,
“The Mathnawi”, dalam R.A. Nicholson (ed.), The
Mathnawi of Jalálu’ddin Rúmi: Translation of books I and II, E.J.W. Gibb
Memorial, Inggris 2001, 64.
[9] R.M.
Kartanegara, Renungan Mistik Jalal Ad-Din
Rumi, 54.
[10] J. Rúmi,
“The Mathnawi”, dalam R.A. Nicholson (ed.), The
Mathnawi of Jalálu’ddin Rúmi: Translation of books V and VI, E.J.W. Gibb
Memorial, Inggris 2001, 231.
[11] R.M.
Kartanegara, Renungan Mistik Jalal Ad-Din
Rumi, 56.
[12] J. Rúmi,
“The Mathnawi”, dalam R.A. Nicholson (ed.), The
Mathnawi of Jalálu’ddin Rúmi: Translation of books III and IV, E.J.W. Gibb
Memorial, Inggris 2001, 245.
[13] J. Rúmi,
“The Mathnawi”, dalam R.A. Nicholson (ed.), The
Mathnawi of Jalálu’ddin Rúmi: Translation of books I and II, 10.
[14] J. Rúmi,
“The Mathnawi”, dalam R.A. Nicholson (ed.), The
Mathnawi of Jalálu’ddin Rúmi: Translation of books I and II, 10.
[15] J. Rúmi,
“The Mathnawi”, dalam R.A. Nicholson (ed.), The
Mathnawi of Jalálu’ddin Rúmi: Translation of books V and VI, 132.
[16] J. Rúmi,
“The Mathnawi”, dalam R.A. Nicholson (ed.), The
Mathnawi of Jalálu’ddin Rúmi: Translation of books I and II, 300.
[17] A.
Hadi, W.M., Rumi: Sufi dan Penyair,
Pustaka, Bandung
1985, xv.
Copas:
BalasHapus"Cinta dalam diri menggerakkan daya pengorbanan mereka; sebuah kematian karena pengorbanan menuju ke hidup baru, yakni bersatu dengan Allah!"
mantab....:)
Hapus