Selasa, 21 Maret 2017

Rama sebagai Konselor

Rama sebagai Konselor adalah sebuah tulisan yang bagi saya adalah sebuah pengalaman dan hasil pendidikan selama kuliah konseling. Dalam tulisan ini saya berusaha untuk menyampaikan beberapa hal penting yang diterima selama proses perkuliahan konseling. Beberapa hal itu dikatakan penting tidak hanya sebatas pada ranah pemenuhan nilai saja melainkan yang lebih utama adalah saya dapat men-share-kan sebuah pemahaman yang sangat berguna bagi tugas pelayanan saya sebagai pribadi yang akan menjadi imam-religius. Dengan kata lain, materi yang akan saya sampaikan ini merupakan suatu hal yang relefan bagi perjalanan panggilan imamat saya kelak!

1.      Latar Belakang
Romo …, bisakah saya berbicara dengan Romo sebentar. Soalnya, saya  sedang mengalami masalah dengan isteri saya”! Keluhan pengalaman seperti itu sepertinya telah menjadi hal yang sangat familiar bila mengaitkannya dengan keberadaan seorang romo/pastor yang berkarya di mana pun, terlebih yang berkarya di paroki. Seorang semanaris/frater yang telah ditahbiskan menjadi seorang romo adalah sebuah anugerah yang menjadikan pribadi itu menjadi pribadi yang memiliki nilai lebih di mata umat Gereja. Romo menjadi pribadi yang lebih di mata umat karena ia menjadi pribadi yang dinomor satukan; seorang pribadi yang sesuai dengan tugas perutusan menjadi gembala bagi umat Allah.
Romo adalah figur utama Gereja yang menjadi orang kepercayaan bagi umat. Maka menjadi hal yang lumrah dan biasa bila menemukan sebuah keluhan seperti pada paragraf awal tadi yang menceritakan kedatangan seorang umat kepada romonya. Umat yang sedang mengalami masalah (dengan istrinya itu) berharap bahwa pastornya dapat membantu dan mengatasi masalah yang sedang dihadapi. Romo telah mendapatkan nilai kepercayaan di mata umat! Mungkin, pengalaman atau kasus seperti pada bagian awal tadi adalah satu di antara banyak kasus yang dihadapai oleh seorang romo dalam karyanya. Berhadapan dengan situasi familiar - bahwa romo adalah seorang figur kepercayaan - yang sering dijumpai dalam pengalaman pastoral, maka bagi saya secara pribadi menilai bahwa seorang romo harus membekali dirinya tidak hanya dengan pengetahuan filsafat-teologi saja! Seorang romo haruslah juga membekali dirinya dengan pengetahuan tentang dunia konseling karena ia akan berhadapan dengan situasi Gereja yang kompleks, di antaranya adalah menghadapi umat yang sedang mengalami permasalahan dengan kehidupan duniawi-dengan sesama, seperti pada contoh kasus di atas. Situasi demikianlah yang menuntut seorang romo untuk harus juga menjadi seorang konselor!
Situas di lapangan pastoral memanglah situasi yang tak terduga. Seorang romo tidak dapat secara eksplisit memperkirakan permasalahan umat yang akan dihadapinya. Dengan memiliki potensi sebagai konselor, seorang romo diharapkan mampu untuk dapat menghadapi situasi insidental yang dialami oleh umat. Pengetahuan yang cukup tentang dunia konseling setidaknya memberikan sumbangan lebih bagi seorang romo untuk memberikan pelayanan “insidental” kepada umat (klien) yang mengalami masalah bila meminta bantuan. Lantas, manuver apa yang seharusnya dapat diberikan oleh seorang romo-konselor dalam “kamar tamu”-nya bila berhadapan dengan umat yang memiliki masalah cukup kompleks? Langkah apa yang secara tepat dapat dilakukan bila umat yang datang kepada romo (dengan masalahnya) dalam keadaan insidental? Pada bagian selanjutnya akan ditampilkan beberapa poin yang bagi saya memberikan sumbangan pengatahuan konseling untuk membantu dalam tugas pelayanan-pastoral ke depan, terutama bagi saya!

2.      Rama sebagai Konselor
Ketika seorang romo berkecimpung dalam dunia karya, entah yang bertugas di dunia pendidikan, karya kategorial, formasio (masa pembentukan bagi para calon), hingga sampai pada pelayanan pastoral-parokial, akan tidak luput dari perjumpaan dengan umat Gereja. Perjumpaan dengan umat inilah yang tidak menutup kemungkinan atas pandangan bahwa sosok seorang romo adalah sosok yang diutamakan dalam kehidupan umat. Maka, akan menjadi hal yang dapat diterima bila umat melihat romonya adalah seorang pribadi yang diharapkan mampu untuk membimbing dan mengarahkan perjalanan domba gembalaannya. Bahkan, tidak dapat disangkal pula bila umat yang sedang mengalami permasalahan datang kepada seorang romo. Kepercayaan inilah yang sebenarnya memberi entry point untuk memiliki kepercayaan dari umat yang digembalakannya. Namun permasalahannya, mampukan seorang romo memiliki potensi untuk menghadapai umat dengan pelbagai keperluan dan permasalahannya? Atas dasar inilah menjadi hal yang sangat relevan bila sang romo dengan pelayanan “kamar tamu”-nya memberikan sumbangan positif bagi domba yang datang kepadanya. Atas dasar itu pula yang menuntut seorang romo untuk menyediakan diri untuk menjadi seorang konselor. Tuntutan inilah yang mendasari sebab di jaman yang terus berkembang, umat tidak hanya berhadapan dengan permasalahan iman melainkan juga dengan permasalahan yang bersinggungan langsung dengan kehidupan duniawi (permasalahan dengan keluarga, tetangga, ekonomi, pendidikan, mentalitas pribadi, emosional dan lain sebagainya).
Yang perlu dihindari
Waah …, Romo …, saya sangat kecewa dengan kedua orang tua saya karena mereka tidak mengerti betapa saya sedih tatkala mereka tidak merestui hubungan saya dengan Hana!”, begitulah salah satu dari sekian contoh-contoh permasalahan/kasus yang dimiliki oleh umat yang datang kepada romo. Kasus itu adalah salah satu dari antara mudika yang sedang mengalami masalah dalam praksis kehidupan. Permasalahan yang dimiliki umat semakin kompleks dan beraneka ragam sesuai dengan umur serta status sosialnya dalam masyarakat. Maka yang datang untuk meminta bimbingan kepada romo sangatlah sulit untuk diprediksikan. Oleh karena itu, romo pun harus siap untuk menghadapi umat yang datang kepadanya!
Menghadapai situasi yang menuntut romo untuk memberikan bantuan kepada uamt yang sedang mengalami sebuah masalah bukanlah hal yang mudah. Romo tidak hanya dituntut untuk memberikan sesuatu dan umat pasti puas! Figur romo diharapkan dapat menjadi lebih dari sekadar romo; romo yang mampu menjadi seorang konselor sehingga siap dalam menghadapi umat (klien). Namun sayangnya, bila umat yang bermasalah datang kepada romo dengan pelbagai permasalahannya malah ditanggapi dengan tanggapan yang tidak berbobot! Artinya, umat hanya mendapatkan peneguhan saja sehingga masalah yang seharusnya diselesaikan tidak tersentuh. Begitulah kiranya bila figur seorang romo dalam tugas pelayanannya hanya mengandalkan kemampuan pengetahuan rasio-reflektif saja! Umat yang datang sebenarnya membutuhkan tanggapan empatik akan tetapi dijamu dengan tanggapan non-empatik dari romo. Tanggapan non-empatik itu dapat menghalangi komunikasi yang lebih dalam (the roadblocks to communication) sehingga mengakibatkan terhalangnya umat (sebagai mitra komunikasi-MK/konseli) untuk mengungkapkan perasaan dan persoalannya kepada romo (pembimbing/P). Oleh karena itu, menjadi hal yang penting untuk mengenali tanggapan non-empatik itu sehingga romo tidak mengecewakan umat yang datang kepadanya. Beberapa tanggapan non-empatik itu adalah:
a)      Mempersamakan persoalan MK dengan P sendiri atau dengan persoalan orang lain.
Apabila P berkata: “Saya dulu juga pernah demikian!”, maka MK akan mendapat kesan bahwa persoalannya dianggap tidak istimewa. Demikian pula jika P berkata tentang persamaan pengalaman MK dengan pengalaman orang lain: “Ibu saya dulu juga memiliki pengalaman yang sama denganmu!”, maka yang akan terjadi adalah yang menjadi pusat dalam bimbingan bukan lagi MK melainkan P. Situasi demikian “mematikan” MK untuk mengungkapkan semua perasaan atau persoalaan yang dimiliki.
b)      Menganggap persoalan MK sebagai persoalan umum dan biasa.
Kalau P menanggap dan menilai bahwa permasalahan MK sebagai permasalahan yang umum serta biasa dengan berkata, “Ah …, itu biasa”, maka MK tidak akan melanjutkan pembicaraannya. Tanggapan, “Ah …, itu biasa” tidak akan menghapus perasaan atau persoalan yang dihadapi MK. Tanggapan demikian hanya menghentikan percakapan dalam bimbingan sehingga komunikasi yang diharapkan pun tidak terjadi.
c)      Menyebutkan suatu kebenaran.
Apabila dalam suatu saat umat mengungkapkan kesedihannya karena adiknya meninggal dunia mendengar P berkata: “Allah telah menerima adikmu di surga”! Tanggapan seperti itu rasanya hanyalah nasihat pada tarap pikiran-akal saja dan bukan untuk mengobati perasaan-permasalahan. Tanggapan seperti itu sebenarnya benar namun tidak tepat dengan situasi yang sedang dihadapi oleh umat sebab umat itu tidak membutuhkan nasihat surgawi saja melainkan sebuah perhatian penuh dari sang gembalanya!
d)     Mengadili.
Apabila P memberi tanggapan “Itu benar”, “Saya sangat setuju dan sependapat denganmu”, “Itu sangat bijaksana”, sebenarnya P sudah mengadili MK. Walaupun tanggapan itu sepertinya memberikan pujian terhadap persoalan yang dihadapi MK namun akan berakibat bahwa MK berfikir kembali untuk melanjutkan sharing persoalannya. MK khawatir bahwa apabila dalam pembicaraan selanjutnya ia menungkapkan perasaan/pernyataan negatif, P juga akan mengadilinya dengan pernyataan yang negatif pula. Dalam hal demikian, P seringkali dianggap sebagai romo yang menghakimi atau mengadili orang yang mencurahkan perasaan/persoalan kepadanya.
e)      Memberikan pertolongan rohani sebelum waktunya.
Sebuah kalimat atau pernyataan yang dapat menghentikan pembicaran dalam bimbingan kamar tamu romo adalah kalimat rohani: ayat Kitab Suci, kebenaran Kitab Suci, renungan pendek dan doa. Itu semua adalah baik namun kurang tepatlah bila diungkapkan dalam situasi bimbingan dengan uamt yang sedang mengalami permasalahan. Maka langkah yang lebih baik dalam bimbingan adalah tidak langsung memberikan pertolongan rohani kepada MK melainkan terlebih dahulu perasaan dan pergolakan batin MK ditangkap, dipahami dan dipantulkan dalam bantuan yang tepat. 
f)       Menasihati.
Salah satu yang sering dijumpai dalam kegiatan bimbingan adalah menasihati. P langsung memberikan nasihat kepada MP pada bagian awal pembicaraan tanpa memahami lebih lanjut permasalahan yang dihadapi. Padahal, dalam keadaan seperti itu MK sebenarnya lebih membutuhkan pengertian dan pemahaman dari P (romo) sehingga ia dengan leluasa dapat mengungkapkan perasaan/persoalan yang dihadapinya.
Dengan mengetahu beberapa tanggapan non-empatik dalam bimbingan yang harus dihindari, seorang romo diharapkan mampu untuk memberikan yang terbaik bagi umat yang dibimbingnya. Seorang romo yang berhadapan dengan klien/umatnya sendiri diharapkan tahu akan situasi umat sehingga ia bersedia untuk menjadi pendengar setia untuk memahami apa yang sedang dikeluhkan oleh umat. Oleh karena itu, kecenderungan yang biasa terjadi dalam praktik kamar tamu dengan memberikan tanggapan-tanggapan non-empatik dapat dihindari sehingga umat dengan rela hati untuk mengungkapkan seluruh perasaan akibat permasalahan yang sedang dihadapi. Mengindari beberapa tanggapan non-empatik adalah sebuah manuver tepat bagi seorang romo untuk melangkah maju menjadi konselor bila berhadapan dengan umat-klien yang sedang mengalami permasalahan yang sedang dihadapi.
Menjadi konselor
Adapun langkah selanjutnya (setelah menghindari beberapa tanggapan non-empatik), seorang romo dimampukan untuk memiliki potensi menjadi seorang konselor dengan memperhatikan beberapa aspek pelancar komunikasi. Aspek-aspek itulah yang menjadi sebuah modal untuk membangun komunikasi yang efektif dengan umat yang meminta bimbingan dengannya. Dengan kata lain, selain memperhatikan beberapa tanggapan yang harus dihindari, seorang romo dalam kegiatan bimbingannya juga harus memperhatikan beberapa tanggapan yang konstruktif untuk membangun penerimaan dan pemahaman umat yang dibimbing.
Ketika umat datang kepada romonya dengan meminta agar mendapat bantuan atau setidaknya mendapat perhatian, maka langkah pertama yang seharusnya dilakukan adalah dengan mendengar pasif/diam. Ada pepatah yang mengatakan “silence is golden”. Dengan sikap diam yang dimiliki, seorang romo memberikan kesempatan kepada umat yang sedang mengalami masalah itu untuk mengungkapkan masalahnya, memberi kesempatan untuk mengalami proses katarsis dan meluapkan/mengungkapkan perasaan/emosinya dan yang lebih penting ialah bahwa ia diterima dengan hangat. Selanjutnya, romo berusaha untuk memberikan tanggapan pengakuan-penerimaan (acknowledgment respons) dengan isyarat non-verbal (mengangguk, tersenyum, dan menunduk ke arah depan) maupun verbal (dengan berkata, “Ya …, saya mengerti”, “Oo …, begitu…”). Ketika umat tadi telah merasa nyaman dengan tanggapan penerimaan yang diberikan maka romo kemudian mengajaknya untuk membuka pintu atau mengundang/mengajaknya untuk bicara lebih banyak.
Ketiga langkah di atas adalah cara mendengarkan pengungkapan perasaan/persoalan umat dalam bimbingan yang masih memiliki keterbatasannya. Ketiga langkah dasar dalam bimbingan tadi kurang memperlihatkan interaksi. Bila diperhatikan ternyata konseli yang lebih aktif sehingga ia hanya tahu bahwa ia didengarkan. Namun di lain pihak, ia mungkin belum mengetahui apakah romo/konselor menerima dirinya dengan persoalannya sebab persoalan yang lebih mendalam dan penyebab dari persoalannya belum tergali. Ketiga cara awal itu kiranya masih relatif dan termasuk pasif serta tidak menunjukkan bahwa umat sudah dipahami. Oleh karena itu, akan menjadi tidak lengkaplah bila seorang romo dalam kegiatan bimbingannya hanya mempraktikkan ketiga cara tadi. Seorang romo bila telah mempraktikkan aspek-aspek tanggapan konstruktif - seperti dalam ketiga langkah tadi - sebenarnya telah membangun sebuah komunikasi yang baik dengan konseli. Hanya saja masih dibutuhkan satu hal lagi yang kiranya menjadi senjata utama untuk menghadapi umat yang bermasalah, yakni: mendengarkan aktif (acktve listening)!
Mendengarkan aktif (acktve listening) merupakan sebuah langkah yang sangat diperlukan dalam proses bimbingan yang diberikan romo kepada umat yang datang kepadanya dengan aneka permasalahan. Sekalipun bagi seorang romo, kegiatan bimbingan adalah sebuah kegiatan yang tidak dapat diprediksikan/insidental maka setidaknya mendengarkan aktif harus dimilikinya. Langkah ini sangat penting karena dalam mendengarkan aktif, penerima/ pendengar berusaha mengerti perasaan pembicara serta arti pesan yang dikirimkannya. Kemudian pengertian yang ditangkap itu dirumuskan dalam kalimat dan dikirimkan kembali kepada pengirim. Hal yang perlu diperhatikan adalah penerima (romo) tidak mengirimkan pesannya sendiri (misal: penilaian, nasihat, analisa dan pertanyaan). Yang mejadi tanggapan balik hanyalah apa yang dianggapnya sebagai arti pesan dari si pengirim. Bagian yang menjadi umpan balik adalah untuk menyesuaikan ketepatan si penerima dalam mendengarkan sharing si pengirim. Hal ini yang yang dapat meyakinkan pengirim (umat) bahwa ia dimengerti oleh romo pada saat ia mendengar pesannya ”diumpan balikkan” dengan tepat. Dengan kata lain bahwa umat yang mengungkapkan perasaan atas permasalahan yang dihadapi menyadari ”dipahami” oleh romonya.
Mendengarkan aktif (acktve listening) membantu romo sebagai konselor untuk mengembangkan hubungan hangat dengan umat (klien); mendorong terjadinya katarsis (perasaan negatif berkurang/hilang dengan jalan mengungkapkannya secara terbuka); menolong umat untuk tidak terlalu takut terhadap permasalahan yang dihadapi; dan pada akhirnya melatih umat itu sendiri untuk mengarahkan dirinya, bertanggung jawab dan berdiri sendiri. Dengan demikian, memudahkan umat yang bermasalah untuk memecahkan masalahnya sendiri!
Berikut ini adalah sebuah contoh konkrit yang menunjukkan bagaimana seorang romo yang menolong mudikanya dengan jalan mendengarkan aktif:
Budi   : “Romo ..., Hana tidak bersedia untuk menemani saya pergi ke Gamping untuk                pertemuan mudika!”
Romo  : “Kamu sepertinya marah ya dengan Hana?”
Budi   : “Ya Romo ..., saya tidak ingin berteman lagi dengan dia. Saya tidak sudi untuk                                  menemuinya!” 
Romo  : “Kamu begitu marah sehingga tidak mau untuk berteman dan melihatnya lagi?”
Budi   : ”Em ..., saya kira saya harus tetap berteman dengan dia tapi ..., sulit Romo untuk                menahan emosi marah saya ini!”
Romo  : ”Kamu ingin tetap berteman dengannya tapi merasa sulit untuk tidak marah terhadap                 Hana!”
Budi   : ”Sebenarnya saya tidak perlu untuk marah, kalau dia bersedia untuk menemani saya!”
Romo  : ”Hana tidak mudah untuk diperintah sesuai dengan kehendakmu sekarang!”
Budi   : ”Benar. Ia sekarang bukan anak kecil lagi sebab ia sudah menjadi remaja dewasa dan                        sepertinya dia adalah pribadi yang menyenangkan!”
Romo  : ”Kamu lebih menyukainya?”
Budi   : ”Ya ..., tapi saya merasa sulit untuk mengajaknya. Saya sudah terbiasa untuk selalu                mengajaknya pergi. Em ..., mungkin kami akan tidak saling bermusuhan bila saya                membiarkannya untuk tidak harus menemani saya. Bukankah begitu Romo ...?”
Romo  : ”Ya ..., bila kamu mencoba untuk mengalah kiranya situasi ini akan menjadi lebih                            baik.”
Budi   : ”Ya ..., mungkin saja hal itu dapat terjadi. Saya akan mencobanya!”
Pada bagian percakapan itu terlihat bagaimana romo terus menerus menggunakan mendengarkan aktif sehingga masalah yang dihadapi tetaplah menjadi masalah Budi. Dengan mendengarkan aktif, romo membantu Budi untuk mengurangi/menghilangkan rasa marah dan mengajaknya untuk mulai mengadakan pemecahan persoalan dengan melihat dirinya secara lebih mendalam. Keadaan itulah yang pada akhirnya menghantarkan Budi untuk sampai pada penyelesaian masalah dan berkembang menjadi seorang yang bertanggung jawab serta mengarahkan pemecahan persoalan sendiri. Inilah letak manfaat dalam mendengarkan aktif bila seorang romo menerapkannya dalam kegiatan bimbingan dengan umat yang sedang mengalami sebuah permasalahan.

3.      Siap Menjadi Konselor!
Jaman semakin berkembang dan peradaban komunitas umat Gereja pun tidak akan terlepas dari pengaruhnya. Saya menyadari bahwa kehidupan saya kelak - tatkala setelah ditahbiskan menjadi seorang imam/romo - harus berhadapan dengan situasi umat yang beraneka ragam dengan perlbagai permasalahan hidup yang dihadapi. Memang benar bila seorang romo memiliki kepercayaan di mata umat sehingga tidak dapat disangkal jika suatu saat umat yang digembalakan mengalami permasalahan akan datang kepada gembala, yakni romonya. Situasi demikianlah yang menunjukkan bahwa tidaklah cukup bagi saya (bila telah menjadi imam nanti) hanya mendasarkan pelayanan pada ranah filosofis-teologis saja; hanya berkarya di sekitar altar! Umat tidak hanya membutuhkan siraman rohani saja. Seorang imam pun dalam tugas pelayanannya juga harus memperhatikan seluruh aspek kehidupan umat secara holistik, termasuk bersinggungan dengan kehidupan awam yang berhadapan pada permasalahan hidup (mental, sosial, ekonomi dan lainnya).
Dengan melihat situasi umat ke depan yang demikian dan juga didukung dengan pengetahuan yang telah saya peroleh dalam mata kuliah koseling, secara pribadi saya menyadari betapa pentingnya diri saya untuk juga menerapkan materi ini dalam tugas pelayanan kelak. Saya menyadari pentingnya hal itu karena sudah menjadi hal familiar bila ada umat yang sedang mengalami permasalahan akan datang kepada romonya. Berbekalkan anugerah panggilan dan disertai dengan pengetahuan dasar tentang konseling (seperti beberapa poin yang saya tuliskan dalam bagian atas) menjadikan saya siap untuk memberikan pelayanan kepada umat Allah yang dipercayakan kepada saya kelak. Di samping menjadi seorang imam-religius, saya pun siap untuk menjadi konselor!


*  *  *
Daftar Pustaka
Prayitno, H., - Erman Amti
            1999               Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, Pusat Pembukuan Departemen                              Pendidikan dan Kebudayaan dengan PT Rineka Cipta, Jakarta.
Sinurat, R. H. Dj.,
            2010               Konseling-Hand Out, Fakultas Teologi – Universitas Sanata Dharma,                                   Yogyakarta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

La présence de Dieu qui accompagne toujours nos vies est un mystère. Sa présence réelle qu'Il soit là ou ici, nous ne pourrons peut-être...