Selasa, 21 Maret 2017

Belas Kasih Allah Bagi Semua Bangsa
(Sebuah Analisa Tematis Kitab Yunus)

A.  Pendahuluan
Di masa sesudah pembuangan, orang Yahudi berlaku sangat hati-hati dalam menjalin pergaulan dan bersikap lebih menutup diri. Mereka berlaku demikian karena sungguh takut akan bahaya sinkretisme yang mungkin terjadi kembali bila mereka tidak menjaga diri dalam pergaulan itu. Dan kiranya persis di situlah letak masalah yang kemudian menghantar mereka sampai pada jawaban atas pertanyaan mengapa dahulu mereka diperlakukan sedemikian pahit olah Allah, yaitu dibuang ke Babel. Dan sebagai akibat lebih lanjut dari sikap yang eksklusif itu, mereka juga bersikap kaku dalam menaati hukum seperti Nehemia, Ezra, Yoel dan Obaja[1]. Dan selanjutnya berbuat sedapat mungkin menghindari hal-hal yang sekiranya dapat menjauhkan diri mereka dari Allah; seperti kebiasaan asing atau bahkan isteri-isteri asing[2].
Berada dalam situasi yang demikian, ternyata tidak membuat semua orang mengalami rasa yang nyaman. Paling tidak hal ini nantinya menjadi perhatian dari para nabi yang muncul kemudian yang akhirnya membuat sesuatu yang lain dari pada masa para nabi sebelumnya, yaitu lebih melihat masalah secara lebih dalam dalam kaitannya dengan menafsirkan kembali warta kenabian yang sudah ada. Beberapa mencoba menjelaskan mengapa ada nubuat yang gagal. Sebagian lagi mencoba untuk meng-up-to-date-kan kembali nubuat yang sudah ada sesuai dengan zaman masa berkaryanya. Dan ada juga yang mencoba untuk mendobrak pandangan sempit ketertutupan orang Yahudi akan keselamatan dari Allah[3].
Bagian yang ketiga inilah yang kemudian sangat menarik beberapa nabi untuk mencoba menjelaskan sikap universalisme dari pada keselamatan Allah. Umumnya mereka berpendapat, juga pada bangsa-bangsa lain Allah menyatakan nama-Nya dan berkenan kepada siapa saja yang juga berlaku benar dan adil di hadapan-Nya. Dan Kitab Yunus merupakan salah satu dari kitab yang bertujuan untuk itu, mendobrak pandangan yang sempit akan paham keselamatan yang dari Allah yang secara jelas menyatakan bahwa, ada keselamatan bagi bangsa lain (Ninive)[4]. Belas kasih Allah terbuka juga bagi semua manusia.

B.  Kitab Yunus: Sebuah Cerita Pengajaran
Kitab Yunus disusun dalam bentuk sebuah kisah cerita yang isinya mengenai seorang nabi yang tidak taat kepada Allah dalam tugas perutusannya. Nabi itu bernama Yunus bin Amitai (Yun 1:1) yang juga diidentifikasikan sama dengan yang ada dalam kitab 2 Raj. 14:25 yang hidup sezaman dengan Raja Yerobeam II (abad VII). Meskipun demikian, kitab ini dipercaya dikarang beberapa tahun kemudian (+ abad V)[5]. Maka hampir bisa dipastikan bahwa Kitab Yunus ini tidak dikarang oleh Nabi Yunus yang dimaksud dalam rujukan tersebut.
Kitab ini menceritakan kisah Yunus yang ketika dipanggil dan diutus Allah, mencoba melarikan diri dan menghindar dari Allah. Segala daya upaya dilakukan agar terbebas dari tugas yang rupanya tidak hanya berat tetapi juga tidak diharapkannya itu. Bahkan sampai berniat pergi ke ujung dunia (Tarsis), yang dalam pandangan waktu itu, ujung dunia adalah tempat yang paling jauh dari Allah. Namun, usahanya itu tidaklah mendapat hasil yang diharapkannya karena kuasa Allah ternyata lebih hebat dari pada usaha Yunus sendiri. Dan akhirnya dalam keterpaksaannya, Yunus pun menjalankan tugasnya dan mendapat sukses yang dulu rupanya menjadi alasannya untuk melarikan diri[6].
Sekilas, kisah yang terdapat dalam kitab ini nampak seperti perjalanan hidup seorang tokoh yang biasa. Dengan alur cerita yang disusun secara baik, membuat pembaca dengan cepat dapat menganggap bahwa ini adalah sebuah kisah yang mungkin pernah terjadi. Namun, ternyata para ahli lebih berpendapat bahwa ada pilihan yang lain, yaitu menganggap kisah ini lebih sebagai sebuah cerita bermakna. Dan bagi pembaca yang teliti, kesan yang mencengangkan pasti akan sering dijumpai dalam kitab ini.
Drs. A. Th. Kramer, dalam bukunya Tafsiran Yunus, dalam persoalan mengenai bentuk sastra Kitab Yunus menegaskan pandangannya dengan berpendapat, adalah paling tepat untuk membaca Kitab Yunus sebagai cerita yang bersifat pengajaran atau pendidikan[7]. Menurutnya, dalam kisah terdapat usaha pengarang untukmenyampaikan cerita dengan harapan bahwa pembaca dapat menarik pelajaran dari dalam cerita itu. Dengan demikian kisah ini tidak dibaca sebagai kisah historis yang rasanya memang pengarang tidak begitu menaruh perhatian yang sangat mendalam pada historisitas karyanya ini. Sekali lagi karena pengarang memaksudkan karyanya sebagai sebuah pembelajaran.
Karena itu, pemahaman dasar kitab ini sebagai kitab pengajaran, nantinya akan membantu pembaca untuk menempatkan diri dalam posisi belajar. Dengan demikian, pembaca dihantar pada maksud pengarang yang sesungguhnya, yaitu kritiknya terhadap praktek hidup yang super ketat itu. dan cara pandang yang demikian akan membebaskan pembaca dari pertanyaan seputar siapa awak kapal, ikan besar, pohon jarak dan kejanggalan-kejanggalan yang pasti akan ditemui dalam membaca kitab ini.

C.  Yunus dalam Perutusannya
Bagian awal Kitab Yunus langsung berkisah tentang Allah yang memanggil dan mengutus Yunus. Meski dalam keseluruhan kitab tokoh ini tidak pernah disebut sebagai nabi, namun keterangan pada awal kitab ini telah dengan sendirinya menjelaskan bahwa ia, Yunus adalah seorang nabi. Dengan panggilan dan pengutusan yang dari Allah, maka jelaslah bahwa Yunus adalah seorang nabi. Allah yang berelasi dengan orang kepercayaan-Nya merupakan tanda paling jelas bahwa ia memang seorang nabi. Kriteria ini kiranya sudah umum berlaku.
Tugas perutusan Yunus disusun dalam rumusan; bangunlan, pergilah dan berserulah. Dan rumusan ini akan diulang kembalai pada bagian awal bab tiga yang juga menjadi sebuah indikasi bahwa ternyata kitab ini berasal dari satu sentuhan tangan orang yang sama. Ini adalah hasil karya seorang saja[8]. Perbedaan yang muncul nantinya adalah, unsur ketiga ditambah dengan kata sampaikanlah. Dan meski juga terdapat semacam tambahan, itu lebih karena proses penyalinan yang biasa terjadi, catatan keterangan yang akhirnya dimasukan ke dalam naskah.
Umumnya, seorang nabi yang dipanggil oleh Allah akan segera bangun, pergi dan bertindak melaksanakan tugas. Yunus pun berbuat hal yang sama juga yaitu segera bangun, pergi, dan bertindak, tetapi ternyata tindakannya tidak untuk menjalankan tugas yang dari Allah, melainkan untuk berusaha kabur dan menghindar. Dan bagi pembaca yang sudah akrab dengan tokoh nabi-nabi yang lain, kiranya kisah ini menjadi salah satu kisah yang unik dan aneh, seakan menampilkan sosok nabi yang membandel atau bahkan memberontak terhadap kebiasaan seorang nabi. Namun, kiranya maksud pengarang dengan demikian pun tercapai, membuat pembaca tergelitik untuk semakin ingin tahu tentang kebenaran kisah ini, yang akhirnya mendapat suatu pembelajaran yang dengan sengaja dimaksudkan di dalamnya.
Usaha pelarian Yunus yang sungguh-sungguh itu bukan tanpa alasan[9]. Kiranya Yunus sangat tahu bahwa tugas kenabian adalah tugas yang sungguh amat berat. Bila melihat kebelakang, kita bisa menjumpai misalnya saja: Musa mencoba menghindar dengan alasan tidak pandai bicara, Yeremia mencoba menolak dengan mengatakan masih muda; dan memang sebenarnya tugas itu sungguh tidak mengenakkan. Apalagi ada kalanya, nyawa adalah taruhannya.
Alasan kedua yang juga masuk akal adalah, Ninive, Ibukota Asyur waktu itu adalah musuh besar bangsa Israel. Kiranya bukan hanya besar, tetapi sungguh-sungguh sangat dibenci dan ada semacam rasa dendam yang tak mungkin tidak harus dibayarkan. Dan kiranya sungguh situasi yang membingungkan, bagaimana mungkin Yunus harus berseru kepada musuhnya yaitu menyampaikan seruan yang bahkan oleh Allah sendiri perintahkan kepadanya. Dalam hal ini, sebenarnya ada pengetahuan dari Yunus yang juga semakin menguatkan alasan penolakkan tuganya ini, yaitu Yunus tahu dengan betul bahwa Allah bisa berbuat segalanya, bahkan menyesal atas apa yang telah dirancangkannya.
Alasan ketiga, dengan demikian dapat dimengerti bahwa kiranya Yunus akan lebih senang bila Ninive dihancurkan saja seperti yang dinubuatkannya. Dan pasti itu sah saja, melihat bahwa menurut orang Yahudi, Ninive memang layak untuk menerima semua itu setelah apa yang sudah mereka lakukan; berperang, membunuh, menyiksa, merampas dan segala kejahatan yang mendatangkan malu bagi musuhnya bahkan kematian[10].
Namun, apa pun usaha yang telah dilakukan Yunus, dia tetap tidak bisa lari dari Allah yang empunya langit[11] yang telah menetapkannya untuk pergi ke Ninive. Dan Yunus pun sebenarnya tahu dan menyadari bahwa tidaklah mungkin usaha pelariannya itu akan berhasil. Karena itu, setelah pengalaman berada di laut, Yunus akhirnya berangkat ke Ninive juga dan melakukan apa yang diperintahkan Allah kepadanya. Dalam aksinya ini, tentu tidak dengan senang hati, tetapi ia tetap melakukannya. Dan hasilnya, seperti dugaannya, pewartaannya mendatangkan sukses yang sangat tidak diharapkannya. Ninive berbalik dan Allah menyesal atas rancangan yang sudah disiapkannya.
Dari kisah sukses pewartaan ini, pengarang mencoba menghadirkan suatu kenyataan yang pasti sangat berat untuk diterima oleh orang Yahudi bahwa bangsa-bangsa lain juga mendapat tempat di dalam hati Allah. Pengarang juga menegaskan bahwa, bahkan ancaman yang terkeras sekalipun bila ditanggapi dengan bukti pertobatan, berbalik dan menyesal, akan mendapatkan pengampunan yang dari Allah. Hal ini terjadi karena nubuat kehancuran itu selalu bersyarat. Dan bila syarat yang diminta terpenuhi, maka nubuat tersebut tidak jadi dilaksanakan.

D.  Allah yang Berbelas Kasih
Allah yang berbelas kasih merupakan sebuah pemahaman yang cukup mewarnai keseluruhan dari kisah cerita dari Kitab Yunus. Hal ini sungguh merupakan maksud dan tujuan dari kitab ini. Berkaitan dengan tema ini, sekiranya ditunjukkan ada tiga tempat yang bermuatan belas kasih Allah. Pertama pada diri si nabi itu sendiri, kedua orang-orang yang bersama nabi di kapal, dan yang ketiga adalah orang-orang Ninive.
Pertama, terhadap nabi-Nya yang bisa dikatakan membandel dan tidak taat ini, Allah menunjukkan belas kasih-Nya seperti sedang menuntun sang anak kecil (Yunus). Dalam kisah pelarian Yunus, Allah tidak serta merta marah dan menghukum karena sikap nabi-Nya itu, tetapi dengan sabar mengikuti Yunus dan senantiasa memperhatikannya hingga pada kembalinya sang nabi pada tugas yang semula telah disabdakan-Nya. Melalui angin badai, Allah menggiring kembali Yunus ke hadapan-Nya; juga dengan bantuan seekor ikan besar yang nantinya memuntahkan Yunus ke pinggir pantai, Allah terus mengejar Yunus dan akhirnya mengajar Yunus sampai pada pemahamannya yang benar tentang kasih-Nya.
Kedua, kepada orang-orang yang bersama Yunus di kapal, Allah tidak mencelakakan mereka karena membantu Yunus untuk melarikan diri. Dan bahkan dikatakan, mereka sendiri akhirnya menjadi takut akan Tuhan. Atas peristiwa pencampakan Yunus ke laut pun Allah tidak menganggungkan kesalahan itu kepada mereka. Tidak disebutkan siapa para awak itu dan rasanya tidaklah juga bisa dimengerti bahwa para awak itu dimaksudkan mewakili kelompok orang tertentu. Karena memang hal itu tidak dimaksudkan juga oleh pengarang.[12]
Ketiga, kepada orang-orang Ninive, sejak semula Allah telah memberikan perhatian yang besar kepada bangsa ini. Dan dari sinilah pengarang mengawali dan sekaligus mengakhiri perjalanan kritiknya terhadap kekakuan bangsa terpilih yang hanya akan diselamatkan oleh Allah. Dan menarik untuk dilihat bahwa waktu empat puluh hari kiranya sungguh menjadi suatu kesempatan yang panjang untuk berbalik dan menyesal. Waktu yang panjang ini juga sekaligus sebagai gambaran yang mau menyampaikan bahwa Allah pun sebenarnya tidak berniat untuk mendatangkan hukuman-Nya. Dan rupanya, orang-orang Ninive tidak butuh waktu lama, segera sesudah nabi menyampaikan nubuatnya, mereka berbalik dan menyerukan pertobatan. Dari raja sampai ternak, semuanya dikatakan berlaku sama, mengenakan kain kabung dan duduk sambil menaburkan abu di atas kepalanya masing-masing, baik manusia maupun hewan (Yun.3:1-10).
Bila dilihat lebih dalam, kritik tersebut sungguh amat tajam dan telah mengenai sasaran dengan tepat. Yunus yang adalah orang Yahudi, mengeluh sepanjang kitab. Bahkan rasanya Yunus pun sulit untuk mengerti maksud Allah. Hal ini bisa juga diterapkan kepada orang Yahudi umumnya, yang berkeyakinan teguh sebagai yang terpilih hingga tidak mampu untuk memahami ketika Allah juga memperhatikan bangsa-bangsa lain.

E.   Penutup
Membaca dan menafsirkan Kitab Yunus tak bisa dilepaskan dari pemahaman dasar yang sudah harus ada, yaitu memposisikannya tidak sebagai kisah yang historis, tetapi lebih sebagai suatu kisah yang bersifat pengajaran. Oleh karena itu, perlu juga untuk melihat konteks dan sekaligus tujuan dari pada kitab itu dikarang. Dan jelaslah kini bahwa mengkadapi sikap eksklusif yang ditampilkan oleh orang Yahudi, pengarang merasa perlu untuk meluruskan dengan pemahaman yang baru bahwa juga bangsa yang lain mendapat anugerah keselamatan yang sama.
Dalam hal inilah mau disampaikan bahwa belas kasih Allah, melampaui segala daya upaya, harapan dan pengetahuan manusia. Bila terjadi bahwa nubuat nabi tidak terlaksana, yaitu penghancura, sebabnya adalah karena pembinasaan yang selalu diancamkan adalah bersyarat. Dengan demikian, sebenarnya pewartaan Yunus adalah pewartaan yang berhasil dengan amat baik sekali (bdk. Yer 18:7-8)[13].


DAFTAR PUSTAKA

Baxter, J.Sidlow,
            1980, Menggali Isi Kitab Suci 2: Ayub s/d Maleakhi, BPK Gunung Mulia, Jakarta.

Darmawijaya, Pr., St.,
            1990, Yunus Dan Pesannya, Kanisius, Yogyakarta.

Kramer, A.Th.,
            1986, Tafsiran Alkitab; Yunus, BPK Gunung Mulia, Jakarta.

LBI,
            2000, Alkitab, Arnoldus, Ende.

Bergant, CSA, D., dan Robert J. Karris, OFM (ed.),
            2002, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, Kanisius, Yogyakarta



[1] Bdak. St. Darmawijaya, Pr, Yunus Dan Pesannya, Kanisius, Yogyakarta 1990, hal 44.
[2] Bdk. Irene Nowell, OSB, Yunus, dalam Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris, OFM (ed.), Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, Kanisius, Yogyakarta 2002, hal 670.
[3] Bdk. St. Darmawijaya, Pr, Yunus Dan Pesannya, hal 43-45.
[4] Bdk. St. Darwawijaya, Pr, Yunus Dan Pesannya, hal 50.
[5] Bdk. Irene Nowell, OSB, Yunus, hal 670.
[6] Bdk. St. Darmawijaya, Pr, Yunus Dan Pesannya, hal 54-58.
[7] Bdk. Drs. A. Th. Kramer, Tafsiran Alkitab; Yunus, BPK Gunung Mulia, Jakarta 1986, hal. 6.
[8] Bdk. St. Darmawijaya, Pr, Yunus Dan Pesannya, hal. 48.
[9] Bdk. J. Sidlow Baxter, Menggali Isi Alkitab 2; Ayub s/d Maleakhi, BPK Gunung Mulia, Jakarta 1980, hal. 368-375.
[10] Bdk. J. Sidlow Baxter, Menggali Isi Alkitab 2; Ayub s/d Maleakhi, hal. 368-375.
[11] Istilah “Allah yang empunya langit”, hanya terdapat dalam Kitab-Kitab Perjanjian Lama yang dikarang setelah pembuangan dalam zaman Persia, seperti Kitab Tawarikh-Ezra-Nehemia dan Kitab Daniel. Bdk. Drs. A. Th. Kramer, Tafsiran Yunus, hal. 23.
[12] Drs. A. Th. Kramer, Tafsiran Yunus, hal.18-19.
[13] Bdk. LBI, Kitab Suci, hal. 1273.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

La présence de Dieu qui accompagne toujours nos vies est un mystère. Sa présence réelle qu'Il soit là ou ici, nous ne pourrons peut-être...