Rabu, 01 Maret 2017

KETIKA MR. JACK TAK BISA MEMILIH


Wah…, panas sekali hari ini”, kataku sembari mengusap keringat yang membasahi dahi dengan derasnya. Maklum situasi demikian masih menjadi sesuatu yang belum biasa bagiku karena baru beberapa hari aku menjadi seorang buruh cleaning service. Aku harus membiasakan diri dengan situasi yang masih asing ini! Sengatan sinar sang surya yang sudah menjadi teman kerja para buruh lain juga harus kubiasakan sebab inilah dunia kerja para buruh yang sesungguhnya. Inilah dunia kerja yang jauh dari sapaan karyawan kantor-an namun memiliki andil besar dalam keputusan yang ditetapkan.
 Memang, hari itu terasa sangat panas sekali. Aku rasa para buruh lain pun merasakan hal yang sama sebab keadaan geografis perusahaan tempatku ber-proyek sosial berada dalam kawasan perindustrian yang ramai dengan lalu lalang keramaian orang dan kendaraan sehingga tak lepas dari polusi udara yang mewarnai. Nama perusahaan yang kutempati adalah PT Indofood CBP Sukses Makmur Divisi NoodleSemarang. Perusahaan ini memproduksi mi instan yang siap dikemas bersama dengan bumbu dan minyaknya. Produk yang dihasilkan di antaranya adalah mi instan dengan merek Indomie, Supermie, Sarimi, Sakura dan Nikimiku dalam berbagai macam rasa. Produk-produk itu kemudian didistribusikan ke wilayah Jawa Tengah dan DI Yogyakarta.
Huh…, sekarang sudah bikin gerah nih panasnya…!”, gumamku mengeluh. Hawa panas dari sengatan sang surya dan ditambah dengan hawa panas dari mesin produksi yang beroperasi selama dua puluh empat jam mulai membuatku gerah. Sepontan pikiran mengajakku untuk mencari tempat berteduh yang letaknya di pojok gedung pergudangan. Tempat mangkal itu menjadi rujukan pertama karena aku sudah terbiasa duduk santai di sana bersama dengan para buruh cleaning service yang lain.
Ketika tiba di sana, aku melihat ternyata ada buruh lain yang juga sedang beristirahat. Memang untuk beristirahat di waktu kerja sangatlah riskan karena perusahaan telah memiliki peraturan waktu kerja yang harus diikuti oleh semua buruh/karyawan: waktu kerja pada umumnya adalah enam hari dalam seminggu dengan jumlah jam kerja tujuh jam sehari dan empat puluh jam seminggu yang dilakukan dinas normal ataupun bergilir (shift). Karena peraturan yang ditentukan sangatlah jelas maka untuk mencari waktu istirahat di tengah jam kerja harus mencari tempat yang aman dari jangkauan perhatian para mandor/atasan.
Menyadari keadaan iklim kerja yang demikian, aku pun maklum kalau ada buruh yang beristirahat di tempat mangkal karena tempatnya sangatlah strategis. Awalnya aku ingin kembali ke tempat kerja karena melihat sudah ada yang memakai tempat itu. Akan tetapi saat itu juga terdengar suara, “Mas…, istirahat sejenak di sini”. Undangan untuk beristirat bersamanya sungguh terasa di telinga dan semakin meyakinkanku untuk meluluskan niat agar beristirahat sejenak.
Ah…, ini kesempatanku untuk beristirahat dan sekaligus untuk mendengar sharing pengalaman darinya”, gumamku penuh harap sambil melangkah menuju tempat mangkal itu.
“Panas sekali ya Pak…?”, tanyaku kepada buruh itu sembari melihat namanya yang tertera di bagian kiri depan baju kerjanya. Namanya adalah Jaka Suryanta. Karena memiliki nama awalan “Jaka” inilah, kemudian rekan-rekan cleaning service lain memanggilnya dengan sebutan Mr. Jack. “Apa hubungan antara nama ‘Jaka’ dan ‘Jack’?”, tanyaku dalam hati; mungkin antara “Jaka” dan “Jack” memiliki kesamaan dalam hal nama karena sama-sama memiliki awalan “J”. Tapi kukira inilah salah satu cara para buruh untuk menjadikan situasi kerja mereka lebih hidup dan tidak terasa tertekan oleh beban pekerjaan!
Iya Mas..., situasinya di sini memang demikian”, jawabnya atas pertanyaan basa-basiku tadi.
“Bapak sudah berapa lama bekerja di sini?”, tanyaku kepadanya setelah mengambil posisi duduk tepat di samping kirinya.
“Sudah lima tahun Mas”, tegasnya.
Mendengar jawaban darinya, aku memikirkan bahwa tempat mangkal yang aman dari jangkauan mandor ini pasti sudah menjadi tempat langganan Pak Jaka. Jangka waktu kerja selama lima tahun membuatnya dapat mencari waktu dan tempat yang tepat untuk beristirahat atau setidaknya untuk sejenak mengambil nafas. Aku pun menyadari bahwa perusahaan yang bergerak dalam bidang pangan ini pasti menuntut lebih dari buruh cleaning service agar kebersihan di area perusahaan benar-benar terjaga. Apalagi tugas Pak Jaka berada di area produksi. Pasti ia harus bekerja ekstra, lebih dari biasa! Belum lagi ditambah dengan panasnya mesin produksi di dalam gedung yang sungguh gerah untuk dibayangkan. “Maklumlah bila ia beristirahat di saat suasana yang menggerahkan seperti ini”, gumamku.
Wah…, Bapak kalau begitu sudah lama ya bekerja di sini?”, tanyaku lagi.
Iya mas…, tapi saya bekerja di sini tidak sebagai karyawan tetap. Saya bekerja pada PT Jawa Power yang bermitra kerja dengan PT Indofood. Oleh karena itu, saya adalah buruh/karyawan tidak tetap, tidak termasuk karyawan tetap PT Indofood…. Saya adalah pekerja out sourcing!”, jawab lelaki yang berumur empat puluhan itu. “Kalau bekerja seperti saya ini sangat susah Mas…, karena tidak ada jaminan sebagaimana karyawan tetap”, tambah Pak Jaka yang mulai mengeluhkan perkerjaannya dengan membandingkan jaminan hidup yang jauh berbeda dengan karyawan tetap. Baginya, menjadi buruh out sourcing tidak memiliki masa depan yang cerah karena tidak ada jaminan hari tua, dana pensiunan ataupun jaminan kesehatan untuk diri dan keluarga. “Kalau sudah menjadi karyawan tetap di PT Indofood, sudah terjamin hidupnya Mas…!”, tegasnya.
Keluh kesah Mr. Jack itu kurasa sungguh menunjukkan sikap keterbukaan. Dengan menjadi buruh out sourcing, dengan gaji standar UMR (Upah Minimum Regional) Semarang sejumlah Rp 961.000, ia melihat bahwa keadaannya saat ini tidak sebanding dengan karyawan tetap yang gajinya jauh berbeda dengannya. Belum lagi dengan membandingkan jaminan yang diperoleh! Bahkan untuk menambah penghasilan yang pas-pasan itu, ayah dari tiga anak ini kadang juga menjadi penjual jagung bakar di sekitar Kelenteng Sam Po Kong – Semarang. “Saya biasanya menjadi penjual jagung bakar untuk menambah penghasilan. Itu saya lakukan biasanya pada malam minggu ketika Kelenteng Sam Po Kong banyak pengunjungnya”, ungkapnya.
“Jadi kalau berangkat bekerja, Bapak nglaju menggunakan apa? Sepeda motor?”, tanyaku lebih lanjut.
“Saya masih belum punya sepeda motor. Uang yang saya terima dari gaji, saya gunakan untuk membeli tanah dulu. Hal itu saya lakukan karena saya berfikir bahwa lebih baik memikirkan tempat berteduh istri dan ketiga anak saya dari pada harus membeli sepeda motor”, akunya.
Lha terus, Bapak ke tempat kerja menggunakan apa?”, tanyaku menyelidik.
Ya…, mbonceng teman Mas”, jawabnya.
Mendengar jawaban-jawaban dan juga sharing Mr. Jack, sungguh menyadarkanku akan situasi kemiskinan konkrit yang dialami olehnya. Aku serasa tidak percaya akan pengakuannya yang telah bekerja selama lima tahun di PT Indofood, tempat kerjanya sekarang, ternyata masih mengalami kegundahan hati atas pekerjaannya! Ada sebuah pertanyaan yang terbesit di pikiranku, “Kalau situasi dunia kerja yang dialaminya demikian, tidak sesuai dengan yang diharapkan, mengapa Mr. Jack masih tetap bekerja, bahkan tetap bekerja selama lima tahun?” Ingin kutanyakan langsung perasaan gundahku itu, namun tiba-tiba Pak Jaka berkata, “Sebenarnya saya ingin mencari pekerjaan yang lebih baik dibandingkan dengan yang sekarang ini Mas…, tapi masih belum saya temukan!”.
Ada sesuatu di balik ungkapan Pak Jaka! Bagiku, situasi kerja yang dialami oleh Pak Jaka dihadapkan dengan dua pilihan yang tidak dapat dipilih. Di satu sisi, ia ingin beralih ke pekerjaan lain yang lebih memakmurkan dari pada perkerjaannya saat ini. Namun pekerjaan itu belum dapat ditemukannya. Di sisi lain, Pak Jaka ingin berhenti dari pekerjaan yang dirasanya jauh dari harapan. Namun bila ia melakukannya akan menuai konsekuensi buruk bagi kelangsungan hidup keluarganya karena tiadanya sumber penghasilan. Lantas, mana yang dapat dipilih: mencari kerja lain yang tak kunjung ditemukan atau berhenti bekerja? Rasanya tidak ada pilihan bagi Mr. Jack; ia tidak dapat memilih! Satu-satunya keputusan di luar pilihan-pilihan tadi adalah tetap melalukan perkerjaan yang telah dilakukannya selama lima tahun ini: menjadi buruh our sourcing. Ketika tiada pilihan lain, kiranya hanya satu yang menjadi tekadnya untuk tetap bekerja menjadi buruh out sourcing seperti saat ini, yakni: rasa tanggung jawabnya atas istri dan ketiga anaknya!

Buruh out sourcing
Merasa tidak ada jaminan hidup adalah salah satu keluh kesah Pak Jaka. Aku sendiri sempat merasa gundah karena jika situasinya demikian mengapa ia tetap bertahan? Ya..., karena Pak Jaka tidak memiliki pilihan lain kecuali harus hidup bersama pekerjaannya sekarang ini demi kelangsungan hidup keluarga yang ditanggungnya. Maka, tepatlah jika ia bercerita padaku bahwa situasi dunia kerja yang dihadapinya, sekalipun tidak ada jaminan hidup, tetap digelutinya. Ia tetap berjuang dengan pekerjaannya sekalipun harus mbonceng dengan teman ketika akan berangkat bekerja dari pada harus membeli sepeda motor. Di lain tempat, ia berusaha untuk menambah penghasilannya dengan menjadi penjual jagung bakar karena tanggung jawab untuk menghidupi keluarga sangatlah tidak cukup jika hanya mengandalkan gaji buruhnya.
Ketika melihat situasi Pak Jaka, sepintas ada sebuah pertanyaan yang muncul, “Apa yang menyebabkan keadaan hidup Pak Jaka menjadi miskin? Ia terus merasa kalut akan tidak adanya jaminan hidup bagi diri dan keluarganya. Ia harus mencari tambahan penghasilan lain selain dari gaji buruhnya!” Bagi setiap orang, tidak ada satu pun yang ingin mengalami situasi seperti yang dihadapi oleh Pak Jaka. Semua orang pasti ingin hidup bahagia. Namun bagi Pak Jaka, situasi demikian sudah menjadi miliknya. Situasi hidup yang berwarna kemiskinan telah mejadi tantangan hidupnya demi keluarga di tengah dunia kerja yang sarat akan persaingan dan ketidakadilan.
“Lantas…, apa penyebabnya…?”, tanyaku kemudian.
Aku teringat kata-kata Pak Jaka, “Saya adalah pekerja out sourcing!” Kata-kata itu ingin menunjukkan bahwa dengan menjadi pekerja out sourcing, ia sungguh berbeda dengan karyawan tetap yang sama-sama bekerja di PT Indofood, sekalipun ia bekerja pada PT Jawa Power yang bermitra kerja dengan PT Indofood. Menjadi buruh out sourcing inilah yang memiliki pengaruh besar bagi hidupnya karena “out sourcing” itu sendiri memiliki nuansa yang kurang menguntungkan. Kata ini memiliki arti: pemindahan pekerjaan dari satu perusahaan ke perusahaan lain (dari PT Jawa Power ke PT Indofood). Hal ini biasanya dilakukan untuk memperkecil biaya produksi atau untuk memusatkan perhatian kepada hal utama dari perusahaan tersebut.
Maka jelas bahwa dengan menjadi buruh out sourcing, Mr. Jack kurang mendapat jaminan kerja seperti yang diharapkannya. Situasi demikian terjadi karena ia berada “di luar” dari perusahaan PT Indofood. Situasi demikian pulalah yang membedakan jaminan hidupnya dengan jaminan para karyawan/buruh tetap PT Indofood. Maka, menjadi hal yang lumrah jika PT Indofood tidak memberikan jaminan kesehatan ataupun tunjangan hari tua/pensiun bagi buruh out sourcing-nya.
Kebersamaan dengan Pak Jaka membuatku dapat merasakan kegundahan hati dan keinginannya untuk berontak dalam menghadapi situasi kerja. Baginya, mungkin hak/ jaminan yang didapat saat ini tidak sebanding dengan para buruh tetap. Ia merasa bahwa bila antara buruh/karyawan out sourcing dan yang tetap sama-sama memiliki jam kerja yang sama, mengapa memiliki kesenjangan yang jauh sekali berbeda dalam hal penghargaan dari perusahaan? Kalau para buruh/karyawan tetap mendapatkan fasilitas-fasilitas dari perusahaan (penghargaan karyawan terbaik setiap tahun dan penghargaan masa kerja, perawatan kesehatan, bantuan dukacita dan sukacita/bantuan kelahiran, insentif, dana sosial, tunjangan hari raya, tunjangan hari tua/pensiun, beasiswa anak karyawan, kompensasi kecelakaan dan fasilitas-fasilitas yang lain), mengapa perusahaan tidak memberikan tunjangan yang sebanding/pantas kepada Pak Jaka dan rekan-rekan lain dari PT Jawa Power? Jawabannya adalah karena PT Indofood bermitra kerja dengan PT Jawa Power dengan tujuan untuk memperkecil biaya produksi dan memusatkan perhatian kepada hal utama perusahaan. Untuk tujuan itu tampillah buruh-buruh out sourcing. Mereka adalah para buruh tidak tetap/di luar PT Indofood yang berbeda dengan pekerja tetap PT Indofood; dan Pak Jaka… Mr. Jack adalah salah satu di dalamnya.

Ada harapan
Mencari pekerjaan lain atau berhenti bekerja tidak memberikan ruang kesempatan bagi Pak Jaka untuk memilih. Kedua tawaran itu tidak menjanjikan kepastian bagi jaminan hidupnya. Yang ada dalam benaknya adalah bagaimana harus mengerjakan tugasnya sebagai buruh out sourcing dan mencari penghasilan lain. Memang tiada pilihan lain karena dunia kerja menuntut sedemikian rupa.
Pengalaman bersama Mr. Jack sembari menghela nafas sejenak di tengah panasnya dunia, memberikan kesempatan bagiku untuk mengenal jauh realitas hidup seorang buruh out sourcing. Dengan pengalaman itu, aku melihat dengan mata kepala sendiri perjuangan seorang kepala keluarga yang bekerja keras demi kehidupan keluarganya. Di tengah perjuangan itu, realitas kemiskinan yang terbungkus oleh keluhan hidup Pak Jaka, menggugahku untuk menyadari betapa sulitnya orang untuk hidup. Bukan hanya sulit untuk mencari penghasilan yang layak, tetapi sulit oleh karena keadaan struktural dunia kerja yang tidak bisa dituntut untuk lebih bijaksana dan proporsional. Dengan demikian, tiada artinyalah “jeritan” kisah Pak Jaka yang menuntut adanya jaminan hidup yang lebih layak.
Aku merasakan bahwa Pak Jaka memiliki keinginan untuk berontak dan lari dari dunia kerjanya. Situasi itu sungguh terasa dari sharing-nya kepadaku. Aku sungguh mengalami kegundahannya tentang bagaimana harus bertanggungjawab atas kehidupan keluarga yang dibangunnya, masa depan anak-anaknya dan masa depan keluarganya ke depan. Rasa se-hati inilah yang menyadarkanku bahwa yang memiliki andil besar terhadap hidup Pak Jaka saat ini adalah bukan hanya dirinya sendiri, bukan PT Jawa Power, melainkan PT Indofood! Rasanya perusahaan ini masih kurang memiliki rasa solider terhadap seluruh karyawan yang bekerja di dalamnya, termasuk para buruh out sourcing.
Seharusnya sebagai perusahaan yang berskala internasional, PT Indofood juga memiliki perhatian ekstra terhadap seluruh karyawan yang ada. Salah satu langkah yang patut untuk dilakukan adalah tidak memberikan ”patokan mati” hak/jaminan buruh dengan batasan antara yang tetap atau yang tidak tetap/ out sourcing. Perusahaan seharusnya meninggalkan perhitungan yang sarat akan nuansa ketidakadilan itu dan menggantinya dengan perhitungan yang mengutamakan hak dasar manusia. Hak itu meliputi hak-hak pekerja yang harus dilihat dengan konteks hak-hak asasi manusia sehingga manusia dengan kerjanya memperoleh penghasilan yang layak.
Dengan memberikan perhatian terhadap aspek hak asasi manusia, diharapkan perusahaan PT Indofood melihat setiap buruh yang bekerja sebagai subjek kerja. Pandangan ini setidaknya dapat merelativisasi pemberian hak bagi para buruh yang hanya berdasarkan pada aspek kerja yang dilakukan. Manusia adalah subjek dari kerjanya. Hal inilah yang patut menjadi perhatian karena perhitungan aspek manusia-lah sebagai dasar dalam pemberian hak. Dengan demikian, kiranya perusahaan benar-benar memiliki perasaan se-hati terhadap seluruh karyawan dengan memberikan hak secara layak dan proporsional. Pada akhirnya, sekalipun Mr. Jack tak bisa memilih antara mencari kerja lain yang tak kunjung dapat atau berhenti bekerja, ada secercah harapan yang selalu meneguhkannya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

La présence de Dieu qui accompagne toujours nos vies est un mystère. Sa présence réelle qu'Il soit là ou ici, nous ne pourrons peut-être...