Rabu, 01 Maret 2017

IMAN DALAM TINDAKAN:
Dialog Perjumpaan Untuk Menemukan Wajah Kristus
Dalam Diri Umat Beriman Lain

Dasar bersama dialog agama-agama adalah praksis pembebasan
orang-orang yang menderita dan tertindas
oleh kemiskinan dan ketidakadilan.
(Paul Knitter)

Sebuah Perjumpaan
Jumat siang itu, 14 November 2010, hujan abu vulkanik dari gunung Merapi sungguh menutupi sinar matahari yang seharusnya bersinar dengan cerah. Situasi demikianlah yang juga sangat terasa di komunitas saya – Skolastikat SCJ – yang pada saat itu pula didatangi oleh para pengungsi dari Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum (Yakkum - Jln. Kaliurang Km. 13,5). Seluruh pasien, karyawan dan keluarga (pasien-karyawan) Yakkum mencari tempat yang aman dari bahaya erupsi Merapi yang pada malam sebelumnya menunjukkan ‘keperkasaannya’. Bahkan, penduduk yang berasal dari daerah sekitar Merapi – selain dari Yakkum – juga mencari pengungsian di tempat kami.
Awalnya, dari pihak skolastikat (komunitas) hanya memprioritaskan tempat bagi pengungsi yang berasal dari keluarga konfrater SCJ. Namun karena situasi sangat mendesak di mana banyak pengungsi yang mencari tempat perlindungan, maka komunitas kami pun menampungnya dengan memperhitungkan tempat yang tersedia. Menghadapi situasi itu, Posko Skolastikat SCJ pun dibentuk. Saya yang adalah salah satu dari anggota komunitas ikut andil dalam karya pelayanan bagi pengungsi korban Merapi. Bersama dengan Romo Rektor dan diikuti oleh anggota komunitas lain, pembagian tugas untuk posko pun dilaksanakan; dan saya bersama dengan Br. Yuwono, SCJ diberi kepercayaan untuk mengkoordinir bagian ekonom: konsumsi. Tugas kami ini terasa terbantu karena dari pihak Yakkum mengatakan bahwa seluruh kebutuhan yayasan akan diurus oleh karyawannya sendiri dengan tetap menjalin kerja sama dengan pihak skolastikat. Untuk itu, sebagai pengkoordinir ekonom yang pertama, saya dapat semakin terbantu untuk memusatkan diri pada pelayanan bagi para pengungsi umum (yang jumlahnya sekitar 50-an pengungsi).
Mungkin jumlah pengungsi yang kami layani tidaklah sebanding dengan jumlah pengungsi yang berada di posko lain. Menurut saya, pertama-tama yang menjadi persoalan pokok bukanlah pada jumlah pengungsi yang dibantu, melainkan pada persoalan ‘mereka sangat membutuhkan pertolongan’ adalah jauh lebih penting! Sebagai manusia tentunya dari dalam diri, saya merasa repot karena harus memberikan pelayanan dengan menjadi seorang relawan – apalagi kamar saya (sebagai ekonom komunitas) berada satu kompleks dengan kamar para pengungsi. Namun, karena sebuah pertanyaan reflektif yang muncul dari batin: siapa lagi kalau bukan saya yang menolong mereka, menjadi sebuah pemicu semangat kerelawanan untuk melayani mereka yang menderita/membutuhkan pertolongan.
Sebagai tempat pengungsian yang swadaya – tanpa intervensi langsung dari pihak pemerintah – sempat saya bertanya-tanya mengenai biaya yang harus digunakan bagi pembiayaan hidup para pengungsi. Saya sempat berfikir tentang bagaimana komunitas harus mencari kebutuhan finansial atau logistik untuk menunjang kebutuhan posko pengungsian. Keraguan dan kecemasan itu serasa runtuh dengan begitu saja tatkala Rm. Markus Tukiman, SCJ (salah satu staf) mengatakan: “Tenang Jen…, biaya yang dibutuhkan akan ada”. Perkataan Rm. Tukiman itu serentak kembali membangun jiwa pelayanan saya untuk melayani pengungsi. Sikap optimis dari Rm. Tukiman sungguh menjadi nyata dengan datangnya bantuan (finansial dan logistik) yang berasal dari kenalan dan konfrater SCJ yang memberi perhatian besar bagi pengungsi  korban Merapi. Saya pribadi sungguh terkesan akan sikap kemanusiaan yang diberikan oleh para donator atas karya pelayanan yang dilakukan komunitas. Bahkan, karena terlalu banyaknya bantuan yang diperoleh, menjadikan posko berkelimpahan logistik. Situasi demikian memang membuat kebutuhan para pengungsi sangat terjamin (bahkan seperti kelas VIP) yang – menurut pengamatan kami – ‘memanjakan’ mereka. Menghadapi situasi demikian maka kami pun meyalurkan logistik yang menumpuk itu ke posko-posko lain (Muntilan, Magelang, Srumbung) yang lebih membutuhkan.
Dua minggu lebih telah berlalu dan seluruh pengungsi (pengungsi dari Yakkum dan umum) telah kembali ke rumah mereka. Saya melihat bahwa pengalaman menjadi relawan untuk korban Merapi adalah sebuah pengalaman perdana. Menjadi relawan tidak hanya RE-Lo rA turu a-WAN (rela untuk tidak istirahat siang) tapi menggugah jiwa kemanusiaan saya untuk membantu mereka yang menderita dan membutuhkan pertolongan. Saya tahu bahwa sebagian dari pengungsi beragama Islam, namun berhadapan dengan situasi kemanusiaan, persoalan tentang agama bukanlah hal krusial yang perlu untuk diperdebatkan. Tidaklah etis bila menerima pengungsi dengan bertanya kepada mereka: Anda beragama apa; karena masalah kemanusiaan lebih berhubungan dengan rasa hati yang berusaha untuk dapat memberikan kasih kepada sesama yang membutuhkan.
Bagi saya, iman kepada Kristus adalah sebuah undangan untuk mewujudkannya dalam praksis hidup ketika berhadapan dengan para pengungsi erupsi Merapi. Melayani mereka dengan karya kasih sungguh menjadikan saya untuk tidak hanya menjadi pekerja sosial biasa melainkan menjadi seorang relawan yang berlandaskan akan semangat Kristiani: Kasih!

Status Questionis
Perjumpaan dengan pengungsi korban letusan Merapi menjadi sebuah pengalaman yang memiliki warna kerohanian. Dengan mengaitkan iman akan Kristus dan mewujudkannya pada praksis hidup menjadikan pelayanan yang saya dan anggota komunitas lakukan memiliki arti kemanusiaan.
Mungkin ada pertanyaan yang muncul bila praksis kemanusiaan itu direnungkan: Apakah tindakan kasih yang berlandaskan pada iman untuk membantu sesama yang membutuhkan berlaku dalam lingkup perjumpaan antar umat beriman; dan mungkinkah menyadari kehadiran Allam dalam Kristus melalui perjumpaan dengan umat beriman lain?
Berkaitan dengan hal ini, akan menjadi lebih baik bila merefleksikannya dengan bertolak pada ilmu sosial dan merenungkan apa yang dihidupi oleh Fransiskus Asisi dalam perjumpaan dengan Sultan Malik al-Kamil serta Ibu Teresa dari Kalkuta dalam pelayanannya kepada sesama.

No Man Is An Island
Tindakan atau karya kasih yang diberikan bagi korban bencana letusan Gunung Merapi – seperti pengalaman saya pada bagian awal – merupakan sebuah pelayanan kasih yang diberikan bagi mereka yang menderita/membutuhkan pertolongan. Keyakinan untuk memberikan diri bagi karya pelayanan adalah sebuah panggilan kemanusiaan. Panggilan kemanusiaan ini berdasar pada sosialitas manusia atau hubungan antar manusia yang memiliki dimensi sangat luas. Memang dapat dikatakan bahwa dalam pengalaman hidupnya, manusia menjadi manusia hanya kalau ia bergaul dan bersekutu dengan manusia lain[1].
No man is an island, manusia tidak dapat hidup sendirian, adalah sebuah pepatah yang ingin mengatakan bahwa keberadaannya untuk ber-eksistensi sungguh membutuhkan yang lain. Inilah dasar sosialitas kodrat manusia yang dalam kehidupnnya memiliki potensi untuk bersehati dengan sesamanya yang membutuhkan pertolongan. Kemampuan ini pula yang menyadarkan manusia berdasarkan dengan kesadarannya memiliki tanggung jawab untuk ‘memberi’ bagi sesama yang membutuhkan. Hal senada dapat ditemukan dengan membandingkannya pada situasi korban Merapi yang membutuhkan pertolongan.
Melihat sesamanya yang tengah menderita dan mencari tempat perlindungan dari bahaya Merapi, sudah sepatutnyalah bila manusia memberikan pertolongan. Secara moral memang demikianlah tugas yang seharusnya dilakukan tanpa dimotivasi dengan keingingan negatif.
Demikianlah sosialitas manusia. Selanjutnya sosialitas yang terkait pada kodrat manusia itu sendiri mengarah pada kemanusiaan yang lebih luas dan lebih penuh, lebih sempurna[2]. Arah menuju lebih baik-sempurna dari sosialitas yang dimiliki oleh manusia merupakan sebuah modal dasar untuk memiliki kepekaan akan penderitaan sesamanya; kepekaan untuk lebih sempurna dalam mewujudkannya. Berbicara tentang hal ini, menjadi tepatlah bila bercermin dari dua tokoh Kristiani dalam menghidupi semangat kemanusiaan yang berusaha menyempurnakannya dengan mendasarkan pada kekuatan rohani. Mereka itu adalah Fransiskus Asisi dan Ibu Teresa dari Kalkuta.

Fransiskus Asisi dan Sultan Malik al-Kamil
Berbicara tentang perjumpaan dialogis antar umat beragama tentu relevan bila menghadirkan Fransiskus Asisi (dari kalangan Kristiani) dan Sultan Malik al-Kamil (dari kalangan Muslim). Perjumpaan antara dua tokoh itu telah terjadi beberapa waktu yang silam, tepatnya pada bulan Septermber 1219, namun makna yang terkandung di dalamnya tentu tidaklah luntur mengikuti arus waktu. Perjumpaan antara dua tokoh itu melahirkan refleksi perdamaian antar umat beragama hingga sampai saat ini.
Fransiskus telah meninggalkan kenangan yang tak terlupakan akan Damietta (Arab: Domyat). Kota ini adalah kota yang diperebutkan oleh banyak pihak karena letaknya sangat strategis, berada di persimpangan laut Mediterania dan Sungai Nil. Karena merupakan kota yang diperebutkan menjadikan Damietta sebagai kota yang bernuansakan peperangan. Di jaman dan tempat itu pula sering terjadi konflik yang memicu lahirnya peperangan yang tidak jarang membawa nama agama.
Kehadiran Fransiskus Asisi sungguh membawa tiupan kesegaran di dalam kota Damietta yang penuh hawa panas peperangan/konflik. Lewat perjumpaannya yang penuh keberanian dengan Sultan Malik al-Kamil serta misinya untuk menjadi saksi Kristus yang berjuang dengan senjata kasih-perdamaian, membawa cara pandang baru bagi Sultan tentang bagaimana menyelesaikan permasalahan di Damietta. Keberaniannya dalam membawa pesan damai inilah yang menjadikannya sebagai tokoh badaliya[3] karena ia berjuang untuk mengkonkritkan cintanya kepada Yesus Kristus dengan mempertaruhkan diri dalam ‘proses pertukaran’ untuk menjadi ‘korban’. Fransiskus meneladani sang Tokoh Utama imannya (Yesus Kristus) – yang juga telah menjadi korban bagi tebusan manusia atas dosa – demi terciptanya perdamian bagi manusia.
Iman Fransiskus Asisi kepada Kristus yang berjuang demi perdamaian antar manusia (juga antar umat beragama) merupakan cara pendekatan kepada dunia Muslim yang diilhami oleh semangat Injili yang terumus dengan jelas. Perjuangannya untuk berani bertemu dengan Sultan Malik al-Kamil adalah sebuah tindakan kasih bagi perdamaian yang lahir dari imannya.

Ibu Teresa dari Kalkuta
Ibu Teresa dari Kalkuta-India terlahir dengan nama Agnes Bojaxhiu pada tanggal 26 Agustus 1910 di Skopje (sebuah kota kecil di Kosova-wilayah utara Makedonia yang kemudian menjadi bagian dari Albaina).
Perjalanan Agnes untuk mengikuti Kristus dengan lebih radikal mulai dialami ketika ia terpanggil untuk menjadi seorang biarawati. Ia memutuskan untuk menjadi seorang Suster Loreto – yang memiliki biara induk di Irlandia – karena Indialah yang ingin ditujunya. India sungguh memikat baginya karena ia merasa terpanggil untuk melayani orang-orang di daerah miskin, umat Katolik yang minoritas, lingkungan yang tidak mudah serta penderitaan yang tidak ringan. Wujud konkrit dari pelayanan kasih inilah yang telah ia pupuk sejak awal masa panggilannya dengan merenungkan: “Apakah yang telah aku lakukan untuk Kristus, apakah yang sedang aku lakukan untuk Kristus, dan apakah yang akan aku lakukan untuk Kristus?”[4].
Tanggal 10 September 1946 merupakan hari bersejarah bagi Ibu Teresa dan para pengikutnya (kelak). Saat itu menunjuk pada perjalanan Ibu Teresa dengan keret api ke Darjeeling untuk menjalani retret. Dalam kereta api itu, ia mendengar sapaan Tuhan yang menyerukan kepadanya untuk meninggalkan biara (Loreto) dan membantu orang-orang miskin, serta pergi ke kampung-kampung kumuh serta melayani-Nya di sana. Sapaan Tuhan itulah yang kemudian menjadikan panggilannya untuk tidak hanya menjadi seorang misionaris di India, melainkan: mengabdi Allah di India dalam diri mereka yang miskin, terlantar, sakit dan tersingkir. Itulah peristiwa ‘a call within a call’, panggilan yang memperdalam panggilan religiusnya yang kemudian pada 12 April 1948, Paus Pius XII memberinya izin untuk mencapai tujuan panggilannya itu.
“Aku melakukannya karena Yesus, bersama Yesus, dalam Yesus dan untuk Yesus. Itu berarti mencintai sesama, sebagaimana Yesus sendiri mencintai kita semua, sampai mengorbankan diri-Nya sendiri demi cinta-Nya kepada kita”, demikianlah kata-kata Ibu Teresa yang menekankan bahwa Yesus adalah segala-galanya baginya, termasuk dalam melakukan karyanya. Ibu Teresa mewujudkan imannya kepada Kristus dengan pelayanan kepada mereka yang menderita; semangat karya kasih inilah yang nantinya juga akan diikuti oleh para pengikutnya (Misionaris Cinta Kasih/CM). Beberapa rumah pelayanan telah didirikan untuk mendukung panggilannya itu, di antaranya adalah rumah derita, rumah kematian dan rumah kasih[5].
‘Tuhan yang menyamar’ adalah sebuah spiritualitas yang dihayati oleh Ibu Teresa. “Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia” (Fil 2:6-7). Peristiwa inkarnasi Yesus yang menjelma menjadi manusia dan berkorban untuk menebus manusia dari kuasa dosa, bagi Ibu Teresa peristiwa itu merupakan misteri penyamaran: Allah yang menyamar. Ibu Teresa ingin mempertajam lagi misteri penjelmaan itu. Yesus hadir secara tersamar dalam penderitaan, kemiskinan dan kerinduan hati banyak orang. Ia merefleksikan bahwa Tuhan Yesus dapat ditemukan dalam diri mereka yang lapar, telanjang, tidak mempunyai rumah, sakit, kesepian dan ditolak oleh orang lain. Semangat spiritual inilah yang mampu mendorong Ibu Teresa untuk dapat menemukan wajah Yesus – India terkenal sebagai agama yang mayoritas penduduknya beragama Hindu – dalam diri umat beragama lain. Baginya, mereka yang dilayani dan yang membutuhkan pertolongan adalah kehadiran Allah sendiri yang memanggil. “Setiap perbuatan kasih menghadirkan Allah sehingga kita berhadapan muka dengan Allah. Maka, buatlah agar setiap orang datang dan dijumpai menjadi lebih baik dan bahagia”, itulah kata-kata Ibu Teresa yang sungguh menunjukkan setiap pelayanan/tindakan kasih sebagai buah dari imannya kepada Yesus Tuhan.

Iman dalam Tindakan
Iman dalam tindakan yang terwujud pada karya kasih merupakan pokok utama yang dihadirkan dari Fransiskus Asisi dan Ibu Teresa. Kedua tokoh itu mampu menunjukkan iman mereka dalam dialog kehidupan bersama dengan umat beragama lain. Fransiskus (mewakili perjumpaan dengan umat Muslim) dan Ibu Teresa (mewakili perjumpaan dengan umat Hindu) memiliki caranya masing-masing dalam mengkonkritkan iman mereka kepada Yesus. Iman itulah yang menjadi semangat intern untuk bergerak dan melangkah dalam praksis hidup kemanusiaan; yang memampukan mereka untuk melihat wajah Allah dalam diri umat beragama lain.
Pengalaman berbagi kasih atas dasar iman konkrit itulah yang memiliki kesamaan dengan pengalaman saya dalam memberikan pelayanan kepada para pengungsi. Saya sungguh menyadari bahwa kesadaran untuk membantu mereka yang menderita dan memerlukan pertolongan adalah sebuah keharusan bagi murid Kristus. Berhadapan dengan pengungsi yang memiliki keyakinan berbeda bukanlah halangan utama ketika keharusan untuk berbagi kasih Kristus mendorong dengan kuatnya.
Dengan membandingkan kedua tokoh utama dalam perjumpaan mereka terhadap umat beragama lain, membantu saya untuk juga menyadari bahwa perjumpaan dengan umat lain yang didasarkan pada iman dalam tindakan kasih sangatlah dimungkinkan. Di satu sisi, perjumpaan ini menuntut sebuah keharusan untuk berani terbuka terhadap kehadiran yang lain. Namun di sisi lain, perjumpaan dengan umat beragama lain (dalam tindakan) sebagai buah dari iman tidak harus selalu diartikan memiliki ‘pengakuan radikal’ atas iman mereka. Seluruh tindakan kasih sebagai buah iman dalam perjumpaan dengan umat beragama lain menuntut iman yang dewasa dengan tetap memiliki mentalitas terbuka – menghargai yang lain – di atas ke-tidaksetuju-an pada ajaran iman mereka.

Refleksi Teologis dan Menemukan Wajah Yesus Dalam Diri Umat Beriman Lain
Mas…, kami ngrepoti njenengan ya…(Mas…, kami merepotkan Anda ya....)”, kata-kata itu sungguh teringat di benak saya ketika seorang ibu, salah satu pengungsi, mengatakan kepada saya bahwa kehadirannya dianggap merepotkan saya (dan yang lain). Bagi saya, sapaan itu mengingatkan pada pelayanan yang tengah kami (komunitas) berikan bagi para pengungsi. Saya sungguh menyadari bahwa karya pelayanan kasih yang kami berikan dipandang oleh si ibu sebagai pekerjaan yang merepotkan, padahal saya sungguh yakin bahwa kami memberikan pelayanan itu dengan rela. Maka saya kembali menjawabnya, “Bu…, kalau Ibu merasa merepotkan kami, malah kami sungguh repot; tapi kalau Ibu biasa dan krasan di sini, membuat kami tidak repot dan malah merasa  senang”.
Iman Kristus telah mendorong saya (dan komunitas) untuk membantu mereka –para pengungsi – yang membutuhkan pertolongan adalah kunci utama didirikannya Posko Skolastikat SCJ. Secara pribadi, saya merefleksikan secara spontan karya kasih Allah yang telah mendahului dalam Diri Kristus “yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia” (Fil 2:6-7). Allah yang dalam segala ke-Maha Esa-an-Nya rela untuk mengosongkan Diri untuk datang ke dunia dalam Yesus yang manusiawi demi pembebasan manusia atas dosa. Sebagai pengikut-Nya (apalagi sebagai seorang biarawan), iman kepada Kristus inilah yang mengundang untuk mewujudkan semangat kristiani itu dalam bentuk tindakan nyata. Tindakan kasih Allah yang ‘melayani’ manusia inilah yang mengajak saya untuk melayani mereka yang menderita tanpa memandang agamanya.
“Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku. Maka Ia akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku (Mat 25:40.45)”. Allah hadir dalam diri mereka yang menderita, demikian pula saya dapat menemukan Dia yang tengah mencari tempat perlindungan dari bahaya letusan Gunung Merapi. Tuhan hadir dalam diri mereka yang lemah (pasien Yakkum), mereka yang membutuhkan tempat berlindung, mereka yang membutuhkan pakaian dan mereka yang membutuhkan kasih. Allah dalam Kristus itu sungguh hadir dalam diri pengungsi yang datang dan mengetuk pintu biara/komunitas kami.
Pengalaman menjadi seorang relawan dalam melayani para pengungsi ini sungguh menjadi tempat saya untuk belajar. Saya belajar untuk mengerti bahwa dialog kehidupan dalam ranah perjumpaan dengan umat beragama lain – yang terorinya digembar-gemborkan dalam bangku perkuliahan – kini dapat terjadi dengan tetap setia pada iman dan mewujudkannya melalui tindakan kasih.

Langkah Pastoral dan Sebuah Harapan
Berhadapan dengan umat beragama lain merupakan sebuah perjumpaan yang setidaknya menyadarkan diri bahwa ada realitas lain dalam kehidupan. Kesadaran ini perlu untuk menumbuhkan sikap terbuka bagi yang lain dengan tetap memperhitungkan eksistensi iman sendiri. Keterbukaan bagi yang lain itu mendapatkan muatan yang lebih dengan menjadikan perjumpaan tadi sebagai media untuk mewujudkonkritkan iman. Iman menjadi pendorong utama untuk bergerak dalam memberikan pelayanan kepada yang membutuhkan. Tepat seperti itulah pengalaman kebersamaan saya dengan para pengungsi selama kurang lebih dua minggu yang lalu. Sebagai pengikut Kristus dan sekaligus putera Gereja, panggilan untuk menjawab panggilan Allah yang hadir dalam diri para pengungsi merupakan sebuah keharusan dan cita-cita hidup kristiani.
Gereja pun telah lama mencita-citakan kerinduannya untuk membangun kehidupan yang manusiawi dengan umat beragama lain (melalui dialog kehidupan) sebagai buah dari panggilannya dalam mengikuti Kristus. Mulai dari Konsili Vatikan II (1962-1965) dengan semangat aggiornamento (pembaharuan), Gereja sebagai Tubuh Mistik Kristus mengarahkan diri pada keterbukan yang secara nyata diwujudkan dalam perjumpaan antar manusia (dengan masing-masing ajaran iman mereka). Gereja memandang positif mereka yang memiliki ajaran iman lain sebagai sesama yang dengan kebaikannya dapat mengarah kepada keselamatan (Lumen Gentium, Ad Gentes). Bahkan dengan beberapa ensikliknya, Gereja semakin memperbaharui diri agar semakin dapat menjalankan tugasnya di dunia ini dalam hubungan dengan realita yang lain (Ecclesiam Suam, Evangelii Nuntiandi, Redemptor Hominis, Redemptoris Missio).
Langkah Gereja dalam membangun perjumpaan dialogis dengan umat beragama lain semakin konkrit dalam semangat yang tertuang dalam Nostra Aetate: “Gereja Katolik tidak menolak apa pun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci” (NA 2). Dalam dokumen ini, Gereja memandang dengan penuh penghargaan yang tulus dalam cara bertindak dan cara hidup, peraturan dan ajaran mereka yang memiliki ajaran iman lain – kendati dalam banyak hal berbeda dengan apa yang dipahami dan dianjurkan oleh Gereja – tak jarang memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua manusia. Penghargaan bagi yang lain ini menggerakkan Gereja untuk mendorong para puteranya, supaya dengan bijaksana dan penuh kasih, melalui dialog kehidupan dan kerja sama dengan para penganut agama-agama lain, sambil memberi kesaksian tentang iman serta perihidup kristiani, mengakui, memelihara dan mengembangkan harta kekayaan rohani dan moral serta nilai-nilai sosio-budaya, yang terdapat pada mereka (NA 2). Kiranya semangat inilah yang mendorong Tubuh Gereja untuk memberi kesaksiannya dalam tindakan/praksis hidup yang bernuansakan kasih demi pencapaian kebahagiaan hidup yang lebih manusiawi, terlebih bagi mereka yang menderita sebab dalam diri merekalah (sekalipun beragama lain) wajah Allah dapat ditemukan: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat 25:40.45).
Berhadapan dengan realita pluralitas iman, Gereja semestinya mampu untuk terus memperbaharui semangatnya dalam peziarahan hidup di dunia dengan semakin berani memupuk keterbukaan bagi yang lain. Menjadikan iman sebagai pendorong bagi tindakan kasih – melayani para pengungsi erupsi Merapi – rasanya menjadi salah satu langkah pastoral konkrit dari ‘keterbukan’ Gereja. Dari peristiwa itulah saya (sebagai anggota Tubuh Gereja) semakin dapat bersatu dengan memberikan penghargaan bagi mereka yang beragama lain dengan tetap memberikan pengakuan bahwa ajaran iman mereka sungguh berbeda.
Sebagai catatan akhir, kiranya sangat baik untuk mengambil pernyataan Paul Knitter: “Dasar bersama dialog agama-agama adalah praksis pembebasan orang-orang yang menderita dan tertindas oleh kemiskinan dan ketidakadilan”. Dasar dari perjumpaan dialog dengan umat beragama lain kiranya dapat terjadi dalam dan melalui praksis pembebasan bagi mereka yang menderita sebagai buah dari iman konstruktif yang dewasa. Hal itu penting karena dalam ranah dialog kehidupan dengan umat beragama lain “iman dalam tindakan kasih (praksis) adalah langkah dalam membangun dialog perjumpaan untuk menemukan wajah Allah (Kristus) dalam diri umat beriman lain’. Andaikan semua pemeluk agama menghidupi semangat ini, saya optimis bahwa akan tercipta suasana perdamaian antar pemeluk agama secara universal. Semoga!


*   *   *

Daftar Pustaka

Cahyadi, T. Krispurwana SJ,
         2003       Jalan Pelayanan Ibu Teresa, Obor, Jakarta
Prakosa, Heru J.B. SJ,
                       Antara Badaliyya dan Midhyaf: Pergumulan Gereja yang Berdialog untuk Menemukan Wajah Allah dalam Diri Umat Beragama Lain.
Prasetyantha, Y.B. MSF,
         2009       Menuju Suatu Teologi (Kristiani) Pluralitas Agama-Agama: Handout Teologi Agama-Agama, Fakultas Teologi-Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Riyanto, F.X. E. Armada CM,
         1995       Dialog Agama: Dalam Pandangan Gereja Katolik, Kanisius, Yogyakarta.
Sudiarja, A. SJ,
         2010       Beberapa Topik Pelengkap Filsafat Sosial, Fakultas Teologi-Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.




[1] A. Sudiarja, SJ, Beberapa Topik Pelengkap Filsafat Sosial, Fakultas Teologi-Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta 2010, 4.
[2] A. Sudiarja, SJ, Beberapa Topik Pelengkap Filsafat Sosial, 4.
[3] Secara etimologis, badaliyya (Arab) berarti ‘pertukaran’. Istilah ini dimaklumkan pertama kali di sebuah gereja di Damietta oleh Louis Massignon (1883-1962) yang membaktikan hidupnya sebagai pengikut sebuah kelompok Fransiskan. Dalam perkembangan selanjutnya, badaliyya lalu menunjuk pada sebuah ‘gerakan belarasa’ yang di satu sisi memihak dengan Kristus serta Gereja-Nya dan di lain sisi memihak Islam serta dunia Arab. Bagi Massignon, Fransiskus Asisi adalah seorang badaliyya.
[4] T. Krispurwana Cahyadi, SJ, Jalan Pelayanan Ibu Teresa, Obor, Jakarta 2003, 39.
[5] Rumah derita didirikan untuk menolong mereka yang mengalami penderitaan karena sakit yang menimpa dan juga karena penolakan banyak orang untuk bergaul dengannya; rumah kematian didirikan atas dasar pengalaman Ibu Teresa yang sungguh memberikan perhatian besar akan banyaknyua orang yang mati di jalanan Kalkuta; dan rumah kasih merupakan rumah pelayanan sebagai tempat orang dapat menjumpai pengalaman kasih, yakni dengan memberikan pelayanan kepada anak-anak,  bahkan bayi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

La présence de Dieu qui accompagne toujours nos vies est un mystère. Sa présence réelle qu'Il soit là ou ici, nous ne pourrons peut-être...