IMAN DALAM TINDAKAN:
Dialog Perjumpaan Untuk
Menemukan Wajah Kristus
Dalam Diri Umat Beriman
Lain
Dasar bersama dialog
agama-agama adalah praksis pembebasan
orang-orang yang menderita
dan tertindas
oleh kemiskinan dan
ketidakadilan.
(Paul Knitter)
Sebuah Perjumpaan
Jumat siang itu, 14 November 2010, hujan abu vulkanik
dari gunung Merapi sungguh menutupi sinar matahari yang seharusnya bersinar
dengan cerah. Situasi demikianlah yang juga sangat terasa di komunitas saya –
Skolastikat SCJ – yang pada saat itu pula didatangi oleh para pengungsi dari
Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum (Yakkum - Jln. Kaliurang Km. 13,5). Seluruh
pasien, karyawan dan keluarga (pasien-karyawan) Yakkum mencari tempat yang aman
dari bahaya erupsi Merapi yang pada malam sebelumnya menunjukkan
‘keperkasaannya’. Bahkan, penduduk yang berasal dari daerah sekitar Merapi –
selain dari Yakkum – juga mencari pengungsian di tempat kami.
Awalnya, dari pihak skolastikat (komunitas) hanya
memprioritaskan tempat bagi pengungsi yang berasal dari keluarga konfrater SCJ.
Namun karena situasi sangat mendesak di mana banyak pengungsi yang mencari
tempat perlindungan, maka komunitas kami pun menampungnya dengan memperhitungkan
tempat yang tersedia. Menghadapi situasi itu, Posko Skolastikat SCJ pun
dibentuk. Saya yang adalah salah satu dari anggota komunitas ikut andil dalam
karya pelayanan bagi pengungsi korban Merapi. Bersama dengan Romo Rektor dan
diikuti oleh anggota komunitas lain, pembagian tugas untuk posko pun dilaksanakan;
dan saya bersama dengan Br. Yuwono, SCJ diberi kepercayaan untuk mengkoordinir
bagian ekonom: konsumsi. Tugas kami ini terasa terbantu karena dari pihak
Yakkum mengatakan bahwa seluruh kebutuhan yayasan akan diurus oleh karyawannya
sendiri dengan tetap menjalin kerja sama dengan pihak skolastikat. Untuk itu,
sebagai pengkoordinir ekonom yang pertama, saya dapat semakin terbantu untuk
memusatkan diri pada pelayanan bagi para pengungsi umum (yang jumlahnya sekitar
50-an pengungsi).
Mungkin jumlah pengungsi yang kami layani tidaklah
sebanding dengan jumlah pengungsi yang berada di posko lain. Menurut saya,
pertama-tama yang menjadi persoalan pokok bukanlah pada jumlah pengungsi yang
dibantu, melainkan pada persoalan ‘mereka sangat membutuhkan pertolongan’
adalah jauh lebih penting! Sebagai manusia tentunya dari dalam diri, saya
merasa repot karena harus memberikan pelayanan dengan menjadi seorang relawan –
apalagi kamar saya (sebagai ekonom komunitas) berada satu kompleks dengan kamar
para pengungsi. Namun, karena sebuah pertanyaan reflektif yang muncul dari
batin: siapa lagi kalau bukan saya yang menolong mereka, menjadi sebuah pemicu
semangat kerelawanan untuk melayani mereka yang menderita/membutuhkan
pertolongan.
Sebagai tempat pengungsian yang swadaya – tanpa
intervensi langsung dari pihak pemerintah – sempat saya bertanya-tanya mengenai
biaya yang harus digunakan bagi pembiayaan hidup para pengungsi. Saya sempat
berfikir tentang bagaimana komunitas harus mencari kebutuhan finansial atau
logistik untuk menunjang kebutuhan posko pengungsian. Keraguan dan kecemasan
itu serasa runtuh dengan begitu saja tatkala Rm. Markus Tukiman, SCJ (salah
satu staf) mengatakan: “Tenang Jen…,
biaya yang dibutuhkan akan ada”. Perkataan Rm. Tukiman itu serentak kembali
membangun jiwa pelayanan saya untuk melayani pengungsi. Sikap optimis dari Rm.
Tukiman sungguh menjadi nyata dengan datangnya bantuan (finansial dan logistik)
yang berasal dari kenalan dan konfrater SCJ yang memberi perhatian besar bagi
pengungsi korban Merapi. Saya pribadi
sungguh terkesan akan sikap kemanusiaan yang diberikan oleh para donator atas
karya pelayanan yang dilakukan komunitas. Bahkan, karena terlalu banyaknya
bantuan yang diperoleh, menjadikan posko berkelimpahan logistik. Situasi
demikian memang membuat kebutuhan para pengungsi sangat terjamin (bahkan
seperti kelas VIP) yang – menurut
pengamatan kami – ‘memanjakan’ mereka. Menghadapi situasi demikian maka kami
pun meyalurkan logistik yang menumpuk itu ke posko-posko lain (Muntilan,
Magelang, Srumbung) yang lebih membutuhkan.
Dua minggu lebih telah berlalu dan seluruh pengungsi
(pengungsi dari Yakkum dan umum) telah kembali ke rumah mereka. Saya melihat
bahwa pengalaman menjadi relawan untuk korban Merapi adalah sebuah pengalaman
perdana. Menjadi relawan tidak hanya RE-Lo
rA turu a-WAN (rela untuk tidak istirahat siang) tapi menggugah jiwa
kemanusiaan saya untuk membantu mereka yang menderita dan membutuhkan
pertolongan. Saya tahu bahwa sebagian dari pengungsi beragama Islam, namun
berhadapan dengan situasi kemanusiaan, persoalan tentang agama bukanlah hal
krusial yang perlu untuk diperdebatkan. Tidaklah etis bila menerima pengungsi
dengan bertanya kepada mereka: Anda beragama apa; karena masalah kemanusiaan
lebih berhubungan dengan rasa hati yang berusaha untuk dapat memberikan kasih
kepada sesama yang membutuhkan.
Bagi saya, iman kepada Kristus adalah sebuah undangan
untuk mewujudkannya dalam praksis hidup ketika berhadapan dengan para pengungsi
erupsi Merapi. Melayani mereka dengan karya kasih sungguh menjadikan saya untuk
tidak hanya menjadi pekerja sosial biasa melainkan menjadi seorang relawan yang
berlandaskan akan semangat Kristiani: Kasih!
Status Questionis
Perjumpaan dengan pengungsi korban letusan Merapi
menjadi sebuah pengalaman yang memiliki warna kerohanian. Dengan mengaitkan
iman akan Kristus dan mewujudkannya pada praksis hidup menjadikan pelayanan yang
saya dan anggota komunitas lakukan memiliki arti kemanusiaan.
Mungkin ada pertanyaan yang muncul bila praksis
kemanusiaan itu direnungkan: Apakah tindakan kasih yang berlandaskan pada iman
untuk membantu sesama yang membutuhkan berlaku dalam lingkup perjumpaan antar
umat beriman; dan mungkinkah menyadari kehadiran Allam dalam Kristus melalui
perjumpaan dengan umat beriman lain?
Berkaitan dengan hal ini, akan menjadi lebih baik bila
merefleksikannya dengan bertolak pada ilmu sosial dan merenungkan apa yang
dihidupi oleh Fransiskus Asisi dalam perjumpaan dengan Sultan Malik al-Kamil
serta Ibu Teresa dari Kalkuta dalam pelayanannya kepada sesama.
No Man Is An Island
Tindakan atau karya kasih yang diberikan bagi korban
bencana letusan Gunung Merapi – seperti pengalaman saya pada bagian awal – merupakan
sebuah pelayanan kasih yang diberikan bagi mereka yang menderita/membutuhkan
pertolongan. Keyakinan untuk memberikan diri bagi karya pelayanan adalah sebuah
panggilan kemanusiaan. Panggilan kemanusiaan ini berdasar pada sosialitas
manusia atau hubungan antar manusia yang memiliki dimensi sangat luas. Memang
dapat dikatakan bahwa dalam pengalaman hidupnya, manusia menjadi manusia hanya
kalau ia bergaul dan bersekutu dengan manusia lain[1].
No man is an
island, manusia tidak dapat hidup sendirian, adalah
sebuah pepatah yang ingin mengatakan bahwa keberadaannya untuk ber-eksistensi
sungguh membutuhkan yang lain. Inilah dasar sosialitas kodrat manusia yang
dalam kehidupnnya memiliki potensi untuk bersehati dengan sesamanya yang
membutuhkan pertolongan. Kemampuan ini pula yang menyadarkan manusia
berdasarkan dengan kesadarannya memiliki tanggung jawab untuk ‘memberi’ bagi
sesama yang membutuhkan. Hal senada dapat ditemukan dengan membandingkannya pada
situasi korban Merapi yang membutuhkan pertolongan.
Melihat sesamanya yang tengah menderita dan mencari
tempat perlindungan dari bahaya Merapi, sudah sepatutnyalah bila manusia
memberikan pertolongan. Secara moral memang demikianlah tugas yang seharusnya
dilakukan tanpa dimotivasi dengan keingingan negatif.
Demikianlah sosialitas manusia. Selanjutnya sosialitas
yang terkait pada kodrat manusia itu sendiri mengarah pada kemanusiaan yang
lebih luas dan lebih penuh, lebih sempurna[2].
Arah menuju lebih baik-sempurna dari sosialitas yang dimiliki oleh manusia
merupakan sebuah modal dasar untuk memiliki kepekaan akan penderitaan
sesamanya; kepekaan untuk lebih sempurna dalam mewujudkannya. Berbicara tentang
hal ini, menjadi tepatlah bila bercermin dari dua tokoh Kristiani dalam
menghidupi semangat kemanusiaan yang berusaha menyempurnakannya dengan mendasarkan
pada kekuatan rohani. Mereka itu adalah Fransiskus Asisi dan Ibu Teresa dari
Kalkuta.
Fransiskus Asisi dan
Sultan Malik al-Kamil
Berbicara tentang perjumpaan dialogis antar umat
beragama tentu relevan bila menghadirkan Fransiskus Asisi (dari kalangan
Kristiani) dan Sultan Malik al-Kamil (dari kalangan Muslim). Perjumpaan antara
dua tokoh itu telah terjadi beberapa waktu yang silam, tepatnya pada bulan
Septermber 1219, namun makna yang terkandung di dalamnya tentu tidaklah luntur
mengikuti arus waktu. Perjumpaan antara dua tokoh itu melahirkan refleksi perdamaian
antar umat beragama hingga sampai saat ini.
Fransiskus telah meninggalkan kenangan yang tak
terlupakan akan Damietta
(Arab: Domyat). Kota ini adalah kota yang diperebutkan oleh banyak pihak
karena letaknya sangat strategis, berada di persimpangan laut Mediterania dan
Sungai Nil. Karena merupakan kota yang diperebutkan menjadikan Damietta sebagai
kota yang bernuansakan peperangan. Di jaman dan tempat itu pula sering terjadi
konflik yang memicu lahirnya peperangan yang tidak jarang membawa nama agama.
Kehadiran Fransiskus Asisi sungguh membawa tiupan
kesegaran di dalam kota Damietta yang penuh hawa panas peperangan/konflik.
Lewat perjumpaannya yang penuh keberanian dengan Sultan Malik al-Kamil serta
misinya untuk menjadi saksi Kristus yang berjuang dengan senjata
kasih-perdamaian, membawa cara pandang baru bagi Sultan tentang bagaimana
menyelesaikan permasalahan di Damietta .
Keberaniannya dalam membawa pesan damai inilah yang menjadikannya sebagai tokoh
badaliya[3]
karena ia berjuang untuk mengkonkritkan cintanya kepada Yesus Kristus dengan
mempertaruhkan diri dalam ‘proses pertukaran’ untuk menjadi ‘korban’.
Fransiskus meneladani sang Tokoh Utama imannya (Yesus Kristus) – yang juga
telah menjadi korban bagi tebusan manusia atas dosa – demi terciptanya perdamian
bagi manusia.
Iman Fransiskus Asisi kepada Kristus yang berjuang demi
perdamaian antar manusia (juga antar umat beragama) merupakan cara pendekatan
kepada dunia Muslim yang diilhami oleh semangat Injili yang terumus dengan
jelas. Perjuangannya untuk berani bertemu dengan Sultan Malik al-Kamil adalah sebuah
tindakan kasih bagi perdamaian yang lahir dari imannya.
Ibu Teresa dari Kalkuta
Ibu Teresa dari Kalkuta-India terlahir dengan nama Agnes
Bojaxhiu pada tanggal 26 Agustus 1910 di Skopje
(sebuah kota
kecil di Kosova-wilayah utara Makedonia yang kemudian menjadi bagian dari
Albaina).
Perjalanan Agnes untuk mengikuti Kristus dengan lebih
radikal mulai dialami ketika ia terpanggil untuk menjadi seorang biarawati. Ia
memutuskan untuk menjadi seorang Suster Loreto – yang memiliki biara induk di
Irlandia – karena Indialah yang ingin ditujunya. India sungguh memikat baginya
karena ia merasa terpanggil untuk melayani orang-orang di daerah miskin, umat
Katolik yang minoritas, lingkungan yang tidak mudah serta penderitaan yang
tidak ringan. Wujud konkrit dari pelayanan kasih inilah yang telah ia pupuk
sejak awal masa panggilannya dengan merenungkan: “Apakah yang telah aku lakukan
untuk Kristus, apakah yang sedang aku lakukan untuk Kristus, dan apakah yang
akan aku lakukan untuk Kristus?”[4].
Tanggal 10 September 1946 merupakan hari bersejarah bagi
Ibu Teresa dan para pengikutnya (kelak). Saat itu menunjuk pada perjalanan Ibu
Teresa dengan keret api ke Darjeeling untuk menjalani retret. Dalam kereta api
itu, ia mendengar sapaan Tuhan yang menyerukan kepadanya untuk meninggalkan
biara (Loreto) dan membantu orang-orang miskin, serta pergi ke kampung-kampung
kumuh serta melayani-Nya di sana. Sapaan Tuhan itulah yang kemudian menjadikan
panggilannya untuk tidak hanya menjadi seorang misionaris di India, melainkan:
mengabdi Allah di India dalam diri mereka yang miskin, terlantar, sakit dan
tersingkir. Itulah peristiwa ‘a call
within a call’, panggilan yang memperdalam panggilan religiusnya yang
kemudian pada 12 April 1948, Paus Pius XII memberinya izin untuk mencapai
tujuan panggilannya itu.
“Aku melakukannya karena Yesus, bersama Yesus, dalam
Yesus dan untuk Yesus. Itu berarti mencintai sesama, sebagaimana Yesus sendiri
mencintai kita semua, sampai mengorbankan diri-Nya sendiri demi cinta-Nya
kepada kita”, demikianlah kata-kata Ibu Teresa yang menekankan bahwa Yesus
adalah segala-galanya baginya, termasuk dalam melakukan karyanya. Ibu Teresa
mewujudkan imannya kepada Kristus dengan pelayanan kepada mereka yang menderita;
semangat karya kasih inilah yang nantinya juga akan diikuti oleh para
pengikutnya (Misionaris Cinta Kasih/CM). Beberapa rumah pelayanan telah
didirikan untuk mendukung panggilannya itu, di antaranya adalah rumah derita,
rumah kematian dan rumah kasih[5].
‘Tuhan yang menyamar’ adalah sebuah spiritualitas yang
dihayati oleh Ibu Teresa. “Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak
menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan
telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan
menjadi sama dengan manusia” (Fil 2:6-7). Peristiwa inkarnasi Yesus yang
menjelma menjadi manusia dan berkorban untuk menebus manusia dari kuasa dosa,
bagi Ibu Teresa peristiwa itu merupakan misteri penyamaran: Allah yang
menyamar. Ibu Teresa ingin mempertajam lagi misteri penjelmaan itu. Yesus hadir
secara tersamar dalam penderitaan, kemiskinan dan kerinduan hati banyak orang. Ia
merefleksikan bahwa Tuhan Yesus dapat ditemukan dalam diri mereka yang lapar,
telanjang, tidak mempunyai rumah, sakit, kesepian dan ditolak oleh orang lain.
Semangat spiritual inilah yang mampu mendorong Ibu Teresa untuk dapat menemukan
wajah Yesus – India terkenal sebagai agama yang mayoritas penduduknya beragama
Hindu – dalam diri umat beragama lain. Baginya, mereka yang dilayani dan yang
membutuhkan pertolongan adalah kehadiran Allah sendiri yang memanggil. “Setiap
perbuatan kasih menghadirkan Allah sehingga kita berhadapan muka dengan Allah.
Maka, buatlah agar setiap orang datang dan dijumpai menjadi lebih baik dan
bahagia”, itulah kata-kata Ibu Teresa yang sungguh menunjukkan setiap
pelayanan/tindakan kasih sebagai buah dari imannya kepada Yesus Tuhan.
Iman dalam Tindakan
Iman dalam tindakan yang terwujud pada karya kasih
merupakan pokok utama yang dihadirkan dari Fransiskus Asisi dan Ibu Teresa. Kedua
tokoh itu mampu menunjukkan iman mereka dalam dialog kehidupan bersama dengan
umat beragama lain. Fransiskus (mewakili perjumpaan dengan umat Muslim) dan Ibu
Teresa (mewakili perjumpaan dengan umat Hindu) memiliki caranya masing-masing
dalam mengkonkritkan iman mereka kepada Yesus. Iman itulah yang menjadi
semangat intern untuk bergerak dan melangkah dalam praksis hidup kemanusiaan;
yang memampukan mereka untuk melihat wajah Allah dalam diri umat beragama lain.
Pengalaman berbagi kasih atas dasar iman konkrit itulah
yang memiliki kesamaan dengan pengalaman saya dalam memberikan pelayanan kepada
para pengungsi. Saya sungguh menyadari bahwa kesadaran untuk membantu mereka
yang menderita dan memerlukan pertolongan adalah sebuah keharusan bagi murid
Kristus. Berhadapan dengan pengungsi yang memiliki keyakinan berbeda bukanlah
halangan utama ketika keharusan untuk berbagi kasih Kristus mendorong dengan
kuatnya.
Dengan membandingkan kedua tokoh utama dalam perjumpaan
mereka terhadap umat beragama lain, membantu saya untuk juga menyadari bahwa
perjumpaan dengan umat lain yang didasarkan pada iman dalam tindakan kasih
sangatlah dimungkinkan. Di satu sisi, perjumpaan ini menuntut sebuah keharusan
untuk berani terbuka terhadap kehadiran yang lain. Namun di sisi lain, perjumpaan
dengan umat beragama lain (dalam tindakan) sebagai buah dari iman tidak harus
selalu diartikan memiliki ‘pengakuan radikal’ atas iman mereka. Seluruh
tindakan kasih sebagai buah iman dalam perjumpaan dengan umat beragama lain
menuntut iman yang dewasa dengan tetap memiliki mentalitas terbuka – menghargai
yang lain – di atas ke-tidaksetuju-an pada ajaran iman mereka.
Refleksi Teologis dan Menemukan
Wajah Yesus Dalam Diri Umat Beriman Lain
“Mas…, kami
ngrepoti njenengan ya…(Mas…, kami merepotkan Anda ya....)”, kata-kata itu
sungguh teringat di benak saya ketika seorang ibu, salah satu pengungsi,
mengatakan kepada saya bahwa kehadirannya dianggap merepotkan saya (dan yang
lain). Bagi saya, sapaan itu mengingatkan pada pelayanan yang tengah kami
(komunitas) berikan bagi para pengungsi. Saya sungguh menyadari bahwa karya
pelayanan kasih yang kami berikan dipandang oleh si ibu sebagai pekerjaan yang
merepotkan, padahal saya sungguh yakin bahwa kami memberikan pelayanan itu
dengan rela. Maka saya kembali menjawabnya, “Bu…, kalau Ibu merasa merepotkan kami, malah kami sungguh repot; tapi
kalau Ibu biasa dan krasan di sini, membuat kami tidak repot dan malah merasa senang”.
Iman Kristus
telah mendorong saya (dan komunitas) untuk membantu mereka –para pengungsi –
yang membutuhkan pertolongan adalah kunci utama didirikannya Posko Skolastikat SCJ.
Secara pribadi, saya merefleksikan secara spontan karya kasih Allah yang telah
mendahului dalam Diri Kristus “yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap
kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan
telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan
menjadi sama dengan manusia” (Fil 2:6-7). Allah yang dalam segala ke-Maha
Esa-an-Nya rela untuk mengosongkan Diri untuk datang ke dunia dalam Yesus yang
manusiawi demi pembebasan manusia atas dosa. Sebagai pengikut-Nya (apalagi
sebagai seorang biarawan), iman kepada Kristus inilah yang mengundang untuk
mewujudkan semangat kristiani itu dalam bentuk tindakan nyata. Tindakan kasih
Allah yang ‘melayani’ manusia inilah yang mengajak saya untuk melayani mereka
yang menderita tanpa memandang agamanya.
“Dan Raja
itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu
yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini,
kamu telah melakukannya untuk Aku. Maka Ia akan menjawab mereka: Aku berkata
kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah
seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku (Mat
25:40.45)”. Allah hadir dalam diri mereka yang menderita, demikian pula saya
dapat menemukan Dia yang tengah mencari tempat perlindungan dari bahaya letusan
Gunung Merapi. Tuhan hadir dalam diri mereka yang lemah (pasien Yakkum), mereka
yang membutuhkan tempat berlindung, mereka yang membutuhkan pakaian dan mereka
yang membutuhkan kasih. Allah dalam Kristus itu sungguh hadir dalam diri
pengungsi yang datang dan mengetuk pintu biara/komunitas kami.
Pengalaman
menjadi seorang relawan dalam melayani para pengungsi ini sungguh menjadi
tempat saya untuk belajar. Saya belajar untuk mengerti bahwa dialog kehidupan
dalam ranah perjumpaan dengan umat beragama lain – yang terorinya
digembar-gemborkan dalam bangku perkuliahan – kini dapat terjadi dengan tetap
setia pada iman dan mewujudkannya melalui tindakan kasih.
Langkah Pastoral dan Sebuah
Harapan
Berhadapan dengan umat beragama lain merupakan sebuah
perjumpaan yang setidaknya menyadarkan diri bahwa ada realitas lain dalam
kehidupan. Kesadaran ini perlu untuk menumbuhkan sikap terbuka bagi yang lain
dengan tetap memperhitungkan eksistensi iman sendiri. Keterbukaan bagi yang
lain itu mendapatkan muatan yang lebih dengan menjadikan perjumpaan tadi
sebagai media untuk mewujudkonkritkan iman. Iman menjadi pendorong utama untuk
bergerak dalam memberikan pelayanan kepada yang membutuhkan. Tepat seperti
itulah pengalaman kebersamaan saya dengan para pengungsi selama kurang lebih
dua minggu yang lalu. Sebagai pengikut Kristus dan sekaligus putera Gereja, panggilan
untuk menjawab panggilan Allah yang hadir dalam diri para pengungsi merupakan sebuah
keharusan dan cita-cita hidup kristiani.
Gereja pun telah lama mencita-citakan kerinduannya untuk
membangun kehidupan yang manusiawi dengan umat beragama lain (melalui dialog
kehidupan) sebagai buah dari panggilannya dalam mengikuti Kristus. Mulai dari
Konsili Vatikan II (1962-1965) dengan semangat aggiornamento (pembaharuan), Gereja sebagai Tubuh Mistik Kristus
mengarahkan diri pada keterbukan yang secara nyata diwujudkan dalam perjumpaan
antar manusia (dengan masing-masing ajaran iman mereka). Gereja memandang
positif mereka yang memiliki ajaran iman lain sebagai sesama yang dengan
kebaikannya dapat mengarah kepada keselamatan (Lumen Gentium, Ad Gentes).
Bahkan dengan beberapa ensikliknya, Gereja semakin memperbaharui diri agar
semakin dapat menjalankan tugasnya di dunia ini dalam hubungan dengan realita
yang lain (Ecclesiam Suam, Evangelii Nuntiandi, Redemptor Hominis, Redemptoris Missio).
Langkah
Gereja dalam membangun perjumpaan dialogis dengan umat beragama lain semakin
konkrit dalam semangat yang tertuang dalam Nostra
Aetate: “Gereja Katolik tidak menolak apa pun, yang dalam agama-agama itu
serba benar dan suci” (NA 2). Dalam dokumen ini, Gereja memandang dengan penuh
penghargaan yang tulus dalam cara bertindak dan cara hidup, peraturan dan
ajaran mereka yang memiliki ajaran iman lain – kendati dalam banyak hal berbeda
dengan apa yang dipahami dan dianjurkan oleh Gereja – tak jarang memantulkan
sinar Kebenaran, yang menerangi semua manusia. Penghargaan bagi yang lain ini
menggerakkan Gereja untuk mendorong para puteranya, supaya dengan bijaksana dan
penuh kasih, melalui dialog kehidupan dan kerja sama dengan para penganut
agama-agama lain, sambil memberi kesaksian tentang iman serta perihidup
kristiani, mengakui, memelihara dan mengembangkan harta kekayaan rohani dan
moral serta nilai-nilai sosio-budaya, yang terdapat pada mereka (NA 2). Kiranya
semangat inilah yang mendorong Tubuh Gereja untuk memberi kesaksiannya dalam
tindakan/praksis hidup yang bernuansakan kasih demi pencapaian kebahagiaan
hidup yang lebih manusiawi, terlebih bagi mereka yang menderita sebab dalam
diri merekalah (sekalipun beragama lain) wajah Allah dapat ditemukan: “Aku
berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah
seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku”
(Mat 25:40.45).
Berhadapan
dengan realita pluralitas iman, Gereja semestinya mampu untuk terus
memperbaharui semangatnya dalam peziarahan hidup di dunia dengan semakin berani
memupuk keterbukaan bagi yang lain. Menjadikan iman sebagai pendorong bagi
tindakan kasih – melayani para pengungsi erupsi Merapi – rasanya menjadi salah
satu langkah pastoral konkrit dari ‘keterbukan’ Gereja. Dari peristiwa itulah
saya (sebagai anggota Tubuh Gereja) semakin dapat bersatu dengan memberikan
penghargaan bagi mereka yang beragama lain dengan tetap memberikan pengakuan
bahwa ajaran iman mereka sungguh berbeda.
Sebagai catatan akhir, kiranya sangat baik untuk
mengambil pernyataan Paul Knitter: “Dasar bersama dialog agama-agama adalah
praksis pembebasan orang-orang yang menderita dan tertindas oleh kemiskinan dan
ketidakadilan”. Dasar dari perjumpaan dialog dengan umat beragama lain kiranya
dapat terjadi dalam dan melalui praksis pembebasan bagi mereka yang menderita
sebagai buah dari iman konstruktif yang dewasa. Hal itu penting karena dalam
ranah dialog kehidupan dengan umat beragama lain “iman dalam tindakan kasih
(praksis) adalah langkah dalam membangun dialog perjumpaan untuk menemukan wajah
Allah (Kristus) dalam diri umat beriman lain’. Andaikan semua pemeluk agama
menghidupi semangat ini, saya optimis bahwa akan tercipta suasana perdamaian
antar pemeluk agama secara universal. Semoga!
* * *
Daftar Pustaka
Cahyadi, T. Krispurwana SJ,
2003 Jalan
Pelayanan Ibu Teresa, Obor, Jakarta
Prakosa, Heru J.B. SJ,
Antara Badaliyya dan Midhyaf: Pergumulan
Gereja yang Berdialog untuk Menemukan Wajah Allah dalam Diri Umat Beragama Lain.
Prasetyantha,
Y.B. MSF,
2009 Menuju Suatu Teologi (Kristiani) Pluralitas
Agama-Agama: Handout Teologi Agama-Agama, Fakultas Teologi-Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta.
Riyanto,
F.X. E. Armada CM,
1995 Dialog Agama: Dalam Pandangan Gereja Katolik,
Kanisius, Yogyakarta.
Sudiarja, A. SJ,
2010 Beberapa
Topik Pelengkap Filsafat Sosial, Fakultas Teologi-Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta.
[1] A. Sudiarja, SJ, Beberapa Topik Pelengkap Filsafat Sosial,
Fakultas Teologi-Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta 2010, 4.
[3] Secara etimologis, badaliyya (Arab)
berarti ‘pertukaran’. Istilah ini dimaklumkan pertama kali di sebuah gereja di Damietta oleh Louis
Massignon (1883-1962) yang membaktikan hidupnya sebagai pengikut sebuah
kelompok Fransiskan. Dalam perkembangan selanjutnya, badaliyya lalu menunjuk pada sebuah ‘gerakan belarasa’ yang di satu
sisi memihak dengan Kristus serta Gereja-Nya dan di lain sisi memihak Islam
serta dunia Arab. Bagi Massignon, Fransiskus Asisi adalah seorang badaliyya.
[5] Rumah derita didirikan untuk menolong mereka yang mengalami
penderitaan karena sakit yang menimpa dan juga karena penolakan banyak orang
untuk bergaul dengannya; rumah kematian didirikan atas dasar pengalaman Ibu
Teresa yang sungguh memberikan perhatian besar akan banyaknyua orang yang mati
di jalanan Kalkuta; dan rumah kasih merupakan rumah pelayanan sebagai tempat
orang dapat menjumpai pengalaman kasih, yakni dengan memberikan pelayanan
kepada anak-anak, bahkan bayi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar