DOSA ASAL
Dalam
Perjalanan Sejarah Gereja
1.
Pendahuluan
Pembicaraan mengenai doktrin Gereja, terkhusus tentang dosa asal,
merupakan sebuah pembicaraan teologis yang menarik. Pembicaraan tentang doktrin
ini kadang menjadi sebuah pembicaraan hangat di tengah umat Katolik karena –
tak jarang – mereka harus mempertahankan pandangan iman tersebut di hadapan
pertanyatan-pertanyaan umat beriman lain.
Berhubung dengan praksis tersebut, dalam tulisan ini akan disampaikan
uraian mengenai dosa asal dengan judul: Dosa Asal – Dalam Perjalanan Sejarah
Gereja. Dalam pembahasannya, penulis akan menjawab dua pertanyaan utama: bagaimana
usaha Augustinus dalam mengajarkan dosa asal ketika berhadapan dengan Pelagius?;
dan bagaimana pandangan teologis Gereja (mengenai dosal asal) dalam perjalanan
sejarah selanjutnya? Untuk itu, sistematika tulisan untuk menjawab dua
pertanyaan tersebut akan disajikan ke dalam beberapa bagian, yakni: dosa asal: diskusi
antara Augustinus dan Pelagius, pandangan Gereja (mengenai dosa asal) dalam
perjalanan sejarah (dalam Konsili Kartago, Orange II, Trente dan teologi
sekarang) dan diakhir dengan sebuah penutup (refleksi).
2.
Dosa asal: Diskusi
antara Augustinus dan Pelagius
Selama dalam empat abad pertama Masehi, Bapa-bapa Gereja (membicarakan
dosa asal secara implisit) menerima tanpa ragu historisitas dari kisah narasi
dalam Kitab Kejadian (Kej 2-3) dan hubungannya antara jatuhnya Adam dan kondisi
umat manusia[1].
Walaupun mereka sependapat bahwa manusia berada dalam kondisi kejatuhan dari
rahmat, namun mereka memiliki analisis yang berbeda antara satu dengan yang
lain. Bagi Ireneus dari Lyon (140-200),
kejatuhan manusia pertama ke dalam dosa sebagai ketidaktaatan, namun yang lain
mengidentifikasikannya dengan kelemahan dan ketidaktahuan dari kondisi yang
mematikan (manusia) serta tidak mempertimbangkan partisipasi nyata dalam dosa
Adam[2]. Yohanes
Krisostomus (350–407) mendasarkan pandangannya mengenai kejatuhan Adam dengan
menatapkannya pada Surat Paulus kepada Jemaat di Roma (Rom 5). Ia berpendapat
bahwa bagian surat
itu tidak dimaksudkan untuk menunjuk bahwa umat manusia adalah berdosa, tapi untuk
menegaskan bahwa umat manusia dihukum untuk menderita dan mati oleh karena dosa
yang berada di dunia.
Setelah mengalami pelbagai argumen dan pendapat yang terus berkembang,
pembicaraan ini semakin hangat ketika terjadi perdebatan antara Augustinus
(354–430) dan Pelagius, terlebih mengenai dosa
asal. Augustinus ingin mempertahankan ajaran Gereja tersebut dengan menekankan
perlunya rahmat Allah bagi keselamatan manusia. Hal itu terjadi karena baginya
dari dirinya sendiri manusia tidak mampu untuk menyelamatkan diri sehingga
rahmat Allah sangatlah mutlak diperlukan. Sejalan dengan pemikirannya itu,
Augustinus memandang bahwa kedosaan manusia yang diterima dari Adam itulah yang
kemudian dirumuskan sebagai dosa asal. Namun, Pelagius mengatakan bahwa dosa
itu sesuatu yang personal dan pribadi, maka dosa Adam tidak mempunyai akibat
bagi manusia yang lain, tetapi hanya berakibat bagi dirinya sendiri[3].
Augustinus menerangkan dan membela ajaran imannya mengenai dosa asal atas
dasar beberapa argumen[4]. Pertama, Augustinus mendasarkan
pandangannya itu pada dua tulisan Paulus, yakni: “Karena sama seperti semua
orang mati dalam persekutuan dengan Adam, demikian pula semua orang akan
dihidupkan kembali dalam persekutuan dengan Kristus” (1 Kor 15:22) dan “Jadi
sama seperti oleh ketidaktaatan satu orang semua orang telah menjadi orang
berdosa, demikian pula oleh ketaatan satu orang semua orang menjadi orang benar”
(Rm 5:19). Bagi Augustinus, Paulus membandingkan peran Adam dan Kristus bagi
semua orang. Kristus membawa keselamatan bagi semua orang, sedangkan Adam
membawa dosa pada semua orang. Atas dasar itu, Augustinus berpendapat bahwa
orang-orang sesudah Adam menerima dosa dari Adam karena di dalam Adam semua
orang berdosa; itulah dosa asal. Kedua,
Augustinus mendasarkan ajarannya pada Bapa-bapa Gereja sebelumnya untuk
menunjukkan bahwa dirinya bukan orang pertama yang mengajarkan mengenai dosa
asal. Ketiga, Augustinus juga
menggunakan praktik Gereja yang membaptis bayi demi pengampunan dosa sebagai
argumen untuk membela ajaran dosa asal. Baginya, kalau Gereja membaptis bayi
demi pengampunan dosa, berarti ada dosa yang dihapuskan dari bayi. Itulah dosa
asal. Keempat, Augustinus melihat
bahwa secara rasional adanya realitas kejahatan di dunia ini hanya dapat
diterangkan dengan gagasan mengenai dosa asal.
Sebenarnya pada bagian awal, Augustinus belum berbicara mengenai dosa
asal dalam pemikiran teologisnya. Dengan mengikuti tradisi yang hidup pada
waktu itu, ia berpendapat bahwa akibat dosa Adam adalah maut dan konkupisensi
(kecenderungan ke arah dosa). Maut dan konkupisensi ini belum berupa dosa,
namun situasi itu berada tidak jauh dari dosa. Maka, tubuh manusia yang terkena
maut dan konkupisensi dipandang sebagai penghalang rohani bagi perkembangan
jiwa. Tubuh yang terkena maut dan konkupisensi sudah mengarah ke dosa, kendati
belum dapat dikatakan sebagai dosa nyata. Dalam situasi ini, Augustinus
menggunakan istilah massa lutti
(gumpalan lumpur). Ia sadar bahwa walaupun manusia yang berada dalam situasi massa lutti belum dapat dikatakan (ber-)dosa,
situasi itu sendiri sudah membawa manusia ke arah dosa, memaksa ke arah dosa. Perkembangan
selanjutnya, Augustinus menyebut situasi itu sebagai massa peccati (gumpalan dosa) untuk menerangkan keadaan di mana
manusia yang berada dalam situasi tersebut tidak dapat lepas dari situasi
(kecenderungan dosa) yang mengungkungnya. Oleh karena itu, dalam situasi itu
manusia seolah-olah “dipaksa untuk berbuat dosa”, tetapi situasi itu belum
dapat disebut dosa[5].
Dalam perjalanan waktu, Augustinus lebih memberi perhatian pada situasi
itu sebagai kecenderungan manusia yang mengarahkannya kepada dosa. Ia
menyebutnya sebagai libido yang ada
dalam jiwa manusia, tetapi memiliki hubungan erat dengan badan. Situasi ini
diwariskan karena berasal dari manusia pertama, yakni Adam. Walau demikian,
Augustinus tetap belum memandang situasi itu sebagai dosa, tetapi lebih ambil
bagian dalam akibat dan hukuman dosa Adam.
Dalam diskusi dengan Pelagius mengenai dosa asal sungguh mengembangkan
pemikiran Augustinus, “sang doktor rahmat”. Pada awal mula dalam perjumpaan
mereka memang terlihat bahwa Augustinus tidak menolak Pelagius. Tetapi dalam De Natura et Gratia/Nature and Grace,
Augustinus menegaskan perlawanan terhadap Pelagius. Perlawanan Augustinus dalam
karyanya itu diperlihatkan dengan tegas menolak pandangan Pelagius yang
menekankan dosa sebagai tindakan pribadi. Pelagius tidak mengenal situasi dosa,
maka rahmat pun dipahami secara lain. Baginya, rahmat dipahami sebagai bantuan
dari Allah untuk mempermudah manusia. Augustinus melihat bahwa hal ini tidak
cukup karena rahmat dari Allah sangat mutlak dan perlu bagi manusia. Augustinus
melihat bahwa dosa adalah daya kekuatan dan lawan yang sepadan dengannya adalah
kekuatan juga. Dengan demikian, Augustinus mengajarkan bahwa adanya realitas
dosa (asal) dalam diri manusia memerlukan campur tangan Allah yang mampu untuk
membebaskan. Dengan menekankan adanya rahmat, ia kemudian menambahkan bahwa
campur tangan Allah itu dapat terjadi hanya melalui penebusan Kristus.
Berdasarkan paham perlunya penebusan Yesus Kristus dan paralelisme
negatif antara Kristus dengan Adam, Augustinus menyimpulkan kesatuan manusia
dengan Adam dalam hal dosa. Atas dasar itu, Augustinus sebenarnya ingin
menandaskan hal utama mengenai pentingnya Kristus bagi keselamatan manusia. Paham
dosa asal menegaskan bahwa semua orang memerlukan penebusan. Di sini, dosa asal
dipandang sebagai keadaan pra-pribadi, sosio-historis dan tidak terbatas pada
baptisan bayi[6].
Augustinus sendiri menjalankan praktik baptisan bayi untuk membela ajarannya
tentang dosa asal. Hal itu dilakukan karena dosa asal merupakan kedosaan asasi
yang membutuhkan penebusan Kristus; sebuah pemahaman tentang dosa sebagai
kesatuan teologis dengan Adam dalam rangka kesatuan teologis dengan Kristus.
Apabila merunut gagasan Augustinus, sebenarnya ia mendasarkan dan
mengembangkannya dari Paulus. Paulus sudah berbicara mengenai dosa sebagai
“kuasa”, namun tidak membedakan antara sebelum dan sesudah permandian (Rm
7:13-24). Akan tetapi di lain tempat Paulus berbicara mengenai perbedaan
radikal antara dalam dosa dan rahmat (Rm 5). Untuk itu, Paulus memandang bahwa
dosa itu sebagai suatu kuasa dan dosa pribadi dipahami sebagai perwujudan kuasa
dosa itu dalam diri manusia (Rm 6). Atas dasar itu dapat dikatakan bahwa Paulus
memang tidak berbicara mengenai dosa asal, tetapi berbicara tentang kuasa dosa,
yang dibedakan dengan dosa pribadi. sedangkan Augustinus berbicara mengenai
dosa asal yang dibedakan dengan konkupisensi yang mengarahkan manusia pada dosa
pribadi. Dalam pemahaman Augustinus, dosa asal ini dihilangkan pada saat
permandian/baptis, tapi konkupisensi tidak!
3.
Dalam
perjalanan sejarah
Dalam diskusi antara Augustinus dan Pelagius mengenai dosa asal dapat dilihat
adanya usaha Gereja dalam mempertahankan ajaran iman, sebagaimana yang ditunjukkan
oleh Augustinus. Setelah perdebatan hangat antara kedua tokoh itu, Gereja
selanjutnya menanggapi permasalahan tersebut dengan menjadikan ajaran tentang
dosa asal sebagai ajaran resmi. Hal itu diungkapkan dalam beberapa konsili yang
diadakan, di antaranya: Konsili Kartago (418), Konsili Orange II (529) dan
Konsili Trente (1546).
3.1
Konsili
Kartago (418)
Ajaran mengenai dosa asal dirumuskan dalam Konsili Kartago dengan menolak
pandangan Pelagianisme. Poin ajarannya adalah semua orang lahir dengan dosa
asal, yaitu sesuatu yang diwariskan kepada semua orang dari Adam dan yang
seharunya diampuni melalui permandian[7].
Mengenai dosa asal dapat ditemukan pada kanon 1 dan 2.
Kanon 1: “Barang siapa mengatakan bahwa Adam, manusia pertama, diciptakan
fana dalam arti bahwa ia harus mati dalam tubuh entah melakukan dosa atau
tidak, yang berarti bahwa (ia) meninggalkan tubuh bukan sebagai upah dosa
tetapi karena nasib kodrat, terkutuklah dia”[8].
Kanon tersebut dengan jelas melawan Pelagius yang mengatakan bahwa Adam mati karena
diciptakan dapat mati. Maka, dari kodratnya akan mati dan kematian bukanlah
hukuman atas dosa. Konsili mengajarkan bahwa kematian merupakan akibat dari
dosa; kematian dan kemalangan dipahami sebagai akibat dari dosa Adam.
Kanon 2: “Demikian juga telah diputuskan, bahwa setiap orang yang
menyangkal bahwa bayi-bayi yang baru lahir harus dipermandikan, atau berkata
bahwa mereka memang dipermandikan demi pengampunan dosa tetapi sedikitpun tidak
mendapat dosa asal dari Adam, yang harus dihapuskan dengan penyucian kelahiran
kembali, dengan akibat bahwa pada anak-anak itu rumus permandian ‘demi
pengampunan dosa’ tidak dimengerti secara benar tetapi salah, terkutuklah dia.
Sebab tak lain artinya sabda sang rasul: ‘oleh satu orang dosa masuk ke dalam
dunia, dan oleh dosa maut, demikianlah menjalar kepada semua orang, yang di
dalamnya semua berbuat dosa’, dari pada apa yang selalu dimengerti oleh Gereja
Katolik yang tersebar ke mana-mana. Karena ketetapan iman ini juga anak kecil,
yang belum mampu melakukan dosa apapun dalam diri sendiri, sungguh
dipermandikan demi pengampunan dosa, agar mereka dibersihkan dalam kelahiran
kembali dari apa yang didapati dalam kelahiran”[9]. Dari
kanon ini, arti tepat dari dosa asal tidak diterangkan, tetapi dapat
disimpulkan definisi yang implisit: dosa asal adalah sesuatu yang diwariskan
kepada semua orang dari Adam dan yang seharusnya diampuni melalui permandian
(baptis)[10]. Hal
ini untuk menyangkal pandangan Pelagius yang menolak permandian anak atau
kalaupun anak-anak dipermandikan, mereka dipermandikan bukan demi pengampunan
dosa.
3.2
Konsili
Orange II (529)
Konsili Orange – yang bersumber dari gagasan Augustinus – menegaskan
kembali ajaran Gereja mengenai dosa asal dengan melawan semi-pelagianisme[11]. Dalam
Konsili ini, dokumen mengenai dosa asal dapat ditemukan pada kanon 1 dan 2.
Kanon 1: “Barang siapa mengatakan bahwa karena pelanggaran dosa Adam,
manusia, badan dan jiwa, tidak berubah menjadi kurang baik, tetapi percaya
bahwa hanya badan yang menderita pembinasaan sementara kebebasan jiwa tetaplah
utuh, dia disesatkan oleh kesalahan Pelagius dan melawan Kitab Suci yang
mengatakan: ‘jiwa yang berdosa akan mati’ (Yeh 18:20), dan: ‘tidak tahukan kamu
bila kamu menyerahkan diri kepada seorang sebagai budak yang taat, kamu adalah
budak dari dia yang kamu taati?’ (Rm 6:16), dan lagi: ‘siapa yang mengalahkan
orang, orang itu dijadikan budaknya’ (2 Pet 2:19)”[12].
Pernyataan tegas kanon ini menekankan perlawanan terhadap pandangan pelagian
yang mengatakan bahwa pengaruh Adam kepada manusia hanya pada kematian badan
saja dan tidak mengakibatkan kematian jiwa; maka jiwa tetap baik dan hanya
badan saja yang menderita pembinasaan. Konsili menegaskan bahwa karena dosa
Adam, keseluruhuan manusia (badan dan jiwa) menjadi kurang baik. Dengan
demikian tidak ada lagi kebebasan jiwa karena seluruh manusia dipengaruhi oleh
dosa.
Kanon 2: “Barang siapa mempertahankan bahwa pelanggaran Adam telah
merugikan hanya bagi dirinya sendiri dan tidak bagi keturunannya, atau
menyatakan bahwa hanya kematian badaniah yang adalah hukuman dari dosa, tapi
bukan dosa itu sendiri yang adalah kematian dari jiwa, telah disampaikan kepada
seluruh bangsa manusia karena (dosa dari) satu orang, dia dipandang bersalah
kepada Allah dan bertentangan dengan kata-kata rasul: ‘Dosa datang ke dunia
melalui satu orang dan kematian melalui dosa dan demikian kematian menjalar
kepada semua orang karena semua berdosa di dalam dia’ (Rm 5:12)”[13]. Dalam
kanon ini sekali lagi ditekankan akibat dosa Adam bagi semua
manusia/keturunannya. Hukuman atas dosa Adam sebagai dosa asal bukan hanya
kematian badaniah saja, melainkan juga kematian jiwa, tidak memperoleh hidup
yang kekal. Keadaan kedosaan manusia setelah Adam ini juga dipahami melemahkan
kehendak bebas manusia, sehingga manusia dari dirinya sendiri tidak mampu
mencintai Allah atau berbuat baik tanpa rahmat Allah[14].
3.3
Konsili
Trente (1546)
Ajaran mengenai dosa asal kembali ditegaskan dalam Konsili Trente sehingga
ajaran itu mendapat arti yang lebih resmi dan universal. Latar belakang situasi
konsili ini adalah berhadapan dengan Gereja Reformasi. Maka, persoalan yang
dibahas dalam konsili ini sebenarnya adalah justificatio
(pembenaran), terutama berkaitan dengan apa arti pembenaran dan bagaimana
manusia menerima pembenaran. Tetapi untuk berbicara soal pembenaran, diperlukan
pemahaman mengenai dosa asal yang merupakan sebab perlunya manusia menerima
pembenaran dari Allah.
Untuk menggambarkan ajaran tentang dosa asal, Trente mengulangi beberapa
keputusan dari Konsili Kartago dan Orange II dengan beberapa perubahan. Ajaran
utama Trente mengenai dosa asal adalah bahwa semua orang – kecuali Maria –
sebagai anak Adam (anggota dari bangsa manusiawi ini) lahir bernoda dosa yang
benar; dosa asal itu adalah tidak adanya kebenaran dan kekudusan asli, yang
tidak dimiliki oleh Adam[15].
Selain itu, dengan merumuskan ajaran mengenai dosa asal, Konsili Trente ingin
menegaskan ajaran iman Katolik sehingga dapat diketahui bagian mana yang
berlawanan dengan ajaran iman dan bagaimana yang menyesatkan. Dengan demikian
dapat dihasilkan rumusan iman yang tegas dan jelas serta tidak terjadi
kekaburan. Kanon-kanon konsili yang mengajarkan dosa asal secara khusus
terdapat dalam kanon 1 – 5.
Kanon 1: “Kalau ada yang tidak mengakui bahwa Adam, manusia pertama,
dengan melanggar perintah Allah di Taman Firdaus, langsung kehilangan kesucian
dan kebenaran yang di dalamnya ia diadakan; dan karena penghinaan kepada Allah
oleh karena pelanggaran itu mendatangkan murka dan kemarahan Allah dan oleh
karena itu, maut, yang Allah telah ancamkan kepadanya, dan bersama dengan itu
juga ia ditahan di dalam kekuatan dia, yang karenanya ‘berkuasa atas maut’ (Ibr
2:14), yakni setan; dan bahwa ‘seluruh Adam, badan dan jiwa, diubah menjadi
lebih buruk melalui pelanggaran atas dosanya’, terkutuklah dia”[16].
Dalam kanon ini nampaklah bahwa Trente merumuskan kembali apa yang dirumuskan
oleh Konsili Kartago dan Orange II yang menyatakan bahwa dengan dosa Adam, manusia
seluruhnya diubah menjadi lebih buruk.
Kanon 2: “Kalau ada yang menyatakan bahwa dosa Adam hanya merugikan
dirinya sendiri dan bukan keturunannya dan bahwa kesucian serta kebenaran yang
diterima dari Allah yang ia hilangkan hanya bagi dirinya sendiri dan bukan bagi
kita juga; atau bahwa (dia), setelah dinodai oleh dosa ketidaktaatan, ia
meneruskan kepada semua manusia hanya kematian dan penderitaan badan tapi bukan
dosa yang merupakan kematian jiwa, terkutuklah dia. Sebab, ia melawan kata-kata
rasul: ‘Oleh satu orang masuk ke dalam dunia, dan oleh dosa maut, demikianlah
maut menjalar kepada semua orang, karena (di dalam dia) semua orang telah
berbuat dosa’ (Rm 5:12)”[17].
Kanon ini sebenarnya mengulangi pernyataan Konsili Orange II mengenai dosa Adam
yang diteruskan kepada semua orang sehingga membuat semua orang juga berdosa. Trente
menegaskan bahwa “kesucian dan kebenaran” yang hilang dari Adam juga hilang
bagi bangsa manusia setelahnya. Dengan demikian, seluruh keturunan Adam
kehilangan “kesucian dan kebenaran” sehingga berada dalam situasi dosa.
Kanon 3: “Jika ada yang menyatakan bahwa dosa Adam itu, yang adalah satu
dosa menurut asal-usulnya dan diteruskan dengan pembiakan, bukan dengan
peniruan, dan yang ada dalam masing-masing orang sebagai dosanya sendiri, dapat
diambil dengan daya kodrat manusia atau dengan sarana apapun yang lain dari
pada kebaikan satu-satunya Pengantara Tuhan kita Yesus Kristus yang mendamaikan
kita dengan Allah dalam darah-Nya, ‘menjadi kebenaran, kesucian dan penebusan
kita’ (1 Kor 1:30); atau kalau ada yang menyangkal bahwa kebaikan Kristus Yesus
yang diterapkan bagi orang dewasa dan anak-anak dalam sakramen baptis yang
dipakai oleh Gereja, terkutuklah dia. […]”[18]. Inti
pokok dalam kanon 3 adalah sebuah penegasan bahwa dosa Adam itu hanya dapat
diambil oleh karena pahala Kristus dalam berkat sakramen baptis dan bukan oleh
sarana-sarana yang lain. Nampak dengan jelas di sini bahwa konsili mengulang
pernyataan Konsili Kartago (kanon 2) bahwa anak kecil sungguh dipermandikan
demi pengampunan dosa.
Penegasan mengenai perlunya baptisan bagi bayi dalam Trente kembali
diulang dalam kanon 4: “Kalau ada yang menyangkal bahwa bayi-bayi segera
sesudah lahir harus dibaptis, juga ketika kalau lahir dari orang tua yang telah
dibaptis; atau berkata bahwa mereka memang dipermandikan demi pengampunan dosa,
tetapi tidak mendapatkan sesuatu dari dosa asal Adam yang perlu dibersihkan
dengan pembasuhan kelahiran kembali supaya memperoleh hidup kekal, sehingga
dalam perkara mereka rumusan baptis ‘untuk pengampunan dosa’ tidak dimengerti
dengan benar tetapi menjadi salah, terkutuklah dia. […]”[19]. Kanon
ini dengan jelas menunjukkan bahwa bayi-bayi perlu untuk menerima baptisan demi
pengampunan dosa karena mereka mendapat sesuatu dari Adam. Dalam ranah ini,
konsili sebenarnya menunjuk pada tradisi para rasul. Memang tidak jelas apakah
zaman para rasul sudah ada kebiasaan untuk membaptis bayi, tetapi sejak abad
III, permandian anak sudah menjadi praktik umum dalam Gereja[20].
Dalam kanon selanjutnya, kanon 5, konsili berusaha untuk menanggapi
pandangan kaum Reformasi. Konsili menegaskan akibat rahmat Kristus yang
diberikan dalam permandian, yakni pengampunan dosa dan tidak adanya dosa lagi
dalam diri manusia: “Kalau ada yang menyangkal bahwa kesalahan akan dosa asal
diampuni oleh karena rahmat dari Tuhan kita Yesus Kristus yang diberikan dalam
permandian, atau juga kalau menyatakan bahwa tidak diambil seluruhnya apa yang
dalam arti yang sebenarnya dan sesungguhnya bersifat dosa, tetapi bahwa itu
hanya dicukur atau tidak dipersalahkan lagi, terkutuklah dia. […]”[21]. Atas
pandangan itu, ditolaklah pandangan Luther yang menyatakan bahwa dalam
pembenaran, dosa manusia tetap ada tapi tidak diperhitungkan Allah, sehingga
manusia sungguh benar tetapi tetap berdosa (simul
iustus et peccator). Kanon ini juga menegaskan bahwa yang tinggal dalam
diri manusia adalah “keinginan” (concupiscentia)
yang merupakan akibat dari dosa Adam: “[…]. Konsili suci ini mengakui dan
berpendapat bahwa konkupisensi atau perangsang tetap tinggal dalam diri orang
yang telah dibaptis. […]”[22]
Dari kelima kanon itu, dogma konsili Trente mengenai dosa asal dapat
dirumuskan ke dalam lima tesis[23]: Manusia
pertama berdosa, karena dosanya, kehilangan iustitia
originalis, yakni kebenaran dan kesucian, dan segala akibat dari iustitia itu dalam kodrat manusia,
khsususnya kebebasan dari maut dan dari konkupisensi; Keadaan ini merugikan
seluruh keturunan Adam sebab dosanya “diteruskan” kepada semua orang, demikian
pula akibat dari dosa itu; Karena itu, masing-masing orang mempunyai dosa asal
sebagai dosanya sendiri (propirum),
bukan karena kesalahannya sendiri (personale)
atau meniru Adam; Dosa asal dihapuskan dengan permandian, tetapi konkupisensi
tetap; Adanya konkupisensi tidak berarti bahwa kodrat manusia dirusak sama
sekali, kodrat memang dilemahkan tetapi tetap utuh.
4
Teologi
sekarang
Dari perjalanan sejarah konsili-konsili, pembicaran tentang dosa asal
memang menjadi salah satu pusat pembicaraan. Akan tetapi, sebenarnya ada dua
hal yang tidak dikatakan, yakni apa sebenarnya dosa Adam itu dan bagaimana dosa
itu diturunkan. Berhadapan dengan pertanyaan itu, teologi sekarang berusaha
merumuskan ajaran tradisi mengenai dosa asal secara baru: “Setiap manusia lahir
(1) dalam keadaan dosa, (2) tidak berdasarkan kesalahan sendiri, (3) melainkan
karena lahir dalam keadaan konkrit umat manusia yang berupa keadaan dosa, (4)
dan yang berdasarkan kesalahan pada awal mula[24].
Penjelasan mengenai manusia yang lahir berada dalam keadaan dosa merupakan keadaan di luar Tuhan di mana hidup
terpisah dari Tuhan. Kitab Suci dengen jelas menggambarkan situasi itu, seperti
“menentang Tuhan” (Ul 28:15; 1 Sam 12:14), “menghina Tuhan” (2 Sam 12:10; Yes
1:4), “meninggalkan Tuhan” (Yer 3:20). Paulus menyebut dosa sebagai “hidup
menurut daging” (Rm 8:4) yang berarti bahwa hidup menurut ukuran manusia dan
cinta diri. Dengan demikian, situasi dosa dapat disebut “manusia menutup diri
dari Allah”.
Ciri dosa asal adalah bahwa dosa itu bukan/tidak
karena kesalahan sendiri. Ini disebut sebagai dosa “pra-pribadi”. Ciri
“pra-pribadi” ini bukan hanya temporal tetapi eksistensial, dalam arti bahwa
bukan hanya sebelum orang itu mampu melakukan dosa sendiri, tetapi merupakan
dasar dari dosa-dosa pribadi. Manusia memang dapat menentukan masa depannya,
tetapi ia tidak dapat menentukan titik dasar/pangkal; dan titik dasar itu ialah
keadaan berdosa, keadaan tanpa rahmat. Maka, keadaan “pra-pribadi” manusia
adalah keadaan dosa.
Keadaan “pra-pribadi” juga dapat dirumuskan sebagai solidaritas
masing-masing orang dengan seluruh manusia dalam situasi dosa[25].
Keadaan ini merupakan kesatuan umat manusia dalam dosa: kesatuan dalam keadaan konkrit manusia yang berupa keadaan dosa
atau keadaan yang tidak berahmat. Sebenarnya, kesatuan manusia pertama-tama
adalah dalam situasi berahmat. Sejak semula manusia diarahkan kepada Kristus
dan sejak semula manusia diarahkan kepada kesatuan penuh dengan Allah. Namun
dalam kenyataannya, manusia mencari keselamatan dalam dirinya sendiri dan
mencoba membangun hidup tanpa Tuhan (Kej 11).
Unsur terakhir dari dosa asal adalah bahwa dosa itu berdasarkan pada kesalahan awal mula. Persoalan kesalahan pada awal
mula itulah yang menjadikan seluruh manusia berada dalam keadaan berdosa. Teologi
klasik berpendapat bahwa karena dosa Adam mengakibatkan seluruh manusia
berdosa. Namun dalam perkembangan selanjutnya, pemikiran teologis mengenai dosa
asal ini mulai diterangkan dari kesatuan manusia dengan Kristus. Teologi
sekarang kembali menegaskan pentingnya peran Kristus dalam rangka kesatuan
manusia dengan Allah karena semua manusia dalam keadaan terhambat, dalam
keadaan tidak mampu berhubungan dengan Allah. Ketidakmampuan ini telah mengenai
manusia sejak awal mula dalam sejarah hidup sehingga semua orang yang lahir
sebagai manusia terkena situasi kedosaan itu dan memerlukan rahmat penebusan
Yesus Kristus. Dengan demikian pandangan mengenai dosa asal menegaskan perlunya
Kristus bagi semua orang[26].
5
Penutup
Pembicaran teologis mengenai doktrin dosa asal sudah dimulai ketika
Augustinus dan Pelagius mempertahankan pandangannya masing-masing dalam suatu
perdebatan. Selanjutnya, Gereja melanjutkan dan mengembangkan gagasan
Augustinus dalam perjalanan sejarahnya (dalam Konsili Kartago, Orange II,
Trente dan sampai pada pemahaman teologis sekarang).
Di atas perdebatan dan usaha Gereja untuk mempertahankan ajaran imannya
mengenai dosa asal, penulis menangkap poin utamanya, yakni: perlunya penebusan
Kristus Yesus untuk menghapuskan dosa, termasuk dosa asal. Penulis menyadari bahwa
untuk melawan kuasa dosa (asal), hanya kuasa yang datang dari Allah-lah yang
dapat mematahkannya. Kuasa itu kini nyata dalam Diri Kristus yang telah
mengurbankan Diri bagi keselamatan seluruh manusia, keturunan-keturunan Adam: “Sebab
itu, sama seperti oleh satu pelanggaran semua orang beroleh penghukuman,
demikian pula oleh satu perbuatan kebenaran semua orang beroleh pembenaran
untuk hidup” (Rm 5:18). Atas dasar pemahaman ini, diperlukan pula iman yang
teguh akan Yesus Kristus sebagai usaha untuk memaknai Jati Dirinya sehingga
pengharapan akan penghapusan dosa sungguh didasarkan pada pemahaman iman yang
memadai: “Sebab jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan
percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang
mati, maka kamu akan diselamatkan” (Rm 10:9).
* *
*
Daftar Pustaka
Embuiru, Herman,
1995 Katekismus
Gereja Katolik, Propinsi Gerejani Ende, Ende.
Neuner, J. – J. Dupuis (eds.),
1982 The
Christian Faith In The Doctrinal Documents Of The Catholic Church, V, St.
Peter’s
Seminary, Bangalore .
Purwatma, M.,
2010
Diktat Kuliah –
Tradisi Gereja Mengenai Keselamatan, Fakultas Teologi – Universitas Sanata
Dharma, Yogyakarta .
Sentis, L.,
2005
“Original Sin”, dalam Jean – Yves
Lacoste (ed.), Encyclopedia Of Christian Theology, I, Routladge ,
New York .
Van der Heidjen, Bert,
Dosa dan Rahmat.
[1] L.
Sentis, “Original Sin”, dalam Jean – Yves Lacoste (ed.), Encyclopedia Of Christian Theology, I, Routladge, New York 2005,
1479.
[2] L.
Sentis, “Original Sin”, 1479.
[3] M.
Purwatma, Diktat Kuliah – Tradisi Gereja
Mengenai Keselamatan, Fakultas Teologi – Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta 2010, 7.
[4] M.
Purwatma, Diktat Kuliah – Tradisi Gereja
Mengenai Keselamatan, 7-8.
[5] M.
Purwatma, Diktat Kuliah – Tradisi Gereja
Mengenai Keselamatan, 8.
[6] M.
Purwatma, Diktat Kuliah – Tradisi Gereja
Mengenai Keselamatan, 9.
[7] Bert van
der Heidjen, Dosa dan Rahmat, 100.
[8] J.
Neuner – J. Dupuis (eds.), The Christian
Faith In The Doctrinal Documents Of The Catholic Church, V, St. Peter’s
Seminary, Bangalore 1982, 135.
[9] M.
Purwatma, Diktat Kuliah – Tradisi Gereja
Mengenai Keselamatan, 10.
[10] Bert
van der Heidjen, Dosa dan Rahmat,
101.
[11]
Semi-pelagianisme adalah nama untuk oposisi yang bertentangan dengan
Augustinus, tetapi yang tidak pelagian. Mereka mencoba memecahkan persoalan
tentang bagaimana mengkombinasikan inisiatif Allah dengan pentingnya keputusan
manusiawi, yaitu ketika mereka mengatakan bahwa “permulaan iman” adalah
prestasi manusiawi dan bukan pemberian rahmat.
[12] J.
Neuner – J. Dupuis (eds.), The Christian
Faith In The Doctrinal Documents Of The Catholic Church, 136.
[13] J.
Neuner – J. Dupuis (eds.), The Christian
Faith In The Doctrinal Documents Of The Catholic Church, 136.
[14] M.
Purwatma, Diktat Kuliah – Tradisi Gereja
Mengenai Keselamatan, 11.
[15] Bert
van der Heidjen, Dosa dan Rahmat,
129.
[16] J.
Neuner – J. Dupuis (eds.), The Christian
Faith In The Doctrinal Documents Of The Catholic Church, 137-138.
[17] J.
Neuner – J. Dupuis (eds.), The Christian
Faith In The Doctrinal Documents Of The Catholic Church, 138.
[18] J.
Neuner – J. Dupuis (eds.), The Christian
Faith In The Doctrinal Documents Of The Catholic Church, 138.
[19] J.
Neuner – J. Dupuis (eds.), The Christian
Faith In The Doctrinal Documents Of The Catholic Church, 138.
[20] M.
Purwatma, Diktat Kuliah – Tradisi Gereja
Mengenai Keselamatan, 14.
[21] J.
Neuner – J. Dupuis (eds.), The Christian
Faith In The Doctrinal Documents Of The Catholic Church, 139.
[22] J.
Neuner – J. Dupuis (eds.), The Christian
Faith In The Doctrinal Documents Of The Catholic Church, 139.
[23] M.
Purwatma, Diktat Kuliah – Tradisi Gereja
Mengenai Keselamatan, 15.
[24] M.
Purwatma, Diktat Kuliah – Tradisi Gereja
Mengenai Keselamatan, 16.
[25] M.
Purwatma, Diktat Kuliah – Tradisi Gereja
Mengenai Keselamatan, 16.
[26] M.
Purwatma, Diktat Kuliah – Tradisi Gereja
Mengenai Keselamatan, 18.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar