BUMIKU SAKIT:
PERMASALAHAN EKOLOGI
DALAM KAJIAN MORAL LINGKUNGAN HIDUP GEREJA KATOLIK
Terpujilah Engkau, Tuhanku,
karena Saudari Ibu Pertiwi,
dia menyuap dan mengasuh kami,
dia menumbuhkan aneka ragam buah-buahan,
beserta bunga warna-warni dan rumput-rumputan
karena Saudari Ibu Pertiwi,
dia menyuap dan mengasuh kami,
dia menumbuhkan aneka ragam buah-buahan,
beserta bunga warna-warni dan rumput-rumputan
(Gita Sang Surya – St. Fransiskus dari Asisi).
1.
Pengantar
Kepulan asap kendaraan dan pabrik-industri, pembuangan limbah pabrik
yang tidak bertanggungjawab, tumpukan sampah yang tidak diolah/terurus,
penjarahan alam (sumber daya alam beserta hutan) dengan semena-mena, pemburuan
hewan secara liar merupakan salah satu sisi khas dari bagian komunitas manusia
di muka bumi. Akibat dari tindakan-tindakan itu adalah munculnya polusi udara,
bau busuk sampah yang menggangu tempat hidup, hutan menjadi semakin gundul
dengan dekadensi sumber daya alam tak terkendali, dan semakin berkurangnya
(bahkan hilang) keanekaragaman flora dan fauna yang ada. Akibat-akibat itu
semua pada akhirnya mengganggu kesehatan, ketenangan dan kesejahteraan hidup
manusia serta makhluk hidup yang ada sekarang dan yang akan datang. Bahkan isu
terbaru dan yang belum terselesaikan adalah kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo.
Kerusakan semakin parah dan bahkan status tanggul yang menahan lumpur
ditingkatkan statusnya menjadi siaga[1]. Banyak
pihak yang ingin “cuci tangan” atas permasalahan ini, namun yang patut untuk
diperhitungkan adalah banyaknya warga yang dirugikan dan membutuhkan
perhatian-ganti rugi. Alam dan lingkungan hidup yang adalah bumi – tempat hidup
– sekarang sungguh sedang sakit dan bahkan menderita.
Mengapa terjadi demikian? Pertanyaan itu sepertinya terlambat untuk
dijawab sebab pada dasarnya keadaan bumi yang semakin sakit ini sudah berada
pada ambang batas “kritis”. Maka, satu hal yang terpenting adalah mencari
jalan/cara pencegahannya dari pada hanya mencari seluk beluk terjadinya. Pada
praksis hidup ternyata masih ada banyak manusia yang belum sadar bahwa
sesungguhnya usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup – yang tiada cara lain dengan
menggunakan sumber daya alam yang ada – akan memiliki pengaruh terhadap keadaan
lingkungan hidupnya. Manusia sepertinya belum sungguh-sungguh memiliki
pertimbangan untuk memikirkan dampak samping ketika mengeksploitasi alam,
buminya. Manusia dengan hasrat manusiawinya cenderung untuk dapat memenuhi
segala kebutuhan hidupnya, kadang dengan jalan meraup sebanyak-banyaknya, tanpa
berfikir akan dampak yang harus dipikul oleh sesama dan alam sekitar serta generasi
mendatang. Selain itu, hukum tentang lingkungan hidup pun juga belum ditegakkan
dengan sebagaimana mestinya. Budaya “amplop” seringkali meluluh-lantahkan kekuatan
hukum yang semestinya menjaga kelestarian alam dan lingkungan. Dengan jalan
demikian, manusia cenderung berbuat sewenang-wenang terhadap bumi sebagai
tempatnya untuk tinggal dan berada.
Sebenarnya, bila dipikirkan lebih jauh, kunci utama dari penyelesaian
masalah sakitnya bumi-lingkungan hidup terletak dalam diri manusia sebagai
pribadi sekaligus makhluk sosial. Pelbagai kasus tentang lingkungan hidup tidak
akan terselesaikan jika penanganannya tidak kembali kepada manusia itu sendiri.
Untuk itu diperlukan sebuah transformasi diri dan perilaku manusia terhadap
bumi secara penuh tanggung jawab. Transformasi yang didambakan ini tidak hanya
akan menjadi utopia semata jika manusia berani untuk menumbuhkan dalam dirinya
sendiri benih kesadaran akan kedudukan dan peran lingkungan hidup bagi
kehidupan. Dalam hal ini, diperlukan pikiran-pikiran jernih atau kajian tentang
moral lingkungan hidup sebagai perwujudan dari moralitas berwawasan lingkungan.
Permasalahan tentang keadaan bumi atau lingkungan hidup/alam memang
merupakan isu yang terus mengundang banyak perhatian. Hal ini terjadi karena
permasalahan tentang tempat hidup makhluk (termasuk manusia) merupakan sebuah
permasahalan yang terus bergulir seturut waktu, baik dulu, sekarang dan akan
datang. Permasalahan ini akan terus ada seiring pula dengan pertumbuhan jumlah
umat manusia yang selama hidup memiliki kebutuhan yang harus dicukupi. Berhadapan
dengan isu yang selalu baru itu, penulis tertarik untuk mencermati permasalahan
ini dengan melihatnya dari sudut pandang iman Katolik.
Dengan mengetengahkan judul “Bumiku Sakit: Permasalahan Ekologi dalam
Kajian Moral Lingkungan Hidup Gereja Katolik”, penulis akan memberikan sebuah
kajian tentang pandangan moral Gereja Katolik terhadap permasalahan ekologi. Dengan
jalan ini, penulis ingin mencermati sikap Gereja Katolik terhadap permasalahan
lingkungan hidup yang menuntut adanya transformasi dari manusia Kristen untuk
bersikap bijak terhadap alam ciptaan. Maka, secara garis besar dalam tulisan
ini akan disajikan: fakta bumi yang sedang sakit, hubungan antara permasalahan
ekologi dengan moral, kajian moral berdasarkan Kitab Suci dan Ajaran Sosial
Gereja serta ditutup dengan sebuah refleksi.
2.
Bumiku Sakit
Layaknya tubuh manusia, apabila ada yang tidak beres/normal dari bagian
tubuhnya, maka akan muncul tanda-tanda demam, panas atau tanda lain yang
menunjukkan bahwa ia sedang tidak sehat. Demikianlah juga dengan bumi. Ada bagian bumi yang
tidak beres/normal karena telah teracuni dengan pelbagai limbah dan pengrusakan
yang berasal dari tindakan manusia. Kini, akibat itu telah menjadi nyata dan
sungguh terasa. Bumi sudah kurang nyaman untuk ditinggali, suhu udara semakin
panas, perubahan iklim yang tidak seperti biasanya dan akibat-akibat lainnya.
Akibat-akibat dari tindakan manusia itu pula yang sungguh memiliki dampak nyata
bagi keadaan lingkungan hidup.
Bila ditelusuri lebih jauh, sebenarnya pengaruh tindakan manusia
terhadap kerusakan lingkungan hidup – yang menyebabkan bumi menjadi sakit –
telah terjadi sejak jaman revolusi industri. Revolusi ini bertitik tolak pada
abad XVII dengan munculnya metode ilmiah, pengetahuan-pengatahuan baru dan
penyebarluasan teknologi[2].
Revolusi industri ini diwarnai dengan “ledakan produksi” barang-barang dengan
jumlah yang banyak dalam waktu yang singkat serta dalam bentuk dan kualitas
yang kurang lebih seragam. Industrialisasi sungguh mendatangkan kemudahan dan
memperbaiki pelbagai aspek kehidupan-kesejahteraan manusia, misal:
barang-barang kebutuhan primer dan sekunder, pengobatan, peningkatan kerja kaum
buruh/tani dan penyebaran informasi. Namun, bersamaan dengan dampak positif
itu, muncul pula dampak negatif yang terjadi selama abad-abad terakhir ini. Salah
satu dari pihak-pihak yang dirugikan dalam proses industrialisasi adalah
lingkungan hidup[3].
Selama 50 tahun terakhir dalam perkembangan industrialisasi, telah
muncul sorotan terhadap dualisme yang mendalam antara manusia dan alam. Dalam
paham ini, manusia dipandang sebagai subjek aktif dan alam/bumi sebagai unsur
pasif. Konsekuensi dari pandangan ini adalah bumi yang mencakup sumber-sumber
alam dimanfaatkan sebagai sarana pemenuhan kebutuhan manusia. Kemajuan dalam
bidang teknologi menunjukkan adanya kuasa penuh manusia atas alam; kuasa manusia
menaklukkan alam semesta. Puncak dari pandangan ini khususnya terjadi dalam
tahun 1960-1970. Yang terjadi adalah filsafat hidup masyarakat ditandai dengan
tindakan manusia yang cenderung tidak mengenal batas, utilitarianisme, tidak mengenal
kewajiban, budaya kematian yang kurang menghargai nilai hidup dan yang menjadi
ancaman adalah penghancuran bumi sebagai dampak dari teknologi modern. Dampak
nyata dari akibat itu adalah munculnya keadaan “yang tidak beres” yang
menjadikan bumi semakin sakit.
2.1. Keadaan
Udara
Pencemaran udara bukanlah permasalahan baru yang dihadapi, melainkan
permasalahan klasik. Sejak adanya revolusi industri, keadaan udara semakin
terancam karena pencemaran dari asap yang dikeluarkan oleh cerobong-cerobong
pabrik. Keadaan ini semakin diperparah dengan menjamurnya pabrik-pabrik raksasa
dalam era industrialisasi. Memang pada dasarnya pabrik-pabrik itu menghasilkan
barang yang dapat memenuhi kebutuhan manusia. Namun juga patut diperhitungkan
bahwa pabrik-pabrik itu mengeluarkan karbon dioksida (CO2) yang
dilepaskan melalui pembakaran fosil bahan bakar. Hal ini semakin diperparah
dengan adanya penggunan kendaraan bermotor dan juga usaha mengekspolitasi alam
dengan jalan membakar hutan.
Dampak negatif dari keadaan udara yang tidak sehat itu pertama-tama
dapat mengurangi tingkat kesehatan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Dampak
negatif yang lain adalah mulainya proses pemanasan global[4].
Pemanasan global ini terjadi karena jumlah lapisan CO2 dalam udara
yang semakin banyak bertahan pada lapisan atmosfer dalam jangka waktu yang
panjang. Lapisan itulah yang memantulkan panas dari bumi sehingga panas itu
tetap “meliputi” bumi. Maka, panas tetap berada dalam wilayah udara bumi;
demikian berlanjut hingga bumi menjadi semakin panas. Banyak para ahli
mengatakan bahwa peristiwa itu memicu terjadinya perluasan gurun pasir,
pencairan sebagian es di kedua kutub bumi, menaikkan permukaan air laut dan
banjir di sekitar pantai-pantai.
2.2. Keadaan
Ozon
Ozon adalah salah satu bentuk
dari oksigen. Oksigen yang normal mengandung dua atom yang bisa disebut O2
dengan memiliki sifat stabil dan sulit terlepas. Sedangkan ozon yang memiliki
tiga atom disebut O3 yang bersifat kurang stabil dan mudah terlepas
jika dibandingkan dengan O2. Para ahli dalam penyelidikan
laboratorium menemukan bahwa khlor[5]
dapat terpisah dari ozon.
Ozon yang berada tinggi di atas tanah – yang memiliki fungsi menyerap
radiasi ultraviolet yang berbahaya dari matahari – dirusak oleh khlor dari
bahan kimia yang terkandung, antara lain dalam limbah gas CFC (chlorofluoro-carbon), yakni limbah dari
gas CFC yang dipakai pada almari es dan air
conditioners (AC). Kelompok pendukung pengawasan kependudukan menegaskan
bahwa teori tentang penghancuran bahan kimia ini telah terbukti[6].
Ternyata ozon tidak berlubang sebelum berkembangnya bahan kimia di muka bumi.
Kini, lubang ozon kian membesar seturut dengan semakin banyaknya limbah yang
mengandung bahan kimia (penghancur ozon). Akibat dari adanya lubang ozon
berdampak negatif terhadap tidak adanya penyaring sinar ultraviolet dari
matahari. Akibatnya, akan terjadi ancaman berbahaya bagi kesehatan makhluk
hidup di bumi, terlebih ancaman kanker kulit.
2.3. Keadaan
Air
Sumber pencemaran air dewasa ini kian bertambah seiring dengan
berkembangnya tingkat kebutuhan manusia. Ternyata pencemaran air tidak hanya
dikarenakan adanya sampah organik, tapi keberadaan limbah/benda lain yang tak
terolah, termasuk bakteri, virus dan segala bentuk endapan dalam air juga ikut
ambil bagian. Keadaan demikian pada akhirnya akan memberikan ancaman terhadap
kebersihan air, kehidupan dalam air dan kesehatan manusia. Pembuangan limbah
secara tidak bertanggungjawab ikut memperburuk pencemaran air. Hal itu semakin
parah dengan adanya pembuangan sampah-sampah organik ke dalam air dan yang akan
dikonsumsi oleh pelbagai bentuk bakteri yang ada. Dalam proses itu, kadar
oksigen dalam air menjadi berkurang sehingga tidak menjamin kesehatan dan hidup
ikan serta makhluk hidup lain untuk tinggal di dalamnya.
Pencemaran air yang terjadi ternyata juga sudah menjangkau lautan luas.
Pada tahun 1970 para ahli sudah menemukan cukup banyak limbah radioaktif pada
air lautan[7].
Di lain pihak, laut sendiri telah tercemar limbah PAH (polyciclic-aromatic-hydrocarbon) yang berasal dari limbah bahan
bakar minyak dan limbah PCB (ply-chlorinated-biphenyl)
yang berasal dari limbah cair dalam instalasi pembangkit tenaga listrik. Limbah
PAH menimbulkan mutasi genetik dan kanker pada makhluk-makhluk hidup di laut,
sedang PCB menimbulkan bahaya bagi kesehatan manusia maupun makhluk hidup
lainnya[8].
2.4. Sumber
Daya Alam
Industrialisasi dan juga konsumerisme adalah dua hal yang saling
berkaitan karena dua hal itu tidak hanya menimbulkan pencemaran lingkungan
hidup, melainkan juga mengakibatkan berkurangnya sumber daya alam. Dengan
adanya usaha untuk mengeksploitasi secara besar-besaran (apalagi dengan tidak
bertanggungjawab) akan berakibat fatal bagi keanekaragaman flora dan fauna di
muka bumi ini.
Usaha manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dilakukan dengan jalan
mengeksploitasi alam beserta kekayaannya. Hal itu memang dibenarkan. Akan
tetapi seringkali manusia menyalahgunakannya sebagai jalan untuk meraup
sebanyak mungkin kekayaan alam yang ada tanpa memperhitungkan dampak ke depan,
terlebih bagi generasi yang akan datang. Sudah sekian banyak jenis binatang dan
tumbuh-tumbuhan yang hampir dan sudah punah. Demikian pula sama halnya dengan semakin
berkurangnya kekayaan tambang/mineral yang telah tereksploitasi secara
berlebihan tanpa melihat lamanya proses terjadinya dan proses yang dibutuhkan
untuk terjadinya di masa mendatang. Berkurangnya sumber alam ini semakin nampak
dengan berkurangnya jumlah luas dan kekayaan hutan di bumi serta digantikan
dengan bangunan/perumahan atau tanaman komersial yang homogen (misal: tanaman sawit
dan karet).
Kenyataan mengatakan bahwa revolusi industri memiliki bagian dalam
sejarah kehidupan manusia di bumi. Tidak dapat dipungkiri bahwa revolusi itu
memiliki pengaruh positif bagi manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan
hidupnya. Namun di lain pihak, tidak dapat dipungkiri pula bahwa revolusi itu
menimbulkan dampak negatif bagi bumi, lingkungan tempat manusia dan makhluk hidup
lainnya. Dampak negatif inilah yang mengakibatkan bumi kian hari semakin sakit
yang pada akhirnya pengaruh negatifnya kembali kepada manusia yang telah
memulainya.
3.
Hubungan
Ekologi dan Moral
Ekologi berasal dari kata Yunani: oikos
(rumah) dan logos (ilmu atau
pengetahuan). Kedua kata ini kemudian membentuk arti pengetahuan tentang rumah,
maksudnya adalah bahwa seseorang harus mengetahui tentang kebaradaan rumahnya,
tempat ia tinggal. Pengertian ini kemudian berkembang menjadi ekologi yang
meneliti hubungan antara pelbagai makhluk yang berbeda dan hubungan mereka
dengan tempat di mana mereka hidup, dengan iklim, jenis tanah dan sebagainya[9].
Kata moral berasal dari kata Yunani: ethos, yang berarti kebiasaan, dan kata ēthos yang berarti tempat hidup bersama, adat kebiasaan dan
karakter dari seseorang yang tinggal di tempat tersebut. Kedua kata ini
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Latin: mores (adat istiadat kebiasaan dan karakter manusia). Dalam
perkembangannya, kata etika dipakai untuk suatu analisa secara rasional tentang
perilaku manusia; sementara kata moral dipakai sebagai referensi untuk suatu
refleksi yang bersifat religius atau suatu referensi konkrit tentang perilaku
manusia. Sebenarnya kedua kata ini mereferensikan hal yang sama: perilaku
manusia; manusia memiliki tanggung jawab untuk hidup bersama alam semesta dan
menjaga kelangsungan hidup dari seluruh ciptaan yang ada.
Ketika Bernhard Häring, seorang teolog moral terkenal pada abad ini,
memasukkan tama “ekologi” di dalam Free
and Faithful in Christ (1977), hampir semua kritikus merasa bahwa tema
ekologi ini adalah tema yang asing bagi dunia moral. Mereka merasa bahwa tema
itu sepertinya dipaksakan oleh Häring agar dapat dibicarakan di dalam teologi
moral. Baru beberapa tahun sesudahnya, para kritikus sadar bahwa tema ekologi
adalah tema mendesak yang harus dibicarakan dalam ranah teologi moral sebab
manusia harus selalu disadarkan akan pentingya suatu tatanan hidup yang
bermoral dalam kebersamaan dengan makhluk ciptaan yang lain, bahkan dengan
lingkungan hidup/alam sebagai tempat tinggalnya. Adanya krisis lingkungan hidup
yang terjadi disadari telah mengancam kenyamanan tempat tinggal manusia; yang
terjadi karena salah satu dari dampak ulah manusia: pengelolaan lingkungan
hidup yang belum membudayakan rasa tanggung jawab, tidak adanya perhargaan
serta penghormatan terhadap hak hidup makhluk ciptaan lain, manusia
berlomba-lomba menguras isi perut bumi demi kepentingan hidupnya. Oleh karena
itu, ekologi dan moral lingkungan hidup saling terpaut[10].
Permasalahan ekologi umumnya memiliki hubungan erat dengan krisis moral dalam
usaha memahami ciri saling ketergantungan antara manusia dengan lingkungan
hidup.
Pada titik inilah – pentingnya tindakan moral di tengah keadaan krisis
lingkungan hidup – refleksi teologis moral sangat dibutuhkan. Melalui teologi
moral lingkungan hidup, umat beriman Kristiani dibantu untuk melihat iman
mereka secara jernih dengan menafsirkan teks Kitab Suci dan ajaran Gereja
secara benar untuk dapat melakukan suatu tindakan bijak berhadapan dengan
krisis lingkungan yang terjadi. Penganugerahan martabat insani bagi manusia
dari Allah pada saat penciptaan merupakan penyerahan tanggung jawab kepada manusia
untuk mengolah dan mengatur bumi agar berjalan dengan baik. Untuk itu, manusia
dituntut agar tidak dengan seenaknya bertindak atas semesta alam, melainkan
harus menghargai inherent value
(nilai bawaan) dan intrinsic value
(nilai hakiki) yang ada di dalam setiap ciptaan. Implikasi dari konsep ini
mengajak manusia untuk memperlakukan alam semesta sebagai subjek yang harus
dihargai. Inilah salah satu dasar utama mengapa alam semesta (lingkungan hidup)
dari dirinya sendiri harus dihormati. Ia layaknya sama seperti manusia yang
dari dirinya sendiri patut untuk dihormati sebagai subjek.
Pemikiran teologi moral lingkungan hidup saat ini mengajak orang
beriman Kristiani (harapannya juga memberikan pandangan kepada umat beriman
universal) untuk melihat kembali perilaku hidupnya yang harus ekologis berhadapan
dengan krisis lingkungan hidup yang semakin menjadi. Manusia Kristiani secara
istimewa diundang untuk menggeser pemikiran antroposentris menjadi pemikiran
ekologis di mana semua makhluk dan semua ciptaan mempunyai martabatnya sendiri
yang darinya menuntut manusia untuk menghormatinya. Pemikiran moral yang
berbuah pada tindakan ini akan menolong manusia untuk dapat menghindari sikap
dan kecenderungan memperlakukan alam semesta sebagai sumber material (objek)
yang semata-mata diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan hidup. Alam semesta ini
pusat untuk dirinya sendiri dan manusia hanyalah salah satu anggota dari alam
semesta ini[11].
4.
Perspektif
Kitab Suci
Kitab Suci bukanlah buku ilmiah yang mengisahkan sejarah setiap
pengada. Kitab Suci merupakan kitab yang mengajarkan manusia untuk hidup dengan
adil. Maka, para penulis Kitab Suci tidak menggunakan gaya bahasa yang memiliki
nuansa ilmu alam atau ilmu fisika karena mereka hidup dalam dunia “pra-ilmiah”.
Dalam tulisannya, mereka menempatkan manusia pada kedudukannya sebagai ciptaan
Tuhan yang hidup bersama dengan makhluk ciptaan lain. Walaupun Kitab Suci
bukanlah buku tentang ekologi, namun sejumlah penulis telah melukiskan ekologi
manusia dan mengangkat keadaan serta gejala alam dalam hubungan dengan Sabda
Tuhan.
4.1. Perjanjian
Lama (PL)
Dalam PL, alam ciptaan dilukiskan sebagai suatu keadaan dengan
keindahannya yang tak sanggup diungkapkan secara sempurna melalui gaya sastra. Alam
raya yang melingkupi makhluk hidup dan ciptaan lain diciptakan melalui Sabda Tuhan
sebagai ciptaan yang memiliki keindahan.
Kitab Kejadian
Kitab Kejadian memuat pembicaraan tentang lingkungan hidup. Para
pengarang dari kitab itu mengaitkan pengalaman hidupnya dengan wawasan
lingkungan berdasarkan pemahaman tentang sejarah penyelenggaraan Ilahi atas
bangsa Israel sebagai bangsa yang dipersatukan dengan Allah dan sebagai bangsa
yang telah dijanjikan tanah khusus. Pada bab-bab pertama, dilukiskan
permenungan klasik tentang peristiwa panciptaan. Secara khusus dalam bab 1-11
memprioritaskan peristiwa penciptaan yang mengetengahkan hubungan Ilahi dengan
dunia bermula dari maksud awal Tuhan Allah untuk menciptakan alam semesta,
bukan hanya untuk bangsa Isael saja.
Tradisi Yahwista (Y)
menggambarkan keadaan penciptaan alam semesta sebagai peristiwa yang tertuju
pada Yahwe sebagai tempat kehadiran berkat Tuhan bagi manusia. Manusia memiliki
hubungan yang tidak terpisahkan dengan keberadaan alam semesta; dan manusia juga
memiliki hidup yang berdekatan dengan hewan (Kej 2:19-20). Sementara dalam
tradisi Priester (P), khususnya dalam
Kej 1:1-2:4a, menceritakan asal mula alam semesta (kosmos) untuk menunjukkan
struktur keberadaan manusia dan dunia. Ada tiga hal yang dititikberatkan oleh
tradisi Priester sehubungan dengan
peristiwa penciptaan dunia: tatanan, waktu dan hidup[12].
Topik utama dalam Kej 1-11 sebenarnya membahas tentang tindakan keteraturan
Allah Yahwe selain membahas tentang gagasan cratio
ex nihilo.
Ada sebuah pertanyaan yang patut untuk dipertimbangkan: apakah yang
dimaksud dengan kekuasaan manusia terhadap makhluk ciptaan lain seperti yang
dilukiskan dalam Kitab Kejadian (Kej 1:26,28)? Berhadapan dengan teks itu,
Thomas F. Dailey dalam “Cration and
Ecology” berpendapat bahwa penulis kitab tidak memandang kuasa itu sebagai
kuasa tak terbatas, namun di hadapan mata Tuhan, makhluk ciptaan non-manusia
dan manusia diandaikan untuk membentuk suatu komunitas makhluk ciptaan dan di
dalam komunitas itu manusia-lah yang memiliki tanggung jawab.
Mazmur-mazmur
Mazmur 19:2-5b menggambarkan pewartaan tentang alam semesta sebagai
buah karya tangan Tuhan. Dalam mazmur itu digambarkan bagaimana langit,
termasuk bintang-bintang, mengidungkan kemuliaan Allah dan memberikan kesaksian
karya Pencipta: “Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan
pekerjaan tangan-Nya” (ay 2). Alam semesta dengan segala keindahannya
mengundang manusia untuk percaya kepada Allah Pencipta dan juga mengajak
manusia untuk terus-menerus memuji kebesaran Tuhan melalui kidung, doa/iman dan
pujian.
Mazmur 104 kembali mengumandangkan pandangan kontemplatif tentang
panciptaan alam semesta dalam Kej 1 dengan menampilkan unsur-unsur alam,
seperti: cahaya, gunung, lembah, matahari, sungai, tetumbuhan dan hewan-hewan[13].
Mazmur ini tidak bermaksud mengisahkan peristiwa penciptaan, melainkan
peristiwa penciptaan itu direnungkan dan dikidungkan dengan tujuan agar
memahami keindahan serta keteraturan di dalamnya. Dalam pemahaman ini, alam
dipandang memiliki dua makna: alam semesta merupakan tempat pertemuan dengan
Tuhan sekaligus serentak berjarak dengan Tuhan. Manusia bisa saja tidak melihat
Tuhan dalam alam semesta atau tidak dapat memahami kehadiran-Nya, namun dengan ketakjuban
akan karya ciptaan, manusia dimampukan untuk menyadari kehadiran Tuhan yang
memperhatikan dan menuntun. Hal serupa juga dapat dilihat dalam Mazmur 136 yang
menunjukkan kasih setia Allah yang menakjubkan dalam penciptaan dunia dan
sejarahnya. Cinta kasih itu menghubungkan Tuhan dengan alam semesta dan sejarah
manusia: penciptaan dan sejarah tidak terpisahkan. Cinta kasih-Nya merupakan
sumber penciptaan alam semesta.
Doa-doa bangsa Israel dalam mazmur menampakkan kedekatan hidup mereka
dengan makhluk ciptaan. Alam semesta, termasuk tempat manusia dan makhluk
lainnya hidup, yang dilukiskan dalam mazmur-mazmur merupakan dunia yang
bermakna, yang mengandung arti, seperti penjelmaan makna yang diberikan Allah
melalui Sabda-Nya yang mencipta. Oleh karena itu, tiap ciptaan adalah buah dari
Sabda Allah yang membawa makna dalam dirinya.
4.2. Perjanjian
Baru (PB)
Dalam PB, gagasan tentang alam semesta terorientasi pada hidup manusia
dalam sejarah keselamatan. PB mempertimbangkan kosmos dalam kaitan dengan Yesus
Kristus dan manusia di hadapan Yesus Kristus. PB memang tidak memberikan suatu
konsep kosmologis yang khusus sebagai bagian pewartaan integral dari Injil.
Gambaran tentang kosmos yang terdapat dalam Injil dipandang sebagai sarana
untuk pewartaan Injil, maksudnya adalah PB tidak berbicara tentang alam semesta
dalam dirinya, sebagai benda belaka, namun pembicaraan tentang kosmos dikaitkan
dengan dunia manusia, tempat Tuhan bertindak dan manusia melakukan sesuatu
secara bertanggungjawab.
Surat-surat Paulus
Yang dimaksud dengan alam semesta (kosmos) oleh Paulus adalah sesuatu
yang yang bukan Tuhan yang mencakup semua benda (Rm 11:36); dan juga yang mencakup
kekuasaan Ilahi (1 Kor 8:4). Bagi Paulus, alam semesta ini tidak memiliki
“keteraturan” karena menurutnya dunia telah kehilangan keseimbangan dan
keserasiannya. Ia melukiskan bahwa “dunia ini” berada di bawah kuasa dosa (1
Kor 1:20-21; 3:19; 5:10; 7: 31.33-34).
Ada tiga pokok pikiran Paulus yang dapat menjadi permenungan tentang
kosmos[14]:
(1) Dunia sebagai penciptaan yang berdimensi
kristosentris. Dunia dan sejarah selalu berada di bawah kuasa, tindakan
penciptaan dan penyelamatan Ilahi. Dalam suratnya ditegaskan pengakuan iman
akan penciptaan langit dan bumi oleh Tuhan (Kis 4:24; 17:24). Penciptaan
berdimensi kristosentris (Kol 1:15-17): semua unsur di atas bumi tak
terpisahkan dari kuasa Kristus Yesus. Bumi dan seluruh ciptaan tidak dapat
dipandang dalam kekuatannya sendiri, namun selalu terkait dengan hubungan asalnya
yang dinamis dengan Tuhan. Kristosentrisme alam semesta menegaskan kebenaran
mutlak alam semesta – yang tidak hanya terbatas pada fungsinya saja dan menegaskan
pula bahwa Tuhan berkarya dalam kedalaman tenaga-tenaga alam serta tersembunyi
dalam keputusan-keputusan manusia.
(2) Penebusan kosmos. Bumi/dunia memerlukan
keselamatan – dalam Kristus – sebab hal itu adalah kehendak Allah sendiri untuk
merukunkan Diri dengan manusia, semua pengada di atas bumi dan di langit; damai
ini terwujud melalui darah-Nya di kayu salib (Kol 1:20). Bagi Paulus, makna terakhir
dari semesta dan kemanusiaan berada dalam tujuan kepada Kristus: “…, baik
Paulus, maupun Kefas, baik dunia, hidup maupun mati, baik waktu sekarang,
maupun waktu yang akan datang. Semuanya kamu punya. Tetapi kamu adalah milik
Kristus dan Kristus adalah milik Allah”
(1 Kor 3: 22-23).
(3) Manusia Kristen dan dunia. Bagaimanakah
seharusnya manusia bersikap terhadap alam semesta? Berhadapan dengan pertanyaan itu, Paulus akan
memegang dua pernyataan secara serempak, kendati terjadi dalam suatu ketegangan
dialektis terus-menerus: dunia diciptakan Tuhan dan karena itu baik; dunia
sekarang menjadi sasaran kuasa negatif akan dosa. Walau demikian, Paulus tetap
menganut prinsip “Karena semua yang diciptakan Allah itu baik dan suatu pun
tidak ada yang haram, jika diterima dengan ucapan syukur, sebab semuanya itu
dikuduskan oleh firman Allah dan oleh doa” (1 Tim 4:4-5). Satu-satunya penguasa
dunia adalah Yesus Kristus. Dalam menghadapi dan memecahkan masalah, Yesus
Kristus dan Injil menjadi takaran kritis. Kepada orang Kristen, Paulus tidak
memberikan tugas untuk mengubah dunia, tapi terutama membiarkan diri untuk
diubah oleh Yesus. Baginya, perubahan dunia diwujudkan melalui transformasi
mendalam hati nurani. Tanggung jawab orang Kristen di hadapan dunia terutama dengan
melihat apa yang dikehendaki Allah: kebaikan, juga bagi dunia, yaitu kehendak
Allah, diungkapkan dalam Kristus Yesus. Orang Kristen bertugas untuk bertindak
sesuai dengan kehendak Tuhan, memandang dunia seperti yang dilakukan oleh
Allah. Dengan demikian, orang Kristen mengubah bentuk dunia dari dalam dan
menghidupi semua keadaan di dunia menurut Roh Yesus.
Dalam suratnya kepada jemaat di Roma (Rm 8:18-27), Paulus menyoroti
dunia yang diciptakan Tuhan sebagai suatu keseluruhan. Tidak dapat dipungkiri
bahwa pandangan dan sikap manusia terhadap alam semesta berdimensi
antroposentrik. Meski demikian, bukanlah antroposentrik subjektif yang
mereduksi segala sesuatu dalam alam semesta menjadi nilai yang diutamakan
sejauh menjamin keuntungan manusia. Hal ini didasari pada kesadaran bahwa
tempat manusia dalam tatanan penciptaan ditentukan oleh posisi dan hubungan manusia
itu sendiri dengan segala ciptaan dalam keterkaitan dengan Tuhan. Paulus secara
khusus mengajak manusia Kristen untuk memandang segala sesuatu di atas
permukaan bumi sebagai entitas yang menemukan tujuan tertinggi mereka untuk
memuji dan menggembirakan Tuhan dan bukan manusia. Ini akan menjadi tantangan
bagi iman karena pujian dan kegembiraan Tuhan atas alam semesta tidaklah akan
selalu tampak, kecuali dengan usaha mewujudkannya dalam praksis hidup nyata. Pernyataan
Paulus dalam Rm 8:18-27 sebenarnya mengulangi argumen kristologis: pengharapan
yang dibicarakannya bukanlah pengharapan mesianik saja, melainkan pengharapan
yang bisa dilihat hanya melalui salib; sebuah pengharapan yang berkaitan dengan
pemulihan citra Ilahi anak-anak Allah dalam hubungan dengan dunia alam semesta.
J. A. Rimbach, seorang mahaguru teologi di Seminari Concordia, Kowloon,
Hongkong, berpendapat bahwa keterbukaan mata manusia bagi salib yang dipikul
orang Kristen adalah untuk memandang jeritan bersama seluruh ciptaan[15]. Ia
berpendapat bahwa manusia Kristen
memiliki tanggung jawab baru, yakni: melepaskan ketertarikan dari kehancuran
sebagai buah pembangkangan umat manusia terhadap alam semesta dengan memulai
dan meneruskan status citra mereka dalam hubungan dengan ciptaan sehingga
sampai pada tujuan sebagai ciptaan dalam hubungan dengan semua makhluk ciptaan.
5.
Ajaran
Sosial Gereja
Setelah melihat perspektif moral dalam tradisi alkitabiah, pentinglah
pula untuk melihat cara pandang Gereja Katolik berdasarkan ajaran sosial Gereja
selama dalam sejarah, yang dimulai dari Bapa-bapa Gereja, pandangan pada abad
pertengahan hingga pada pandangan ajaran sosial Gereja saat ini.
5.1. Bapa-bapa
Gereja[16]
Para Bapa Gereja pada umumnya mempertahankan dua tesis utama bila
membicarakan tentang alam semesta. Pertama, umat manusia kehilangan hak
penguasaan atas bumi setelah jatuh ke dalam dosa (Kej 3). Kedua, manusia masih
memiliki kuasa itu walaupun telah mengalami kejatuhan. Tesis pertama mereduksi
lingkup ekologis dalam Kej 1:28 dan menggantikannya dengan suatu etika
individual: “manusia harus meningkatkan diri di atas tingkat hewan-hewan dengan
kedisiplinan diri, dengan mengikuti akal budinya”. Tesis kedua memiliki
keterbukaan dalam cara pandang ekologis: “sungguhpun telah jatuh, manusia masih
mampu dan berkewajiban mengatur hidup serta tugas yang dipercayakan kepadanya
oleh karya penciptaan”. Ada dua tokoh utama yang berpengaruh dalam pandangan
Bapa-bapa Gereja, yakni Lactantius (240-320) dan Agustinus (354-430).
Lactantius berpendapat bahwa alam semesta pasti diciptakan oleh Tuhan. Dalam
penciptaan itu, manusia menjadi “pengada” yang mengakui Penciptanya dan
menikmati segala kebaikan (makhluk hidup dan ciptaan lainnya). Untuk mencapai
tujuan hidupnya, manusia menggunakan segala hasil karya Tuhan untuk memenuhi
segala kebutuhan hidupnya. Lactantius sepertinya sependapat dengan Eusebius
(260-340) yang memandang manusia sebagi bagian dari asas Ilahi dan satu-satunya
ras berakal budi yang sanggup mencintai Tuhan (Pencipta) di antara makhluk
ciptaan lainnya. Dari pandangan ini ingin menegaskan bahwa umat manusia
setidaknya dapat melihat diri sebagai makhluk hidup yang secitra dengan
Pencipta ketika mereka mampu memadukan pengetahuan dan kebijaksaan dalam
“menggunakan” alam ciptaan.
Agustinus mengulas penciptaan dan alam semesta dalam terang Kitab Suci.
Tafsiran dari kisah penciptaan diangkat menjadi salah satu tema permenungannya.
Dalam pandangannya, ia mengembangkan perspektif teologis-ekologis yang
diperkaya dengan dimensi soteriologis. Ia menekankan bahwa ciptaan di luar diri
manusia – berjiwa atau tidak – tetap memiliki nilai lebih daripada sekadar
bersifat memenuhi kebutuhan manusia. Makhluk ciptaan lain, selain manusia,
tidak hanya berada untuk memenuhi keperluan-keperluan manusiawi. Tapi, akal
budi manusia-lah yang menempatkan mereka pada jajaran tingkat yang lebih tinggi
dibanding ciptaan lainnya. Seiring dengan gagasan dalam surat Paulus kepada
jemaat di Roma (Rm 8:18-25), Agustinus melihat adanya keluhan dari segala
makhluk hidup (ay 22) dan keluhan itu menantikan adanya pengharapan akan
keselamatan. Dalam pengharapan akan keselamatan itu, manusia yang dengan akal
budinya (sebagai anugerah) diundang Tuhan untuk bersama-sama menghadirkan keselamatan
bagi alam semesta melalui karya nyata. Dalam pandangan ini ditemukan sesuatau
yang menyerupai analogia laboris
(analogi kerja) antara Pencipta dan citra-Nya (manusia) yang kreatif. Melalui
karyanya, manusia berkerja bersama Allah untuk “mencipta” dan menjaga
kelestarian alam ciptaan.
Sejak abad keempat, pengakuan iman akan “Bapa yang Mahakuasa” (Pater omnipotens) diperluas dengan
pengakuan ”Pencipta langit dan bumi” (factorem
caeli et terrae). Penciptaan dari ketiadaan (pengakuan iman sejak abad
kedua) ditekankan kembali. Gagasan penciptaan dan pemeliharaan pada jaman para
Bapa Gereja mendapatkan tempatnya.
5.2. Abad
Pertengahan[17]
Pandangan abad pertengahan tentang alam semesta dan kandungannya
memiliki kaitan dengan etika kerja para rahib Benediktin (abad ke-6). Peraturan
itu dipengaruhi kuat oleh Benediktus dari Nursia yang memiliki semboyan Ora et Labora (Berdoa dan Bekerja). Makna
yang terkandung di dalamnya ingin menekankan bahwa kerja pertama-tama bukan
terletak pada usaha penggarapan alam dan penggalian keuntungan dari alam,
melainkan terutama terletak pada kerja manusia yang menghasilkan sebuah budaya:
mengolah dan menjaganya. Makna lain yang terkandung di dalamnya adalah adanya
hubungan keterkaitan sosial yang diungkapkan dalam bentuk keramah-tamahan
biara, yang kini dikenal sebagai ekologi sosial. Cita-cita rohani untuk
mencapai kekudusan yang relatif baru terwujud pada waktu itu. Hal itu meliputi:
pengolahan tanah di samping mencintai Tuhan dan sesama serta asketisme sebagai
keutamaan-keutamaan yang sangat menentukan. Maka, pengolahan alam semesta (bumi
dan segala isinya), keahlian dan teknologi dapat disatukan dengan hidup iman
yang mengontrolnya.
Pernyataan ini diteguhkan dengan pendapat Hugo dari St. Victor, yang
dalam karyanya dapat diketahui adanya kesaksian bermakna atas pengertian abad
pertengahan mengenai alam, yang menjadikan hewan dan mesin sebagai obyek
tanggung jawab dari iman. Aspek teologi ekologis yang ingin disampaikan adalah
Tuhan menghendaki manusia agar tidak hanya menguasai dan menggunakan dunia
(binatang, tumbuhan, dan ciptaan lainnya), tetapi juga memiliki tanggung jawab
untuk memeliharanya dan mengetahui apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia
itu sendiri.
Thomas Aquinas (+1274) menggarisbawahi peran utama Tuhan sebagai
Pencipta alam semesta beserta kandungannya. Alam semesta sebagai ciptaan
memiliki ketergantungan penuh pada Tuhan. Bagi Thomas, Tuhan tidak hanya
mengadakan alam semesta, tetapi juga menyebabkannya terus menerus. Ajaran
inilah yang kemudian diringkas menjadi “ketergantungan”. Tuhan sebagai Being dalam Diri-Nya (Ipsum Esse Subsistens) adalah sumber dan
sekaligus sebagai kepenuhan segala ciptaan. Oleh karenanya, semua pengada
tergantung mutlak dan berperan serta dalam Sang Pengada Utama, Tuhan. Pandangan
ini menekankan makna penciptaan sebagai munculnya segala pengada dari
asal-muasal. Selanjutnya Thomas berpendapat bahwa Tuhan menciptakan segalanya
dari ketiadaan (ex nihilo[18]).
Dari pandangannya, Thomas menekankan undangan bagi manusia untuk menyadari
bahwa kuasa akan alam semesta tidak sepenuhnya mutlak milik mereka. Tuhan
adalah Empu dari segalanya. Pandangan ini sependapat dengan pandangan
sebelumnya yang ingin menegaskan bahwa kuasa manusia atas alam semesta
pertama-tama ditujukan pada tindakan: memelihara dan mengetahui apa yang
seharusnya dilakukan manusia yang memiliki kuasa untuk mengolah alam.
5.3. Ajaran
Sosial Gereja
Dalam sejarah telah dibuktikan bahwa dari dulu hingga sekarang, Gereja
Katolik telah banyak memperhatikan aspek kehidupan moral manusia: individual, seksual
dan sosial, yang berhubungan dengan dunia kerja (Rerum Novarum-1891), perdamaian antar bangsa (Pacem in Terris-1963), perkembangan manusia (Populum Progressio-1967). Namun, pada akhir-akhir ini, Gereja tidak
hanya membahas tentang permasalahan di atas. Masalah tentang lingkungan hidup
ternyata dimasukkan ke dalam agenda perhatian Gereja. Paus Paulus VI, dalam
suratnya kepada Maurice Strong pada kesempatan Konferensi Bangsa-bangsa tentang
lingkungan hidup manusia yang diselenggarakan di Stockholm pada tahun 1972,
menegaskan bahwa manusia dan lingkungan hidup alamiahnya saling terpaut dan
perlunya pembatasan dalam menggunakan kekayaan alam yang sama[19]. Dengan
mengetengahkan isu tentang lingkungan hidup (berhadapan dengan kerusakan alam
yang terjadi), Paus Paulus VI adalah ”Paus pertama” yang sungguh-sungguh
berbicara tentang masalah ekologis dalam Gereja dan juga di hadapan dunia
internasional. Seperti dalam ensikliknya Populorum
Progessio (1967), Paulus VI menegaskan beberapa hal berikut:
(1) Paulus
VI berbicara tentang krisis lingkungan hidup dan ancaman, akibat-akibat yang
ditimbulkan oleh polusi industrial dan mendesak sejumlah perubahan dari tingkah
laku manusia yang boros: “Sementara mengendalikan cara hidupnya, ia didorong
untuk mengadakan penelitian-penelitian baru dan menghasilkan penemuan-penemuan
baru pula, untuk mengambil risiko-risiko yang bijaksana, dan melancarkan
proyek-proyek baru, untuk bertindak secara bertanggungjawab dan membaktikan
diri tanpa pamrih” (PP 25);
(2) Permasalahan
tentang lingkungan hidup dikaitkan dengan perkembangan dalam perspektif kerja
sama internasional demi pencapaian kedamaian bersama: “Damai diwujudkan melalui
usaha-usaha yang dari hari ke hari ditujukan kepada pembangunan alam semesta
yang serba teratur seperti yang dikehendaki oleh Allah, disertai perwujudan keadilan
yang lebih sempurna antar manusia” (PP 76).
Beberapa tahun kemudian setelah kehadiran Paulus VI, tampillah Paus
Yohanes Paulus II yang juga menetapkan dan mengajukan sejumlah ajaran sosial
baru yang berhubungan dengan alam dan perlindungan terhadap lingkungan hidup. Yohanes
Paulus II sungguh memiliki perhatian besar terhadap masalah lingkungan hidup
yang sedang dihadapi oleh masyarakat dunia. Pada tahun 1979, setahun setelah
menduduki kursi kepausan, ia menyatakan bahwa St. Fransiskus dari Asisi sebagai
pelindung para Pelestari Lingkungan Hidup. Dalam suratnya, Sanctorum Altrix (11 Juli 1980), ia juga menyebut nama orang kudus
lain sebagai pelindung ekologi, yakni St. Benediktus. Yohanes Paulus II
memusatkan perhatian pada masalah keindahan alam, keserasian penciptaan, tanah
yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia dan tanggung jawab umum manusia dalam
penggunaan sumber-sumber alam. Hal itu termuat dalam ensiklik pertamanya, Laborem Exercens (1981). Beberapa poin
yang ditekankan dalam ensikliknya adalah sebagai berikut:
(1) Perlunya
kesadaran bagi manusia untuk menggunakan sumber daya alam yang terbatas dengan
bijaksana dan bertanggungjawab: “…, meningkatnya harga energi dan bahan mentah,
berkembangnya kesadaran bahwa warisan alam terbatas dan sedang mengalami
pencemaran yang tidak boleh dibiarkan lagi,….” (LE 1);
(2) Yohanes
Paulus II menekankan pentingnya pengolahan tanah melalui kerja manusia sebagai
peran serta manusia dalam karya Pencipta dan pentingnya pula kemajuan dunia (dari
satu segi) dan perlindungan terhadap alam (dari segi lain): “Kalau melalui
kerjanya manusia makin menguasai bumi, dan melalui kerjanya pula ia memantabkan
kedaulatannya atas alam yang kelihatan, bagaimana pun juga dan pada setiap
proses itu ia toh tetap masih
bergerak dalam lingkup penataan asli oleh Sang Pencipta” (LE 4).
Selanjutnya dalam ensikliknya yang berjudul Sollicitudo Rei Socialis (1987), peringatan 20 tahun dari ensiklik Populorum Progressio Paus Paulus VI,
Yohanes Paulus II menampilkan analisis baru dan asli tentang krisis lingkungan
hidup. Dalam ensiklik ini terdapat tiga perhatian utama yang dititikberatkan:
(1) SRS
lebih menyadari bahwa pemanfaatan makhluk ciptaan, bernyawa atau tak bernyawa,
selalu menimbulkan akibat yang tidak terhindarkan. Penggarapan kekayaan alam
demi keperluan ekonomi tanpa mengingat kodrat setiap pengada dan saling
keterkaitan di antaranya dalam sistem organisme teratur (kosmos) memang
berbahaya: “Sebaliknya perlu untuk diindahkan kodrat setiap makhluk serta
hubungan antar ciptaan dalam satu tata-susunan yang teratur, yang justru
disebut kosmos” (SRS 34);
(2) Adanya
kesadaran bahwa sumber-sumber alam itu berciri terbatas. Pemanfaatan kekayaan
alam dengan sikap dominasi mutlak bukan hanya akan membahayakan generasi
sekarang, melainkan juga bagi generasi yang akan datang: “Memakainya
seakan-akan sumber daya itu tidak akan terkuras habis, dengan kesewenangan yang
mutlak, menimbulkan bahaya yang gawat bagi persediaannya bukan hanya untuk
generasi sekarang, melainkan terutama untuk generasi-generasi mendatang” (SRS 34
dan juga dapat dibandingkan dengan SRS 26);
(3) Pokok
penekanan selanjutnya adalah kesadaran akan adanya dampak negatif dari
industrialisasi yang akan menambah kontaminasi lingkungan dengan akibat-akibat
berat untuk kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, dibutuhkan tindakan yang
bijaksana dalam pemanfaatan sumber daya alam yang ada: “Sekali jelaslah bahwa
pengembangan, perencanaan yang mengaturnya, dan cara memanfaatkan sumber-sumber
daya, harus disertai sikap hormat terhadap tuntutan-tuntutan moril” (SRS 34).
Akhirnya, dalam ensikliknya yang berjudul Centesimus Annus (dan diterbitkan pada tahun 1991), Paus Yohanes
Paulus II kembali mengingatkan masalah lingkungan hidup dan keadaan ekologi
yang kian memprihatinkan. Ensiklik ini merupakan sebuah kritik tajam yang
dilontarkan terhadap sikap manusia dalam memanfaatkan kekayaan alam. Paus
menekankan bahwa seharusnya manusia menjadi kolabolator dengan Tuhan dalam
karya penciptaan dan bukan mengganti kedudukan dan peran Tuhan. Sri Paus juga
berbicara tentang perlindungan dan peyelamatan keadaan ekologi manusiawi,
melindungi keanekaragaman hayati yang terancam punah serta berbicara tentang
keseimbangan bumi. Beberapa hal yang ditekankan itu terlihat di dalam
ensikliknya[20]:
(1) Di
balik pengrusakan alam lingkungan yang bertentangan dengan akal sehat ada
kesesatan di bidang antropologi; manusia lupa bahwa kegiatannya harus
didasarkan pada kenyataan bahwa segala sesuatu adalah karunia Allah belaka;
manusia mengira boleh semaunya sendiri mendayagunakan bumi dan menikmati hasilnya;
manusia menggantikan tempat Allah; sikap itu membangkitkan pemberontakan alam
(CA 37);
(2) Kecuali
pengrusakan alam lingkungan, terjadi juga pengrusakan lingkungan manusiawi;
dalam konteks ini perlu disebutkan masalah-masalah serius yang muncul dalam urbanisasi
(CA 38);
(3) Adalah
kewajiban negara untuk membela dan melindungi harta milik umum, misalnya: alam
lingkungan dan lingkungan manusiawi (CA 40).
Beberapa ensiklik Paus Yohanes Paulus II mengandung makna akan
keprihatinannya terhadap permasalah ekologi bumi. Dengan beberapa ensiklik yang
dikeluarkannya, ia berusaha menyuarakan pesan kenabian untuk mengajak sekalian
umat beriman (termasuk dunia universal) agar memiliki tindakan moral dalam
menggunakan alam ciptaan. Bernard J. Przewosny menyarikan enam analisis Paus
Yohanes Paulus II tentang masalah ekologi[21]. Pertama, seluruh keberadaan kosmos
saling tergantung; saling ketergantungan ini membuat manusia mengerti bahwa
masalah ekologi adalah masalah global. Kedua,
sumber-sumber alam sangat terbatas dan sejumlah sumber alam tidak dapat
diperbarui. Ketiga, kekayaan alam
milik seluruh umat manusia dan bukan hanya milik kaum kaya/berada. Keempat, manusia bebas untuk mengalami
perkembangan manusiawi; suatu perkembangan global semua manusia, antara lain,
melalui perkembangan ekonomi. Kelima,
masalah demografi adalah masalah yang rumit. Artinya, perluasan demografi bukan
hanya menimbulkan perendahan lingkungan, tetapi juga bertambahnya kelaparan di
dunia dan masih ada pula penyebab masalah-masalah ekonomi. Keenam, krisis ekologi adalah masalah moral yang mendorong
kesetiakawanan baru di antara seluruh umat manusia. Selain itu, Yohanes Paulus
II juga mengajarkan bahwa manusia dapat mengenal Tuhan melalui keindahan alam
karena di dalam alam terdapat nilai dalam dirinya dan memperoleh otonomi yang
harus dihargai serta dihormati manusia.
6.
Penutup:
Sebuah Harapan
“Maka Allah melihat
segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik” (Kej 1:31). Alam segala
isinya telah diciptakan Allah menjadi segala sesuatu yang baik adanya, termasuk
penciptaan manusia. Di antara segala ciptaan yang ada, Allah menempatkan
manusia pada kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan ciptaan lainnya:
“Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka
berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan
atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi” (Kej
1:26). Allah dengan jelas memberikan kuasa bagi bangsa manusia untuk menggunakan
segala sesuatu – yang disediakan Allah – bagi pemenuhan kebutuhan hidup mereka.
Seiring dengan
berjalannya sejarah, kehidupan bangsa manusia terus mengalami perkembangan
dalam pelbagai aspek hidupnya. Perjalanan sejarah hidup manusia itu terus
berlanjut karena peran serta alam semesta yang dapat digunakan. Namun, karena
alam terus digunakan – apalagi dengan semangat tak bertanggungjawab – alam
semesta dan juga bumi sebagai tempat tinggal manusia menuju ambang kehancuran.
Alam dan lingkungan hidup sedang sakit dan menderita; dan yang membuatnya
adalah manusia itu sendiri. Sungguh sebuah ironi karena manusia merusak tempat
tinggalnya yang (padahal) sungguh diperlukan dalam hidupnya.
Berhadapan dengan permasalahan itu, manusia pulalah yang menjadi kunci
penyelesaian masalahnya, baik sebagai pribadi maupun sebagai makhluk sosial. Manusia
ditantang untuk mengadakan transformsi diri dan perilaku terhadap bumi
(lingkungan hidupnya), apabila menginginkan agar bumi tetap sehat dan
terpelihara. Transformasi ini akan terwujud dan tercapai apabila dalam diri
manusia memiliki benih kesadaran akan kedudukan serta peran lingkungan hidup
dalam dunia. Oleh karena itu, mereka memerlukan pikiran dan pertimbangan yang
lebih jernih tentang moral lingkungan hidup. Dalam ranah ini, secara khusus
manusia Kristen ditantang untuk mewujudkannya dengan berbekalkan penafsiran
biblis dan ajaran Gereja sebagai dasar utamanya. Harapannya, umat beriman (dan
juga seluruh umat beriman universal) dapat memiliki kesadaran terhadap bumi ini
seperti semangat St.
Fransiskus dari Asisi: “Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudari
Ibu Pertiwi, dia menyuap dan mengasuh kami, dia menumbuhkan aneka ragam
buah-buahan, beserta bunga warna-warni dan rumput-rumputan”. Kesadaran inilah
yang memampukan manusia untuk hidup bersama dengan alam sebagai saudara
se-cipta-an dari Satu Pencipta yang sama. Dengan demikian, perlakuan yang
bijaksana untuk “menaklukkan” bumi demi generasi sekarang dan mendatang dapat
terwujud sebagai langkah awal untuk mengobati bumi yang telah sakit. Semoga!
* * *
Daftar Pustaka
Buku:
Chang, Dr. W., OFMCap.,
2001 Moral Lingkungan Hidup,
Kanisius, Yogyakarta.
Hadiwardoyo, Al. Purwa, MSF.,
2006 Masalah Sosial Aktual-Sikap
Gereja Katolik, Kanisius, Yogyakarta.
Hardawiryana, R., SJ.,
1999 Kumpulan
Dokumen Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991 dari Rerum Novarum sampai Centesimus
Annus, Departeman Dokumentasi dan Penerangan KWI, Jakarta.
Mali, M., CSsR.,
2008 “Ekologi
dan Moral”, dalam A. Sunarko, OFM – A. Eddy Kristiyanto, OFM (eds.), Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi-Tinjauan
Teologis atas Lingkungan Hidup, Kanisius, Yogyakarta, 137-154.
Purwanto, Maria,
2010 “Bumiku
Sakit”, Bunga Rampai XVII, dalam A. Widyahadi Seputra dkk. (eds.), Kajian Lingkungan Hidup-Tinjauan dari Perspektif
Pastoral Sosial, Sekretariat Komisi PSE/APP bekerjasama dengan LDD-KAJ dan
Komisi PSE-KWI, Jakarta, 115-124.
Internet:
http://doasemestaalam.blogspot.com/2008/12/gita-sang-surya.html,
diakses pada 19 September 2011, pukul 18.23 WIB.
http://smk3ae.wordpress.com/2008/10/30bahan-kimia-berbasis-khlor-yang-digunakan-sebagai-desinfektant-pembasmi-mikroorganisme/,
diakses pada 20 Spetember 2011, pukul 20.36 WIB.
Surat Kabar:
Ara, Status Tanggul Lapindo Siaga,
Kompas, 18 September 2011, 4.
[1] Ara,
Status Tanggul Lapindo Siaga, Kompas,
18 September 2011, 4.
[2] Dr. W.
Chang, OFMCap., Moral Lingkungan Hidup,
Kanisius, Yogyakarta 2001, 19.
[3] Al.
Purwa Hadiwardoyo, MSF., Masalah Sosial
Aktual-Sikap Gereja Katolik, Kanisius, Yogyakarta 2006, 47.
[4] Al.
Purwa Hadiwardoyo, MSF., Masalah Sosial
Aktual-Sikap Gereja Katolik, 48.
[5]
Khlor/khlorin adalah golongan halogen yang berwarna hijau kekuning-kuningan dan
memiliki bau yang tajam. Senyawa ini dijumpai dalam bentuk gas, cair dan padat
serta memiliki banyak kegunaan, misal: untuk desinfektan pada proses pengolahan
air.
[6] Dr.W.
Chang, OFMCap., Moral Lingkungan Hidup,
22.
[7] Al.
Purwa Hadiwardoyo, MSF., Masalah Sosial
Aktual-Sikap Gereja Katolik, 49.
[8] Al.
Purwa Hadiwardoyo, MSF., Masalah Sosial
Aktual-Sikap Gereja Katolik, 49.
[9] M. Mali,
CSsR., “Ekologi dan Moral”, dalam A. Sunarko, OFM – A. Eddy Kristiyanto, OFM
(eds.), Menyapa Bumi Menyembah Hyang
Ilahi-Tinjauan Teologis atas Lingkungan Hidup, Kanisius, Yogyakarta 2008,
137.
[10] Dr. W.
Chang, OFMCap., Moral Lingkungan Hidup,
30.
[11] M.
Mali, CSsR., “Ekologi dan Moral”, 144.
[12] Dr. W.
Chang, OFMCap., Moral Lingkungan Hidup,
49.
[13] Dr. W.
Chang, OFMCap., Moral Lingkungan Hidup,
50.
[14] Dr. W.
Chang, OFMCap., Moral Lingkungan Hidup,
52-54.
[15] Dr. W.
Chang, OFMCap., Moral Lingkungan Hidup,
56.
[16] Dr. W.
Chang, OFMCap., Moral Lingkungan Hidup,
57-60.
[17] Dr. W.
Chang, OFMCap., Moral Lingkungan Hidup,
60-61.
[18] Kata
depan “ex” mengandung dua pengertian
pokok. Pertama, kata ini menunjuk pada akibat: sebelum Tuhan, tidak ada apa
pun; setelah Dia kemudian muncullah sesuatu. Kedua, kata ini menunjuk bahwa
dunia tidak mempunyai penyebab material: satu-satunya dasar penciptaan adalah
Tuhan sendiri, tidak ada yang lain.
[19] Dr. W.
Chang, OFMCap., Moral Lingkungan Hidup,
62.
[20] Al.
Purwa Hadiwardoyo, MSF., Masalah Sosial
Aktual-Sikap Gereja Katolik, 54.
[21] Dr. W.
Chang, OFMCap., Moral Lingkungan Hidup,
65-66.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar