Selasa, 21 Maret 2017

BUMIKU SAKIT:
PERMASALAHAN EKOLOGI
DALAM KAJIAN MORAL LINGKUNGAN HIDUP GEREJA KATOLIK


Terpujilah Engkau, Tuhanku,
karena Saudari Ibu Pertiwi,
dia menyuap dan mengasuh kami,
dia menumbuhkan aneka ragam buah-buahan,
beserta bunga warna-warni dan rumput-rumputan
(Gita Sang SuryaSt. Fransiskus dari Asisi).

1.      Pengantar
Kepulan asap kendaraan dan pabrik-industri, pembuangan limbah pabrik yang tidak bertanggungjawab, tumpukan sampah yang tidak diolah/terurus, penjarahan alam (sumber daya alam beserta hutan) dengan semena-mena, pemburuan hewan secara liar merupakan salah satu sisi khas dari bagian komunitas manusia di muka bumi. Akibat dari tindakan-tindakan itu adalah munculnya polusi udara, bau busuk sampah yang menggangu tempat hidup, hutan menjadi semakin gundul dengan dekadensi sumber daya alam tak terkendali, dan semakin berkurangnya (bahkan hilang) keanekaragaman flora dan fauna yang ada. Akibat-akibat itu semua pada akhirnya mengganggu kesehatan, ketenangan dan kesejahteraan hidup manusia serta makhluk hidup yang ada sekarang dan yang akan datang. Bahkan isu terbaru dan yang belum terselesaikan adalah kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo. Kerusakan semakin parah dan bahkan status tanggul yang menahan lumpur ditingkatkan statusnya menjadi siaga[1]. Banyak pihak yang ingin “cuci tangan” atas permasalahan ini, namun yang patut untuk diperhitungkan adalah banyaknya warga yang dirugikan dan membutuhkan perhatian-ganti rugi. Alam dan lingkungan hidup yang adalah bumi – tempat hidup – sekarang sungguh sedang sakit dan bahkan menderita.
Mengapa terjadi demikian? Pertanyaan itu sepertinya terlambat untuk dijawab sebab pada dasarnya keadaan bumi yang semakin sakit ini sudah berada pada ambang batas “kritis”. Maka, satu hal yang terpenting adalah mencari jalan/cara pencegahannya dari pada hanya mencari seluk beluk terjadinya. Pada praksis hidup ternyata masih ada banyak manusia yang belum sadar bahwa sesungguhnya usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup – yang tiada cara lain dengan menggunakan sumber daya alam yang ada – akan memiliki pengaruh terhadap keadaan lingkungan hidupnya. Manusia sepertinya belum sungguh-sungguh memiliki pertimbangan untuk memikirkan dampak samping ketika mengeksploitasi alam, buminya. Manusia dengan hasrat manusiawinya cenderung untuk dapat memenuhi segala kebutuhan hidupnya, kadang dengan jalan meraup sebanyak-banyaknya, tanpa berfikir akan dampak yang harus dipikul oleh sesama dan alam sekitar serta generasi mendatang. Selain itu, hukum tentang lingkungan hidup pun juga belum ditegakkan dengan sebagaimana mestinya. Budaya “amplop” seringkali meluluh-lantahkan kekuatan hukum yang semestinya menjaga kelestarian alam dan lingkungan. Dengan jalan demikian, manusia cenderung berbuat sewenang-wenang terhadap bumi sebagai tempatnya untuk tinggal dan berada.
Sebenarnya, bila dipikirkan lebih jauh, kunci utama dari penyelesaian masalah sakitnya bumi-lingkungan hidup terletak dalam diri manusia sebagai pribadi sekaligus makhluk sosial. Pelbagai kasus tentang lingkungan hidup tidak akan terselesaikan jika penanganannya tidak kembali kepada manusia itu sendiri. Untuk itu diperlukan sebuah transformasi diri dan perilaku manusia terhadap bumi secara penuh tanggung jawab. Transformasi yang didambakan ini tidak hanya akan menjadi utopia semata jika manusia berani untuk menumbuhkan dalam dirinya sendiri benih kesadaran akan kedudukan dan peran lingkungan hidup bagi kehidupan. Dalam hal ini, diperlukan pikiran-pikiran jernih atau kajian tentang moral lingkungan hidup sebagai perwujudan dari moralitas berwawasan lingkungan.
Permasalahan tentang keadaan bumi atau lingkungan hidup/alam memang merupakan isu yang terus mengundang banyak perhatian. Hal ini terjadi karena permasalahan tentang tempat hidup makhluk (termasuk manusia) merupakan sebuah permasahalan yang terus bergulir seturut waktu, baik dulu, sekarang dan akan datang. Permasalahan ini akan terus ada seiring pula dengan pertumbuhan jumlah umat manusia yang selama hidup memiliki kebutuhan yang harus dicukupi. Berhadapan dengan isu yang selalu baru itu, penulis tertarik untuk mencermati permasalahan ini dengan melihatnya dari sudut pandang iman Katolik.
Dengan mengetengahkan judul “Bumiku Sakit: Permasalahan Ekologi dalam Kajian Moral Lingkungan Hidup Gereja Katolik”, penulis akan memberikan sebuah kajian tentang pandangan moral Gereja Katolik terhadap permasalahan ekologi. Dengan jalan ini, penulis ingin mencermati sikap Gereja Katolik terhadap permasalahan lingkungan hidup yang menuntut adanya transformasi dari manusia Kristen untuk bersikap bijak terhadap alam ciptaan. Maka, secara garis besar dalam tulisan ini akan disajikan: fakta bumi yang sedang sakit, hubungan antara permasalahan ekologi dengan moral, kajian moral berdasarkan Kitab Suci dan Ajaran Sosial Gereja serta ditutup dengan sebuah refleksi.

2.      Bumiku Sakit
Layaknya tubuh manusia, apabila ada yang tidak beres/normal dari bagian tubuhnya, maka akan muncul tanda-tanda demam, panas atau tanda lain yang menunjukkan bahwa ia sedang tidak sehat. Demikianlah juga dengan bumi. Ada bagian bumi yang tidak beres/normal karena telah teracuni dengan pelbagai limbah dan pengrusakan yang berasal dari tindakan manusia. Kini, akibat itu telah menjadi nyata dan sungguh terasa. Bumi sudah kurang nyaman untuk ditinggali, suhu udara semakin panas, perubahan iklim yang tidak seperti biasanya dan akibat-akibat lainnya. Akibat-akibat dari tindakan manusia itu pula yang sungguh memiliki dampak nyata bagi keadaan lingkungan hidup.
Bila ditelusuri lebih jauh, sebenarnya pengaruh tindakan manusia terhadap kerusakan lingkungan hidup – yang menyebabkan bumi menjadi sakit – telah terjadi sejak jaman revolusi industri. Revolusi ini bertitik tolak pada abad XVII dengan munculnya metode ilmiah, pengetahuan-pengatahuan baru dan penyebarluasan teknologi[2]. Revolusi industri ini diwarnai dengan “ledakan produksi” barang-barang dengan jumlah yang banyak dalam waktu yang singkat serta dalam bentuk dan kualitas yang kurang lebih seragam. Industrialisasi sungguh mendatangkan kemudahan dan memperbaiki pelbagai aspek kehidupan-kesejahteraan manusia, misal: barang-barang kebutuhan primer dan sekunder, pengobatan, peningkatan kerja kaum buruh/tani dan penyebaran informasi. Namun, bersamaan dengan dampak positif itu, muncul pula dampak negatif yang terjadi selama abad-abad terakhir ini. Salah satu dari pihak-pihak yang dirugikan dalam proses industrialisasi adalah lingkungan hidup[3].
Selama 50 tahun terakhir dalam perkembangan industrialisasi, telah muncul sorotan terhadap dualisme yang mendalam antara manusia dan alam. Dalam paham ini, manusia dipandang sebagai subjek aktif dan alam/bumi sebagai unsur pasif. Konsekuensi dari pandangan ini adalah bumi yang mencakup sumber-sumber alam dimanfaatkan sebagai sarana pemenuhan kebutuhan manusia. Kemajuan dalam bidang teknologi menunjukkan adanya kuasa penuh manusia atas alam; kuasa manusia menaklukkan alam semesta. Puncak dari pandangan ini khususnya terjadi dalam tahun 1960-1970. Yang terjadi adalah filsafat hidup masyarakat ditandai dengan tindakan manusia yang cenderung tidak mengenal batas, utilitarianisme, tidak mengenal kewajiban, budaya kematian yang kurang menghargai nilai hidup dan yang menjadi ancaman adalah penghancuran bumi sebagai dampak dari teknologi modern. Dampak nyata dari akibat itu adalah munculnya keadaan “yang tidak beres” yang menjadikan bumi semakin sakit.
            2.1. Keadaan Udara
Pencemaran udara bukanlah permasalahan baru yang dihadapi, melainkan permasalahan klasik. Sejak adanya revolusi industri, keadaan udara semakin terancam karena pencemaran dari asap yang dikeluarkan oleh cerobong-cerobong pabrik. Keadaan ini semakin diperparah dengan menjamurnya pabrik-pabrik raksasa dalam era industrialisasi. Memang pada dasarnya pabrik-pabrik itu menghasilkan barang yang dapat memenuhi kebutuhan manusia. Namun juga patut diperhitungkan bahwa pabrik-pabrik itu mengeluarkan karbon dioksida (CO2) yang dilepaskan melalui pembakaran fosil bahan bakar. Hal ini semakin diperparah dengan adanya penggunan kendaraan bermotor dan juga usaha mengekspolitasi alam dengan jalan membakar hutan.
Dampak negatif dari keadaan udara yang tidak sehat itu pertama-tama dapat mengurangi tingkat kesehatan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Dampak negatif yang lain adalah mulainya proses pemanasan global[4]. Pemanasan global ini terjadi karena jumlah lapisan CO2 dalam udara yang semakin banyak bertahan pada lapisan atmosfer dalam jangka waktu yang panjang. Lapisan itulah yang memantulkan panas dari bumi sehingga panas itu tetap “meliputi” bumi. Maka, panas tetap berada dalam wilayah udara bumi; demikian berlanjut hingga bumi menjadi semakin panas. Banyak para ahli mengatakan bahwa peristiwa itu memicu terjadinya perluasan gurun pasir, pencairan sebagian es di kedua kutub bumi, menaikkan permukaan air laut dan banjir di sekitar pantai-pantai.
            2.2. Keadaan Ozon
Ozon  adalah salah satu bentuk dari oksigen. Oksigen yang normal mengandung dua atom yang bisa disebut O2 dengan memiliki sifat stabil dan sulit terlepas. Sedangkan ozon yang memiliki tiga atom disebut O3 yang bersifat kurang stabil dan mudah terlepas jika dibandingkan dengan O2. Para ahli dalam penyelidikan laboratorium menemukan bahwa khlor[5] dapat terpisah dari ozon.
Ozon yang berada tinggi di atas tanah – yang memiliki fungsi menyerap radiasi ultraviolet yang berbahaya dari matahari – dirusak oleh khlor dari bahan kimia yang terkandung, antara lain dalam limbah gas CFC (chlorofluoro-carbon), yakni limbah dari gas CFC yang dipakai pada almari es dan air conditioners (AC). Kelompok pendukung pengawasan kependudukan menegaskan bahwa teori tentang penghancuran bahan kimia ini telah terbukti[6]. Ternyata ozon tidak berlubang sebelum berkembangnya bahan kimia di muka bumi. Kini, lubang ozon kian membesar seturut dengan semakin banyaknya limbah yang mengandung bahan kimia (penghancur ozon). Akibat dari adanya lubang ozon berdampak negatif terhadap tidak adanya penyaring sinar ultraviolet dari matahari. Akibatnya, akan terjadi ancaman berbahaya bagi kesehatan makhluk hidup di bumi, terlebih ancaman kanker kulit.
            2.3. Keadaan Air
Sumber pencemaran air dewasa ini kian bertambah seiring dengan berkembangnya tingkat kebutuhan manusia. Ternyata pencemaran air tidak hanya dikarenakan adanya sampah organik, tapi keberadaan limbah/benda lain yang tak terolah, termasuk bakteri, virus dan segala bentuk endapan dalam air juga ikut ambil bagian. Keadaan demikian pada akhirnya akan memberikan ancaman terhadap kebersihan air, kehidupan dalam air dan kesehatan manusia. Pembuangan limbah secara tidak bertanggungjawab ikut memperburuk pencemaran air. Hal itu semakin parah dengan adanya pembuangan sampah-sampah organik ke dalam air dan yang akan dikonsumsi oleh pelbagai bentuk bakteri yang ada. Dalam proses itu, kadar oksigen dalam air menjadi berkurang sehingga tidak menjamin kesehatan dan hidup ikan serta makhluk hidup lain untuk tinggal di dalamnya.
Pencemaran air yang terjadi ternyata juga sudah menjangkau lautan luas. Pada tahun 1970 para ahli sudah menemukan cukup banyak limbah radioaktif pada air lautan[7]. Di lain pihak, laut sendiri telah tercemar limbah PAH (polyciclic-aromatic-hydrocarbon) yang berasal dari limbah bahan bakar minyak dan limbah PCB (ply-chlorinated-biphenyl) yang berasal dari limbah cair dalam instalasi pembangkit tenaga listrik. Limbah PAH menimbulkan mutasi genetik dan kanker pada makhluk-makhluk hidup di laut, sedang PCB menimbulkan bahaya bagi kesehatan manusia maupun makhluk hidup lainnya[8].
            2.4. Sumber Daya Alam
Industrialisasi dan juga konsumerisme adalah dua hal yang saling berkaitan karena dua hal itu tidak hanya menimbulkan pencemaran lingkungan hidup, melainkan juga mengakibatkan berkurangnya sumber daya alam. Dengan adanya usaha untuk mengeksploitasi secara besar-besaran (apalagi dengan tidak bertanggungjawab) akan berakibat fatal bagi keanekaragaman flora dan fauna di muka bumi ini.
Usaha manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dilakukan dengan jalan mengeksploitasi alam beserta kekayaannya. Hal itu memang dibenarkan. Akan tetapi seringkali manusia menyalahgunakannya sebagai jalan untuk meraup sebanyak mungkin kekayaan alam yang ada tanpa memperhitungkan dampak ke depan, terlebih bagi generasi yang akan datang. Sudah sekian banyak jenis binatang dan tumbuh-tumbuhan yang hampir dan sudah punah. Demikian pula sama halnya dengan semakin berkurangnya kekayaan tambang/mineral yang telah tereksploitasi secara berlebihan tanpa melihat lamanya proses terjadinya dan proses yang dibutuhkan untuk terjadinya di masa mendatang. Berkurangnya sumber alam ini semakin nampak dengan berkurangnya jumlah luas dan kekayaan hutan di bumi serta digantikan dengan bangunan/perumahan atau tanaman komersial yang homogen (misal: tanaman sawit dan karet).
Kenyataan mengatakan bahwa revolusi industri memiliki bagian dalam sejarah kehidupan manusia di bumi. Tidak dapat dipungkiri bahwa revolusi itu memiliki pengaruh positif bagi manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun di lain pihak, tidak dapat dipungkiri pula bahwa revolusi itu menimbulkan dampak negatif bagi bumi, lingkungan tempat manusia dan makhluk hidup lainnya. Dampak negatif inilah yang mengakibatkan bumi kian hari semakin sakit yang pada akhirnya pengaruh negatifnya kembali kepada manusia yang telah memulainya.

3.      Hubungan Ekologi dan Moral
Ekologi berasal dari kata Yunani: oikos (rumah) dan logos (ilmu atau pengetahuan). Kedua kata ini kemudian membentuk arti pengetahuan tentang rumah, maksudnya adalah bahwa seseorang harus mengetahui tentang kebaradaan rumahnya, tempat ia tinggal. Pengertian ini kemudian berkembang menjadi ekologi yang meneliti hubungan antara pelbagai makhluk yang berbeda dan hubungan mereka dengan tempat di mana mereka hidup, dengan iklim, jenis tanah dan sebagainya[9].
Kata moral berasal dari kata Yunani: ethos, yang berarti kebiasaan, dan kata ēthos yang berarti tempat hidup bersama, adat kebiasaan dan karakter dari seseorang yang tinggal di tempat tersebut. Kedua kata ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Latin: mores (adat istiadat kebiasaan dan karakter manusia). Dalam perkembangannya, kata etika dipakai untuk suatu analisa secara rasional tentang perilaku manusia; sementara kata moral dipakai sebagai referensi untuk suatu refleksi yang bersifat religius atau suatu referensi konkrit tentang perilaku manusia. Sebenarnya kedua kata ini mereferensikan hal yang sama: perilaku manusia; manusia memiliki tanggung jawab untuk hidup bersama alam semesta dan menjaga kelangsungan hidup dari seluruh ciptaan yang ada.
Ketika Bernhard Häring, seorang teolog moral terkenal pada abad ini, memasukkan tama “ekologi” di dalam Free and Faithful in Christ (1977), hampir semua kritikus merasa bahwa tema ekologi ini adalah tema yang asing bagi dunia moral. Mereka merasa bahwa tema itu sepertinya dipaksakan oleh Häring agar dapat dibicarakan di dalam teologi moral. Baru beberapa tahun sesudahnya, para kritikus sadar bahwa tema ekologi adalah tema mendesak yang harus dibicarakan dalam ranah teologi moral sebab manusia harus selalu disadarkan akan pentingya suatu tatanan hidup yang bermoral dalam kebersamaan dengan makhluk ciptaan yang lain, bahkan dengan lingkungan hidup/alam sebagai tempat tinggalnya. Adanya krisis lingkungan hidup yang terjadi disadari telah mengancam kenyamanan tempat tinggal manusia; yang terjadi karena salah satu dari dampak ulah manusia: pengelolaan lingkungan hidup yang belum membudayakan rasa tanggung jawab, tidak adanya perhargaan serta penghormatan terhadap hak hidup makhluk ciptaan lain, manusia berlomba-lomba menguras isi perut bumi demi kepentingan hidupnya. Oleh karena itu, ekologi dan moral lingkungan hidup saling terpaut[10]. Permasalahan ekologi umumnya memiliki hubungan erat dengan krisis moral dalam usaha memahami ciri saling ketergantungan antara manusia dengan lingkungan hidup.
Pada titik inilah – pentingnya tindakan moral di tengah keadaan krisis lingkungan hidup – refleksi teologis moral sangat dibutuhkan. Melalui teologi moral lingkungan hidup, umat beriman Kristiani dibantu untuk melihat iman mereka secara jernih dengan menafsirkan teks Kitab Suci dan ajaran Gereja secara benar untuk dapat melakukan suatu tindakan bijak berhadapan dengan krisis lingkungan yang terjadi. Penganugerahan martabat insani bagi manusia dari Allah pada saat penciptaan merupakan penyerahan tanggung jawab kepada manusia untuk mengolah dan mengatur bumi agar berjalan dengan baik. Untuk itu, manusia dituntut agar tidak dengan seenaknya bertindak atas semesta alam, melainkan harus menghargai inherent value (nilai bawaan) dan intrinsic value (nilai hakiki) yang ada di dalam setiap ciptaan. Implikasi dari konsep ini mengajak manusia untuk memperlakukan alam semesta sebagai subjek yang harus dihargai. Inilah salah satu dasar utama mengapa alam semesta (lingkungan hidup) dari dirinya sendiri harus dihormati. Ia layaknya sama seperti manusia yang dari dirinya sendiri patut untuk dihormati sebagai subjek.
Pemikiran teologi moral lingkungan hidup saat ini mengajak orang beriman Kristiani (harapannya juga memberikan pandangan kepada umat beriman universal) untuk melihat kembali perilaku hidupnya yang harus ekologis berhadapan dengan krisis lingkungan hidup yang semakin menjadi. Manusia Kristiani secara istimewa diundang untuk menggeser pemikiran antroposentris menjadi pemikiran ekologis di mana semua makhluk dan semua ciptaan mempunyai martabatnya sendiri yang darinya menuntut manusia untuk menghormatinya. Pemikiran moral yang berbuah pada tindakan ini akan menolong manusia untuk dapat menghindari sikap dan kecenderungan memperlakukan alam semesta sebagai sumber material (objek) yang semata-mata diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan hidup. Alam semesta ini pusat untuk dirinya sendiri dan manusia hanyalah salah satu anggota dari alam semesta ini[11].

4.      Perspektif Kitab Suci
Kitab Suci bukanlah buku ilmiah yang mengisahkan sejarah setiap pengada. Kitab Suci merupakan kitab yang mengajarkan manusia untuk hidup dengan adil. Maka, para penulis Kitab Suci tidak menggunakan gaya bahasa yang memiliki nuansa ilmu alam atau ilmu fisika karena mereka hidup dalam dunia “pra-ilmiah”. Dalam tulisannya, mereka menempatkan manusia pada kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan yang hidup bersama dengan makhluk ciptaan lain. Walaupun Kitab Suci bukanlah buku tentang ekologi, namun sejumlah penulis telah melukiskan ekologi manusia dan mengangkat keadaan serta gejala alam dalam hubungan dengan Sabda Tuhan.
            4.1. Perjanjian Lama (PL)
Dalam PL, alam ciptaan dilukiskan sebagai suatu keadaan dengan keindahannya yang tak sanggup diungkapkan secara sempurna melalui gaya sastra. Alam raya yang melingkupi makhluk hidup dan ciptaan lain diciptakan melalui Sabda Tuhan sebagai ciptaan yang memiliki keindahan.
Kitab Kejadian
Kitab Kejadian memuat pembicaraan tentang lingkungan hidup. Para pengarang dari kitab itu mengaitkan pengalaman hidupnya dengan wawasan lingkungan berdasarkan pemahaman tentang sejarah penyelenggaraan Ilahi atas bangsa Israel sebagai bangsa yang dipersatukan dengan Allah dan sebagai bangsa yang telah dijanjikan tanah khusus. Pada bab-bab pertama, dilukiskan permenungan klasik tentang peristiwa panciptaan. Secara khusus dalam bab 1-11 memprioritaskan peristiwa penciptaan yang mengetengahkan hubungan Ilahi dengan dunia bermula dari maksud awal Tuhan Allah untuk menciptakan alam semesta, bukan hanya untuk bangsa Isael saja.
Tradisi Yahwista (Y) menggambarkan keadaan penciptaan alam semesta sebagai peristiwa yang tertuju pada Yahwe sebagai tempat kehadiran berkat Tuhan bagi manusia. Manusia memiliki hubungan yang tidak terpisahkan dengan keberadaan alam semesta; dan manusia juga memiliki hidup yang berdekatan dengan hewan (Kej 2:19-20). Sementara dalam tradisi Priester (P), khususnya dalam Kej 1:1-2:4a, menceritakan asal mula alam semesta (kosmos) untuk menunjukkan struktur keberadaan manusia dan dunia. Ada tiga hal yang dititikberatkan oleh tradisi Priester sehubungan dengan peristiwa penciptaan dunia: tatanan, waktu dan hidup[12]. Topik utama dalam Kej 1-11 sebenarnya membahas tentang tindakan keteraturan Allah Yahwe selain membahas tentang gagasan cratio ex nihilo.
Ada sebuah pertanyaan yang patut untuk dipertimbangkan: apakah yang dimaksud dengan kekuasaan manusia terhadap makhluk ciptaan lain seperti yang dilukiskan dalam Kitab Kejadian (Kej 1:26,28)? Berhadapan dengan teks itu, Thomas F. Dailey dalam “Cration and Ecology” berpendapat bahwa penulis kitab tidak memandang kuasa itu sebagai kuasa tak terbatas, namun di hadapan mata Tuhan, makhluk ciptaan non-manusia dan manusia diandaikan untuk membentuk suatu komunitas makhluk ciptaan dan di dalam komunitas itu manusia-lah yang memiliki tanggung jawab.
Mazmur-mazmur
Mazmur 19:2-5b menggambarkan pewartaan tentang alam semesta sebagai buah karya tangan Tuhan. Dalam mazmur itu digambarkan bagaimana langit, termasuk bintang-bintang, mengidungkan kemuliaan Allah dan memberikan kesaksian karya Pencipta: “Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya” (ay 2). Alam semesta dengan segala keindahannya mengundang manusia untuk percaya kepada Allah Pencipta dan juga mengajak manusia untuk terus-menerus memuji kebesaran Tuhan melalui kidung, doa/iman dan pujian.
Mazmur 104 kembali mengumandangkan pandangan kontemplatif tentang panciptaan alam semesta dalam Kej 1 dengan menampilkan unsur-unsur alam, seperti: cahaya, gunung, lembah, matahari, sungai, tetumbuhan dan hewan-hewan[13]. Mazmur ini tidak bermaksud mengisahkan peristiwa penciptaan, melainkan peristiwa penciptaan itu direnungkan dan dikidungkan dengan tujuan agar memahami keindahan serta keteraturan di dalamnya. Dalam pemahaman ini, alam dipandang memiliki dua makna: alam semesta merupakan tempat pertemuan dengan Tuhan sekaligus serentak berjarak dengan Tuhan. Manusia bisa saja tidak melihat Tuhan dalam alam semesta atau tidak dapat memahami kehadiran-Nya, namun dengan ketakjuban akan karya ciptaan, manusia dimampukan untuk menyadari kehadiran Tuhan yang memperhatikan dan menuntun. Hal serupa juga dapat dilihat dalam Mazmur 136 yang menunjukkan kasih setia Allah yang menakjubkan dalam penciptaan dunia dan sejarahnya. Cinta kasih itu menghubungkan Tuhan dengan alam semesta dan sejarah manusia: penciptaan dan sejarah tidak terpisahkan. Cinta kasih-Nya merupakan sumber penciptaan alam semesta.
Doa-doa bangsa Israel dalam mazmur menampakkan kedekatan hidup mereka dengan makhluk ciptaan. Alam semesta, termasuk tempat manusia dan makhluk lainnya hidup, yang dilukiskan dalam mazmur-mazmur merupakan dunia yang bermakna, yang mengandung arti, seperti penjelmaan makna yang diberikan Allah melalui Sabda-Nya yang mencipta. Oleh karena itu, tiap ciptaan adalah buah dari Sabda Allah yang membawa makna dalam dirinya.
            4.2. Perjanjian Baru (PB)
Dalam PB, gagasan tentang alam semesta terorientasi pada hidup manusia dalam sejarah keselamatan. PB mempertimbangkan kosmos dalam kaitan dengan Yesus Kristus dan manusia di hadapan Yesus Kristus. PB memang tidak memberikan suatu konsep kosmologis yang khusus sebagai bagian pewartaan integral dari Injil. Gambaran tentang kosmos yang terdapat dalam Injil dipandang sebagai sarana untuk pewartaan Injil, maksudnya adalah PB tidak berbicara tentang alam semesta dalam dirinya, sebagai benda belaka, namun pembicaraan tentang kosmos dikaitkan dengan dunia manusia, tempat Tuhan bertindak dan manusia melakukan sesuatu secara bertanggungjawab.
            Surat-surat Paulus
Yang dimaksud dengan alam semesta (kosmos) oleh Paulus adalah sesuatu yang yang bukan Tuhan yang mencakup semua benda (Rm 11:36); dan juga yang mencakup kekuasaan Ilahi (1 Kor 8:4). Bagi Paulus, alam semesta ini tidak memiliki “keteraturan” karena menurutnya dunia telah kehilangan keseimbangan dan keserasiannya. Ia melukiskan bahwa “dunia ini” berada di bawah kuasa dosa (1 Kor 1:20-21; 3:19; 5:10; 7: 31.33-34).
Ada tiga pokok pikiran Paulus yang dapat menjadi permenungan tentang kosmos[14]:
(1)   Dunia sebagai penciptaan yang berdimensi kristosentris. Dunia dan sejarah selalu berada di bawah kuasa, tindakan penciptaan dan penyelamatan Ilahi. Dalam suratnya ditegaskan pengakuan iman akan penciptaan langit dan bumi oleh Tuhan (Kis 4:24; 17:24). Penciptaan berdimensi kristosentris (Kol 1:15-17): semua unsur di atas bumi tak terpisahkan dari kuasa Kristus Yesus. Bumi dan seluruh ciptaan tidak dapat dipandang dalam kekuatannya sendiri, namun selalu terkait dengan hubungan asalnya yang dinamis dengan Tuhan. Kristosentrisme alam semesta menegaskan kebenaran mutlak alam semesta – yang tidak hanya terbatas pada fungsinya saja dan menegaskan pula bahwa Tuhan berkarya dalam kedalaman tenaga-tenaga alam serta tersembunyi dalam keputusan-keputusan manusia.
(2)   Penebusan kosmos. Bumi/dunia memerlukan keselamatan – dalam Kristus – sebab hal itu adalah kehendak Allah sendiri untuk merukunkan Diri dengan manusia, semua pengada di atas bumi dan di langit; damai ini terwujud melalui darah-Nya di kayu salib (Kol 1:20). Bagi Paulus, makna terakhir dari semesta dan kemanusiaan berada dalam tujuan kepada Kristus: “…, baik Paulus, maupun Kefas, baik dunia, hidup maupun mati, baik waktu sekarang, maupun waktu yang akan datang. Semuanya kamu punya. Tetapi kamu adalah milik Kristus dan Kristus adalah milik Allah”        (1 Kor 3: 22-23).
(3)   Manusia Kristen dan dunia. Bagaimanakah seharusnya manusia bersikap terhadap alam semesta?  Berhadapan dengan pertanyaan itu, Paulus akan memegang dua pernyataan secara serempak, kendati terjadi dalam suatu ketegangan dialektis terus-menerus: dunia diciptakan Tuhan dan karena itu baik; dunia sekarang menjadi sasaran kuasa negatif akan dosa. Walau demikian, Paulus tetap menganut prinsip “Karena semua yang diciptakan Allah itu baik dan suatu pun tidak ada yang haram, jika diterima dengan ucapan syukur, sebab semuanya itu dikuduskan oleh firman Allah dan oleh doa” (1 Tim 4:4-5). Satu-satunya penguasa dunia adalah Yesus Kristus. Dalam menghadapi dan memecahkan masalah, Yesus Kristus dan Injil menjadi takaran kritis. Kepada orang Kristen, Paulus tidak memberikan tugas untuk mengubah dunia, tapi terutama membiarkan diri untuk diubah oleh Yesus. Baginya, perubahan dunia diwujudkan melalui transformasi mendalam hati nurani. Tanggung jawab orang Kristen di hadapan dunia terutama dengan melihat apa yang dikehendaki Allah: kebaikan, juga bagi dunia, yaitu kehendak Allah, diungkapkan dalam Kristus Yesus. Orang Kristen bertugas untuk bertindak sesuai dengan kehendak Tuhan, memandang dunia seperti yang dilakukan oleh Allah. Dengan demikian, orang Kristen mengubah bentuk dunia dari dalam dan menghidupi semua keadaan di dunia menurut Roh Yesus.
Dalam suratnya kepada jemaat di Roma (Rm 8:18-27), Paulus menyoroti dunia yang diciptakan Tuhan sebagai suatu keseluruhan. Tidak dapat dipungkiri bahwa pandangan dan sikap manusia terhadap alam semesta berdimensi antroposentrik. Meski demikian, bukanlah antroposentrik subjektif yang mereduksi segala sesuatu dalam alam semesta menjadi nilai yang diutamakan sejauh menjamin keuntungan manusia. Hal ini didasari pada kesadaran bahwa tempat manusia dalam tatanan penciptaan ditentukan oleh posisi dan hubungan manusia itu sendiri dengan segala ciptaan dalam keterkaitan dengan Tuhan. Paulus secara khusus mengajak manusia Kristen untuk memandang segala sesuatu di atas permukaan bumi sebagai entitas yang menemukan tujuan tertinggi mereka untuk memuji dan menggembirakan Tuhan dan bukan manusia. Ini akan menjadi tantangan bagi iman karena pujian dan kegembiraan Tuhan atas alam semesta tidaklah akan selalu tampak, kecuali dengan usaha mewujudkannya dalam praksis hidup nyata. Pernyataan Paulus dalam Rm 8:18-27 sebenarnya mengulangi argumen kristologis: pengharapan yang dibicarakannya bukanlah pengharapan mesianik saja, melainkan pengharapan yang bisa dilihat hanya melalui salib; sebuah pengharapan yang berkaitan dengan pemulihan citra Ilahi anak-anak Allah dalam hubungan dengan dunia alam semesta. J. A. Rimbach, seorang mahaguru teologi di Seminari Concordia, Kowloon, Hongkong, berpendapat bahwa keterbukaan mata manusia bagi salib yang dipikul orang Kristen adalah untuk memandang jeritan bersama seluruh ciptaan[15]. Ia berpendapat  bahwa manusia Kristen memiliki tanggung jawab baru, yakni: melepaskan ketertarikan dari kehancuran sebagai buah pembangkangan umat manusia terhadap alam semesta dengan memulai dan meneruskan status citra mereka dalam hubungan dengan ciptaan sehingga sampai pada tujuan sebagai ciptaan dalam hubungan dengan semua makhluk ciptaan.

5.      Ajaran Sosial Gereja
Setelah melihat perspektif moral dalam tradisi alkitabiah, pentinglah pula untuk melihat cara pandang Gereja Katolik berdasarkan ajaran sosial Gereja selama dalam sejarah, yang dimulai dari Bapa-bapa Gereja, pandangan pada abad pertengahan hingga pada pandangan ajaran sosial Gereja saat ini. 
            5.1. Bapa-bapa Gereja[16]
Para Bapa Gereja pada umumnya mempertahankan dua tesis utama bila membicarakan tentang alam semesta. Pertama, umat manusia kehilangan hak penguasaan atas bumi setelah jatuh ke dalam dosa (Kej 3). Kedua, manusia masih memiliki kuasa itu walaupun telah mengalami kejatuhan. Tesis pertama mereduksi lingkup ekologis dalam Kej 1:28 dan menggantikannya dengan suatu etika individual: “manusia harus meningkatkan diri di atas tingkat hewan-hewan dengan kedisiplinan diri, dengan mengikuti akal budinya”. Tesis kedua memiliki keterbukaan dalam cara pandang ekologis: “sungguhpun telah jatuh, manusia masih mampu dan berkewajiban mengatur hidup serta tugas yang dipercayakan kepadanya oleh karya penciptaan”. Ada dua tokoh utama yang berpengaruh dalam pandangan Bapa-bapa Gereja, yakni Lactantius (240-320) dan Agustinus (354-430).
Lactantius berpendapat bahwa alam semesta pasti diciptakan oleh Tuhan. Dalam penciptaan itu, manusia menjadi “pengada” yang mengakui Penciptanya dan menikmati segala kebaikan (makhluk hidup dan ciptaan lainnya). Untuk mencapai tujuan hidupnya, manusia menggunakan segala hasil karya Tuhan untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Lactantius sepertinya sependapat dengan Eusebius (260-340) yang memandang manusia sebagi bagian dari asas Ilahi dan satu-satunya ras berakal budi yang sanggup mencintai Tuhan (Pencipta) di antara makhluk ciptaan lainnya. Dari pandangan ini ingin menegaskan bahwa umat manusia setidaknya dapat melihat diri sebagai makhluk hidup yang secitra dengan Pencipta ketika mereka mampu memadukan pengetahuan dan kebijaksaan dalam “menggunakan” alam ciptaan.
Agustinus mengulas penciptaan dan alam semesta dalam terang Kitab Suci. Tafsiran dari kisah penciptaan diangkat menjadi salah satu tema permenungannya. Dalam pandangannya, ia mengembangkan perspektif teologis-ekologis yang diperkaya dengan dimensi soteriologis. Ia menekankan bahwa ciptaan di luar diri manusia – berjiwa atau tidak – tetap memiliki nilai lebih daripada sekadar bersifat memenuhi kebutuhan manusia. Makhluk ciptaan lain, selain manusia, tidak hanya berada untuk memenuhi keperluan-keperluan manusiawi. Tapi, akal budi manusia-lah yang menempatkan mereka pada jajaran tingkat yang lebih tinggi dibanding ciptaan lainnya. Seiring dengan gagasan dalam surat Paulus kepada jemaat di Roma (Rm 8:18-25), Agustinus melihat adanya keluhan dari segala makhluk hidup (ay 22) dan keluhan itu menantikan adanya pengharapan akan keselamatan. Dalam pengharapan akan keselamatan itu, manusia yang dengan akal budinya (sebagai anugerah) diundang Tuhan untuk bersama-sama menghadirkan keselamatan bagi alam semesta melalui karya nyata. Dalam pandangan ini ditemukan sesuatau yang menyerupai analogia laboris (analogi kerja) antara Pencipta dan citra-Nya (manusia) yang kreatif. Melalui karyanya, manusia berkerja bersama Allah untuk “mencipta” dan menjaga kelestarian alam ciptaan.
Sejak abad keempat, pengakuan iman akan “Bapa yang Mahakuasa” (Pater omnipotens) diperluas dengan pengakuan ”Pencipta langit dan bumi” (factorem caeli et terrae). Penciptaan dari ketiadaan (pengakuan iman sejak abad kedua) ditekankan kembali. Gagasan penciptaan dan pemeliharaan pada jaman para Bapa Gereja mendapatkan tempatnya.
            5.2. Abad Pertengahan[17]
Pandangan abad pertengahan tentang alam semesta dan kandungannya memiliki kaitan dengan etika kerja para rahib Benediktin (abad ke-6). Peraturan itu dipengaruhi kuat oleh Benediktus dari Nursia yang memiliki semboyan Ora et Labora (Berdoa dan Bekerja). Makna yang terkandung di dalamnya ingin menekankan bahwa kerja pertama-tama bukan terletak pada usaha penggarapan alam dan penggalian keuntungan dari alam, melainkan terutama terletak pada kerja manusia yang menghasilkan sebuah budaya: mengolah dan menjaganya. Makna lain yang terkandung di dalamnya adalah adanya hubungan keterkaitan sosial yang diungkapkan dalam bentuk keramah-tamahan biara, yang kini dikenal sebagai ekologi sosial. Cita-cita rohani untuk mencapai kekudusan yang relatif baru terwujud pada waktu itu. Hal itu meliputi: pengolahan tanah di samping mencintai Tuhan dan sesama serta asketisme sebagai keutamaan-keutamaan yang sangat menentukan. Maka, pengolahan alam semesta (bumi dan segala isinya), keahlian dan teknologi dapat disatukan dengan hidup iman yang mengontrolnya.
Pernyataan ini diteguhkan dengan pendapat Hugo dari St. Victor, yang dalam karyanya dapat diketahui adanya kesaksian bermakna atas pengertian abad pertengahan mengenai alam, yang menjadikan hewan dan mesin sebagai obyek tanggung jawab dari iman. Aspek teologi ekologis yang ingin disampaikan adalah Tuhan menghendaki manusia agar tidak hanya menguasai dan menggunakan dunia (binatang, tumbuhan, dan ciptaan lainnya), tetapi juga memiliki tanggung jawab untuk memeliharanya dan mengetahui apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia itu sendiri.
Thomas Aquinas (+1274) menggarisbawahi peran utama Tuhan sebagai Pencipta alam semesta beserta kandungannya. Alam semesta sebagai ciptaan memiliki ketergantungan penuh pada Tuhan. Bagi Thomas, Tuhan tidak hanya mengadakan alam semesta, tetapi juga menyebabkannya terus menerus. Ajaran inilah yang kemudian diringkas menjadi “ketergantungan”. Tuhan sebagai Being dalam Diri-Nya (Ipsum Esse Subsistens) adalah sumber dan sekaligus sebagai kepenuhan segala ciptaan. Oleh karenanya, semua pengada tergantung mutlak dan berperan serta dalam Sang Pengada Utama, Tuhan. Pandangan ini menekankan makna penciptaan sebagai munculnya segala pengada dari asal-muasal. Selanjutnya Thomas berpendapat bahwa Tuhan menciptakan segalanya dari ketiadaan (ex nihilo[18]). Dari pandangannya, Thomas menekankan undangan bagi manusia untuk menyadari bahwa kuasa akan alam semesta tidak sepenuhnya mutlak milik mereka. Tuhan adalah Empu dari segalanya. Pandangan ini sependapat dengan pandangan sebelumnya yang ingin menegaskan bahwa kuasa manusia atas alam semesta pertama-tama ditujukan pada tindakan: memelihara dan mengetahui apa yang seharusnya dilakukan manusia yang memiliki kuasa untuk mengolah alam.
            5.3. Ajaran Sosial Gereja
Dalam sejarah telah dibuktikan bahwa dari dulu hingga sekarang, Gereja Katolik telah banyak memperhatikan aspek kehidupan moral manusia: individual, seksual dan sosial, yang berhubungan dengan dunia kerja (Rerum Novarum-1891), perdamaian antar bangsa (Pacem in Terris-1963), perkembangan manusia (Populum Progressio-1967). Namun, pada akhir-akhir ini, Gereja tidak hanya membahas tentang permasalahan di atas. Masalah tentang lingkungan hidup ternyata dimasukkan ke dalam agenda perhatian Gereja. Paus Paulus VI, dalam suratnya kepada Maurice Strong pada kesempatan Konferensi Bangsa-bangsa tentang lingkungan hidup manusia yang diselenggarakan di Stockholm pada tahun 1972, menegaskan bahwa manusia dan lingkungan hidup alamiahnya saling terpaut dan perlunya pembatasan dalam menggunakan kekayaan alam yang sama[19]. Dengan mengetengahkan isu tentang lingkungan hidup (berhadapan dengan kerusakan alam yang terjadi), Paus Paulus VI adalah ”Paus pertama” yang sungguh-sungguh berbicara tentang masalah ekologis dalam Gereja dan juga di hadapan dunia internasional. Seperti dalam ensikliknya Populorum Progessio (1967), Paulus VI menegaskan beberapa hal berikut:
(1)   Paulus VI berbicara tentang krisis lingkungan hidup dan ancaman, akibat-akibat yang ditimbulkan oleh polusi industrial dan mendesak sejumlah perubahan dari tingkah laku manusia yang boros: “Sementara mengendalikan cara hidupnya, ia didorong untuk mengadakan penelitian-penelitian baru dan menghasilkan penemuan-penemuan baru pula, untuk mengambil risiko-risiko yang bijaksana, dan melancarkan proyek-proyek baru, untuk bertindak secara bertanggungjawab dan membaktikan diri tanpa pamrih” (PP 25);
(2)   Permasalahan tentang lingkungan hidup dikaitkan dengan perkembangan dalam perspektif kerja sama internasional demi pencapaian kedamaian bersama: “Damai diwujudkan melalui usaha-usaha yang dari hari ke hari ditujukan kepada pembangunan alam semesta yang serba teratur seperti yang dikehendaki oleh Allah, disertai perwujudan keadilan yang lebih sempurna antar manusia” (PP 76).
Beberapa tahun kemudian setelah kehadiran Paulus VI, tampillah Paus Yohanes Paulus II yang juga menetapkan dan mengajukan sejumlah ajaran sosial baru yang berhubungan dengan alam dan perlindungan terhadap lingkungan hidup. Yohanes Paulus II sungguh memiliki perhatian besar terhadap masalah lingkungan hidup yang sedang dihadapi oleh masyarakat dunia. Pada tahun 1979, setahun setelah menduduki kursi kepausan, ia menyatakan bahwa St. Fransiskus dari Asisi sebagai pelindung para Pelestari Lingkungan Hidup. Dalam suratnya, Sanctorum Altrix (11 Juli 1980), ia juga menyebut nama orang kudus lain sebagai pelindung ekologi, yakni St. Benediktus. Yohanes Paulus II memusatkan perhatian pada masalah keindahan alam, keserasian penciptaan, tanah yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia dan tanggung jawab umum manusia dalam penggunaan sumber-sumber alam. Hal itu termuat dalam ensiklik pertamanya, Laborem Exercens (1981). Beberapa poin yang ditekankan dalam ensikliknya adalah sebagai berikut:
(1)   Perlunya kesadaran bagi manusia untuk menggunakan sumber daya alam yang terbatas dengan bijaksana dan bertanggungjawab: “…, meningkatnya harga energi dan bahan mentah, berkembangnya kesadaran bahwa warisan alam terbatas dan sedang mengalami pencemaran yang tidak boleh dibiarkan lagi,….” (LE 1);
(2)   Yohanes Paulus II menekankan pentingnya pengolahan tanah melalui kerja manusia sebagai peran serta manusia dalam karya Pencipta dan pentingnya pula kemajuan dunia (dari satu segi) dan perlindungan terhadap alam (dari segi lain): “Kalau melalui kerjanya manusia makin menguasai bumi, dan melalui kerjanya pula ia memantabkan kedaulatannya atas alam yang kelihatan, bagaimana pun juga dan pada setiap proses itu ia toh tetap masih bergerak dalam lingkup penataan asli oleh Sang Pencipta” (LE 4).
Selanjutnya dalam ensikliknya yang berjudul Sollicitudo Rei Socialis (1987), peringatan 20 tahun dari ensiklik Populorum Progressio Paus Paulus VI, Yohanes Paulus II menampilkan analisis baru dan asli tentang krisis lingkungan hidup. Dalam ensiklik ini terdapat tiga perhatian utama yang dititikberatkan:
(1)   SRS lebih menyadari bahwa pemanfaatan makhluk ciptaan, bernyawa atau tak bernyawa, selalu menimbulkan akibat yang tidak terhindarkan. Penggarapan kekayaan alam demi keperluan ekonomi tanpa mengingat kodrat setiap pengada dan saling keterkaitan di antaranya dalam sistem organisme teratur (kosmos) memang berbahaya: “Sebaliknya perlu untuk diindahkan kodrat setiap makhluk serta hubungan antar ciptaan dalam satu tata-susunan yang teratur, yang justru disebut kosmos” (SRS 34);
(2)   Adanya kesadaran bahwa sumber-sumber alam itu berciri terbatas. Pemanfaatan kekayaan alam dengan sikap dominasi mutlak bukan hanya akan membahayakan generasi sekarang, melainkan juga bagi generasi yang akan datang: “Memakainya seakan-akan sumber daya itu tidak akan terkuras habis, dengan kesewenangan yang mutlak, menimbulkan bahaya yang gawat bagi persediaannya bukan hanya untuk generasi sekarang, melainkan terutama untuk generasi-generasi mendatang” (SRS 34 dan juga dapat dibandingkan dengan SRS 26);
(3)   Pokok penekanan selanjutnya adalah kesadaran akan adanya dampak negatif dari industrialisasi yang akan menambah kontaminasi lingkungan dengan akibat-akibat berat untuk kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, dibutuhkan tindakan yang bijaksana dalam pemanfaatan sumber daya alam yang ada: “Sekali jelaslah bahwa pengembangan, perencanaan yang mengaturnya, dan cara memanfaatkan sumber-sumber daya, harus disertai sikap hormat terhadap tuntutan-tuntutan moril” (SRS 34).
Akhirnya, dalam ensikliknya yang berjudul Centesimus Annus (dan diterbitkan pada tahun 1991), Paus Yohanes Paulus II kembali mengingatkan masalah lingkungan hidup dan keadaan ekologi yang kian memprihatinkan. Ensiklik ini merupakan sebuah kritik tajam yang dilontarkan terhadap sikap manusia dalam memanfaatkan kekayaan alam. Paus menekankan bahwa seharusnya manusia menjadi kolabolator dengan Tuhan dalam karya penciptaan dan bukan mengganti kedudukan dan peran Tuhan. Sri Paus juga berbicara tentang perlindungan dan peyelamatan keadaan ekologi manusiawi, melindungi keanekaragaman hayati yang terancam punah serta berbicara tentang keseimbangan bumi. Beberapa hal yang ditekankan itu terlihat di dalam ensikliknya[20]:
(1)   Di balik pengrusakan alam lingkungan yang bertentangan dengan akal sehat ada kesesatan di bidang antropologi; manusia lupa bahwa kegiatannya harus didasarkan pada kenyataan bahwa segala sesuatu adalah karunia Allah belaka; manusia mengira boleh semaunya sendiri mendayagunakan bumi dan menikmati hasilnya; manusia menggantikan tempat Allah; sikap itu membangkitkan pemberontakan alam (CA 37);
(2)   Kecuali pengrusakan alam lingkungan, terjadi juga pengrusakan lingkungan manusiawi; dalam konteks ini perlu disebutkan masalah-masalah serius yang muncul dalam urbanisasi (CA 38);
(3)   Adalah kewajiban negara untuk membela dan melindungi harta milik umum, misalnya: alam lingkungan dan lingkungan manusiawi (CA 40).
Beberapa ensiklik Paus Yohanes Paulus II mengandung makna akan keprihatinannya terhadap permasalah ekologi bumi. Dengan beberapa ensiklik yang dikeluarkannya, ia berusaha menyuarakan pesan kenabian untuk mengajak sekalian umat beriman (termasuk dunia universal) agar memiliki tindakan moral dalam menggunakan alam ciptaan. Bernard J. Przewosny menyarikan enam analisis Paus Yohanes Paulus II tentang masalah ekologi[21]. Pertama, seluruh keberadaan kosmos saling tergantung; saling ketergantungan ini membuat manusia mengerti bahwa masalah ekologi adalah masalah global. Kedua, sumber-sumber alam sangat terbatas dan sejumlah sumber alam tidak dapat diperbarui. Ketiga, kekayaan alam milik seluruh umat manusia dan bukan hanya milik kaum kaya/berada. Keempat, manusia bebas untuk mengalami perkembangan manusiawi; suatu perkembangan global semua manusia, antara lain, melalui perkembangan ekonomi. Kelima, masalah demografi adalah masalah yang rumit. Artinya, perluasan demografi bukan hanya menimbulkan perendahan lingkungan, tetapi juga bertambahnya kelaparan di dunia dan masih ada pula penyebab masalah-masalah ekonomi. Keenam, krisis ekologi adalah masalah moral yang mendorong kesetiakawanan baru di antara seluruh umat manusia. Selain itu, Yohanes Paulus II juga mengajarkan bahwa manusia dapat mengenal Tuhan melalui keindahan alam karena di dalam alam terdapat nilai dalam dirinya dan memperoleh otonomi yang harus dihargai serta dihormati manusia.

6.      Penutup: Sebuah Harapan
“Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik” (Kej 1:31). Alam segala isinya telah diciptakan Allah menjadi segala sesuatu yang baik adanya, termasuk penciptaan manusia. Di antara segala ciptaan yang ada, Allah menempatkan manusia pada kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan ciptaan lainnya: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi” (Kej 1:26). Allah dengan jelas memberikan kuasa bagi bangsa manusia untuk menggunakan segala sesuatu – yang disediakan Allah – bagi pemenuhan kebutuhan hidup mereka.
Seiring dengan berjalannya sejarah, kehidupan bangsa manusia terus mengalami perkembangan dalam pelbagai aspek hidupnya. Perjalanan sejarah hidup manusia itu terus berlanjut karena peran serta alam semesta yang dapat digunakan. Namun, karena alam terus digunakan – apalagi dengan semangat tak bertanggungjawab – alam semesta dan juga bumi sebagai tempat tinggal manusia menuju ambang kehancuran. Alam dan lingkungan hidup sedang sakit dan menderita; dan yang membuatnya adalah manusia itu sendiri. Sungguh sebuah ironi karena manusia merusak tempat tinggalnya yang (padahal) sungguh diperlukan dalam hidupnya.
Berhadapan dengan permasalahan itu, manusia pulalah yang menjadi kunci penyelesaian masalahnya, baik sebagai pribadi maupun sebagai makhluk sosial. Manusia ditantang untuk mengadakan transformsi diri dan perilaku terhadap bumi (lingkungan hidupnya), apabila menginginkan agar bumi tetap sehat dan terpelihara. Transformasi ini akan terwujud dan tercapai apabila dalam diri manusia memiliki benih kesadaran akan kedudukan serta peran lingkungan hidup dalam dunia. Oleh karena itu, mereka memerlukan pikiran dan pertimbangan yang lebih jernih tentang moral lingkungan hidup. Dalam ranah ini, secara khusus manusia Kristen ditantang untuk mewujudkannya dengan berbekalkan penafsiran biblis dan ajaran Gereja sebagai dasar utamanya. Harapannya, umat beriman (dan juga seluruh umat beriman universal) dapat memiliki kesadaran terhadap bumi ini seperti semangat St. Fransiskus dari Asisi: “Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudari Ibu Pertiwi, dia menyuap dan mengasuh kami, dia menumbuhkan aneka ragam buah-buahan, beserta bunga warna-warni dan rumput-rumputan”. Kesadaran inilah yang memampukan manusia untuk hidup bersama dengan alam sebagai saudara se-cipta-an dari Satu Pencipta yang sama. Dengan demikian, perlakuan yang bijaksana untuk “menaklukkan” bumi demi generasi sekarang dan mendatang dapat terwujud sebagai langkah awal untuk mengobati bumi yang telah sakit. Semoga!



*   *   *



Daftar Pustaka

Buku:
Chang, Dr. W., OFMCap.,
2001    Moral Lingkungan Hidup, Kanisius, Yogyakarta.
Hadiwardoyo, Al. Purwa, MSF.,
2006    Masalah Sosial Aktual-Sikap Gereja Katolik, Kanisius, Yogyakarta.
Hardawiryana, R., SJ.,
1999    Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991 dari Rerum Novarum sampai Centesimus Annus, Departeman Dokumentasi dan Penerangan KWI, Jakarta.
Mali, M., CSsR.,                                                                                                                                
2008    “Ekologi dan Moral”, dalam A. Sunarko, OFM – A. Eddy Kristiyanto, OFM (eds.), Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi-Tinjauan Teologis atas Lingkungan Hidup, Kanisius, Yogyakarta, 137-154.
Purwanto, Maria,
2010    “Bumiku Sakit”, Bunga Rampai XVII, dalam A. Widyahadi Seputra dkk. (eds.), Kajian Lingkungan Hidup-Tinjauan dari Perspektif Pastoral Sosial, Sekretariat Komisi PSE/APP bekerjasama dengan LDD-KAJ dan Komisi PSE-KWI, Jakarta, 115-124.

Internet:
http://doasemestaalam.blogspot.com/2008/12/gita-sang-surya.html, diakses pada 19 September 2011, pukul 18.23 WIB.

Surat Kabar:
Ara, Status Tanggul Lapindo Siaga, Kompas, 18 September 2011, 4.       




[1] Ara, Status Tanggul Lapindo Siaga, Kompas, 18 September 2011, 4.
[2] Dr. W. Chang, OFMCap., Moral Lingkungan Hidup, Kanisius, Yogyakarta 2001, 19.
[3] Al. Purwa Hadiwardoyo, MSF., Masalah Sosial Aktual-Sikap Gereja Katolik, Kanisius, Yogyakarta 2006, 47.
[4] Al. Purwa Hadiwardoyo, MSF., Masalah Sosial Aktual-Sikap Gereja Katolik, 48.
[5] Khlor/khlorin adalah golongan halogen yang berwarna hijau kekuning-kuningan dan memiliki bau yang tajam. Senyawa ini dijumpai dalam bentuk gas, cair dan padat serta memiliki banyak kegunaan, misal: untuk desinfektan pada proses pengolahan air.
[6] Dr.W. Chang, OFMCap., Moral Lingkungan Hidup, 22.
[7] Al. Purwa Hadiwardoyo, MSF., Masalah Sosial Aktual-Sikap Gereja Katolik, 49.
[8] Al. Purwa Hadiwardoyo, MSF., Masalah Sosial Aktual-Sikap Gereja Katolik, 49.
[9] M. Mali, CSsR., “Ekologi dan Moral”, dalam A. Sunarko, OFM – A. Eddy Kristiyanto, OFM (eds.), Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi-Tinjauan Teologis atas Lingkungan Hidup, Kanisius, Yogyakarta 2008, 137.
[10] Dr. W. Chang, OFMCap., Moral Lingkungan Hidup, 30.
[11] M. Mali, CSsR., “Ekologi dan Moral”, 144.
[12] Dr. W. Chang, OFMCap., Moral Lingkungan Hidup, 49.
[13] Dr. W. Chang, OFMCap., Moral Lingkungan Hidup, 50.
[14] Dr. W. Chang, OFMCap., Moral Lingkungan Hidup, 52-54.
[15] Dr. W. Chang, OFMCap., Moral Lingkungan Hidup, 56.
[16] Dr. W. Chang, OFMCap., Moral Lingkungan Hidup, 57-60.
[17] Dr. W. Chang, OFMCap., Moral Lingkungan Hidup, 60-61.
[18] Kata depan “ex” mengandung dua pengertian pokok. Pertama, kata ini menunjuk pada akibat: sebelum Tuhan, tidak ada apa pun; setelah Dia kemudian muncullah sesuatu. Kedua, kata ini menunjuk bahwa dunia tidak mempunyai penyebab material: satu-satunya dasar penciptaan adalah Tuhan sendiri, tidak ada yang lain.
[19] Dr. W. Chang, OFMCap., Moral Lingkungan Hidup, 62.
[20] Al. Purwa Hadiwardoyo, MSF., Masalah Sosial Aktual-Sikap Gereja Katolik, 54.
[21] Dr. W. Chang, OFMCap., Moral Lingkungan Hidup, 65-66.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

La présence de Dieu qui accompagne toujours nos vies est un mystère. Sa présence réelle qu'Il soit là ou ici, nous ne pourrons peut-être...