Selasa, 21 Maret 2017

CINTA: JALAN MENUJU ALLAH
   (Leo Yohanes Dehon - Maulana Jalaluddin Rumi)

1.      Pengantar
Eksistensi Allah sebagai Realitas adalah sebuah misteri bagi segenap ciptaan. Allah adalah Pencipta yang di dalam Dia segala sesuatu dijadikan dan dari Dia segala sesuatu berasal. Karena Ia begitu tinggi di antara seluruh ciptaan, maka tidak ada satu pun yang mampu untuk mengenal-Nya. Allah sangat jauh dari ciptaan dan inilah segi transenden keberadaan-Nya yang sungguh misteri di hadapan ciptaan, bahkan manusia sekalipun.
Manusia sebagai makhluk yang memiliki martabat lebih tinggi dibandingkan dengan makhluk ciptaan lain juga tidak mampu untuk menggapai Realitas tertinggi itu. Segi transenden Allah yang jauh dari manusia menjadikan manusia terus berusaha untuk mengenal dan menangkap Realitas Abadi yang telah menjadikannya. Begitu besar perjuangan manusia untuk mengenal Pribadi yang transenden itu hingga segala cara pun dilakukan. Rasanya usaha manusia itu akan menjadi sia-sia belaka jika bukan Allah sendiri yang datang dan menyapa. Segi imanen Allah inilah yang pada akhirnya akan membantu manusia untuk mengenal Pencipta.
Segi imanen Allah ini merupakan sebuah anugerah yang diberikan kepada manusia. Melalui segi imanen di mana Allah datang dan menyapa manusia, Allah kini tidak lagi dikenal sebagai Pribadi yang transenden saja. Ia menyapa manusia dengan pelbagai cara. Dengan memberikan wahyu-Nya, Allah memperkenalkan Diri-Nya sebagai Pribadi yang penuh kasih. Kasih itu dapat dialami oleh manusia sebagai dasar penciptaan dan dasar untuk menyatakan Diri-Nya di hadapan kerapuhan manusia. Bagi banyak orang yang mengimani-Nya melalui pelbagai agama di dunia, Allah dikenal sebagai Pribadi yang penuh cinta.

2.   Dua Pribadi Mistik
Adalah dua pribadi manusia yang sangat merasakan kehadiran cinta Allah. Cinta Allah sungguh mempesona hingga membuat mereka semakin sadar dan ingin kembali dalam pelukan cinta Sang Cinta. Dua pribadi itu adalah Leo Yohanes Dehon (1843-1925) dan Maulana Jalaluddin Rumi (1207-1273). Cinta Allah bagi mereka merupakan sebuah jalan utama untuk kembali kepada-Nya.
Berhubung dengan topik tersebut, dalam tulisan ini penulis mengangkat judul “Cinta: Jalan Menuju Allah”. Tema ini sungguh menarik bagi penulis karena dengan memahami cinta Allah yang ditangkap oleh kedua tokoh – Dehon dan Rumi dengan memiliki latar belakang agama yang berbeda – sungguh memberikan khasanah dalam mencari titik temu antara dunia ke-Islam-an dan ke-Kristen-an. Kedua pribadi itu dapat dikatakan sebagai pribadi-pribadi mistikus antara dua agama yang berbeda. Baik Dehon ataupun Rumi, kedua pribadi ini sungguh memiliki jasa dalam mengembangkan dunia spiritual dalam menanggapi cinta Allah yang dinyatakan kepada manusia. Bagaimana cara dua pribadi mistik itu “menangkap” dan menanggapi cinta Allah? Dalam tulisan ini, penulis mencoba untuk menguraikannya.

3.      Leo Yohanes Dehon
Kontemplasi merupakan nafas dan jiwa dari setiap panggilan rohani Kristiani. Kontemplasi juga merupakan sebuah sumber yang mengalir terus-menerus dengan memberikan air kesegaran bagi hidup umat beriman. Untuk itu, panggilan untuk menghayati hidup doa/kontemplasi sebagai persatuan yang utuh dengan Sang Pencipta merupakan panggilan sejati bagi seorang mistikus layaknya Leo Yohanes Dehon. Pribadi yang lahir pada tanggal 14 Maret 1843 di La Capelle, Aisne, Perancis ini sungguh menjadi pribadi yang karismatis karena dengan penghayatan hidup rohani yang sungguh menakjubkan, ia mampu untuk menangkap cinta Allah. Hidup rohani Dehon yang sungguh kaya itu memampukannya untuk memberikan sumbangan besar bagi Gereja Katolik dengan lahirnya Congregatio Sacerdotum A Sacro Corde Jesu (Kongregasi Imam-imam Hati Kudus Yesus/SCJ).
Untuk dapat mendirikan sebuah kongregasi dengan nuansa devosi kepada Hati Kudus, tentunya Dehon memiliki hidup rohani yang unggul. Hidup rohani ini pasti bukan sekadar hidup yang dijalani dengan hidup doa saja. Bagi Dehon, semangat untuk memberikan diri seutuhnya kepada Allah – salah satunya dengan mendirikan kongregasi – didasarkan pada kasih Allah. Kasih Allah itu menjadi nyata dalam Diri Yesus Kristus yang diimaninya sebagai penyelamat dunia dari kuasa dosa. Yesus itu pula yang memberikan teladan kepadanya untuk dapat menangkap cinta Allah dan sekaligus memberikan keteladanan untuk dapat menjawab-membalas cinta-Nya.
Contoh teladan yang paling sempurna dari hidup cinta kasih, pengorbanan diri, penyerahan diri, penyesuaian diri dengan kehendak Allah ialah Yesus sendiri[1]. Bagi Dehon, Yesus adalah Pelopor Utama pada jalan pengorbanan diri. Yesus adalah wujud nyata dari cinta Allah yang menyapa dan menyelamatkan manusia: “Kita telah percaya akan kasih Allah” (1 Yoh 4:16). Teks itu merupakan ungkapan iman Dehon untuk mengerti sumber utama karya penyelamatan Allah bagi dunia. Baginya, Hati Yesus adalah ungkapan yang nyata dari kasih Allah. Dia yang tersalib, yang lambung-Nya tertikam (Yoh 19:34) dan Dia yang bangkit serta berkata kepada Tomas: “Taruhlah jarimu di sini […] dan jangan engkau tidak percaya” (Yoh 20:27), dan Dia yang adalah Penyelamat, Pemberi kehidupan kepada manusia (Yoh 15:13) telah menunjukkan kepada Dehon sumber misteri yang sejati, yaitu Kasih Allah Tritunggal.
Dehon menyadari perjuangan hidup manusia: “takut akan Allah” yang disebabkan oleh dosa (Kej 3:8.10) dan sikap tergantung sepenuhnya pada citra Allah yang telah diterima: penuh kasih. Baginya, Tuhan Yesus yang lambung-Nya tertikam selalu mengulangi sabda-sabda-Nya: “Allah begitu mencintai manusia dengan menyerahkan Putera-Nya yang tunggal kepada kita” (Yoh 3:16) dan bahwa “Allah adalah kasih” (1 Yoh 4:8); Dia mengundang manusia untuk “percaya akan kasih Allah” (1 Yoh 4:16). Dehon merasa bahwa Allah yang penuh kasih itu telah menyentuh hatinya. Sentuhan kasih Allah itu kemudian mendorong dirinya untuk menanggapi cinta Allah yang ditawarkan kepadanya. Keterpesonaan akan cinta Allah telah membuatnya menjadi pribadi yang diselamatkan. Keterpesonaan ini pula yang menggerakkan hati untuk menjawab-Nya dan menjadikannya pula sebuah undangan untuk merasakan kasih Allah.
Penyerahan diri
Undangan untuk terus-menerus menemukan misteri kasih Allah yang benar – yaitu bahwa Allah adalah kasih – adalah sebuah panggilan mulia bagi Dehon. Ia pun dipanggil secara rohani untuk menyadari bahwa dirinya adalah satu dari sekian banyak orang yang diselamatkan oleh karena jasa Dia yang adalah baik.
Allah adalah kasih, dan kasih yang menantikan balasan dari manusia[2]. Bagaimana untuk membalas kasih Allah? Bagi Dehon, jawaban untuk membalas kasih Allah adalah dengan jalan memberikan penyerahan diri kepada-Nya. Semangat ini merupakan satu dari semangat spiritual kongregasi yang telah didirikannya dan menjadi semangat para anggotanya untuk memberikan diri sepenuhnya bagi kehendak Allah. Semangat penyerahan diri itu terwujud dalam ecce venio: “Aku datang untuk melakukan kehendak-Mu, ya Allah-ku” (Ibr 10:7) dan ecce ancilla: “Aku ini hamba Tuhan, jadilah padaku menurut kehendak-Mu” (Luk 1:38).
Semboyan ecce venio, “aku datang” dengan semangat “hamba” merupakan pedoman yang mengarahkannya untuk rela berbuat, menangani dan menderita apapun juga demi apa yang diinginkan oleh Allah. Dengan semangat penyerahan diri yang seutuhnya itu, Dehon selalu mengandalkan karya Allah dalam melaksanakan kehendak-Nya. Ia menekankan semangat ini dengan memberikan sebuah gambaran: seorang yang merelakan diri sebagai “kurban” kepada Allah sudah merasa cukup terhadap sesuatu; ia sudah memilih bahwa kehendaknya sudah berada di tangan Tuhan, Tuhan-lah yang memilikinya sehingga kepada Dia seluruh bakti dan penyerahan diri diarahkan.
Dalam salah satu bagian refleksinya, Dehon berkata: “Adalah sebuah seni untuk menjadi kurban bagi Hati Ilahi. Seni inilah yang harus kita pelajari dan harus kita kembangkan tanpa henti. Rahasia dari seni ini adalah keselarasan dengan kehendak Ilahi, penyerahan kebebasan dan penyerahan diri kepada kehendak Ilahi[3]”. Maka, makna panggilan cinta kasih Allah adalah menyerahkan diri sepenuh-penuhnya dengan membiarkan Tuhan menentukan jalan hidup. Penyerahan diri kepada Allah adalah sesuatu yang utama untuk membalas kasih Allah. Baginya, kalau seorang manusia menyerahkan diri dengan sepenuh hati kepada Yesus, maka Yesus menganugerahkan Diri-Nya sendiri kepada dia[4].
Semangat rohani untuk membalas cinta Allah kepada manusia telah menjadi penghayatan spiritual bagi Dehon. Semua itu menjadi daya dorong bagi perjalanan hidup rohaninya karena dengan memberikan persembahan diri kepada Allah, ia telah menjawab undangan Allah Putera-Yesus yang merindukan balasan kasih dari manusia. Refleksi ini pertama-tama ia ambil dari pengalaman St. Margareta Maria (1647-1690) yang menunjukkan Hati-Nya yang tertikam sambil berkata: “Inilah Hati-Ku yang begitu banyak mencintai manusia; tetapi dari kebanyakan manusia, Hati-Ku hanya mengalami sikap tidak tahu terima kasih, sikap dingin, sikap tidak peka[5]”. Pengalaman rohani inilah yang mendorong Dehon untuk menanggapi cinta Allah itu dengan sikap penyerahan diri seutuhnya terhadap karya Ilahi.
“Bagi-Nya aku hidup, bagi-Nya aku mati”
Spritualitas Dehon yang mengarah kepada cinta Hati Kudus Tuhan Yesus sungguh menjiwai seluruh hidupnya. Kesadarannya akan kasih Allah – dalam Kristus – yang menyelamatkan semua manusia dan memihak kepada yang lemah telah memberikan semangat bagi perjuangan hidup panggilan. Dengan “menangkap” arti Allah yang penuh cinta, Dehon mampu menghadirkan kesaksian Kristiani tidak hanya bagi para anggota kongregasi, melainkan bagi seluruh Gereja.
Kesetiaannya dalam menghidupi cinta Allah terus ia hidupi hingga pada saat kematian akan menjemput. Kecintaan kepada Allah yang mengasihi membuat Dehon tegar dalam menghadapi kematian. Ia melihat bahwa hidupnya yang selama ini diabdikan kepada Hati Tuhan akan memberinya jalan kehidupan untuk bersatu dengan-Nya. “Bagi-Nya aku hidup, bagi-Nya aku mati[6]” adalah kata-kata akhir Dehon sebelum meninggal. Kata-kata itu menunjukkan dengan jelas bagaimana persatuannya yang sangat mesra dengan Sang Cinta. Persatuan itu dialaminya sebagai dasar bagi peziarahan hidup selama di dunia dan sebagai tujuan akhir bagi hidupnya.
Akhirnya, Dehon meninggal pada tanggal 12 Agustus 1925. Kepergiannya meninggalkan sebuah warisan rohani yang sungguh berguna bagi Gereja; warisan yang mengarahkan untuk menghidupi spiritualitasnya bukan hanya dengan doa-doa saja, tetapi juga dalam keseluruhan hidup. Dehon menempati peristirahatan terakhir di makam kongregasi. Jenazahnya dimasukkan ke dalam makam batu pualam hitam dan ditempatkan dalam Gereja St. Martinus di Saint-Quentin, Perancis. Pada waktu proses beatifikasi dimulai (1952), ia diberi gelar “Servus Dei” (Hamba Tuhan). Sebuah gelar dari Gereja yang patut baginya.

4.      Maulana Jalaluddin Rumi
Dunia sufi merupakan salah satu gerakan mistik dalam dunia Islam. Gerakan ini tidak hanya memperkaya Islam dalam ranah kepustakaannya – yang kaya dengan uraian-uraian keagamaan dan kesufian – melainkan juga memperkaya khasanah spiritualitas Islam. Mengenai bagaimana manusia menjalin hubungan dengan Allah transenden adalah salah satu topik utama dalam dunia sufi, tidak terkecuali juga dengan Maulana Jalaluddin Rumi. Sufi yang lahir pada tanggal 6 Rabiul-Awwal 604 atau tanggal 30 September 1207 SM dengan nama lengkap: Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin al Khattabi al-Bakri, adalah seorang mistikus yang cukup berpengaruh dalam dunia ke-sufi-an. Tidak hanya karya-karyanya saja yang sangat mempesona, tetapi permenungan misitknya mengenai Tuhan juga sangat menarik.
Tuhan dipandang oleh Rumi sebagai Pencipta[7]. Dengan pemahaman ini, Rumi melihat alam raya sebagai “medan kegiatan kratif” Allah. Alam diciptakan Tuhan dengan sangat cepat dan kreatif sehingga keberadaan dan keadaannya terus-menerus berubah dan diperbaharui setiap saat (Ar Rahman 55:29): “Setiap saat dunia diperbaharui, dan kita tidak merasa sadar pada pembaharuannya[8]”. Pembaharuan dunia dan seluruh alam raya merupakan penciptaan Allah yang terus menerus. Adapun yang pertama kali diciptakan oleh Tuhan, menurut Rumi adalah cinta[9]. Dari pernyataan itu, Rumi mengajukan sebuah pemahaman spekulasi-filosofis yang sangat cemerlang. Pernyataan itu mengarah pada suatu pemahaman bahwa cinta Allah merupakan kekuatan kreatif fundamental dalam karya penciptaan. Cinta Allah itu yang bertanggungjawab atas pertumbuhan alam dari tingkat yang rendah menuju tingkat yang lebih tinggi. Cinta memberi kesatuan pada partikel-partikel materi di dunia sehingga membuat tumbuh-tumbuhan berkembang dan menyebabkan hewan bergerak serta berkembang biak.
Cinta menurut Rumi adalah kasih Allah yang sungguh dahsyat. Kedahsyatan cinta Allah tidak hanya sebagai karya fundamental bagi karya penciptaan, tetapi juga sebagai landasan bagi penciptaan Allah secara terus-menerus. Dalam sebuah syair Matsnawi-yi Ma’nawi, ia melukiskan dengan jelas kedahsyatan tenaga kreatif cinta: “Ketahuilah bahwa langit-langit berputar karena gelombang cinta, kalau bukan karena cinta, dunia menjadi tidak berdaya; (Kalau bukan karena cinta) bagaimana bisa benda mati menjadi tumbuhan[10]”. Kedahsyatan cinta Allah itu dipahami oleh Rumi sebagai kebijaksanaan Pencipta dalam menciptakan alam semesta agar manusia dapat mengenal-Nya. Karena itu, menurut Rumi, kita (manusia) dapat mengenal Tuhan lewat alam karena alam adalah cermin-universal yang dapat memantulkan sifat-sifat Tuhan (yang) sepadan dengan ketinggian derajat (tingkat) eksistensi mereka[11].
Cinta, menurut Rumi, terdapat dalam Diri Allah. Cinta itu pula yang kemudian diberikan kepada manusia sebagai potensi lahiriah; dan itu yang dialami oleh Rumi sendiri. Cintanya pada Tuhan – yang nyata dalam cinta fundamental-kratif penciptaan  semesta – menimbulkan hasrat dan kerinduan untuk kembali kepada-Nya. Cinta Allah telah dianugerahkan dan tinggal dalam hati setiap manusia. Cinta itulah yang menggerakkan manusia untuk dapat menangkap karya penciptaan Allah sebagai wujud cinta Ilahi; dan kepada cinta Ilahi itulah hati manusia mengarahkan tujuan hidupnya: “Apabila kilat cinta telah menyambar hati yang ini, ketahuilah bahwa ada cinta di hati yang lain; Apabila cinta Tuhan bertambah besar di relung hatimu, pastilah Ia menaruh cinta atasmu[12]”.
Cinta dipandang oleh Rumi sebagai “astrolabe dari rahasia-rahasia Tuhan[13]” yang memberikan pedoman bagi para pecinta (manusia) untuk mendapatkan arah menuju yang dicintai. Allah sebagai sumber cinta merupakan tujuan akhir bagi segala cinta yang ada: “Apakah cinta itu berasal dari dunia atau dari langit, itu akan mengarahkan kita ke sana (Allah – Sumber Cinta) [14]”. Selain itu, cinta yang ada dalam diri setiap manusia, dengan segala kekuatannya dapat melipatgandakan kecepatan daya tempuh si pecinta untuk menjumpai Allah, Sang Kekasih: “Pertapa penakut berlari menggunakan kaki; para pecinta (Allah) terbang lebih cepat dari pada kilat dan angin[15]”.
Pecinta yang berkorban
Perjuangan pecinta – para pencari Allah – yang terpesona akan cinta Allah yang terwujud dalam semesta, menggerakkan hati Rumi untuk mengarahkan seluruh tujuan hidup kepada-Nya. Baginya, perjuangan untuk bersatu dengan Allah tidak hanya didasarkan pada cinta dalam diri. Perjuangan itu membutuhkan sebuah pengorbanan diri pula karena “cinta membutuhkan keikhlasan”. Cinta yang dimaksudkan Rumi adalah lenyapnya ke-diri-an, yaitu kesatuan sempurna dengan kekasih Tuhan dengan Tuhan. Baginya, selama dalam diri masih bersemayam ribuan berhala atau satu saja berhala selain Sang Kekasih, jalan masuk kepada-Nya akan tertutup. Berhala yang paling besar adalah egoisme dan kesombongan diri yang sulit diobati, kecuali dengan cinta.
Pengurbanan diri para pecinta untuk mencapai Cinta Ilahi adalah sebuah pengorbanan yang menuntut kematian egoisme diri. Sekalipun dengan pengorbanan diri itu para pecinta mengalami kematian, Rumi memandang bahwa hanya dengan kematian itu para pecinta akan menuju Allah; sebuah kehidupan baru dalam cinta setelah kematian: “Melalui cinta, yang mati menjadi hidup[16]”. Jadi, tujuan dari pengorbanan diri melalui peniadaan diri tiada lain adalah untuk memperterang jalan yang akan ditempuh menuju ke pemahaman kenyataan, bahwa tidak ada wujud hakiki utama kecuali Allah. “Aku tiada” berarti “Tuhan adalah segala-galanya”[17]. Ketika itu semua terjadi, Rumi menggambarkan bahwa kesatuan cinta antara kekasih Tuhan (pecinta) dengan Tuhan bagaikan “puncak kemabukan cinta”. Itulah “perkawinan jiwa” yang menggambarkan persatuan mistis, di mana sintesa pecinta dan yang dicinta teratasi oleh sebuah perubahan bentuk mereka ke dalam esensi “Cinta Universal”.
Akhir Hidup
Hidup mistis dengan perjuangan untuk bersatu dengan Sang Cinta adalah misi hidup Rumi. Khasanah rohani hidupnya itu sungguh memperkaya dunia Islami. Dengan kematiannya (pada tanggal 3 Jumadilakhir 627 H atau 16 Desember 1273), Rumi meninggalkan warisan rohani yang memuat kekayan hidup spiritual yang terwujud nyata dalam Tarekat Maulawiyah-nya. Dengan segala penghormatan, orang suci yang berpengaruh dalam dunia sufi Islam itu dibaringkan di tempat peristirahatannya.

5.      Cinta: Jalan Menuju Allah
Cinta merupakan tema utama bagi Dehon dan Rumi. Cinta dialami oleh mereka sebagai wujud nyata dari realitas Allah yang adalah Cinta itu sendiri. Bagi keduanya, cinta Allah sungguh menyentuh mereka. Sekalipun keduanya memiliki topik permenungan yang sama mengenai cinta, tapi cinta Allah yang mereka tangkap – sebagai dasar permenungan – memiliki perbedaan antara yang satu dengan yang lain. Bagi Dehon, cinta Allah sungguh nyata dalam Yesus Kristus yang telah menunjukkan kasih Allah. Kasih/cinta Allah sebagai anugerah yang menyelamatkan manusia dari belenggu dosa, sungguh menyentuh hati Dehon. Bagi Rumi, cinta Allah itu dipahaminya sebagai daya kreatif Allah dalam karya penciptaan-Nya. Karya cinta Allah itulah yang menggerakkan hati Maulana untuk mengarahkan seluruh hidup kepada tujuan akhir, yakni Sang Cinta itu sendiri.
Ketika Dehon sungguh terpesona kepada cinta Allah yang terwujud kepada Hati Yesus yang rela menderita, Rumi juga mengalami keterpesonaan itu dengan melihat kedahsyatan karya Allah dalam menciptakan jagad raya. Bagi keduanya, keterpesonaan terhadap manifestasi-manifestasi Allah yang imanen sungguh memberikan dorongan spiritual. Dorongan spiritual itulah yang menggerakkan mereka untuk memiliki “hasrat” untuk mengarahkan diri kepada Allah. Dehon merasa bahwa Hati Yesus sungguh merindukan balasan/tanggapan hati manusia untuk datang kepada-Nya. Demikian pula bagi Rumi, karya penciptaan Allah telah menanamkan cinta dalam hati manusia dan dengan hati itu pula manusia diundang untuk kembali kepada-Nya.
Demikian besar cinta Allah yang tertanam di dalam dua mistikus ini. Cinta Allah sungguh menjiwai mereka untuk mengarahkan seluruh hidup kepada-Nya. Cinta yang terjadi atas keterpesonaan pada cinta Allah itu membukakan pintu bagi mereka menuju kepada Allah: bersatu dengan Kekasih cinta mereka. Kalau Dehon mengungkapkan jalan menuju Allah itu dengan memberikan penyerahan diri seutuhnya kepada Allah dengan sikap ecce venio dan ecce ancilla, Rumi mengungkapkannya dengan cara pengorbanan diri/egoisme. Cinta dalam diri menggerakkan daya pengorbanan mereka; sebuah kematian karena pengorbanan menuju ke hidup baru, yakni bersatu dengan Allah!
Dehon dan Rumi merupakan dua pribadi yang berbeda. Keberbedaan mereka tidak hanya terletak dari perbedaan pribadi dan budaya. Keduanya memiliki perbedaan hakiki dari latar belakang spiritualitas keagamaan: Katolik dan Islam. Ketika pribadi dan budaya, bahkan juga agama sungguh menjadikan keduanya memiliki perbedaan hakiki, ada realitas yang dapat menyatukan mereka: cinta. Cinta akan kasih Allah sungguh mempesona mereka. Cinta Allah itu pula yang menggerakkan mereka untuk menanggapi kasih Allah itu dan memberikan pedoman untuk mengarahkan seluruh hidup hanya kepada-Nya.

6.      Penutup
Praksis dunia modern saat ini sangat diwarnai dengan pelbagai tindakan kekerasan yang bernuansakan agama. Agama sendiri seringkali menjadi bungkus rapi untuk menutupi suatu tindakan kriminal yang sebenarnya berwarna politik, ekonomi dan lain sebagainya. Kejadian yang tidak jarang menelan korban banyak jiwa itu terjadi di seluruh penjuru dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Sebagai negara yang ber-Bhenika Tunggal Ika, Indonesia pun tidak luput dari praksis kekerasan yang terjadi atas nama agama: perusakan tempat ibadah, sulitnya untuk mencari Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) atas suatu tempat ibadah tertentu, penganiayaan yang terjadi atas nama agama dan pelbagai peristiwa lainnya.
Jika yang terjadi adalah demikian, sudah saatnya agama bercermin dan membaharui diri agar menjadi sarana perdamaian antara pemeluk agama. Salah satu contoh yang patut untuk dilaksanakan adalah dengan mencari titik temu di antara agama yang ada. Titik temu itu dapat dimanifestasikan dengan pelbagai cara. Tapi di antara banyak cara yang ditawarkan, Dehon dan Rumi telah memulainya. Dehon dan Rumi telah memberikan sumbangan yang berarti bagi dunia keagamaan dengan mengetengahkan permenungan mistis mereka akan Realitas Ilahi: cinta. Hanya dengan melalui cinta, seluruh pemeluk antara agama dapat saling mengormati. Hanya dengan melalui cinta pula, seluruh pemeluk agama dapat menjalin kerja sama untuk mewujudkan cinta itu dalam kegiatan kemanusiaan.
Mungkin Dehon dan Rumi kini telah menjadi tokoh klasik yang suaranya tidak terdengar jelas oleh karena kebisingan dunia. Padahal kedua tokoh mistik itu telah memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi perkembangan perdamaian antara pemeluk agama yang saat ini mengalami dekadensi moral yang sungguh luar biasa. Lantas, apa yang seharusnya dilakukan? Mungkinkah saat ini muncul Dehon dan Rumi jaman sekarang, yang memiliki tema permenungan keagaamaan yang dapat dipertemukan? Dengan demikian, segala perbedaan yang memicu konflik antara pemeluk agama dapat dielakkan? Kiranya inilah tugas para pemeluk agama yang mengimani Allah pada jaman modern ini!


*   *   *


Daftar Pustaka

Dehon, L.Y.,
            2003    Direktorium Rohani, SCJ Indonesia, Palembang.
Dorresteijn, H.,
            2004    Leo Dehon: Seorang Imam Untuk Masa Modern, I, diterjemahkan dari                               Leven en Persoonlijkheid van Pater Dehon, oleh C.P.M. van Paassen,                                     Provinsialat SCJ, Palembang.
Hadi, A., W.M.,
            1985    Rumi: Sufi dan Penyair, Pustaka, Bandung.
Kartanegara, R.M.,
1986    Renungan Mistik Jalal Ad-Din Rumi, Pustaka Jaya, Jakarta.
Komisi Spiritualitas dan Kerasulan SCJ Indonesia,
            2001    Satu Hati dalam Tuhan (Buku Doa Keluarga SCJ), Kongregasi Imam-imam
                        Hati Kudus Yesus (SCJ) Indonesia, Palembang.
Rúmi, J.,
2001    “The Mathnawi”, dalam R.A. Nicholson (ed.), The Mathnawi of Jalálu’ddin Rúmi: Translation of books I and II, E.J.W. Gibb Memorial, Inggris.
2001    “The Mathnawi”, dalam R.A. Nicholson (ed.), The Mathnawi of Jalálu’ddin Rúmi: Translation of books III and IV, E.J.W. Gibb Memorial, Inggris.
2001    “The Mathnawi”, dalam R.A. Nicholson (ed.), The Mathnawi of Jalálu’ddin Rúmi: Translation of books V and VI, E.J.W. Gibb Memorial, Inggris.
Schimmel, D.F.,
            1986    The Concept Of “Victim” In The Thought Of Leo John Dehon, The Catholic                       Theological, Chicago.






[1] L.Y. Dehon, Direktorium Rohani, SCJ Indonesia, Palembang 2003, 16.
[2] Komisi Spiritualitas dan Kerasulan SCJ Indonesia, Satu Hati dalam Tuhan (Buku Doa Keluarga SCJ), Kongregasi Imam-imam Hati Kudus Yesus (SCJ) Indonesia, Palembang 2001, 174.
[3] D.F. Schimmel, The Concept Of “Victim” In The Thought Of Leo John Dehon, The Catholic Theological, Chicago 1986, 57.
[4] L.Y. Dehon, Direktorium Rohani, 5.
[5] L.Y. Dehon, Direktorium Rohani, 11.
[6] H. Dorresteijn, Leo Dehon: Seorang Imam Untuk Masa Modern, I, diterjemahkan dari Leven en Persoonlijkheid van Pater Dehon, oleh C.P.M. van Paassen, Provinsialat SCJ, Palembang 2004, 311.
[7] R.M. Kartanegara, Renungan Mistik Jalal Ad-Din Rumi, Pustaka Jaya, Jakarta 1986, 53.
[8] J. Rúmi, “The Mathnawi”, dalam R.A. Nicholson (ed.), The Mathnawi of Jalálu’ddin Rúmi: Translation of books I and II, E.J.W. Gibb Memorial, Inggris 2001, 64.
[9] R.M. Kartanegara, Renungan Mistik Jalal Ad-Din Rumi, 54.
[10] J. Rúmi, “The Mathnawi”, dalam R.A. Nicholson (ed.), The Mathnawi of Jalálu’ddin Rúmi: Translation of books V and VI, E.J.W. Gibb Memorial, Inggris 2001, 231.
[11] R.M. Kartanegara, Renungan Mistik Jalal Ad-Din Rumi, 56.
[12] J. Rúmi, “The Mathnawi”, dalam R.A. Nicholson (ed.), The Mathnawi of Jalálu’ddin Rúmi: Translation of books III and IV, E.J.W. Gibb Memorial, Inggris 2001, 245.
[13] J. Rúmi, “The Mathnawi”, dalam R.A. Nicholson (ed.), The Mathnawi of Jalálu’ddin Rúmi: Translation of books I and II, 10.
[14] J. Rúmi, “The Mathnawi”, dalam R.A. Nicholson (ed.), The Mathnawi of Jalálu’ddin Rúmi: Translation of books I and II, 10.
[15] J. Rúmi, “The Mathnawi”, dalam R.A. Nicholson (ed.), The Mathnawi of Jalálu’ddin Rúmi: Translation of books V and VI, 132.
[16] J. Rúmi, “The Mathnawi”, dalam R.A. Nicholson (ed.), The Mathnawi of Jalálu’ddin Rúmi: Translation of books I and II, 300.
[17] A. Hadi, W.M., Rumi: Sufi dan Penyair, Pustaka, Bandung 1985, xv.

2 komentar:

  1. Copas:
    "Cinta dalam diri menggerakkan daya pengorbanan mereka; sebuah kematian karena pengorbanan menuju ke hidup baru, yakni bersatu dengan Allah!"

    BalasHapus

La présence de Dieu qui accompagne toujours nos vies est un mystère. Sa présence réelle qu'Il soit là ou ici, nous ne pourrons peut-être...