KAWIN CAMPUR:
PERSPEKTIF TEOLOGIS DAN HUKUM GEREJA
I.
Pendahuluan
Kawin campur adalah sebuah realita yang saat ini
menjadi fenomena yang tak dapat dielakkan. Kawin campur antara para pemeluk
agama yang berbeda, khususnya antara orang Katolik dan non-Katolik (yang
dibaptis: Kristen-Protestan) maupun yang tidak dibaptis (Islam, Hindu, Budha
dan agama/aliran kepercayaan lainnya) adalah sebuah permasalahan yang harus
dihadapi dalam komunitas masyarakat yang majemuk. Kemajemukan ini menunjuk pada
adanya pelbagai agama yang hadir dan bersatu dalam komunitas masyarakat.
Berhadapan dengan siuasi tersebut, fenomena kawin campur menjadi sesuatu yang
ada dan harus dihadapi, terlebih dengan jumlah orang Katolik (secara khusus)
yang minoritas (di Indonesia) yang secara terus menerus akan ada sebagian umat
yang menghadapinya. Tak kadang fenomena ini menjadi sesuatu yang krusial bagi
seseorang karena berhubungan dengan permasalahan hidupnya secara eksistensial, apalagi
ia sebagai orang Katolik yang ingin memperjuangkan imannya dalam praksis hidup.
Pada kenyataannya dalam Gereja Katolik sendiri telah
ada peraturan/hukum yang berkaitan tentang kawin campur. Sebagai contoh dapat
disebutkan peraturan yang ada di dalam Kitab Hukum Kanonik dan juga Statuta
Perkawinan Regio Jawa yang dapat membantu untuk dijadikan sebuah pedoman,
sekalipun masih sangat perlu untuk lebih disosialisasikan. Namun, dengan adanya
peraturan Gereja yang bersifat objektif dan umum itu, tidaklah selalu otomatis
bahwa permasalahan umat dapat dipecahkan, terlebih berhadapan dengan masalah
kawin campur. Untuk itu tetap diperlukan adanya pertimbangan yang cukup matang
dari sudut pandang teologis dan moral sebelum mengambil keputusan yang dapat
dipertanggungjawabkan. Pertimbangan itu ditujukan bagi calon yang bersangkutan
dan juga bagi para gembala umat/pendamping awam yang bertugas mendampingi
calon/pasangan kawin campur dalam proses pengambilan keputusan yang bijak.
Dalam praksis kehidupan Gereja Katolik di Indonesia, fenomena
kawin campur sudah tidak lagi menjadi barang langka. Banyak kaum muda yang datang
kepada pastor dan bertanya tentang bagaimana tata cara/aturan Gereja bila
umatnya ingin membangun hidup berkeluarga dengan pasangan yang beda Gereja atau
agama. Dalam contoh lain, ada orang tua yang bertanya kepada pastor mengenai
anaknya yang ingin menikah/membangun hidup berkeluarga dengan pasangan dari
agama lain. Belum lagi dengan adanya kebutuhan umat/pasangan kawin campur yang
juga membutuhkan pendampingan pastoral! Dari praksis itu dapat dikatakan bahwa permasalahan
tentang kawin campur sungguh fenomena konkrit yang harus dihadapai oleh Gereja.
Permasalahan itulah yang sungguh menarik untuk
dicermati, terlebih tentang kawin campur yang dihadapi oleh Gereja. Untuk itu,
dalam tulisan ini penulis akan mengkaji isu utama dari beberapa perspektif:
melihat fakta kawin campur dalam Kitab Suci, teologis dan Hukum Gereja (Kitab
Hukum Kanonik 1983). Dengan mencermati beberapa pokok itu diharapkan dapat diketahui
tentang bagaimana posisi dan sikap Gereja Katolik menghadapi persoalan kawin
campur.
II.
Kawin Campur dalam Kitab Suci
Kawin campur ternyata tidak hanya menjadi fenomena
yang familiar pada masa dewasa ini. Fenomena ini juga telah ada dalam Kitab
Suci, baik dalam Perjanjian Lama maupun dalam Perjanjian Baru. Meskipun
persoalan kawin campur pada masa sekarang ini tidaklah sama tepat dengan apa
yang dimaksudkan dengan kawin campur dalam Kitab Suci, kiranya dapat bermanfaat
untuk menelusurinya sebagai bahan perbandingan sekaligus pembelajaran.
A. Dalam Perjanjian Lama
Dalam dunia Perjanjian Lama, fenomena kawin campur
berkaitan erat dengan eksistensi bangsa Israel yang mempunyai kesadaran iman
sebagai bangsa terpilih dan kudus (Kel 19: 10.14; Im 19: 2; 20: 26; Ul 7: 6;
14: 2). Kesadaran yang cukup kental dari bangsa Israel menjadikan bangsa itu memiliki
sikap semacam ekslusivisme terhadap bangsa asing/lain. Sikap kebangsaan ini
tampak nyata ketika mereka memilih untuk memisahkan diri dari bangsa-bangsa
lain – yang bagi mereka disebut sebagai bangsa kafir karena menyembah “ilah-ilah”
lain dan bukan menyembah kepada Yahwe – yang pada kenyataannya “menganut”
dewa-dewa yang tidak sebanding sama sekali dengan Yahwe (Rut 1: 15; 1Sam 26: 19;
2 Raj 17: 26; Hak 11: 23-24). Pandangan
yang menganggap bahwa bangsa lain adalah bangsa kafir semakin diekstrimkan lagi
ketika Israel memiliki keyakinan bahwa bangsa-bangsa bukan Israel adalah kaum
kafir yang akan dilenyapkan oleh Yahwe (Kel 23: 23; Ul 7: 1-8; 25: 17-19).
Dengan latar
belakang ini dapat dimengerti bahwa kawin campur antara orang Israel dan orang kafir sekaligus
berarti kawin campur antara orang-orang yang berbeda agama dan dinilai negatif[1].
Hal ini semakin menjadi alasan yang kuat untuk melarang adanya kawin campur
bila mengaitkan pada kecenderungan untuk menikah dengan orang yang berasal dari
kalangan sanak saudara sendiri (Kej 20: 12; 24: 15; 28: 9; 29: 12; Bil 26: 59).
Kawin campur menjadi larangan bagi bangsa Israel
karena ada satu alasan mencolok yang melatarbelakanginya, yakni: alasan
religius. Bagi mereka, kawin campur hanya akan membahayakan iman mereka kepada
Yahwe. Kawin campur dipandang sebagai benih kekhawatiran yang menyebabkan umat Israel
dipengaruhi oleh bangsa kafir dalam praksis hidup yang erat. Situasi demikian
pada akhirnya ditakutkan dapat mengajak bangsa Israel untuk meninggalkan Yahwe dan
beribadah kepada “allah” lain, tidak setia lagi kepada Yahwe serta hidup tidak
sesuai dengan perintah-perintah-Nya. Melihat latar belakang demikian, maka
tidak mengherankan ketika pergaulan bangsa Israel dengan bangsa kafir semakin
meningkat, larangan kawin campur dipertegas oleh Ezra dan Nehemia demi
kemurnian iman mereka kepada Yahwe (Ezr 2: 59-62; 9: 1-15; 10: 1-10; Neh 7:
61-64; 13: 23-29). Meskipun demikian, kawin campur merupakan fakta di Israel ,
bdk. Kej 38: 1-2 (Yehuda-Syua, wanita Kanaan); Kej 46: 10 (Simeon-wanita
Kanaan); Kej 41: 45 (Yusuf-Asnat, anak Potifera, imam di On); Kej 26: 34
(Esau-Yudit, anak Beeri orang Het, dan Basmat, anak Elon orang Het); Bil 12:
1(Musa-perempuan Kush); dan pada Ul 21: 10-14 yang memandang kawin campur tidak
selalu negatif.
B. Dalam Perjanjian Baru
Dalam dunia Perjanjian Baru,
persoalan tentang kawin campur merupakan sebuah realita yang dihadapi oleh
jemaat Kristen Gereja Purba. Kawin campur yang dimaksudkan memiliki dua
pengertian: kawin campur yang diakibatkan oleh pertobatan salah satu pasangan
yang berasal dari pasangan kafir (menjadi orang Kristen) dan kawin campur yang
memiliki arti bahwa seorang beriman (orang Kristen) memilih pasangannya yang
tidak beriman (kafir). Kawin campur dalam pengertian yang kedua inilah yang
menjadi persoalan seperti dalam pengertian kawin campur dalam dunia sekarang
ini.
1 Kor 7: 12-16
Dalam perikop ini, Paulus membahas
persoalan tentang kawin campur yang sedang dihadapi oleh jemaat Kristiani pada
waktu itu. Kasus ini tidak mempersoalkan masalah, apakah orang beriman boleh
memilih jodoh yang tidak beriman, melainkan bagaimana seorang yang tidak
beriman yang semula kawin dengan seorang yang juga tidak beriman tetapi
kemudian bertobat menjadi Kristen, harus bersikap terhadap jodohnya yang tetap
tidak beriman[2].
Lebih lanjut Paulus menegaskan bahwa situasi yang dihadapi oleh jemaat dalam
kawin campur haruslah dipertahankan, kecuali jika pasangan yang tidak beriman
menginginkan perceraian. Ia menegaskan pentingnya untuk menjaga “status quo”
itu dengan alasan bahwa “karena suami yang tidak beriman itu dikuduskan oleh
isterinya dan isteri yang tidak beriman itu dikuduskan oleh suaminya. Andaikata
tidak demikian, niscaya anak-anakmu adalah anak cemar, tetapi sekarang mereka
adalah anak-anak kudus” (1 Kor 7: 14).
Di lain pihak, Paulus melihat sisi
positif dari kawin campur dengan menekankan adanya gagasan tentang pengudusan. Baginya,
dalam kawin campur terletak praksis nyata pergaulan hidup orang beriman dengan
orang yang tidak beriman (non-Kristen) dapat menjadi peluang tawaran iman serta
rahmat yang menguduskan, dari salah satu pasangan kepada pasangannya sendiri.
1 Ptr 3: 1-7
Situasi hidup jemaat dalam kawin
campur yang dihadapi dalam 1 Ptr adalah tentang prilaku orang Kristen yang
berupa kesaksian di tengah orang-orang kafir (bdk. 1 Ptr 2: 12). Oleh karena
itu, dalam tulisannya Paulus berusaha untuk menanggapi keprihatinan yang lahir
di tengah situasi itu di mana kawin campur yang diakibatkan oleh pertobatan istri
dari pasangan kafir memberikan akibat yang negatif bagi istri. Situasi itu demikian
terjadi karena peranan suami yang dominan dan yang harus ditaati oleh istri
sebagai pihak yang lemah (ay 7). Dengan menghayati sikap misioner, sang istri
dianjurkan oleh Paulus untuk mewartakan kesaksian kepada suami tentang
penghayatan imannya.
Dalam perikop ini, penekanan pada orang beriman yang
memiliki pasangan tidak beriman adalah sebuah risiko yang dapat membahayakan
iman sendiri dan penerusan iman kepada anak-anaknya. Berhadapan dengan realita
ini – mengingat sikap negatif jemaat Kristen Gereja Purba terhadap kaum yang
tidak beriman (bdk. 2 Kor 6: 14-16) – dapat dipahami bahwa kawin campur sebagai
akibat pemilihan pasangan yang tidak beriman dipandang negatif seperti dalam
Perjanjian Lama.
Setelah melihat fenomena kawin campur dalam Kitab
Suci, dapat ditemukan kesan bahwa Kitab Suci (dalam kawin campur) menunjukkan
nilai iman untuk keselamatan. Dalam Perjanjian Lama hal itu ditunjukkan adanya
bahaya pergaulan erat orang beriman dengan yang tidak beriman (kafir). Dalam
Perjanjian Baru juga diperlihatkan peluang dalam pergaulan erat orang kafir
dengan orang beriman sebagai tawaran rahmat bagi orang beriman itu dan juga kepada
pasangannya yang tidak beriman.
III.
Kawin Campur dalam Pespektif Teologis
Seperti yang sudah dikatakan pada bagian awal bahwa
kawin campur adalah sebuah realita yang tidak dapat tidak dihindari bagi
Gereja. Berdasarkan pada fakta itu, Gereja melihat fenomena yang satu ini
sebagai kenyataan yang memiliki tempat untuk dilihat dalam ranah teologis. Pengertian
“teologis” dimaksudkan juga meliputi ajaran Gereja, baik yang merupakan bahan
teologi dogmatik maupun teologi moral.
A. Dari Perspektif Teologi
Dogmatik
Dalam persoalan tentang kawin campur,
ada beberapa gagasan di bidang teologi dan fundamental yang patut untuk
dibahas, yakni mengenai keselamatan dan iman yang dimiliki oleh Gereja.
1.
Keselamatan
Keselamatan sebagai persatuan abadi
dengan Allah merupakan nilai tertinggi yang menjadi keprihatinan Gereja sebagai
sakramen keselamatan. Oleh karena itu tidak perlu diutarakan panjang lebar
bahwa betapa tinggi iman Katolik yang menyelamatkan itu. Nilai iman bahkan
seringkali dipandang lebih tinggi dari pada nilai hidup, sehingga dalam kasus
konflik orang bersedia menjadi saksi iman dan berani untuk mengurbankan
hidupnya sebagai martir.
Perkembangan ajaran mengenai jalan
keselamatan yang hanya dapat dilalui melalui Gereja ini ternyata ikut
berpengaruh terhadap sikapnya berhadapan dengan kawin campur, terlebih dengan
ungkapan: “Di luar Gereja tidak ada keselamatan”. Ungkapan ini sepertinya
menggambarkan sikap ketertutupan Gereja terhadap realita iman lain selain
dirinya. Semula ungkapan ini lebih diarahkan “ke dalam” (Gereja), yakni kepada
jemaat Kristiani sendiri sebagai ungkapan syukur dan juga kemantaban iman bahwa
melalui Gereja-lah keselamatan ini dapat diterima. Ungkapan sepertinya ini
bersumber pada gagasan bahtera Nuh (1 Ptr 3: 18-21): hanya orang yang di dalam
bahtera sajalah yang selamat. Dalam masa patristik (Origenens, Siprianus),
ungkapan ini masih diserukan dengan arah “ke dalam” Gereja untuk mencegah
jemaat yang akan memisahkan diri dari Gereja. Baru kemudian sejak abad
pertengahan, ungkapan ini dinyatakan memiliki arah “ke luar” yang secara
eksplisit di arahkan kepada mereka yang tidak termasuk dalam Gereja Katolik.
Di satu sisi, Gereja sepertinya
menutup mata terhadap realita iman yang lain dan menganggap para penganutnya (agama
lain) memiliki nilai negatif: tidak diselamatkan. Di sisi lain, Gereja berusaha
melunakkan ungkapan itu dengan penafsiran yang baru, seperti dalam ensiklik Quanto Conficiamur Moerore (Paus Pius
IX) yang menyatakan bahwa orang yang tidak mengetahui agama yang benar dan
tidak dapat mengatasi ketidaktahuannya dapat mencapai hidup
kekal-terselamatkan. Bahkan dalam Konsili Vatikan II pun meneguhkan,
mengembangkan dan memperdalam posisi Gereja yang lebih terbuka ini (bdk. LG 16;
GS 22; AG 7).
2.
Nilai Pembaptisan Kanak-Kanak
Nilai selanjutnya yang menjadi
keprihatinan Gereja dalam menghadapi kawin campur adalah pembaptisan anak-anak.
Bagi Gereja, baptis tidak hanya dipandang sebagai sakramen inisiasi untuk
menjadi warga Katolik, melainkan melimpahi manusia dengan anugerah-anugerah
yang tak ternilai: dibebaskan dari dosa, diangkat menjadi anak Allah, menjadi
ahli waris surga dan sebagainya. Sehingga dapat dimengerti bahwa Gereja
prihatin apabila anak orang Katolik dalam kawin campur tidak menerima anugerah
melimpah itu dalam Gereja Katolik[3].
Kongregasi Ajaran Iman merasa perlu mengeluarkan instruksi pada tanggal 20
Oktober 1980 yang mengingatkan pokok-pokok terpenting ajaran mengenai soal ini
yang dipandangnya membenarkan praktik Gereja sejak berabad-abad[4].
Gereja memandang pembaptisan anak
sebagai kebiasaan yang didasarkan pada Sabda Tuhan: “ Barang siapa tidak lahir
kembali dari air dan Roh Kudus, tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah” (Yoh
3: 5). Dari ucapan ini selalu ditarik kesimpulan bahwa para kanak-kanak pun
harus dibaptis. Di pihak lain, Gereja juga memandang pembaptisan sebagai bagian
yang hakiki dari perutusan Gereja sendiri yang adalah universal (bdk. Mat: 19;
Mrk 16: 15-16). Bahkan dalam praenotanda Ordo
Baptismi Pasvulorum 1974 (Pendoman Khusus Pembaptisan Kanak-Kanak), Gereja
meneguhkan pandangan tentang pentingnya nilai pembaptisan itu[5].
Keselamatan dan iman (yang diteruskan
lewat pembaptisan) adalah keprihatinan Gereja yang perlu diperhitungkan matang
dalam menghadapi persoalan kawin campur jemaat. Kedua hal yang lahir dari cara
pandang teologi dogmatik ini dapat dikatakan sebagai langkah Gereja untuk
menyelamatkan rahmat dan iman umat yang memilih kawin campur.
B. Dari Perspektif Teologi
Moral
Bahan teologi moral yang berhubungan dengan persoalan
kawin campur adalah “keluhuran panggilan kaum beriman dalam Kristus dan kewajiban
mereka untuk menghasilkan buah dalam kasih bagi dunia” (OT 16). Gagasan moral
Konsili Vatikan II ini memusatkan perhatian pada kekayaan rohani yang dimiliki
oleh kaum beriman: karya keselamatan Ilahi serta panggilan kaum beriman dalam
Kristus sebagai anugerah memiliki implikasi dan konsekuensi berupa tanggung
jawab untuk mengembangkannya dengan menghasilkan buah dalam kasih bagi
kehidupan di dunia. Sekurang-kurangnya teoretis ini berarti orang Katolik
sebaiknya kawin dengan orang Katolik, agar keluhuran panggilan kaum beriman
kristiani dalam Kristus dapat dihayati dan dikembangkan sepenuhnya untuk
memenuhi tanggung jawab mereka menghasilkan buah dalam kasih bagi kehidupan
dunia: untuk mengembangkan hidup iman dan rahmat juga pada anak-anak mereka[6].
Menyadari betapa luhurnya panggilan kaum beriman ini
membuat Gereja memiliki posisi dan sikap dalam hal kawin campur. Gereja sendiri
merasa bertanggungjawab atas perlindungan kewajiban-kewajiban pihak Katolik
dalam praksis hidup jemaat yang kawin campur. Gereja melihat bahwa praksis
kawin campur membawa tanggung jawab moral yang harus dihadapi oleh pihak
Katolik, terlebih berhadapan dengan keadaan-keadaan yang sulit untuk
diselesaikan (sekalipun sudah diperkirakan sebelumnya). Keadaan yang
diperhitungkan tidaklah hanya berkisar pada saat dilangsungkannya pernikahan,
melainkan juga menyangkut prakiraan yang wajar dan beralasan mengenai masa
depan hidup perkawinan yang penuh tantangan dan terutama pada tahun-tahun
pertama menjadi “batu ujian” soal-soal yang menyangkut tanggung jawab pihak
Katolik dalam hal penghayatan imannya sendiri serta usaha penerusannya kepada
anak-anaknya berupa pembaptisan serta pendidikan Katolik, tanpa mengganggu
keserasian serta kesejahteraan hidup perkawinan dan keluarga[7].
1.
Tanggung Jawab atas Iman Pihak
Katolik
Sehubungan dengan kawin campur, perlu untuk
diperhatikan bahwa Gereja Katolik memiliki keyakinan bahwa iman yang
dimilikinya sebagai kebenaran “lebih penuh” daripada agama-agama atau
gereja-gereja lain yang tidak menerima kebenaran yang dianggap cukup oleh
Gereja Katolik, selain juga ada pelbagai perbedaaan dalam hal penafsiran wahyu
yang masih ada. Berdasarkan pada latar belakang demikian, pergaulan orang
Katolik dengan orang yang berkeyakinan lain dahulu sering dipandang sebagai
sumber bahaya dan risiko bagi eksistensi iman. Maka, penilaian moral dan
peraturan hukum Gereja Katolik saat itu terhadap pergaulan umat dengan pihak
non-Katolik lebih keras dibandingkan dengan sekarang.
Konsili Vatikan II dapat diartikan sebagai angin segar
yang membawa semangat pembaharuan (aggiornamento)
karena mengundang Gereja untuk semakin terbuka terhadap realita perbedaan iman
yang ada. Konsili menunjukkan peluang-peluang positif yang ada dan juga
menganjurkan untuk berkomunikasi serta kerja sama dengan kalangan non-Katolik
(bdk. GS 21, 28, 88; UR
12; AA 14). Latar belakang inilah yang dapat dijadikan salah satu dasar
mengenai tanggung jawab atas iman pihak Katolik dalam kawin campur yang
merupakan bentuk pergaulan dengan pasangan hidup non-Katolik yang paling erat.
Berhadapan dengan soal kawin campur, persoalan dominan
yang muncul adalah tentang adanya segi-segi negatif yang tidak dapat dielakkan:
sejauh mana pihak Katolik dalam perkawinan campur dapat setia terhadap imannya
(tidak menutup risiko bahwa imannya pun akan “hilang” dengan mengikuti iman
lain dari pasangannya)! Dalam kasus ini, dibutuhkan adanya pertimbangan moral
dengan mencari nilai-nilai positif di baliknya dengan tujuan agar berkurangnya
segi-segi negatif kawin campur (dengan aneka tindakan pengamanan) dan dengan
makin bertambahnya nilai-nilai itu dapat mengimbangi segi-segi negatif yang
ada. Gereja sendiri menyebut nilai yang perlu dipertimbangkan sebagai faktor
yang dapat mengimbangi segi-segi negatif kawin campur dengan mengangkat adanya
hak untuk menikah dan mempunyai anak (matrimonia
mixta). Bahkan, sudah sebelum Konsili Vatikan II dengan perkembangan
teologis yang menyangkut penafsirannya mengenai tanggung jawab atas iman
Katolik dapat dipadukan dengan kawin campur, sehingga tidak harus ditafsirkan
sebagai pelanggaran hukum Ilahi[8].
Dalam perspektif posisi teologis sesudah Konsili
Vatikan II, dengan jalas dikatakan bahwa orang Katolik tidak dihadapkan dengan dilema
antara keselamatan dalam Gereja Katolik (di satu pihak) dan tiadanya
keselamatan di luar Gereja (di lain pihak). Dengan posisi itu, Gereja hanya
dapat menafsirkan hukum Ilahi dan menentukan kebijakan untuk mengamankan
pemenuhannya, tetapi tidak mengambil alih tanggung jawab pribadi yang
bersangkutan (pihak Katolik dalam kawin campur). Dari posisi itu juga dapat
dipahami bahwa tanggung jawab pihak Katolik atas imannya sendiri tidak berhenti
dengan keputusan untuk kawin campur, melainkan berlangsung selama perkawinannya
untuk mengembangkan hidup iman dan rahmatnya serta juga untuk melindunginya.
Bahkan yang menjadi tanggung jawab besar adalah saat setelah pernikahan karena
(sikap) imannya mulai diuji setiap hari dengan realita yang penuh tantangan dan
risiko.
2.
Tanggung Jawab Orangtua atas
Pendidikan Anak-anaknya
Dalam pembahasan ini, pertama-tama sangatlah perlu
untuk disadari bahwa tanggung jawab orang tua atas pendidikan anak-anaknya
melandasi dan mencakup tanggung jawab untuk mengusahakan pembaptisan Katolik
bagi anak-anaknya. Oleh Karena itu, tanggung jawab atas pembaptisan anak
merupakan implikasi dan konsekuensi tanggung jawab orang tua Katolik atas
pendidikan anak-anaknya. Di lain pihak, pembaptisan anak yang adalah dasar
tanggung jawab atas pendidikan Katolik juga harus dikembangkan dengan bantuan
orang tua ; dan bagi anak, berdasarkan pembaptisan itu berhak atas pendidikan
Katolik. Dari sudut pandang ini dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab atas
pendidikan Katolik merupakan sebuah implikasi dan konsekuensi pembaptisan anak.
Hak anak atas pendidikan merupakan salah satu dari
tanggung jawab orang tua terhadap anak-anaknya. Hal ini sangat ditekankan
karena manusia dilahirkan dengan memiliki aneka potensi yang perlu dikembangkan
dengan bantuan orang lain (orang tua) – di atas
keberadaannya sebagai bayi yang tak berdaya dan tergantung pada orang
dewasa – untuk dapat menjadi manusia seutuhnya, artinya menurut semua aspeknya,
termasuk aspek religius-moral atau iman Katolik. Hak atas pendidikan
(Kristiani) ini dapat disimpulkan sebagai penjabaran dari hak pendidikan dalam
konteks Katolik yang didasarkan atas rahmat pembaptisan: “Semua orang Kristiani
telah menjadi ciptaan baru melalui kelahiran kembali dari air dan Roh Kudus,
dan disebut serta benar-benar adalah putra-putri Allah. Karena itu mereka
berhak atas pendidikan kristiani” (GE 2).
Bahkan tanggung jawab orang tua atas pendidikan
anak-anaknya mendapat penekanan yang jelas karena keberadaan orang tua
merupakan partisipasi dalam “karya penciptaan Ilahi” sebagai dasar tugas
mendidik mereka. Hal ini sejalan dengan Anjuran Apostolik Sri Paus Yohanes
Paulus II tentang Peranan Keluarga Kristen dalam Dunia Modern (Familia Consortio) yang menekankan
pentingnya peranan orang tua bagi hak atas pendidikan anak-anak mereka. “Hak
maupun kewajiban orang tua untuk mendidik bersifat hakiki, karena berkaitan dengan penyaluran hidup manusiawi. Selain
itu bersifat asali dan utama terhadap peran serta orang-orang
lain dalam pendidikan, karena keistimewaan hubungan cinta kasih antara orang
tua dan anak-anak. Lagi pula tidak
tergantikan dan tidak dapat diambil-alih, dan karena itu tidak dapat
diserahkan sepenuhnya kepada orang-orang lain atau direbut oleh mereka (FC 36).
Dalam konteks kawin campur, penegasan hak dan
kewajiban orang tua ini, di satu pihak meneguhkan sikap Gereja untuk mendesak
pihak Katolik supaya mendidik anak-anak mereka secara Katolik. Di pihak lain,
penegasan ini memiliki kesan “mempersulit” karena pihak non-Katolik mempunyai
hak dan kewajiban untuk mendidik anak-anaknya menurut keyakinan imannya. Berhadapan
dengan situasi konflik ini, Gereja dengan pemahamannya mengenai keselamatan
menuntut pihak Katolik untuk mengusahakan dengan sekuat tenaga pembaptisan dan
pendidikan Katolik semua anaknya. Sikap penegasan Gereja sepertinya memberi
kesan “menang sendiri”. Meskipun demikian, Gereja tidak menonjolkan sikap
kesombongannya, melainkan pemahaman Gereja Katolik tentang dirinya sendiri
adalah dasarnya.
3.
Tanggung Jawab atas Pembaptisan
Anaknya
Tanggung jawab ini dapat dipandang sebagai salah satu
dari unsur utama tanggung jawab atas pendidikan anak, dan juga sebagai
implikasi serta konsekuensi dari pembaptisan. Tanggung jawab atas pendidikan
anak bagi orang tua Katolik diartikan sebagai pembekalan anak dengan sesuatu
yang berharga, yakni iman dan pembaptisan Katolik. Oleh karena itu, ada kaitan
erat antara tanggung jawab atas pembaptisan dan pendidikan anak.
Dalam ranah ini, pembaptisan menjadi unsur pendidikan
yang dapat ditafsirkan sebagai pembentukan pribadi manusia dalam keterarahannya
kepada tujuannya yang terakhir (bdk. GE 1). Pernyataan ini menyiratkan bahwa
pentingnya tanggung jawab orang tua untuk mengusahakan pembaptisan bagi anaknya
dalam Gereja Katolik yang merupakan representasi Gereja musafir dalam
perjalanan menuju tujuan terakhir itu. Dalam hal ini, pendidikan dapat ditafsirkan
sebagai pembentukan “manusia seutuhnya” (GS 3), maka pendidikan Katolik tanpa
adanya pembaptisan tidak hanya tidak utuh/penuh, melainkan kekurangan sesuatu
yang sangat mendasar; dan sesuatu yang mendasar itu seharusnya menjadi pangkal
perkembangan selanjutnya. Namun, pembaptisan saja – tanpa pendidikan iman –
belumlah cukup secara moral. Pembaptisan anak menuntut pendidikan iman pula.
“Sakramen ini (baptis) baru mendapat arti sepenuhnya, kalau kanak-kanak yang
dibaptis dalam iman Gereja, kemudian dididik pula dalam iman itu. Dasar
pendidikan dalam iman itu ialah sakramen pembaptisan yang telah diterima. Maka
kanak-kanak harus dibina agar semakin mengenal rencana Allah dalam Kristus.
Dengan demikian mereka sendiri lama-kelamaan dapat menyetujui dan meneguhkan
iman pembaptisan mereka” (Upacara Pembaptisan Kanak-kanak, Pedoman no. 38).
Pembaptisan bagi anak merupakan tanggung jawab orang
tua karena hal itu adalah implikasi dan konsekuensi dari pembaptisan yang telah
mereka terima. Pembatisan diartikan sebagai dasar partisipasi dalam tugas
Kristus sebagai Nabi, Imam dan Raja, yang berarti tugas untuk mewartakan,
menguduskan dan menggembalakan. Orang tua yang telah dibaptis dengan demikian
dipanggil untuk memenuhi tritugas ini terhadap orang-orang yang dipercayakan
secara khusus kepada mereka, yakni anak-anak mereka[9].
Hal ini menunjuk pada tanggung jawab untuk sekuat tenaga mengusahakan
permandian anak-anaknya, termasuk dalam kasus kawin campur.
Berdasarkan tanggung jawab moral yang telah diuraikan,
orang Katolik yang hidup dalam perkawinan campur mempunyai pelbagai tugas yang
saling berkaitan dengan erat: atas penghayatan imannya sendiri, atas penerusan
imannya (pembaptisan dan pendidikan Katolik bagi anak-anaknya), kesatuan dan
kesejahteraan perkawinannya, dan juga atas pasangannya sendiri. Dari sudut
pandang moral, Gereja pertama-tama tidak ingin menyulitkan umat, namun Gereja
hanya membantu dalam proses pengambilan keputusan bagi umat yang akan memilih
perkawinan campur. Harapannya, masalah kawin campur seharusnya sudah digumuli
sebelum menjadi aktual bagi seseorang, agar bila menjadi aktual akan
menghasilkan keputusan yang sudah dipersiapkan cukup lama dan matang.
IV.
Kawin Campur Menurut Kitab Hukum Kanonik 1983
Setelah membahas kawin campur dari sudut pandang
teologis – yang sudah menyinggung posisi dan sikap Gereja Katolik – maka pada
kesempatan ini perlu pula untuk diungkapkan peraturan kawin campur menurut
Kitab Hukum Kanonik (KHK) 1983 agar pembahasan juga mencakup posisi serta sikap
Gereja yang resmi pada masa kini.
Dalam hal ini, istilah “kawin campur” (matrimonium mixta) perlu untuk
dipertegas. Kalimat pertama Moto Proprio “Matrimonia
mixta” Paus Paulus VI mengandung semacam definisi: “Kawin campur, yakni
perkawinan antara pihak Katolik dan non-Katolik baik yang dibaptis maupun tidak
dibaptis,… selalu diikuti Gereja sesuai dengan tugasnya dengan keprihatinan
yang besar”[10].
Inti pokok dalam keprihatinan Gereja adalah “Katolik” dan “non-Katolik” yang
kemudian dirinci dengan lebih lanjut menjadi: non-Katolik yang dibaptis dan non-Katolik
yang tidak dibaptis atau dengan lebih jelas dapat disimpulkan bahwa umat
Katolik memilih umat non-Katolik untuk menjadi pasangan hidupnya. Berdasarkan
pada pemahaman ini, dalam tradisi kanonik dikenal dua macam perkawinan campur:
perkawinan campur beda Gereja (mixta
religio[11]),
yaitu perkawinan antara seorang yang dibaptis Katolik atau diterima di dalamnya
setelah dibaptis dengan seorang baptis non-Katolik; dan perkawinan campur beda
agama (disparitas cultus[12]),
yakni perkawinan antara seorang baptis Katolik dengan seorang non-baptis[13].
Suatu tanda perkembangan posisi dan sikap Gereja
teradap kawin campur kiranya dapat dilihat pada penempatan peraturan kawin campur
dalam sistematika penataannya. Secara eksplisit peraturan tentang kawin campur
dalam KHK 1983 diberi bab tersendiri, yakni bab VI Kan. 1124-1129. Seluruh
peraturan mengenai kawin campur ini mengatur kawin campur beda Gereja dan kawin
campur beda agama (bdk. Kan. 1129 yang
menyebutkan Kan. 1127-1128, dan Kan. 1086 §2 yang menyebutkan Kan.
1125-1126).
A. Alasan Pemberian Izin dan
Dispensasi
Pentinglah untuk mencermati rumusan: “Izin semacam itu
dapat diberikan oleh Ordinaris wilayah, jika terdapat alasan yang wajar dan
masuk akal; izin itu jangan diberikan jika belum terpenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:…” (Kan. 1125).
Langkah pertama yang perlu untuk diperhatikan adalah
dengan memahami perbedaan antara izin dan dispensasi. Izin (licentia) merupakan persetujuan
otoritatif atau kondisi yang diberikan oleh pihak otoritas/berwenang agar
seseorang berbuat secara halal, sesuai dengan hukum yang diberlakukan. Pelanggaran
terhadap larangan yang membutuhkan izin tidak membuat perbuatan menjadi tidak
sah, melainkan hanya tidak halal. Menutut hukum, sistem pemberian izin ini memungkinkan
Ordinaris wilayah untuk ikut mempertimbangkan (pro dan kontra) kawin campur
dalam situasi tertentu. Sedangkan untuk dispensasi dapat diartikan sebagai
pelongaran hukum (gerejawi) dalam kasus khusus oleh otoritas yang berwenang
(bdk. Kan.
85), antara lain oleh Uskup diosesan demi kesejahteraan rohani umat (Kan. 87 §1),
tentunya dengan alasan yang wajar dan masuk akal menurut keadaan kasus dan
bobot hukum (Kan. 90 §1).
Ungkapan “wajar dan masuk akal” secara teoritis dapat
dimengerti dengan merujuk pada alasan yang seimbang dan tidak sembarangan:
alasan yang dapat mengimbangi nilai-nilai seperti iman pihak Katolik,
pendidikan iman anak-anaknya dan kesejahteraan perkawinan itu sendiri secara
konkrit dengan memperhatikan situasinya. Dengan memperhatikan alasan yang wajar
dan masuk akal itu, izin serta dispensasi dapat diberikan berdasarkan
pertimbangan yang matang oleh pihak/otoritas berwenang, sekaligus tiadanya
otomatisme yang menyertainya.
B. Persyaratan Pemberian Izin
Kawin Beda Gereja dan Dispensasi Kawin Beda Agama
Dengan adanya alasan yang wajar dan masuk akal saja
belumlah cukup untuk pemberian izin dan dispensasi. Gereja menuntut adanya
beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sebagai tindakan pengamanan[14],
yakni janji-janji dari pihak Katolik. Dengan tindakan pengamanan ini, segi-segi
negatif kawin campur dapat dibatasi sedemikian rupa sehingga berada dalam
kewenangan Gereja untuk memberikan izin dan dispensasi.
Mengenai janji-janji yang disyaratkan itu, Gereja
menetapkan agar pihak non-Katolik diberitahu pada waktunya sehingga menyadari
dengan sungguh terhadap janji dan kewajiban pihak Katolik (bdk. Kan. 1125 §2).
Dari sikap ini, Gereja tidak bermaksud untuk memojokkan pihak non-Katolik ke
dalam situasi yang tertekan, melainkan menghargai kebebasan agama dan hati
nurani pihak non-Katolik; dan di lain pihak Gereja sendiri teguh pada keyakinannya
mengenai nilai iman Katolik yang harus diamankan oleh pihak Katolik. Komunikasi
yang jelas dan jujur antara pihak Katolik dan non-Katolik ini sungguh penting
untuk diadakan sebelum perkawinan daripada keributan setelah menikah!
Adanya persyaratan pemberian izin kawin beda Gereja
dan dispensasi kawin beda agama juga harus diikuti dengan penjelasan mengenai
tujuan dan sifat-sifat hakiki perkawinan kepada kedua belah pihak (bdk. Kan. 1125 §3).
Hal ini ditekankan oleh Gereja karena berpangkal dari keprihatinan kawin campur
yang melahirkan pemahaman berbeda mengenai perkawinan dengan konsekuensi
tentang penghayatannya. Oleh karena paham Katolik dipandang “lebih ketat”, seringkali
justru pihak Katolik-lah yang menderita dan pihak lain yang “lebih bebas”;
misalnya tentang moral perkawinan yang meliputi: kesetiaan dalam monogami
seumur hidup dan praksis Keluarga Berencana (KB), perlu untuk dijelaskan.
C. Penjabaran Lebih Lanjut
oleh Konferensi Para Uskup
Kan. 1126: “Adalah tugas Konferensi Para Uskup untuk
menentukan baik cara pernyataan dan janji yang selalu dituntut itu harus
dibuat, maupun menetapkan cara hal-hal itu menjadi jelas, juga dalam tata
lahir, dan cara pihak tidak Katolik diberitahu”. Maksud dari pernyataan ini
ingin menekankan bahwa KHK 1983 berlaku di seluruh dunia yang sangat heterogen
situasinya (sosiokultural-sosioreligius). Berhadapan dengan realita ini, maka
sangat pentinglah Konferensi para Uskup bertugas untuk menjabarkan/menjelaskan
lebih lanjut tentang cara dan bentuk pemberian pernyataan serta janji-janji dan
pemberitahuan dari pihak non-Katolik[15].
Tentunya hal itu dipraktikkan sesuai dengan kondisi dan situasi yang ada.
D. Tata Peneguhan Kanonik dan
Perayaan Liturgis/Keagamaan
Tentang tata peneguhan kanonik dan perayaan
liturgis/keagamaan diatur dalam Kan. 1127. Peraturan yang terdapat dalam kanon
ini memberlakukan kewajiban pemakaian tata peneguhan kanonik Kan. 1108 untuk
meneguhkan kawin campur.
Kan. 1127 §2 memungkinkan adanya
permohonan dispensasi dari tata peneguhan kanonik jika timbul
kesulitan-kesulitan serius untuk memenuhinya. Misalnya: pernikahan “terpaksa”
diteguhkan di hadapan peneguh Kristen non-Katolik, sedangkan pelayan Katolik
hanya diberi peran mendoakan dan berkhotbah? Dalam kasus ini, Ordinaris wilayah
dari pihak Katolik berhak untuk memberikan dispensasi dalam masing-masing kasus
(tidak secara umum), tetapi setelah minta pendapat Ordinaris wilayah di mana
perkawinan dilangsungkan; dan demi sahnya harus ada suatu bentuk tata-peneguhan
publik; Konferensi para Uskup berhak menetapkan norma-norma, agar dispensasi
tersebut diberikan secara seragam[16].
Untuk peneguhan perkawinan campur, Gereja melarang adanya peneguhan ganda,
yakni sebelum dan sesudah peneguhan secara Katolik diadakan lagi suatu upacara
keagamaan lain dengan maksud untuk menanyakan lagi kesepakatan mempelai atau
meneguhkan lagi perkawinan itu (Kan. 1128 §3).
E. Pastoral Kawin Campur
Mengingat bahwa persoalan tentang kawin campur adalah
realita yang khusus – dalam arti berbeda dengan perkawinan ideal – maka
dibutuhkan pendampingan yang khusus pula, terlebih dari Gereja. Berhadapan
dengan situasi itu, Kan. 1128 adalah himbauan bagi Ordinaris wilayah dan semua
gembala umat untuk memberikan pendampingan itu. Hendaknya mereka mengusahakan
agar jodoh/pasangan Katolik dan anak-anak dari kawin campur tidak kekurangan
bantuan rohani untuk memenuhi kewajiban-kewajiban mereka; juga agar menolong
para pasangan untuk memupuk kesatuan hidup perkawinan dan keluarga.
Di lain pihak, memang sudah ada banyak usaha yang
telah dilakukan untuk pemberian pendampingan bagi pasangan kawin campur. Dapat
disebutkan dengan adanya Anjuran Apostolik Sri Paus Yohanes Paulus II tentang
Peranan Keluarga Kristen dalam Dunia Modern (Familia Consortio), Statuta (misalnya Keuskupan Regio Jawa Pasal
121, no. 6-7 yang bertujuan untuk meningkatkan pastoral perkawinan dan
keluarga) dan Pedoman Pastoral Keluarga MAWI 1975. Bahkan juga sudah ada
pihak-pihak yang ditugaskan untuk memperhatikan soal ini, misalnya Komisi
Keluarga KWI dan Keuskupan, Seksi Keluarga Paroki dan pelbagai kelompok
kategorial.
F. Pemberlakuan Peraturan
Kawin Campur Beda Gereja (Mixta Religio)
Bagi Beda Agama (Disparitas Cultus)
Kan. 1129: “Ketentuan-ketentuan Kan. 1127 dan 1128
harus juga diterapkan pada perkawinan-perkawinan yang terkena halangan beda
agama, yang disebut dalam Kan. 1086 §1”. Dari pernyataan ini dapat
dipahami bahwa pemberlakuan peraturan kawin campur beda Gereja juga mencakup
pemberlakuan peraturan bagi kawin campur beda agama yang merupakan halangan
nikah, yang sifatnya menggagalkan perkawinan atau membuat perkawinan tidak sah.
Oleh karena itu, untuk mendapatkan peneguhan perkawinan yang sah, pihak Katolik
harus meminta dan mendapatkan dispensasi dari otoritas yang berwenang.
Mungkin berdasarkan sistematika penyusunan itu menimbulkan
sebuah pertanyaan: mengapa dalam KHK 1983 persoalan tentang kawin campur beda
agama tidak dibahas tersendiri, melainkan hanya diikutkan pada peraturan
tentang kawin campur beda Gereja. Jawabannya tidak terlepas dari latar belakang
kawasan Barat yang lebih mengenal beda Gereja dari pada beda agama; dan tradisi
Barat inilah yang yang sangat dominan dalam penyusunan KHK 1983. Berdasarkan
perhitungan latar belakang ini, maka dapat dipahami mengapa persoalan tentang
kawin campur beda agama dalam KHK diikutkan pada peraturan tentang beda Gereja.
Betapapun kawin campur beda Gereja yang hanya dilarang oleh Gereja Katolik dan
beda agama yang merupakan halangan nikah itu berbeda, namun keduanya pada
kenyataannya mempunyai faktor kesamaan bagi pihak/orang Katolik. Keduanya
mempunyai risiko bagi iman dan rahmat baptis orang Katolik itu sendiri serta
pendidikan (Kristiani) bagi anak-anaknya.
Peraturan kawin campur menurut Kitab Hukum Kanonik
(KHK) 1983 merupakan posisi dan sikap Gereja yang resmi pada masa kini. Dengan
adanya penataan yang sistematik dan yang dilengkapi dengan aturan-aturan jelas,
Gereja menunjukkan bahwa persoalan tentang kawin campur memiliki tempat untuk
diberikan perhatian. Melalui pemberlakuannya peraturan yang resmi itu, Gereja
bukan ingin menghalang-halangi umatnya untuk memilih kawin campur, melainkan
Gereja ingin menunjukkan perannya yang konstitutif. Berdasarkan peran itu,
Gereja memperlihatkan keikutsertaannya dalam melahirkan perkawinan yang sah
melalui tata peneguhan kanonik bagi umatnya yang memilih untuk kawin campur.
V.
Penutup
Kemajemukan masyarakat dewasa ini, terlebih dari sisi
iman dan kepercayaan, menjadi salah satu persoalan bagi umat Katolik untuk
mendapatkan pasangan hidup yang seiman. Hal itu menjadi persoalan eksistensial bagi
dirinya sendiri dan juga pasangannya karena menyangkut penghayatan hidup
perkawinan dan hidup iman yang saling mempengaruhi. Penghayatan hidup
perkawinan yang tidak selalu mudah dapat didukung oleh penghayatan iman yang
sama; begitu juga penghayatan iman yang penuh dengan tantangan dapat didukung
oleh karena kesatuan dalam perkawinan. Berdasarkan pada situasi itu, Gereja
sangat mendukung adanya perkawinan seiman.
Di lain pihak, Gereja realistis terhadap perkembangan
dunia dewasa ini. Hal itu dapat diartikan bahwa Gereja menyadari bahwa tidaklah
selalu mudah bagi umatnya untuk mendapatkan teman hidup/jodoh yang seiman,
apalagi bila kuantitas umat masuk dalam daftar minoritas di suatu wilayah,
seperti di Indonesia. Gereja tidak menutup mata terhadap realita bahwa umatnya
berhadapan dengan pilihan hidup untuk kawin campur dengan jodoh yang ia cintai;
dan kebetulan jodoh yang ia cintai itu berasal dari Gereja dan agama yang
berbeda, sedangkan hak untuk menikah itu termasuk hak azasi manusia. Dalam
persoalan ini, Gereja membuka pintu untuk perkawinan campur (beda Gereja dan
beda agama). Keterbukaan Geraja diikuti dengan keikutsertaannya dalam
memberikan petunjuk dalam pelbagai cara pandang (teologis, hukum, pastoral dan
lainnnya) bagi calon pasangan kawin campur, terlebih bagi pihak yang Katolik. Dengan
memberikan cara pandang secara jelas terhadap kawin campur, Gereja mengharapkan
adanya pertimbangan yang cukup dan matang bagi umatnya (calon pasangan kawin
campur) sebelum mengambil keputusan. Harapannya adalah agar keputusan terakhir
yang diambil tidak berbuah pada penyesalan di kemudian hari!
* * *
Daftar
Pustaka
Benyamin, Mgr. Dr. Yosef Bria, Pr.,
2010 Pastoral Perkawinan Gereja Katolik Menurut Kitab Hukum
Kanonik 1983: Kajian dan Penerapannya, Pustaka Nusatama, Yogyakarta.
Hadiwardoyo, Dr. Al.
Purwa, MSF.,
1988 Perkawinan dalam Tradisi Katolik,
Kanisius, Yogyakarta.
Piet, Dr. Go, O. Carm – Suharto, S.H.,
1987 Kawin Campur Beda Agama dan Beda Gereja:
Tinjauan Historis, Teologis, Pastoral, Hukum Gereja, dan Hukum Sipil, Dioma,
Malang.
Piet, Dr. Go, O. Carm.,
1992 Pokok-Pokok Soal Kawin Campur: Bahan Informasi dan Orientasi
bagi Kaum Muda Katolik, Dioma, Malang.
2003 Hukum Perkawinan
Gereja Katolik: Teks dan Komentar, Dioma, Malang.
Raharso, Alf. Catur, Pr.,
2006 Paham
Perkawinan dalam Hukum Gereja Katolik, Dioma, Malang.
[1] Dr. Piet Go, O.
Carm – Suharto, S.H., Kawin Campur Beda
Agama dan Beda Gereja: Tinjauan Historis, Teologis, Pastoral, Hukum Gereja, dan
Hukum Sipil, Dioma, Malang 1987, 1.
[2] Dr. Piet Go, O.
Carm – Suharto, S.H., Kawin Campur Beda
Agama dan Beda Gereja: Tinjauan Historis, Teologis, Pastoral, Hukum Gereja, dan
Hukum Sipil, 3.
[3] Dr. Piet Go, O.
Carm., Pokok-Pokok Soal Kawin Campur: Bahan Informasi dan Orientasi
bagi Kaum Muda Katolik, Dioma, Malang 1992, 8.
[4] Dr. Piet Go, O.
Carm – Suharto, S.H., Kawin Campur Beda
Agama dan Beda Gereja: Tinjauan Historis, Teologis, Pastoral, Hukum Gereja, dan
Hukum Sipil, 35.
[5] Dalam no. 37: Sejak abad-abad pertama Gereja membaptis bukan hanya
orang dewasa, melainkan juga kanak-kanak, berdasarkan tugasnya untuk mewartakan
Injil dan membaptis.
[6] Dr. Piet Go, O.
Carm – Suharto, S.H., Kawin Campur Beda
Agama dan Beda Gereja: Tinjauan Historis, Teologis, Pastoral, Hukum Gereja, dan
Hukum Sipil, 38.
[7] Dr. Piet Go, O.
Carm – Suharto, S.H., Kawin Campur Beda
Agama dan Beda Gereja: Tinjauan Historis, Teologis, Pastoral, Hukum Gereja, dan
Hukum Sipil, 39.
[8] Dr. Piet Go, O.
Carm – Suharto, S.H., Kawin Campur Beda
Agama dan Beda Gereja: Tinjauan Historis, Teologis, Pastoral, Hukum Gereja, dan
Hukum Sipil, 42.
[9] Dr. Piet Go, O.
Carm – Suharto, S.H., Kawin Campur Beda
Agama dan Beda Gereja: Tinjauan Historis, Teologis, Pastoral, Hukum Gereja, dan
Hukum Sipil, 51.
[10] Dr. Piet Go, O.
Carm – Suharto, S.H., Kawin Campur Beda
Agama dan Beda Gereja: Tinjauan Historis, Teologis, Pastoral, Hukum Gereja, dan
Hukum Sipil, 56.
[11] Perkawinan campur beda Gereja, menurut hukum Gereja sekarang, tidak
lagi dilihat sebagai halangan yang menggagalkan perkawinan. Namun untuk
memasuki perkawinan itu, pastor, atas nama calon pasangan kawin campur, harus
meminta izin dari Ordinaris wilayah demi licit
atau halalnya (liceity) perkawinan
tersebut (Kan.
1125).
[12] Perkawinan campur beda agama adalah suatu halangan yang menggagalkan
perkawinan (Kan.
1086 §1). Oleh
karena itu, demi sah (validity) dan
halalnya (liceity) perkawinan, Pastor
paroki, atas nama calon pasangan perkawinan campur yang bersangkutan, harus
menghubungi Ordinaris wilayah untuk meminta dispensasi dari halangan perkawinan
disparitas cultus.
[13] Mgr. Dr. Benyamin Yosef Bria, Pr., Pastoral Perkawinan Gereja Katolik Menurut Kitab Hukum Kanonik 1983:
Kajian dan Penerapannya, Pustaka Nusatama, Yogyakarta 2010, 88.
[14] Tindakan pengamanan ini bukanlah jaminan objektif keberhasilan
untuk mengelak dari bahaya kawin campur, melainkan lebih menyangkut sikap pihak
Katolik yang tidak dituntut berbuat melebihi kemampuannya, melainkan untuk
menunjukkan kehendak yang baik.
[15] Untuk para Uskup Regio Jawa telah menjabarkannya dalam Statuta
Perkawinan Regio Jawa 1983.
[16] Alf. Catur Raharso, Pr., Paham
Perkawinan dalam Hukum Gereja Katolik, Dioma, Malang 2006, 179.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar