Belas Kasih Allah Bagi Semua Bangsa
(Sebuah Analisa Tematis Kitab Yunus)
A. Pendahuluan
Di masa sesudah pembuangan, orang Yahudi berlaku sangat hati-hati dalam menjalin
pergaulan dan bersikap lebih menutup diri. Mereka berlaku demikian karena
sungguh takut akan bahaya sinkretisme yang mungkin terjadi kembali bila mereka
tidak menjaga diri dalam pergaulan itu. Dan kiranya persis di situlah letak
masalah yang kemudian menghantar mereka sampai pada jawaban atas pertanyaan
mengapa dahulu mereka diperlakukan sedemikian pahit olah Allah, yaitu dibuang
ke Babel . Dan
sebagai akibat lebih lanjut dari sikap yang eksklusif itu, mereka juga bersikap
kaku dalam menaati hukum seperti Nehemia, Ezra, Yoel dan Obaja[1].
Dan selanjutnya berbuat sedapat mungkin menghindari hal-hal yang sekiranya
dapat menjauhkan diri mereka dari Allah; seperti kebiasaan asing atau bahkan
isteri-isteri asing[2].
Berada dalam situasi yang demikian, ternyata tidak membuat semua orang mengalami
rasa yang nyaman. Paling tidak hal ini nantinya menjadi perhatian dari para
nabi yang muncul kemudian yang akhirnya membuat sesuatu yang lain dari pada
masa para nabi sebelumnya, yaitu lebih melihat masalah secara lebih dalam dalam
kaitannya dengan menafsirkan kembali warta kenabian yang sudah ada. Beberapa
mencoba menjelaskan mengapa ada nubuat yang gagal. Sebagian lagi mencoba untuk
meng-up-to-date-kan kembali nubuat
yang sudah ada sesuai dengan zaman masa berkaryanya. Dan ada juga yang mencoba
untuk mendobrak pandangan sempit ketertutupan orang Yahudi akan keselamatan
dari Allah[3].
Bagian yang ketiga inilah yang kemudian sangat menarik beberapa nabi
untuk mencoba menjelaskan sikap universalisme dari pada keselamatan Allah. Umumnya
mereka berpendapat, juga pada bangsa-bangsa lain Allah menyatakan nama-Nya dan
berkenan kepada siapa saja yang juga berlaku benar dan adil di hadapan-Nya. Dan
Kitab Yunus merupakan salah satu dari kitab yang bertujuan untuk itu, mendobrak
pandangan yang sempit akan paham keselamatan yang dari Allah yang secara jelas
menyatakan bahwa, ada keselamatan bagi bangsa lain (Ninive)[4].
Belas kasih Allah terbuka juga bagi semua manusia.
B. Kitab Yunus: Sebuah Cerita Pengajaran
Kitab Yunus disusun dalam bentuk sebuah kisah cerita yang isinya mengenai
seorang nabi yang tidak taat kepada Allah dalam tugas perutusannya. Nabi itu
bernama Yunus bin Amitai (Yun 1:1) yang juga diidentifikasikan sama dengan yang
ada dalam kitab 2 Raj. 14:25 yang hidup sezaman dengan Raja Yerobeam II (abad
VII). Meskipun demikian, kitab ini dipercaya dikarang beberapa tahun kemudian (+
abad V)[5].
Maka hampir bisa dipastikan bahwa Kitab Yunus ini tidak dikarang oleh Nabi Yunus
yang dimaksud dalam rujukan tersebut.
Kitab ini menceritakan kisah Yunus yang ketika dipanggil dan diutus
Allah, mencoba melarikan diri dan menghindar dari Allah. Segala daya upaya
dilakukan agar terbebas dari tugas yang rupanya tidak hanya berat tetapi juga
tidak diharapkannya itu. Bahkan sampai berniat pergi ke ujung dunia (Tarsis),
yang dalam pandangan waktu itu, ujung dunia adalah tempat yang paling jauh dari
Allah. Namun, usahanya itu tidaklah mendapat hasil yang diharapkannya karena
kuasa Allah ternyata lebih hebat dari pada usaha Yunus sendiri. Dan akhirnya dalam
keterpaksaannya, Yunus pun menjalankan tugasnya dan mendapat sukses yang dulu rupanya
menjadi alasannya untuk melarikan diri[6].
Sekilas, kisah yang terdapat dalam kitab ini nampak seperti perjalanan
hidup seorang tokoh yang biasa. Dengan alur cerita yang disusun secara baik,
membuat pembaca dengan cepat dapat menganggap bahwa ini adalah sebuah kisah
yang mungkin pernah terjadi. Namun, ternyata para ahli lebih berpendapat bahwa
ada pilihan yang lain, yaitu menganggap kisah ini lebih sebagai sebuah cerita
bermakna. Dan bagi pembaca yang teliti, kesan yang mencengangkan pasti akan sering
dijumpai dalam kitab ini.
Drs. A. Th. Kramer, dalam bukunya Tafsiran Yunus, dalam persoalan
mengenai bentuk sastra Kitab Yunus menegaskan pandangannya dengan berpendapat,
adalah paling tepat untuk membaca Kitab Yunus sebagai cerita yang bersifat
pengajaran atau pendidikan[7]. Menurutnya,
dalam kisah terdapat usaha pengarang untukmenyampaikan cerita dengan harapan
bahwa pembaca dapat menarik pelajaran dari dalam cerita itu. Dengan demikian
kisah ini tidak dibaca sebagai kisah historis yang rasanya memang pengarang
tidak begitu menaruh perhatian yang sangat mendalam pada historisitas karyanya
ini. Sekali lagi karena pengarang memaksudkan karyanya sebagai sebuah
pembelajaran.
Karena itu, pemahaman dasar kitab ini sebagai kitab pengajaran, nantinya
akan membantu pembaca untuk menempatkan diri dalam posisi belajar. Dengan
demikian, pembaca dihantar pada maksud pengarang yang sesungguhnya, yaitu
kritiknya terhadap praktek hidup yang super ketat itu. dan cara pandang yang
demikian akan membebaskan pembaca dari pertanyaan seputar siapa awak kapal,
ikan besar, pohon jarak dan kejanggalan-kejanggalan yang pasti akan ditemui
dalam membaca kitab ini.
C. Yunus dalam Perutusannya
Bagian awal Kitab Yunus langsung berkisah tentang Allah yang memanggil
dan mengutus Yunus. Meski dalam keseluruhan kitab tokoh ini tidak pernah
disebut sebagai nabi, namun keterangan pada awal kitab ini telah dengan
sendirinya menjelaskan bahwa ia, Yunus adalah seorang nabi. Dengan panggilan
dan pengutusan yang dari Allah, maka jelaslah bahwa Yunus adalah seorang nabi. Allah
yang berelasi dengan orang kepercayaan-Nya merupakan tanda paling jelas bahwa
ia memang seorang nabi. Kriteria ini kiranya sudah umum berlaku.
Tugas perutusan Yunus disusun dalam rumusan; bangunlan, pergilah dan
berserulah. Dan rumusan ini akan diulang kembalai pada bagian awal bab tiga
yang juga menjadi sebuah indikasi bahwa ternyata kitab ini berasal dari satu
sentuhan tangan orang yang sama. Ini adalah hasil karya seorang saja[8]. Perbedaan
yang muncul nantinya adalah, unsur ketiga ditambah dengan kata sampaikanlah. Dan
meski juga terdapat semacam tambahan, itu lebih karena proses penyalinan yang
biasa terjadi, catatan keterangan yang akhirnya dimasukan ke dalam naskah.
Umumnya, seorang nabi yang dipanggil oleh Allah akan segera bangun, pergi
dan bertindak melaksanakan tugas. Yunus pun berbuat hal yang sama juga yaitu
segera bangun, pergi, dan bertindak, tetapi ternyata tindakannya tidak untuk menjalankan
tugas yang dari Allah, melainkan untuk berusaha kabur dan menghindar. Dan bagi
pembaca yang sudah akrab dengan tokoh nabi-nabi yang lain, kiranya kisah ini
menjadi salah satu kisah yang unik dan aneh, seakan menampilkan sosok nabi yang
membandel atau bahkan memberontak terhadap kebiasaan seorang nabi. Namun,
kiranya maksud pengarang dengan demikian pun tercapai, membuat pembaca
tergelitik untuk semakin ingin tahu tentang kebenaran kisah ini, yang akhirnya
mendapat suatu pembelajaran yang dengan sengaja dimaksudkan di dalamnya.
Usaha pelarian Yunus yang sungguh-sungguh itu bukan tanpa alasan[9]. Kiranya
Yunus sangat tahu bahwa tugas kenabian adalah tugas yang sungguh amat berat. Bila
melihat kebelakang, kita bisa menjumpai misalnya saja: Musa mencoba menghindar
dengan alasan tidak pandai bicara, Yeremia mencoba menolak dengan mengatakan
masih muda; dan memang sebenarnya tugas itu sungguh tidak mengenakkan. Apalagi
ada kalanya, nyawa adalah taruhannya.
Alasan kedua yang juga masuk akal adalah, Ninive, Ibukota Asyur waktu itu
adalah musuh besar bangsa Israel .
Kiranya bukan hanya besar, tetapi sungguh-sungguh sangat dibenci dan ada
semacam rasa dendam yang tak mungkin tidak harus dibayarkan. Dan kiranya
sungguh situasi yang membingungkan, bagaimana mungkin Yunus harus berseru
kepada musuhnya yaitu menyampaikan seruan yang bahkan oleh Allah sendiri
perintahkan kepadanya. Dalam hal ini, sebenarnya ada pengetahuan dari Yunus
yang juga semakin menguatkan alasan penolakkan tuganya ini, yaitu Yunus tahu
dengan betul bahwa Allah bisa berbuat segalanya, bahkan menyesal atas apa yang
telah dirancangkannya.
Alasan ketiga, dengan demikian dapat dimengerti bahwa kiranya Yunus akan
lebih senang bila Ninive dihancurkan saja seperti yang dinubuatkannya. Dan
pasti itu sah saja, melihat bahwa menurut orang Yahudi, Ninive memang layak
untuk menerima semua itu setelah apa yang sudah mereka lakukan; berperang,
membunuh, menyiksa, merampas dan segala kejahatan yang mendatangkan malu bagi
musuhnya bahkan kematian[10].
Namun, apa pun usaha yang telah dilakukan Yunus, dia tetap tidak bisa
lari dari Allah yang empunya langit[11]
yang telah menetapkannya untuk pergi ke Ninive. Dan Yunus pun sebenarnya tahu
dan menyadari bahwa tidaklah mungkin usaha pelariannya itu akan berhasil.
Karena itu, setelah pengalaman berada di laut, Yunus akhirnya berangkat ke
Ninive juga dan melakukan apa yang diperintahkan Allah kepadanya. Dalam aksinya
ini, tentu tidak dengan senang hati, tetapi ia tetap melakukannya. Dan
hasilnya, seperti dugaannya, pewartaannya mendatangkan sukses yang sangat tidak
diharapkannya. Ninive berbalik dan Allah menyesal atas rancangan yang sudah
disiapkannya.
Dari kisah sukses pewartaan ini, pengarang mencoba menghadirkan suatu
kenyataan yang pasti sangat berat untuk diterima oleh orang Yahudi bahwa
bangsa-bangsa lain juga mendapat tempat di dalam hati Allah. Pengarang juga
menegaskan bahwa, bahkan ancaman yang terkeras sekalipun bila ditanggapi dengan
bukti pertobatan, berbalik dan menyesal, akan mendapatkan pengampunan yang dari
Allah. Hal ini terjadi karena nubuat kehancuran itu selalu bersyarat. Dan bila
syarat yang diminta terpenuhi, maka nubuat tersebut tidak jadi dilaksanakan.
D. Allah yang Berbelas Kasih
Allah yang berbelas kasih merupakan sebuah pemahaman yang cukup mewarnai
keseluruhan dari kisah cerita dari Kitab Yunus. Hal ini sungguh merupakan
maksud dan tujuan dari kitab ini. Berkaitan dengan tema ini, sekiranya
ditunjukkan ada tiga tempat yang bermuatan belas kasih Allah. Pertama pada diri
si nabi itu sendiri, kedua orang-orang yang bersama nabi di kapal, dan yang
ketiga adalah orang-orang Ninive.
Pertama, terhadap nabi-Nya yang bisa dikatakan membandel dan tidak taat
ini, Allah menunjukkan belas kasih-Nya seperti sedang menuntun sang anak kecil
(Yunus). Dalam kisah pelarian Yunus, Allah tidak serta merta marah dan
menghukum karena sikap nabi-Nya itu, tetapi dengan sabar mengikuti Yunus dan
senantiasa memperhatikannya hingga pada kembalinya sang nabi pada tugas yang
semula telah disabdakan-Nya. Melalui angin badai, Allah menggiring kembali
Yunus ke hadapan-Nya; juga dengan bantuan seekor ikan besar yang nantinya
memuntahkan Yunus ke pinggir pantai, Allah terus mengejar Yunus dan akhirnya
mengajar Yunus sampai pada pemahamannya yang benar tentang kasih-Nya.
Kedua, kepada orang-orang yang bersama Yunus di kapal, Allah tidak
mencelakakan mereka karena membantu Yunus untuk melarikan diri. Dan bahkan
dikatakan, mereka sendiri akhirnya menjadi takut akan Tuhan. Atas peristiwa
pencampakan Yunus ke laut pun Allah tidak menganggungkan kesalahan itu kepada
mereka. Tidak disebutkan siapa para awak itu dan rasanya tidaklah juga bisa
dimengerti bahwa para awak itu dimaksudkan mewakili kelompok orang tertentu.
Karena memang hal itu tidak dimaksudkan juga oleh pengarang.[12]
Ketiga, kepada orang-orang Ninive, sejak semula Allah telah memberikan
perhatian yang besar kepada bangsa ini. Dan dari sinilah pengarang mengawali
dan sekaligus mengakhiri perjalanan kritiknya terhadap kekakuan bangsa terpilih
yang hanya akan diselamatkan oleh Allah. Dan menarik untuk dilihat bahwa waktu
empat puluh hari kiranya sungguh menjadi suatu kesempatan yang panjang untuk berbalik
dan menyesal. Waktu yang panjang ini juga sekaligus sebagai gambaran yang mau
menyampaikan bahwa Allah pun sebenarnya tidak berniat untuk mendatangkan
hukuman-Nya. Dan rupanya, orang-orang Ninive tidak butuh waktu lama, segera
sesudah nabi menyampaikan nubuatnya, mereka berbalik dan menyerukan pertobatan.
Dari raja sampai ternak, semuanya dikatakan berlaku sama, mengenakan kain
kabung dan duduk sambil menaburkan abu di atas kepalanya masing-masing, baik
manusia maupun hewan (Yun.3:1-10).
Bila dilihat lebih dalam, kritik tersebut sungguh amat tajam dan telah
mengenai sasaran dengan tepat. Yunus yang adalah orang Yahudi, mengeluh
sepanjang kitab. Bahkan rasanya Yunus pun sulit untuk mengerti maksud Allah. Hal
ini bisa juga diterapkan kepada orang Yahudi umumnya, yang berkeyakinan teguh
sebagai yang terpilih hingga tidak mampu untuk memahami ketika Allah juga
memperhatikan bangsa-bangsa lain.
E. Penutup
Membaca dan menafsirkan Kitab Yunus tak bisa dilepaskan dari pemahaman
dasar yang sudah harus ada, yaitu memposisikannya tidak sebagai kisah yang historis,
tetapi lebih sebagai suatu kisah yang bersifat pengajaran. Oleh karena itu,
perlu juga untuk melihat konteks dan sekaligus tujuan dari pada kitab itu
dikarang. Dan jelaslah kini bahwa mengkadapi sikap eksklusif yang ditampilkan
oleh orang Yahudi, pengarang merasa perlu untuk meluruskan dengan pemahaman
yang baru bahwa juga bangsa yang lain mendapat anugerah keselamatan yang sama.
Dalam hal inilah mau disampaikan bahwa belas kasih Allah, melampaui
segala daya upaya, harapan dan pengetahuan manusia. Bila terjadi bahwa nubuat
nabi tidak terlaksana, yaitu penghancura, sebabnya adalah karena pembinasaan
yang selalu diancamkan adalah bersyarat. Dengan demikian, sebenarnya pewartaan
Yunus adalah pewartaan yang berhasil dengan amat baik sekali (bdk. Yer 18:7-8)[13].
DAFTAR PUSTAKA
Baxter,
J.Sidlow,
1980,
Menggali Isi Kitab Suci 2: Ayub s/d
Maleakhi, BPK Gunung Mulia, Jakarta .
Darmawijaya,
Pr., St.,
1990, Yunus Dan Pesannya, Kanisius, Yogyakarta .
Kramer, A.Th.,
1986, Tafsiran Alkitab; Yunus, BPK Gunung Mulia, Jakarta .
LBI,
2000, Alkitab, Arnoldus, Ende.
Bergant, CSA,
D., dan Robert J. Karris, OFM (ed.),
2002, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, Kanisius, Yogyakarta
[1] Bdak.
St. Darmawijaya, Pr, Yunus Dan Pesannya,
Kanisius, Yogyakarta 1990, hal 44.
[2] Bdk.
Irene Nowell, OSB, Yunus, dalam
Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM (ed.), Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, Kanisius, Yogyakarta 2002, hal 670.
[3] Bdk. St.
Darmawijaya, Pr, Yunus Dan Pesannya,
hal 43-45.
[4] Bdk. St.
Darwawijaya, Pr, Yunus Dan Pesannya,
hal 50.
[5] Bdk.
Irene Nowell, OSB, Yunus, hal 670.
[6] Bdk. St.
Darmawijaya, Pr, Yunus Dan Pesannya,
hal 54-58.
[7] Bdk.
Drs. A. Th. Kramer, Tafsiran Alkitab;
Yunus, BPK Gunung Mulia, Jakarta
1986, hal. 6.
[8] Bdk. St.
Darmawijaya, Pr, Yunus Dan Pesannya,
hal. 48.
[9] Bdk. J.
Sidlow Baxter, Menggali Isi Alkitab 2;
Ayub s/d Maleakhi, BPK Gunung Mulia, Jakarta
1980, hal. 368-375.
[10] Bdk. J.
Sidlow Baxter, Menggali Isi Alkitab 2;
Ayub s/d Maleakhi, hal. 368-375.
[11] Istilah
“Allah yang empunya langit”, hanya terdapat dalam Kitab-Kitab Perjanjian Lama
yang dikarang setelah pembuangan dalam zaman Persia , seperti Kitab
Tawarikh-Ezra-Nehemia dan Kitab Daniel. Bdk. Drs. A. Th. Kramer, Tafsiran Yunus, hal. 23.
[12] Drs. A.
Th. Kramer, Tafsiran Yunus,
hal.18-19.
[13] Bdk.
LBI, Kitab Suci, hal. 1273.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar