Rabu, 01 Maret 2017

     KAWIN CAMPUR:
     PERSPEKTIF TEOLOGIS DAN HUKUM GEREJA


             I.      Pendahuluan
Kawin campur adalah sebuah realita yang saat ini menjadi fenomena yang tak dapat dielakkan. Kawin campur antara para pemeluk agama yang berbeda, khususnya antara orang Katolik dan non-Katolik (yang dibaptis: Kristen-Protestan) maupun yang tidak dibaptis (Islam, Hindu, Budha dan agama/aliran kepercayaan lainnya) adalah sebuah permasalahan yang harus dihadapi dalam komunitas masyarakat yang majemuk. Kemajemukan ini menunjuk pada adanya pelbagai agama yang hadir dan bersatu dalam komunitas masyarakat. Berhadapan dengan siuasi tersebut, fenomena kawin campur menjadi sesuatu yang ada dan harus dihadapi, terlebih dengan jumlah orang Katolik (secara khusus) yang minoritas (di Indonesia) yang secara terus menerus akan ada sebagian umat yang menghadapinya. Tak kadang fenomena ini menjadi sesuatu yang krusial bagi seseorang karena berhubungan dengan permasalahan hidupnya secara eksistensial, apalagi ia sebagai orang Katolik yang ingin memperjuangkan imannya dalam praksis hidup.
Pada kenyataannya dalam Gereja Katolik sendiri telah ada peraturan/hukum yang berkaitan tentang kawin campur. Sebagai contoh dapat disebutkan peraturan yang ada di dalam Kitab Hukum Kanonik dan juga Statuta Perkawinan Regio Jawa yang dapat membantu untuk dijadikan sebuah pedoman, sekalipun masih sangat perlu untuk lebih disosialisasikan. Namun, dengan adanya peraturan Gereja yang bersifat objektif dan umum itu, tidaklah selalu otomatis bahwa permasalahan umat dapat dipecahkan, terlebih berhadapan dengan masalah kawin campur. Untuk itu tetap diperlukan adanya pertimbangan yang cukup matang dari sudut pandang teologis dan moral sebelum mengambil keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan. Pertimbangan itu ditujukan bagi calon yang bersangkutan dan juga bagi para gembala umat/pendamping awam yang bertugas mendampingi calon/pasangan kawin campur dalam proses pengambilan keputusan yang bijak.
Dalam praksis kehidupan Gereja Katolik di Indonesia, fenomena kawin campur sudah tidak lagi menjadi barang langka. Banyak kaum muda yang datang kepada pastor dan bertanya tentang bagaimana tata cara/aturan Gereja bila umatnya ingin membangun hidup berkeluarga dengan pasangan yang beda Gereja atau agama. Dalam contoh lain, ada orang tua yang bertanya kepada pastor mengenai anaknya yang ingin menikah/membangun hidup berkeluarga dengan pasangan dari agama lain. Belum lagi dengan adanya kebutuhan umat/pasangan kawin campur yang juga membutuhkan pendampingan pastoral! Dari praksis itu dapat dikatakan bahwa permasalahan tentang kawin campur sungguh fenomena konkrit yang harus dihadapai oleh Gereja.
Permasalahan itulah yang sungguh menarik untuk dicermati, terlebih tentang kawin campur yang dihadapi oleh Gereja. Untuk itu, dalam tulisan ini penulis akan mengkaji isu utama dari beberapa perspektif: melihat fakta kawin campur dalam Kitab Suci, teologis dan Hukum Gereja (Kitab Hukum Kanonik 1983). Dengan mencermati beberapa pokok itu diharapkan dapat diketahui tentang bagaimana posisi dan sikap Gereja Katolik menghadapi persoalan kawin campur.

          II.      Kawin Campur dalam Kitab Suci
Kawin campur ternyata tidak hanya menjadi fenomena yang familiar pada masa dewasa ini. Fenomena ini juga telah ada dalam Kitab Suci, baik dalam Perjanjian Lama maupun dalam Perjanjian Baru. Meskipun persoalan kawin campur pada masa sekarang ini tidaklah sama tepat dengan apa yang dimaksudkan dengan kawin campur dalam Kitab Suci, kiranya dapat bermanfaat untuk menelusurinya sebagai bahan perbandingan sekaligus pembelajaran.
A.    Dalam Perjanjian Lama
Dalam dunia Perjanjian Lama, fenomena kawin campur berkaitan erat dengan eksistensi bangsa Israel yang mempunyai kesadaran iman sebagai bangsa terpilih dan kudus (Kel 19: 10.14; Im 19: 2; 20: 26; Ul 7: 6; 14: 2). Kesadaran yang cukup kental dari bangsa Israel menjadikan bangsa itu memiliki sikap semacam ekslusivisme terhadap bangsa asing/lain. Sikap kebangsaan ini tampak nyata ketika mereka memilih untuk memisahkan diri dari bangsa-bangsa lain – yang bagi mereka disebut sebagai bangsa kafir karena menyembah “ilah-ilah” lain dan bukan menyembah kepada Yahwe – yang pada kenyataannya “menganut” dewa-dewa yang tidak sebanding sama sekali dengan Yahwe (Rut 1: 15; 1Sam 26: 19; 2 Raj 17: 26; Hak 11:  23-24). Pandangan yang menganggap bahwa bangsa lain adalah bangsa kafir semakin diekstrimkan lagi ketika Israel memiliki keyakinan bahwa bangsa-bangsa bukan Israel adalah kaum kafir yang akan dilenyapkan oleh Yahwe (Kel 23: 23; Ul 7: 1-8; 25: 17-19).
 Dengan latar belakang ini dapat dimengerti bahwa kawin campur antara orang Israel dan orang kafir sekaligus berarti kawin campur antara orang-orang yang berbeda agama dan dinilai negatif[1]. Hal ini semakin menjadi alasan yang kuat untuk melarang adanya kawin campur bila mengaitkan pada kecenderungan untuk menikah dengan orang yang berasal dari kalangan sanak saudara sendiri (Kej 20: 12; 24: 15; 28: 9; 29: 12; Bil 26: 59).
Kawin campur menjadi larangan bagi bangsa Israel karena ada satu alasan mencolok yang melatarbelakanginya, yakni: alasan religius. Bagi mereka, kawin campur hanya akan membahayakan iman mereka kepada Yahwe. Kawin campur dipandang sebagai benih kekhawatiran yang menyebabkan umat Israel dipengaruhi oleh bangsa kafir dalam praksis hidup yang erat. Situasi demikian pada akhirnya ditakutkan dapat mengajak bangsa Israel untuk meninggalkan Yahwe dan beribadah kepada “allah” lain, tidak setia lagi kepada Yahwe serta hidup tidak sesuai dengan perintah-perintah-Nya. Melihat latar belakang demikian, maka tidak mengherankan ketika pergaulan bangsa Israel dengan bangsa kafir semakin meningkat, larangan kawin campur dipertegas oleh Ezra dan Nehemia demi kemurnian iman mereka kepada Yahwe (Ezr 2: 59-62; 9: 1-15; 10: 1-10; Neh 7: 61-64; 13: 23-29). Meskipun demikian, kawin campur merupakan fakta di Israel, bdk. Kej 38: 1-2 (Yehuda-Syua, wanita Kanaan); Kej 46: 10 (Simeon-wanita Kanaan); Kej 41: 45 (Yusuf-Asnat, anak Potifera, imam di On); Kej 26: 34 (Esau-Yudit, anak Beeri orang Het, dan Basmat, anak Elon orang Het); Bil 12: 1(Musa-perempuan Kush); dan pada Ul 21: 10-14 yang memandang kawin campur tidak selalu negatif.
B.     Dalam Perjanjian Baru
Dalam dunia Perjanjian Baru, persoalan tentang kawin campur merupakan sebuah realita yang dihadapi oleh jemaat Kristen Gereja Purba. Kawin campur yang dimaksudkan memiliki dua pengertian: kawin campur yang diakibatkan oleh pertobatan salah satu pasangan yang berasal dari pasangan kafir (menjadi orang Kristen) dan kawin campur yang memiliki arti bahwa seorang beriman (orang Kristen) memilih pasangannya yang tidak beriman (kafir). Kawin campur dalam pengertian yang kedua inilah yang menjadi persoalan seperti dalam pengertian kawin campur dalam dunia sekarang ini.
                  1 Kor 7: 12-16
Dalam perikop ini, Paulus membahas persoalan tentang kawin campur yang sedang dihadapi oleh jemaat Kristiani pada waktu itu. Kasus ini tidak mempersoalkan masalah, apakah orang beriman boleh memilih jodoh yang tidak beriman, melainkan bagaimana seorang yang tidak beriman yang semula kawin dengan seorang yang juga tidak beriman tetapi kemudian bertobat menjadi Kristen, harus bersikap terhadap jodohnya yang tetap tidak beriman[2]. Lebih lanjut Paulus menegaskan bahwa situasi yang dihadapi oleh jemaat dalam kawin campur haruslah dipertahankan, kecuali jika pasangan yang tidak beriman menginginkan perceraian. Ia menegaskan pentingnya untuk menjaga “status quo” itu dengan alasan bahwa “karena suami yang tidak beriman itu dikuduskan oleh isterinya dan isteri yang tidak beriman itu dikuduskan oleh suaminya. Andaikata tidak demikian, niscaya anak-anakmu adalah anak cemar, tetapi sekarang mereka adalah anak-anak kudus” (1 Kor 7: 14).
Di lain pihak, Paulus melihat sisi positif dari kawin campur dengan menekankan adanya gagasan tentang pengudusan. Baginya, dalam kawin campur terletak praksis nyata pergaulan hidup orang beriman dengan orang yang tidak beriman (non-Kristen) dapat menjadi peluang tawaran iman serta rahmat yang menguduskan, dari salah satu pasangan kepada pasangannya sendiri.
                  1 Ptr 3: 1-7
Situasi hidup jemaat dalam kawin campur yang dihadapi dalam 1 Ptr adalah tentang prilaku orang Kristen yang berupa kesaksian di tengah orang-orang kafir (bdk. 1 Ptr 2: 12). Oleh karena itu, dalam tulisannya Paulus berusaha untuk menanggapi keprihatinan yang lahir di tengah situasi itu di mana kawin campur yang diakibatkan oleh pertobatan istri dari pasangan kafir memberikan akibat yang negatif bagi istri. Situasi itu demikian terjadi karena peranan suami yang dominan dan yang harus ditaati oleh istri sebagai pihak yang lemah (ay 7). Dengan menghayati sikap misioner, sang istri dianjurkan oleh Paulus untuk mewartakan kesaksian kepada suami tentang penghayatan imannya.
Dalam perikop ini, penekanan pada orang beriman yang memiliki pasangan tidak beriman adalah sebuah risiko yang dapat membahayakan iman sendiri dan penerusan iman kepada anak-anaknya. Berhadapan dengan realita ini – mengingat sikap negatif jemaat Kristen Gereja Purba terhadap kaum yang tidak beriman (bdk. 2 Kor 6: 14-16) – dapat dipahami bahwa kawin campur sebagai akibat pemilihan pasangan yang tidak beriman dipandang negatif seperti dalam Perjanjian Lama.
Setelah melihat fenomena kawin campur dalam Kitab Suci, dapat ditemukan kesan bahwa Kitab Suci (dalam kawin campur) menunjukkan nilai iman untuk keselamatan. Dalam Perjanjian Lama hal itu ditunjukkan adanya bahaya pergaulan erat orang beriman dengan yang tidak beriman (kafir). Dalam Perjanjian Baru juga diperlihatkan peluang dalam pergaulan erat orang kafir dengan orang beriman sebagai tawaran rahmat bagi orang beriman itu dan juga kepada pasangannya yang tidak beriman.

       III.      Kawin Campur dalam Pespektif Teologis
Seperti yang sudah dikatakan pada bagian awal bahwa kawin campur adalah sebuah realita yang tidak dapat tidak dihindari bagi Gereja. Berdasarkan pada fakta itu, Gereja melihat fenomena yang satu ini sebagai kenyataan yang memiliki tempat untuk dilihat dalam ranah teologis. Pengertian “teologis” dimaksudkan juga meliputi ajaran Gereja, baik yang merupakan bahan teologi dogmatik maupun teologi moral.
A.    Dari Perspektif Teologi Dogmatik
Dalam persoalan tentang kawin campur, ada beberapa gagasan di bidang teologi dan fundamental yang patut untuk dibahas, yakni mengenai keselamatan dan iman yang dimiliki oleh Gereja.
1.      Keselamatan
Keselamatan sebagai persatuan abadi dengan Allah merupakan nilai tertinggi yang menjadi keprihatinan Gereja sebagai sakramen keselamatan. Oleh karena itu tidak perlu diutarakan panjang lebar bahwa betapa tinggi iman Katolik yang menyelamatkan itu. Nilai iman bahkan seringkali dipandang lebih tinggi dari pada nilai hidup, sehingga dalam kasus konflik orang bersedia menjadi saksi iman dan berani untuk mengurbankan hidupnya sebagai martir.
Perkembangan ajaran mengenai jalan keselamatan yang hanya dapat dilalui melalui Gereja ini ternyata ikut berpengaruh terhadap sikapnya berhadapan dengan kawin campur, terlebih dengan ungkapan: “Di luar Gereja tidak ada keselamatan”. Ungkapan ini sepertinya menggambarkan sikap ketertutupan Gereja terhadap realita iman lain selain dirinya. Semula ungkapan ini lebih diarahkan “ke dalam” (Gereja), yakni kepada jemaat Kristiani sendiri sebagai ungkapan syukur dan juga kemantaban iman bahwa melalui Gereja-lah keselamatan ini dapat diterima. Ungkapan sepertinya ini bersumber pada gagasan bahtera Nuh (1 Ptr 3: 18-21): hanya orang yang di dalam bahtera sajalah yang selamat. Dalam masa patristik (Origenens, Siprianus), ungkapan ini masih diserukan dengan arah “ke dalam” Gereja untuk mencegah jemaat yang akan memisahkan diri dari Gereja. Baru kemudian sejak abad pertengahan, ungkapan ini dinyatakan memiliki arah “ke luar” yang secara eksplisit di arahkan kepada mereka yang tidak termasuk dalam Gereja Katolik.
Di satu sisi, Gereja sepertinya menutup mata terhadap realita iman yang lain dan menganggap para penganutnya (agama lain) memiliki nilai negatif: tidak diselamatkan. Di sisi lain, Gereja berusaha melunakkan ungkapan itu dengan penafsiran yang baru, seperti dalam ensiklik Quanto Conficiamur Moerore (Paus Pius IX) yang menyatakan bahwa orang yang tidak mengetahui agama yang benar dan tidak dapat mengatasi ketidaktahuannya dapat mencapai hidup kekal-terselamatkan. Bahkan dalam Konsili Vatikan II pun meneguhkan, mengembangkan dan memperdalam posisi Gereja yang lebih terbuka ini (bdk. LG 16; GS 22; AG 7).
2.      Nilai Pembaptisan Kanak-Kanak
Nilai selanjutnya yang menjadi keprihatinan Gereja dalam menghadapi kawin campur adalah pembaptisan anak-anak. Bagi Gereja, baptis tidak hanya dipandang sebagai sakramen inisiasi untuk menjadi warga Katolik, melainkan melimpahi manusia dengan anugerah-anugerah yang tak ternilai: dibebaskan dari dosa, diangkat menjadi anak Allah, menjadi ahli waris surga dan sebagainya. Sehingga dapat dimengerti bahwa Gereja prihatin apabila anak orang Katolik dalam kawin campur tidak menerima anugerah melimpah itu dalam Gereja Katolik[3]. Kongregasi Ajaran Iman merasa perlu mengeluarkan instruksi pada tanggal 20 Oktober 1980 yang mengingatkan pokok-pokok terpenting ajaran mengenai soal ini yang dipandangnya membenarkan praktik Gereja sejak berabad-abad[4].
Gereja memandang pembaptisan anak sebagai kebiasaan yang didasarkan pada Sabda Tuhan: “ Barang siapa tidak lahir kembali dari air dan Roh Kudus, tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah” (Yoh 3: 5). Dari ucapan ini selalu ditarik kesimpulan bahwa para kanak-kanak pun harus dibaptis. Di pihak lain, Gereja juga memandang pembaptisan sebagai bagian yang hakiki dari perutusan Gereja sendiri yang adalah universal (bdk. Mat: 19; Mrk 16: 15-16). Bahkan dalam praenotanda Ordo Baptismi Pasvulorum 1974 (Pendoman Khusus Pembaptisan Kanak-Kanak), Gereja meneguhkan pandangan tentang pentingnya nilai pembaptisan itu[5].
Keselamatan dan iman (yang diteruskan lewat pembaptisan) adalah keprihatinan Gereja yang perlu diperhitungkan matang dalam menghadapi persoalan kawin campur jemaat. Kedua hal yang lahir dari cara pandang teologi dogmatik ini dapat dikatakan sebagai langkah Gereja untuk menyelamatkan rahmat dan iman umat yang memilih kawin campur.
B.     Dari Perspektif Teologi Moral
Bahan teologi moral yang berhubungan dengan persoalan kawin campur adalah “keluhuran panggilan kaum beriman dalam Kristus dan kewajiban mereka untuk menghasilkan buah dalam kasih bagi dunia” (OT 16). Gagasan moral Konsili Vatikan II ini memusatkan perhatian pada kekayaan rohani yang dimiliki oleh kaum beriman: karya keselamatan Ilahi serta panggilan kaum beriman dalam Kristus sebagai anugerah memiliki implikasi dan konsekuensi berupa tanggung jawab untuk mengembangkannya dengan menghasilkan buah dalam kasih bagi kehidupan di dunia. Sekurang-kurangnya teoretis ini berarti orang Katolik sebaiknya kawin dengan orang Katolik, agar keluhuran panggilan kaum beriman kristiani dalam Kristus dapat dihayati dan dikembangkan sepenuhnya untuk memenuhi tanggung jawab mereka menghasilkan buah dalam kasih bagi kehidupan dunia: untuk mengembangkan hidup iman dan rahmat juga pada anak-anak mereka[6].
Menyadari betapa luhurnya panggilan kaum beriman ini membuat Gereja memiliki posisi dan sikap dalam hal kawin campur. Gereja sendiri merasa bertanggungjawab atas perlindungan kewajiban-kewajiban pihak Katolik dalam praksis hidup jemaat yang kawin campur. Gereja melihat bahwa praksis kawin campur membawa tanggung jawab moral yang harus dihadapi oleh pihak Katolik, terlebih berhadapan dengan keadaan-keadaan yang sulit untuk diselesaikan (sekalipun sudah diperkirakan sebelumnya). Keadaan yang diperhitungkan tidaklah hanya berkisar pada saat dilangsungkannya pernikahan, melainkan juga menyangkut prakiraan yang wajar dan beralasan mengenai masa depan hidup perkawinan yang penuh tantangan dan terutama pada tahun-tahun pertama menjadi “batu ujian” soal-soal yang menyangkut tanggung jawab pihak Katolik dalam hal penghayatan imannya sendiri serta usaha penerusannya kepada anak-anaknya berupa pembaptisan serta pendidikan Katolik, tanpa mengganggu keserasian serta kesejahteraan hidup perkawinan dan keluarga[7].
1.      Tanggung Jawab atas Iman Pihak Katolik
Sehubungan dengan kawin campur, perlu untuk diperhatikan bahwa Gereja Katolik memiliki keyakinan bahwa iman yang dimilikinya sebagai kebenaran “lebih penuh” daripada agama-agama atau gereja-gereja lain yang tidak menerima kebenaran yang dianggap cukup oleh Gereja Katolik, selain juga ada pelbagai perbedaaan dalam hal penafsiran wahyu yang masih ada. Berdasarkan pada latar belakang demikian, pergaulan orang Katolik dengan orang yang berkeyakinan lain dahulu sering dipandang sebagai sumber bahaya dan risiko bagi eksistensi iman. Maka, penilaian moral dan peraturan hukum Gereja Katolik saat itu terhadap pergaulan umat dengan pihak non-Katolik lebih keras dibandingkan dengan sekarang.
Konsili Vatikan II dapat diartikan sebagai angin segar yang membawa semangat pembaharuan (aggiornamento) karena mengundang Gereja untuk semakin terbuka terhadap realita perbedaan iman yang ada. Konsili menunjukkan peluang-peluang positif yang ada dan juga menganjurkan untuk berkomunikasi serta kerja sama dengan kalangan non-Katolik (bdk. GS 21, 28, 88; UR 12; AA 14). Latar belakang inilah yang dapat dijadikan salah satu dasar mengenai tanggung jawab atas iman pihak Katolik dalam kawin campur yang merupakan bentuk pergaulan dengan pasangan hidup non-Katolik yang paling erat.
Berhadapan dengan soal kawin campur, persoalan dominan yang muncul adalah tentang adanya segi-segi negatif yang tidak dapat dielakkan: sejauh mana pihak Katolik dalam perkawinan campur dapat setia terhadap imannya (tidak menutup risiko bahwa imannya pun akan “hilang” dengan mengikuti iman lain dari pasangannya)! Dalam kasus ini, dibutuhkan adanya pertimbangan moral dengan mencari nilai-nilai positif di baliknya dengan tujuan agar berkurangnya segi-segi negatif kawin campur (dengan aneka tindakan pengamanan) dan dengan makin bertambahnya nilai-nilai itu dapat mengimbangi segi-segi negatif yang ada. Gereja sendiri menyebut nilai yang perlu dipertimbangkan sebagai faktor yang dapat mengimbangi segi-segi negatif kawin campur dengan mengangkat adanya hak untuk menikah dan mempunyai anak (matrimonia mixta). Bahkan, sudah sebelum Konsili Vatikan II dengan perkembangan teologis yang menyangkut penafsirannya mengenai tanggung jawab atas iman Katolik dapat dipadukan dengan kawin campur, sehingga tidak harus ditafsirkan sebagai pelanggaran hukum Ilahi[8].
Dalam perspektif posisi teologis sesudah Konsili Vatikan II, dengan jalas dikatakan bahwa orang Katolik tidak dihadapkan dengan dilema antara keselamatan dalam Gereja Katolik (di satu pihak) dan tiadanya keselamatan di luar Gereja (di lain pihak). Dengan posisi itu, Gereja hanya dapat menafsirkan hukum Ilahi dan menentukan kebijakan untuk mengamankan pemenuhannya, tetapi tidak mengambil alih tanggung jawab pribadi yang bersangkutan (pihak Katolik dalam kawin campur). Dari posisi itu juga dapat dipahami bahwa tanggung jawab pihak Katolik atas imannya sendiri tidak berhenti dengan keputusan untuk kawin campur, melainkan berlangsung selama perkawinannya untuk mengembangkan hidup iman dan rahmatnya serta juga untuk melindunginya. Bahkan yang menjadi tanggung jawab besar adalah saat setelah pernikahan karena (sikap) imannya mulai diuji setiap hari dengan realita yang penuh tantangan dan risiko.
2.      Tanggung Jawab Orangtua atas Pendidikan Anak-anaknya
Dalam pembahasan ini, pertama-tama sangatlah perlu untuk disadari bahwa tanggung jawab orang tua atas pendidikan anak-anaknya melandasi dan mencakup tanggung jawab untuk mengusahakan pembaptisan Katolik bagi anak-anaknya. Oleh Karena itu, tanggung jawab atas pembaptisan anak merupakan implikasi dan konsekuensi tanggung jawab orang tua Katolik atas pendidikan anak-anaknya. Di lain pihak, pembaptisan anak yang adalah dasar tanggung jawab atas pendidikan Katolik juga harus dikembangkan dengan bantuan orang tua ; dan bagi anak, berdasarkan pembaptisan itu berhak atas pendidikan Katolik. Dari sudut pandang ini dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab atas pendidikan Katolik merupakan sebuah implikasi dan konsekuensi pembaptisan anak.
Hak anak atas pendidikan merupakan salah satu dari tanggung jawab orang tua terhadap anak-anaknya. Hal ini sangat ditekankan karena manusia dilahirkan dengan memiliki aneka potensi yang perlu dikembangkan dengan bantuan orang lain (orang tua) – di atas  keberadaannya sebagai bayi yang tak berdaya dan tergantung pada orang dewasa – untuk dapat menjadi manusia seutuhnya, artinya menurut semua aspeknya, termasuk aspek religius-moral atau iman Katolik. Hak atas pendidikan (Kristiani) ini dapat disimpulkan sebagai penjabaran dari hak pendidikan dalam konteks Katolik yang didasarkan atas rahmat pembaptisan: “Semua orang Kristiani telah menjadi ciptaan baru melalui kelahiran kembali dari air dan Roh Kudus, dan disebut serta benar-benar adalah putra-putri Allah. Karena itu mereka berhak atas pendidikan kristiani” (GE 2).
Bahkan tanggung jawab orang tua atas pendidikan anak-anaknya mendapat penekanan yang jelas karena keberadaan orang tua merupakan partisipasi dalam “karya penciptaan Ilahi” sebagai dasar tugas mendidik mereka. Hal ini sejalan dengan Anjuran Apostolik Sri Paus Yohanes Paulus II tentang Peranan Keluarga Kristen dalam Dunia Modern (Familia Consortio) yang menekankan pentingnya peranan orang tua bagi hak atas pendidikan anak-anak mereka. “Hak maupun kewajiban orang tua untuk mendidik bersifat hakiki, karena berkaitan dengan penyaluran hidup manusiawi. Selain itu bersifat asali dan utama terhadap peran serta orang-orang lain dalam pendidikan, karena keistimewaan hubungan cinta kasih antara orang tua dan anak-anak. Lagi pula tidak tergantikan dan tidak dapat diambil-alih, dan karena itu tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada orang-orang lain atau direbut oleh mereka (FC 36).
Dalam konteks kawin campur, penegasan hak dan kewajiban orang tua ini, di satu pihak meneguhkan sikap Gereja untuk mendesak pihak Katolik supaya mendidik anak-anak mereka secara Katolik. Di pihak lain, penegasan ini memiliki kesan “mempersulit” karena pihak non-Katolik mempunyai hak dan kewajiban untuk mendidik anak-anaknya menurut keyakinan imannya. Berhadapan dengan situasi konflik ini, Gereja dengan pemahamannya mengenai keselamatan menuntut pihak Katolik untuk mengusahakan dengan sekuat tenaga pembaptisan dan pendidikan Katolik semua anaknya. Sikap penegasan Gereja sepertinya memberi kesan “menang sendiri”. Meskipun demikian, Gereja tidak menonjolkan sikap kesombongannya, melainkan pemahaman Gereja Katolik tentang dirinya sendiri adalah dasarnya.
3.      Tanggung Jawab atas Pembaptisan Anaknya
Tanggung jawab ini dapat dipandang sebagai salah satu dari unsur utama tanggung jawab atas pendidikan anak, dan juga sebagai implikasi serta konsekuensi dari pembaptisan. Tanggung jawab atas pendidikan anak bagi orang tua Katolik diartikan sebagai pembekalan anak dengan sesuatu yang berharga, yakni iman dan pembaptisan Katolik. Oleh karena itu, ada kaitan erat antara tanggung jawab atas pembaptisan dan pendidikan anak.
Dalam ranah ini, pembaptisan menjadi unsur pendidikan yang dapat ditafsirkan sebagai pembentukan pribadi manusia dalam keterarahannya kepada tujuannya yang terakhir (bdk. GE 1). Pernyataan ini menyiratkan bahwa pentingnya tanggung jawab orang tua untuk mengusahakan pembaptisan bagi anaknya dalam Gereja Katolik yang merupakan representasi Gereja musafir dalam perjalanan menuju tujuan terakhir itu. Dalam hal ini, pendidikan dapat ditafsirkan sebagai pembentukan “manusia seutuhnya” (GS 3), maka pendidikan Katolik tanpa adanya pembaptisan tidak hanya tidak utuh/penuh, melainkan kekurangan sesuatu yang sangat mendasar; dan sesuatu yang mendasar itu seharusnya menjadi pangkal perkembangan selanjutnya. Namun, pembaptisan saja – tanpa pendidikan iman – belumlah cukup secara moral. Pembaptisan anak menuntut pendidikan iman pula. “Sakramen ini (baptis) baru mendapat arti sepenuhnya, kalau kanak-kanak yang dibaptis dalam iman Gereja, kemudian dididik pula dalam iman itu. Dasar pendidikan dalam iman itu ialah sakramen pembaptisan yang telah diterima. Maka kanak-kanak harus dibina agar semakin mengenal rencana Allah dalam Kristus. Dengan demikian mereka sendiri lama-kelamaan dapat menyetujui dan meneguhkan iman pembaptisan mereka” (Upacara Pembaptisan Kanak-kanak, Pedoman no. 38).
Pembaptisan bagi anak merupakan tanggung jawab orang tua karena hal itu adalah implikasi dan konsekuensi dari pembaptisan yang telah mereka terima. Pembatisan diartikan sebagai dasar partisipasi dalam tugas Kristus sebagai Nabi, Imam dan Raja, yang berarti tugas untuk mewartakan, menguduskan dan menggembalakan. Orang tua yang telah dibaptis dengan demikian dipanggil untuk memenuhi tritugas ini terhadap orang-orang yang dipercayakan secara khusus kepada mereka, yakni anak-anak mereka[9]. Hal ini menunjuk pada tanggung jawab untuk sekuat tenaga mengusahakan permandian anak-anaknya, termasuk dalam kasus kawin campur.
Berdasarkan tanggung jawab moral yang telah diuraikan, orang Katolik yang hidup dalam perkawinan campur mempunyai pelbagai tugas yang saling berkaitan dengan erat: atas penghayatan imannya sendiri, atas penerusan imannya (pembaptisan dan pendidikan Katolik bagi anak-anaknya), kesatuan dan kesejahteraan perkawinannya, dan juga atas pasangannya sendiri. Dari sudut pandang moral, Gereja pertama-tama tidak ingin menyulitkan umat, namun Gereja hanya membantu dalam proses pengambilan keputusan bagi umat yang akan memilih perkawinan campur. Harapannya, masalah kawin campur seharusnya sudah digumuli sebelum menjadi aktual bagi seseorang, agar bila menjadi aktual akan menghasilkan keputusan yang sudah dipersiapkan cukup lama dan matang.

       IV.      Kawin Campur Menurut Kitab Hukum Kanonik 1983
Setelah membahas kawin campur dari sudut pandang teologis – yang sudah menyinggung posisi dan sikap Gereja Katolik – maka pada kesempatan ini perlu pula untuk diungkapkan peraturan kawin campur menurut Kitab Hukum Kanonik (KHK) 1983 agar pembahasan juga mencakup posisi serta sikap Gereja yang resmi pada masa kini.
Dalam hal ini, istilah “kawin campur” (matrimonium mixta) perlu untuk dipertegas. Kalimat pertama Moto Proprio “Matrimonia mixta” Paus Paulus VI mengandung semacam definisi: “Kawin campur, yakni perkawinan antara pihak Katolik dan non-Katolik baik yang dibaptis maupun tidak dibaptis,… selalu diikuti Gereja sesuai dengan tugasnya dengan keprihatinan yang besar”[10]. Inti pokok dalam keprihatinan Gereja adalah “Katolik” dan “non-Katolik” yang kemudian dirinci dengan lebih lanjut menjadi: non-Katolik yang dibaptis dan non-Katolik yang tidak dibaptis atau dengan lebih jelas dapat disimpulkan bahwa umat Katolik memilih umat non-Katolik untuk menjadi pasangan hidupnya. Berdasarkan pada pemahaman ini, dalam tradisi kanonik dikenal dua macam perkawinan campur: perkawinan campur beda Gereja (mixta religio[11]), yaitu perkawinan antara seorang yang dibaptis Katolik atau diterima di dalamnya setelah dibaptis dengan seorang baptis non-Katolik; dan perkawinan campur beda agama (disparitas cultus[12]), yakni perkawinan antara seorang baptis Katolik dengan seorang non-baptis[13].
Suatu tanda perkembangan posisi dan sikap Gereja teradap kawin campur kiranya dapat dilihat pada penempatan peraturan kawin campur dalam sistematika penataannya. Secara eksplisit peraturan tentang kawin campur dalam KHK 1983 diberi bab tersendiri, yakni bab VI Kan. 1124-1129. Seluruh peraturan mengenai kawin campur ini mengatur kawin campur beda Gereja dan kawin campur beda agama (bdk. Kan. 1129 yang menyebutkan Kan. 1127-1128, dan Kan. 1086 §2 yang menyebutkan Kan. 1125-1126).
A.    Alasan Pemberian Izin dan Dispensasi
Pentinglah untuk mencermati rumusan: “Izin semacam itu dapat diberikan oleh Ordinaris wilayah, jika terdapat alasan yang wajar dan masuk akal; izin itu jangan diberikan jika belum terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut:…” (Kan. 1125).
Langkah pertama yang perlu untuk diperhatikan adalah dengan memahami perbedaan antara izin dan dispensasi. Izin (licentia) merupakan persetujuan otoritatif atau kondisi yang diberikan oleh pihak otoritas/berwenang agar seseorang berbuat secara halal, sesuai dengan hukum yang diberlakukan. Pelanggaran terhadap larangan yang membutuhkan izin tidak membuat perbuatan menjadi tidak sah, melainkan hanya tidak halal. Menutut hukum, sistem pemberian izin ini memungkinkan Ordinaris wilayah untuk ikut mempertimbangkan (pro dan kontra) kawin campur dalam situasi tertentu. Sedangkan untuk dispensasi dapat diartikan sebagai pelongaran hukum (gerejawi) dalam kasus khusus oleh otoritas yang berwenang (bdk. Kan. 85), antara lain oleh Uskup diosesan demi kesejahteraan rohani umat (Kan. 87 §1), tentunya dengan alasan yang wajar dan masuk akal menurut keadaan kasus dan bobot hukum (Kan. 90 §1).
Ungkapan “wajar dan masuk akal” secara teoritis dapat dimengerti dengan merujuk pada alasan yang seimbang dan tidak sembarangan: alasan yang dapat mengimbangi nilai-nilai seperti iman pihak Katolik, pendidikan iman anak-anaknya dan kesejahteraan perkawinan itu sendiri secara konkrit dengan memperhatikan situasinya. Dengan memperhatikan alasan yang wajar dan masuk akal itu, izin serta dispensasi dapat diberikan berdasarkan pertimbangan yang matang oleh pihak/otoritas berwenang, sekaligus tiadanya otomatisme yang menyertainya.
B.     Persyaratan Pemberian Izin Kawin Beda Gereja dan Dispensasi Kawin Beda Agama
Dengan adanya alasan yang wajar dan masuk akal saja belumlah cukup untuk pemberian izin dan dispensasi. Gereja menuntut adanya beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sebagai tindakan pengamanan[14], yakni janji-janji dari pihak Katolik. Dengan tindakan pengamanan ini, segi-segi negatif kawin campur dapat dibatasi sedemikian rupa sehingga berada dalam kewenangan Gereja untuk memberikan izin dan dispensasi.
Kan 1125 §1: “Pihak Katolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman serta memberikan janji yang jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga, agar semua anaknya dibaptis dan dididik dalam Gereja Katolik”. Janji mengenai penghayatan iman pihak Katolik mungkin tidaklah terlalu sulit (karena menyangkut pribadinya sendiri) dan pihak lain (pasangannya) tidak berhak untuk memaksanya, apalagi dalam hidup keagamaan. Akan tetapi tetap harus dipertimbangkan bahwa pelaksanaan janji itu – penghayatan iman Katolik – dalam kawin campur “tidak didukung” oleh teman hidup (pasangan yang beriman lain), bahkan kemungkinan akan dihambat. Berhadapan dengan situasi demikian, pihak Katolik harus menyadari betapa tingginya nilai iman, maka segala bahaya ke-murtad-an harus dijauhkan. Di lain pihak, janji mengenai usaha sekuat tenaga untuk membaptis dan mendidik semua anaknya dalam Gereja Katolik mendapat penekanan. Janji ini sepertinya lebih rumit karena menyangkut hak dan kewajiban pihak non-Katolik untuk mendidik anak-anaknya sesuai dengan keyakinannya juga; dan pihak Katolik pun menuntut demikian. Seringkali pada praksisnya, hambatan untuk menjawab janji itu berada di luar wewenang Gereja Katolik (terlebih dari pasangan/keluarga non-Katolik). Oleh karena itu, Gereja tidak menuntut pihak Katolik untuk melakukan sesuatu di luar kemampuannya, melainkan hanya kemauan untuk mengusahakannya dengan sekuat tenaga.
Mengenai janji-janji yang disyaratkan itu, Gereja menetapkan agar pihak non-Katolik diberitahu pada waktunya sehingga menyadari dengan sungguh terhadap janji dan kewajiban pihak Katolik (bdk. Kan. 1125 §2). Dari sikap ini, Gereja tidak bermaksud untuk memojokkan pihak non-Katolik ke dalam situasi yang tertekan, melainkan menghargai kebebasan agama dan hati nurani pihak non-Katolik; dan di lain pihak Gereja sendiri teguh pada keyakinannya mengenai nilai iman Katolik yang harus diamankan oleh pihak Katolik. Komunikasi yang jelas dan jujur antara pihak Katolik dan non-Katolik ini sungguh penting untuk diadakan sebelum perkawinan daripada keributan setelah menikah!
Adanya persyaratan pemberian izin kawin beda Gereja dan dispensasi kawin beda agama juga harus diikuti dengan penjelasan mengenai tujuan dan sifat-sifat hakiki perkawinan kepada kedua belah pihak (bdk. Kan. 1125 §3). Hal ini ditekankan oleh Gereja karena berpangkal dari keprihatinan kawin campur yang melahirkan pemahaman berbeda mengenai perkawinan dengan konsekuensi tentang penghayatannya. Oleh karena paham Katolik dipandang “lebih ketat”, seringkali justru pihak Katolik-lah yang menderita dan pihak lain yang “lebih bebas”; misalnya tentang moral perkawinan yang meliputi: kesetiaan dalam monogami seumur hidup dan praksis Keluarga Berencana (KB), perlu untuk dijelaskan.
C.    Penjabaran Lebih Lanjut oleh Konferensi Para Uskup
Kan. 1126: “Adalah tugas Konferensi Para Uskup untuk menentukan baik cara pernyataan dan janji yang selalu dituntut itu harus dibuat, maupun menetapkan cara hal-hal itu menjadi jelas, juga dalam tata lahir, dan cara pihak tidak Katolik diberitahu”. Maksud dari pernyataan ini ingin menekankan bahwa KHK 1983 berlaku di seluruh dunia yang sangat heterogen situasinya (sosiokultural-sosioreligius). Berhadapan dengan realita ini, maka sangat pentinglah Konferensi para Uskup bertugas untuk menjabarkan/menjelaskan lebih lanjut tentang cara dan bentuk pemberian pernyataan serta janji-janji dan pemberitahuan dari pihak non-Katolik[15]. Tentunya hal itu dipraktikkan sesuai dengan kondisi dan situasi yang ada.
D.    Tata Peneguhan Kanonik dan Perayaan Liturgis/Keagamaan
Tentang tata peneguhan kanonik dan perayaan liturgis/keagamaan diatur dalam Kan. 1127. Peraturan yang terdapat dalam kanon ini memberlakukan kewajiban pemakaian tata peneguhan kanonik Kan. 1108 untuk meneguhkan kawin campur.
Kan. 1127 §2 memungkinkan adanya permohonan dispensasi dari tata peneguhan kanonik jika timbul kesulitan-kesulitan serius untuk memenuhinya. Misalnya: pernikahan “terpaksa” diteguhkan di hadapan peneguh Kristen non-Katolik, sedangkan pelayan Katolik hanya diberi peran mendoakan dan berkhotbah? Dalam kasus ini, Ordinaris wilayah dari pihak Katolik berhak untuk memberikan dispensasi dalam masing-masing kasus (tidak secara umum), tetapi setelah minta pendapat Ordinaris wilayah di mana perkawinan dilangsungkan; dan demi sahnya harus ada suatu bentuk tata-peneguhan publik; Konferensi para Uskup berhak menetapkan norma-norma, agar dispensasi tersebut diberikan secara seragam[16]. Untuk peneguhan perkawinan campur, Gereja melarang adanya peneguhan ganda, yakni sebelum dan sesudah peneguhan secara Katolik diadakan lagi suatu upacara keagamaan lain dengan maksud untuk menanyakan lagi kesepakatan mempelai atau meneguhkan lagi perkawinan itu (Kan. 1128 §3).
E.     Pastoral Kawin Campur
Mengingat bahwa persoalan tentang kawin campur adalah realita yang khusus – dalam arti berbeda dengan perkawinan ideal – maka dibutuhkan pendampingan yang khusus pula, terlebih dari Gereja. Berhadapan dengan situasi itu, Kan. 1128 adalah himbauan bagi Ordinaris wilayah dan semua gembala umat untuk memberikan pendampingan itu. Hendaknya mereka mengusahakan agar jodoh/pasangan Katolik dan anak-anak dari kawin campur tidak kekurangan bantuan rohani untuk memenuhi kewajiban-kewajiban mereka; juga agar menolong para pasangan untuk memupuk kesatuan hidup perkawinan dan keluarga.
Di lain pihak, memang sudah ada banyak usaha yang telah dilakukan untuk pemberian pendampingan bagi pasangan kawin campur. Dapat disebutkan dengan adanya Anjuran Apostolik Sri Paus Yohanes Paulus II tentang Peranan Keluarga Kristen dalam Dunia Modern (Familia Consortio), Statuta (misalnya Keuskupan Regio Jawa Pasal 121, no. 6-7 yang bertujuan untuk meningkatkan pastoral perkawinan dan keluarga) dan Pedoman Pastoral Keluarga MAWI 1975. Bahkan juga sudah ada pihak-pihak yang ditugaskan untuk memperhatikan soal ini, misalnya Komisi Keluarga KWI dan Keuskupan, Seksi Keluarga Paroki dan pelbagai kelompok kategorial.
F.     Pemberlakuan Peraturan Kawin Campur Beda Gereja (Mixta Religio) Bagi Beda Agama (Disparitas Cultus)
Kan. 1129: “Ketentuan-ketentuan Kan. 1127 dan 1128 harus juga diterapkan pada perkawinan-perkawinan yang terkena halangan beda agama, yang disebut dalam Kan. 1086 §1”. Dari pernyataan ini dapat dipahami bahwa pemberlakuan peraturan kawin campur beda Gereja juga mencakup pemberlakuan peraturan bagi kawin campur beda agama yang merupakan halangan nikah, yang sifatnya menggagalkan perkawinan atau membuat perkawinan tidak sah. Oleh karena itu, untuk mendapatkan peneguhan perkawinan yang sah, pihak Katolik harus meminta dan mendapatkan dispensasi dari otoritas yang berwenang.
Mungkin berdasarkan sistematika penyusunan itu menimbulkan sebuah pertanyaan: mengapa dalam KHK 1983 persoalan tentang kawin campur beda agama tidak dibahas tersendiri, melainkan hanya diikutkan pada peraturan tentang kawin campur beda Gereja. Jawabannya tidak terlepas dari latar belakang kawasan Barat yang lebih mengenal beda Gereja dari pada beda agama; dan tradisi Barat inilah yang yang sangat dominan dalam penyusunan KHK 1983. Berdasarkan perhitungan latar belakang ini, maka dapat dipahami mengapa persoalan tentang kawin campur beda agama dalam KHK diikutkan pada peraturan tentang beda Gereja. Betapapun kawin campur beda Gereja yang hanya dilarang oleh Gereja Katolik dan beda agama yang merupakan halangan nikah itu berbeda, namun keduanya pada kenyataannya mempunyai faktor kesamaan bagi pihak/orang Katolik. Keduanya mempunyai risiko bagi iman dan rahmat baptis orang Katolik itu sendiri serta pendidikan (Kristiani) bagi anak-anaknya.  
Peraturan kawin campur menurut Kitab Hukum Kanonik (KHK) 1983 merupakan posisi dan sikap Gereja yang resmi pada masa kini. Dengan adanya penataan yang sistematik dan yang dilengkapi dengan aturan-aturan jelas, Gereja menunjukkan bahwa persoalan tentang kawin campur memiliki tempat untuk diberikan perhatian. Melalui pemberlakuannya peraturan yang resmi itu, Gereja bukan ingin menghalang-halangi umatnya untuk memilih kawin campur, melainkan Gereja ingin menunjukkan perannya yang konstitutif. Berdasarkan peran itu, Gereja memperlihatkan keikutsertaannya dalam melahirkan perkawinan yang sah melalui tata peneguhan kanonik bagi umatnya yang memilih untuk kawin campur.

          V.      Penutup
Kemajemukan masyarakat dewasa ini, terlebih dari sisi iman dan kepercayaan, menjadi salah satu persoalan bagi umat Katolik untuk mendapatkan pasangan hidup yang seiman. Hal itu menjadi persoalan eksistensial bagi dirinya sendiri dan juga pasangannya karena menyangkut penghayatan hidup perkawinan dan hidup iman yang saling mempengaruhi. Penghayatan hidup perkawinan yang tidak selalu mudah dapat didukung oleh penghayatan iman yang sama; begitu juga penghayatan iman yang penuh dengan tantangan dapat didukung oleh karena kesatuan dalam perkawinan. Berdasarkan pada situasi itu, Gereja sangat mendukung adanya perkawinan seiman.
Di lain pihak, Gereja realistis terhadap perkembangan dunia dewasa ini. Hal itu dapat diartikan bahwa Gereja menyadari bahwa tidaklah selalu mudah bagi umatnya untuk mendapatkan teman hidup/jodoh yang seiman, apalagi bila kuantitas umat masuk dalam daftar minoritas di suatu wilayah, seperti di Indonesia. Gereja tidak menutup mata terhadap realita bahwa umatnya berhadapan dengan pilihan hidup untuk kawin campur dengan jodoh yang ia cintai; dan kebetulan jodoh yang ia cintai itu berasal dari Gereja dan agama yang berbeda, sedangkan hak untuk menikah itu termasuk hak azasi manusia. Dalam persoalan ini, Gereja membuka pintu untuk perkawinan campur (beda Gereja dan beda agama). Keterbukaan Geraja diikuti dengan keikutsertaannya dalam memberikan petunjuk dalam pelbagai cara pandang (teologis, hukum, pastoral dan lainnnya) bagi calon pasangan kawin campur, terlebih bagi pihak yang Katolik. Dengan memberikan cara pandang secara jelas terhadap kawin campur, Gereja mengharapkan adanya pertimbangan yang cukup dan matang bagi umatnya (calon pasangan kawin campur) sebelum mengambil keputusan. Harapannya adalah agar keputusan terakhir yang diambil tidak berbuah pada penyesalan di kemudian hari!



*   *   *

Daftar Pustaka
Benyamin, Mgr. Dr. Yosef Bria, Pr.,
2010         Pastoral Perkawinan Gereja Katolik Menurut Kitab Hukum Kanonik 1983: Kajian dan Penerapannya, Pustaka Nusatama, Yogyakarta.           
Hadiwardoyo, Dr. Al. Purwa, MSF.,
         1988         Perkawinan dalam Tradisi Katolik, Kanisius, Yogyakarta.
Piet, Dr. Go, O. Carm – Suharto, S.H.,
         1987         Kawin Campur Beda Agama dan Beda Gereja: Tinjauan Historis, Teologis, Pastoral, Hukum Gereja, dan Hukum Sipil, Dioma, Malang.
Piet, Dr. Go, O. Carm.,
         1992         Pokok-Pokok Soal Kawin Campur: Bahan Informasi dan Orientasi bagi Kaum Muda Katolik, Dioma, Malang.
         2003         Hukum Perkawinan Gereja Katolik: Teks dan Komentar, Dioma, Malang.
Raharso, Alf. Catur, Pr.,
         2006         Paham Perkawinan dalam Hukum Gereja Katolik, Dioma, Malang.



[1] Dr. Piet Go, O. Carm – Suharto, S.H., Kawin Campur Beda Agama dan Beda Gereja: Tinjauan Historis, Teologis, Pastoral, Hukum Gereja, dan Hukum Sipil, Dioma, Malang 1987, 1.
[2] Dr. Piet Go, O. Carm – Suharto, S.H., Kawin Campur Beda Agama dan Beda Gereja: Tinjauan Historis, Teologis, Pastoral, Hukum Gereja, dan Hukum Sipil, 3.
[3] Dr. Piet Go, O. Carm., Pokok-Pokok Soal Kawin Campur: Bahan Informasi dan Orientasi bagi Kaum Muda Katolik, Dioma, Malang 1992, 8.
[4] Dr. Piet Go, O. Carm – Suharto, S.H., Kawin Campur Beda Agama dan Beda Gereja: Tinjauan Historis, Teologis, Pastoral, Hukum Gereja, dan Hukum Sipil, 35.
[5] Dalam no. 37: Sejak abad-abad pertama Gereja membaptis bukan hanya orang dewasa, melainkan juga kanak-kanak, berdasarkan tugasnya untuk mewartakan Injil dan membaptis.
[6] Dr. Piet Go, O. Carm – Suharto, S.H., Kawin Campur Beda Agama dan Beda Gereja: Tinjauan Historis, Teologis, Pastoral, Hukum Gereja, dan Hukum Sipil, 38.
[7] Dr. Piet Go, O. Carm – Suharto, S.H., Kawin Campur Beda Agama dan Beda Gereja: Tinjauan Historis, Teologis, Pastoral, Hukum Gereja, dan Hukum Sipil, 39.
[8] Dr. Piet Go, O. Carm – Suharto, S.H., Kawin Campur Beda Agama dan Beda Gereja: Tinjauan Historis, Teologis, Pastoral, Hukum Gereja, dan Hukum Sipil, 42.
[9] Dr. Piet Go, O. Carm – Suharto, S.H., Kawin Campur Beda Agama dan Beda Gereja: Tinjauan Historis, Teologis, Pastoral, Hukum Gereja, dan Hukum Sipil, 51.
[10] Dr. Piet Go, O. Carm – Suharto, S.H., Kawin Campur Beda Agama dan Beda Gereja: Tinjauan Historis, Teologis, Pastoral, Hukum Gereja, dan Hukum Sipil, 56.
[11] Perkawinan campur beda Gereja, menurut hukum Gereja sekarang, tidak lagi dilihat sebagai halangan yang menggagalkan perkawinan. Namun untuk memasuki perkawinan itu, pastor, atas nama calon pasangan kawin campur, harus meminta izin dari Ordinaris wilayah demi licit atau halalnya (liceity) perkawinan tersebut (Kan. 1125).
[12] Perkawinan campur beda agama adalah suatu halangan yang menggagalkan perkawinan (Kan. 1086 §1). Oleh karena itu, demi sah (validity) dan halalnya (liceity) perkawinan, Pastor paroki, atas nama calon pasangan perkawinan campur yang bersangkutan, harus menghubungi Ordinaris wilayah untuk meminta dispensasi dari halangan perkawinan disparitas cultus.
[13] Mgr. Dr. Benyamin Yosef Bria, Pr., Pastoral Perkawinan Gereja Katolik Menurut Kitab Hukum Kanonik 1983: Kajian dan Penerapannya, Pustaka Nusatama, Yogyakarta 2010, 88.
[14] Tindakan pengamanan ini bukanlah jaminan objektif keberhasilan untuk mengelak dari bahaya kawin campur, melainkan lebih menyangkut sikap pihak Katolik yang tidak dituntut berbuat melebihi kemampuannya, melainkan untuk menunjukkan kehendak yang baik.
[15] Untuk para Uskup Regio Jawa telah menjabarkannya dalam Statuta Perkawinan Regio Jawa 1983.
[16] Alf. Catur Raharso, Pr., Paham Perkawinan dalam Hukum Gereja Katolik, Dioma, Malang 2006, 179.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

La présence de Dieu qui accompagne toujours nos vies est un mystère. Sa présence réelle qu'Il soit là ou ici, nous ne pourrons peut-être...