KETIKA MR. JACK TAK BISA MEMILIH
“Wah…, panas
sekali hari ini”, kataku sembari mengusap keringat yang membasahi dahi dengan
derasnya. Maklum situasi demikian masih menjadi sesuatu yang belum biasa bagiku
karena baru beberapa hari aku menjadi seorang buruh cleaning service. Aku harus membiasakan diri dengan situasi yang
masih asing ini! Sengatan sinar sang surya yang sudah menjadi teman kerja para
buruh lain juga harus kubiasakan sebab inilah dunia kerja para buruh yang sesungguhnya.
Inilah dunia kerja yang jauh dari sapaan karyawan kantor-an namun memiliki
andil besar dalam keputusan yang ditetapkan.
Memang, hari itu
terasa sangat panas sekali. Aku rasa para buruh lain pun merasakan hal yang
sama sebab keadaan geografis perusahaan tempatku ber-proyek sosial berada dalam
kawasan perindustrian yang ramai dengan lalu lalang keramaian orang dan kendaraan
sehingga tak lepas dari polusi udara yang mewarnai. Nama perusahaan yang
kutempati adalah PT Indofood CBP Sukses Makmur Divisi Noodle – Semarang .
Perusahaan ini memproduksi mi instan yang siap dikemas bersama dengan bumbu dan
minyaknya. Produk yang dihasilkan di antaranya adalah mi instan dengan merek
Indomie, Supermie, Sarimi, Sakura dan Nikimiku dalam berbagai macam rasa. Produk-produk
itu kemudian didistribusikan ke wilayah Jawa Tengah dan DI Yogyakarta.
“Huh…,
sekarang sudah bikin gerah nih panasnya…!”, gumamku mengeluh. Hawa
panas dari sengatan sang surya dan ditambah dengan hawa panas dari mesin
produksi yang beroperasi selama dua puluh empat jam mulai membuatku gerah. Sepontan
pikiran mengajakku untuk mencari tempat berteduh yang letaknya di pojok gedung
pergudangan. Tempat mangkal itu
menjadi rujukan pertama karena aku sudah terbiasa duduk santai di sana bersama dengan para buruh
cleaning service yang lain.
Ketika tiba di sana ,
aku melihat ternyata ada buruh lain yang juga sedang beristirahat. Memang untuk
beristirahat di waktu kerja sangatlah riskan karena perusahaan telah memiliki peraturan
waktu kerja yang harus diikuti oleh semua buruh/karyawan: waktu kerja pada
umumnya adalah enam hari dalam seminggu dengan jumlah jam kerja tujuh jam
sehari dan empat puluh jam seminggu yang dilakukan dinas normal ataupun
bergilir (shift). Karena peraturan
yang ditentukan sangatlah jelas maka untuk mencari waktu istirahat di tengah
jam kerja harus mencari tempat yang aman dari jangkauan perhatian para
mandor/atasan.
Menyadari keadaan iklim kerja yang demikian, aku pun
maklum kalau ada buruh yang beristirahat di tempat mangkal karena tempatnya sangatlah strategis. Awalnya aku ingin
kembali ke tempat kerja karena melihat sudah ada yang memakai tempat itu. Akan
tetapi saat itu juga terdengar suara, “Mas…, istirahat sejenak di sini”.
Undangan untuk beristirat bersamanya sungguh terasa di telinga dan semakin
meyakinkanku untuk meluluskan niat agar beristirahat sejenak.
“Ah…, ini
kesempatanku untuk beristirahat dan sekaligus untuk mendengar sharing pengalaman darinya”, gumamku penuh
harap sambil melangkah menuju tempat mangkal
itu.
“Panas sekali ya
Pak…?”, tanyaku kepada buruh itu sembari melihat namanya yang tertera di bagian
kiri depan baju kerjanya. Namanya adalah Jaka Suryanta. Karena memiliki nama
awalan “Jaka” inilah, kemudian rekan-rekan cleaning
service lain memanggilnya dengan sebutan Mr. Jack. “Apa hubungan antara
nama ‘Jaka’ dan ‘Jack’?”, tanyaku dalam hati; mungkin antara “Jaka” dan “Jack”
memiliki kesamaan dalam hal nama karena sama-sama
memiliki awalan “J”. Tapi kukira inilah salah satu cara para buruh untuk
menjadikan situasi kerja mereka lebih hidup dan tidak terasa tertekan oleh beban pekerjaan!
“Iya Mas...,
situasinya di sini memang demikian”, jawabnya atas pertanyaan basa-basiku tadi.
“Bapak sudah berapa lama bekerja di sini?”, tanyaku
kepadanya setelah mengambil posisi duduk tepat di samping kirinya.
“Sudah lima
tahun Mas”, tegasnya.
Mendengar jawaban darinya, aku memikirkan bahwa tempat mangkal yang aman dari jangkauan mandor
ini pasti sudah menjadi tempat langganan Pak Jaka. Jangka waktu kerja selama lima tahun membuatnya dapat
mencari waktu dan tempat yang tepat untuk beristirahat atau setidaknya untuk sejenak
mengambil nafas. Aku pun menyadari bahwa perusahaan yang bergerak dalam bidang
pangan ini pasti menuntut lebih dari buruh cleaning
service agar kebersihan di area perusahaan benar-benar terjaga. Apalagi tugas Pak Jaka berada di area
produksi. Pasti ia harus bekerja ekstra, lebih dari biasa! Belum lagi ditambah dengan
panasnya mesin produksi di dalam gedung yang sungguh gerah untuk dibayangkan.
“Maklumlah bila ia beristirahat di saat suasana yang menggerahkan seperti ini”,
gumamku.
“Wah…, Bapak
kalau begitu sudah lama ya bekerja di
sini?”, tanyaku lagi.
“Iya mas…, tapi
saya bekerja di sini tidak sebagai karyawan tetap. Saya bekerja pada PT Jawa
Power yang bermitra kerja dengan PT Indofood. Oleh karena itu, saya adalah
buruh/karyawan tidak tetap, tidak termasuk karyawan tetap PT Indofood…. Saya
adalah pekerja out sourcing!”, jawab
lelaki yang berumur empat puluhan itu. “Kalau bekerja seperti saya ini sangat
susah Mas…, karena tidak ada jaminan sebagaimana karyawan tetap”, tambah Pak
Jaka yang mulai mengeluhkan perkerjaannya dengan membandingkan jaminan hidup
yang jauh berbeda dengan karyawan tetap. Baginya, menjadi buruh out sourcing tidak memiliki masa depan
yang cerah karena tidak ada jaminan hari tua, dana pensiunan ataupun jaminan
kesehatan untuk diri dan keluarga. “Kalau sudah menjadi karyawan tetap di PT
Indofood, sudah terjamin hidupnya Mas…!”, tegasnya.
Keluh kesah Mr. Jack itu kurasa sungguh menunjukkan
sikap keterbukaan. Dengan menjadi buruh out
sourcing, dengan gaji standar UMR
(Upah Minimum Regional) Semarang sejumlah Rp 961.000, ia melihat bahwa
keadaannya saat ini tidak sebanding dengan karyawan tetap yang gajinya jauh
berbeda dengannya. Belum lagi dengan membandingkan
jaminan yang diperoleh! Bahkan untuk menambah penghasilan yang pas-pasan itu, ayah dari tiga anak ini
kadang juga menjadi penjual jagung bakar di sekitar Kelenteng Sam Po Kong – Semarang . “Saya biasanya
menjadi penjual jagung bakar untuk menambah penghasilan. Itu saya lakukan
biasanya pada malam minggu ketika Kelenteng Sam Po Kong banyak pengunjungnya”,
ungkapnya.
“Jadi kalau berangkat bekerja, Bapak nglaju menggunakan apa? Sepeda motor?”,
tanyaku lebih lanjut.
“Saya masih belum punya sepeda motor. Uang yang saya
terima dari gaji, saya gunakan untuk membeli tanah dulu. Hal itu saya lakukan
karena saya berfikir bahwa lebih baik memikirkan tempat berteduh istri dan
ketiga anak saya dari pada harus membeli sepeda motor”, akunya.
“Lha terus,
Bapak ke tempat kerja menggunakan apa?”, tanyaku menyelidik.
“Ya…, mbonceng teman Mas”, jawabnya.
Mendengar jawaban-jawaban dan juga sharing Mr. Jack, sungguh menyadarkanku akan situasi kemiskinan
konkrit yang dialami olehnya. Aku serasa tidak percaya akan pengakuannya yang
telah bekerja selama lima
tahun di PT Indofood, tempat kerjanya sekarang, ternyata masih mengalami
kegundahan hati atas pekerjaannya! Ada sebuah
pertanyaan yang terbesit di pikiranku, “Kalau situasi dunia kerja yang
dialaminya demikian, tidak sesuai dengan yang diharapkan, mengapa Mr. Jack
masih tetap bekerja, bahkan tetap bekerja selama lima tahun?” Ingin kutanyakan langsung
perasaan gundahku itu, namun tiba-tiba Pak Jaka berkata, “Sebenarnya saya ingin
mencari pekerjaan yang lebih baik dibandingkan dengan yang sekarang ini Mas…,
tapi masih belum saya temukan!”.
Buruh out sourcing
Merasa tidak ada jaminan hidup adalah salah satu keluh
kesah Pak Jaka. Aku sendiri sempat merasa gundah karena jika situasinya
demikian mengapa ia tetap bertahan? Ya...,
karena Pak Jaka tidak memiliki pilihan lain kecuali harus hidup bersama
pekerjaannya sekarang ini demi kelangsungan hidup keluarga yang ditanggungnya.
Maka, tepatlah jika ia bercerita padaku bahwa situasi dunia kerja yang
dihadapinya, sekalipun tidak ada jaminan hidup, tetap digelutinya. Ia tetap
berjuang dengan pekerjaannya sekalipun harus mbonceng dengan teman ketika akan berangkat bekerja dari pada harus
membeli sepeda motor. Di lain tempat, ia berusaha untuk menambah penghasilannya
dengan menjadi penjual jagung bakar karena tanggung jawab untuk menghidupi
keluarga sangatlah tidak cukup jika hanya mengandalkan gaji buruhnya.
Ketika melihat situasi Pak Jaka, sepintas ada sebuah
pertanyaan yang muncul, “Apa yang menyebabkan keadaan hidup Pak Jaka menjadi miskin? Ia terus
merasa kalut akan tidak adanya jaminan hidup bagi diri dan keluarganya. Ia
harus mencari tambahan penghasilan lain selain dari gaji buruhnya!” Bagi setiap
orang, tidak ada satu pun yang ingin mengalami situasi seperti yang dihadapi oleh
Pak Jaka. Semua orang pasti ingin hidup bahagia. Namun bagi Pak Jaka, situasi
demikian sudah menjadi miliknya. Situasi hidup yang berwarna kemiskinan telah
mejadi tantangan hidupnya demi keluarga di tengah dunia kerja yang sarat akan
persaingan dan ketidakadilan.
“Lantas…, apa penyebabnya…?”, tanyaku kemudian.
Aku teringat kata-kata Pak Jaka, “Saya adalah pekerja out sourcing!” Kata-kata itu ingin
menunjukkan bahwa dengan menjadi pekerja out
sourcing, ia sungguh berbeda dengan karyawan tetap yang sama-sama bekerja
di PT Indofood, sekalipun ia bekerja pada PT Jawa Power yang bermitra kerja
dengan PT Indofood. Menjadi buruh out
sourcing inilah yang memiliki pengaruh besar bagi hidupnya karena “out sourcing” itu sendiri memiliki
nuansa yang kurang menguntungkan. Kata ini memiliki arti: pemindahan pekerjaan
dari satu perusahaan ke perusahaan lain (dari PT Jawa Power ke PT Indofood). Hal
ini biasanya dilakukan untuk memperkecil biaya produksi atau untuk memusatkan
perhatian kepada hal utama dari perusahaan tersebut.
Maka jelas bahwa dengan menjadi buruh out sourcing, Mr. Jack kurang mendapat
jaminan kerja seperti yang diharapkannya. Situasi demikian terjadi karena ia
berada “di luar” dari perusahaan PT Indofood. Situasi demikian pulalah yang
membedakan jaminan hidupnya dengan jaminan para karyawan/buruh tetap PT
Indofood. Maka, menjadi hal yang lumrah jika PT Indofood tidak memberikan
jaminan kesehatan ataupun tunjangan hari tua/pensiun bagi buruh out sourcing-nya.
Kebersamaan dengan Pak Jaka membuatku dapat merasakan
kegundahan hati dan keinginannya untuk berontak dalam menghadapi situasi kerja.
Baginya, mungkin hak/ jaminan yang didapat saat ini tidak sebanding dengan para
buruh tetap. Ia merasa bahwa bila antara buruh/karyawan out sourcing dan yang tetap sama-sama
memiliki jam kerja yang sama, mengapa memiliki kesenjangan yang jauh sekali
berbeda dalam hal penghargaan dari perusahaan? Kalau para buruh/karyawan tetap
mendapatkan fasilitas-fasilitas dari perusahaan (penghargaan karyawan terbaik
setiap tahun dan penghargaan masa kerja, perawatan kesehatan, bantuan dukacita
dan sukacita/bantuan kelahiran, insentif, dana sosial, tunjangan hari raya,
tunjangan hari tua/pensiun, beasiswa anak karyawan, kompensasi kecelakaan dan
fasilitas-fasilitas yang lain), mengapa perusahaan tidak memberikan tunjangan
yang sebanding/pantas kepada Pak Jaka dan rekan-rekan lain dari PT Jawa Power? Jawabannya
adalah karena PT Indofood bermitra kerja dengan PT Jawa Power dengan tujuan
untuk memperkecil biaya produksi dan memusatkan perhatian kepada hal utama
perusahaan. Untuk tujuan itu tampillah buruh-buruh out sourcing. Mereka adalah para buruh tidak tetap/di luar PT
Indofood yang berbeda dengan pekerja tetap PT Indofood; dan Pak Jaka… Mr. Jack adalah
salah satu di dalamnya.
Mencari pekerjaan lain atau berhenti bekerja tidak
memberikan ruang kesempatan bagi Pak Jaka untuk memilih. Kedua tawaran itu
tidak menjanjikan kepastian bagi jaminan hidupnya. Yang ada dalam benaknya
adalah bagaimana harus mengerjakan tugasnya sebagai buruh out sourcing dan mencari penghasilan lain. Memang tiada pilihan
lain karena dunia kerja menuntut sedemikian rupa.
Pengalaman bersama Mr. Jack sembari menghela nafas
sejenak di tengah panasnya dunia, memberikan kesempatan bagiku untuk mengenal
jauh realitas hidup seorang buruh out
sourcing. Dengan pengalaman itu, aku melihat dengan mata kepala sendiri perjuangan
seorang kepala keluarga yang bekerja keras demi kehidupan keluarganya. Di
tengah perjuangan itu, realitas kemiskinan yang terbungkus oleh keluhan hidup
Pak Jaka, menggugahku untuk menyadari betapa sulitnya orang untuk hidup. Bukan
hanya sulit untuk mencari penghasilan yang layak, tetapi sulit oleh karena
keadaan struktural dunia kerja yang tidak bisa dituntut untuk lebih bijaksana
dan proporsional. Dengan demikian, tiada artinyalah “jeritan” kisah Pak Jaka
yang menuntut adanya jaminan hidup yang lebih layak.
Aku merasakan bahwa Pak Jaka memiliki keinginan untuk
berontak dan lari dari dunia kerjanya. Situasi itu sungguh terasa dari sharing-nya kepadaku. Aku sungguh
mengalami kegundahannya tentang bagaimana harus bertanggungjawab atas kehidupan
keluarga yang dibangunnya, masa depan anak-anaknya dan masa depan keluarganya
ke depan. Rasa se-hati inilah yang menyadarkanku bahwa yang memiliki andil besar
terhadap hidup Pak Jaka saat ini adalah bukan hanya dirinya sendiri, bukan PT
Jawa Power, melainkan PT Indofood! Rasanya perusahaan ini masih kurang memiliki
rasa solider terhadap seluruh karyawan yang bekerja di dalamnya, termasuk para
buruh out sourcing.
Seharusnya sebagai perusahaan yang berskala
internasional, PT Indofood juga memiliki perhatian ekstra terhadap seluruh
karyawan yang ada. Salah satu langkah yang patut untuk dilakukan adalah tidak
memberikan ”patokan mati” hak/jaminan buruh dengan batasan antara yang tetap
atau yang tidak tetap/ out sourcing.
Perusahaan seharusnya meninggalkan perhitungan yang sarat akan nuansa
ketidakadilan itu dan menggantinya dengan perhitungan yang mengutamakan hak
dasar manusia. Hak itu meliputi hak-hak pekerja yang harus dilihat dengan
konteks hak-hak asasi manusia sehingga manusia dengan kerjanya memperoleh
penghasilan yang layak.
Dengan memberikan perhatian terhadap aspek hak asasi
manusia, diharapkan perusahaan PT Indofood melihat setiap buruh yang bekerja sebagai
subjek kerja. Pandangan ini setidaknya dapat merelativisasi pemberian hak bagi
para buruh yang hanya berdasarkan pada aspek kerja yang dilakukan. Manusia
adalah subjek dari kerjanya. Hal inilah yang patut menjadi perhatian karena perhitungan
aspek manusia-lah sebagai dasar dalam pemberian hak. Dengan demikian, kiranya
perusahaan benar-benar memiliki
perasaan se-hati terhadap seluruh karyawan dengan memberikan hak secara layak
dan proporsional. Pada akhirnya, sekalipun Mr. Jack tak bisa memilih antara mencari
kerja lain yang tak kunjung dapat atau berhenti bekerja, ada secercah harapan
yang selalu meneguhkannya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar