Selasa, 21 Maret 2017

Book Report:
The Routledge Companion To The Christian Church

Book report dalam tulisan ini membahas beberapa artikel tentang eklesiologi yang terdapat dalam buku ”The Routledge Companion to The Christian Church” yang dieditori oleh Gerard Mannion dan Lewis S. Mudge (memuat 38 artikel). Dalam tulisan ini secara khusus akan membahas beberapa artikel: Eklesiologi-eklesiologi Postmodern/Postmodern Ecclesiologies, Eklesiologi dalam Tradisi Ortodoks/Ecclesiology in The Orthodox Tradition, Eklesiologi Lutheran/Lutheran Ecclesiology, Eklesiologi Reformasi/Reformed Ecclesiologyi dan Eklesiologi Anglikan/Anglican Ecclesiology.

1.   Eklesiologi-eklesiologi Postmodern/Postmodern Ecclesiologies (hal. 127)
      GERARD MANNION
Apa yang terjadi setelah modern? Pertanyaan itu merupakan sebuah persoalan yang sering menggugah pikiran untuk menjawabannya. Kehidupan dunia modern merupakan sebuah realita yang harus dihadapi oleh komunitas manusia di dunia. Alur kehidupan terus berubah hingga pada posisi ke-modern-an yang menuntut adanya transformasi perubahan pula, bahkan sampai setelahnya. Sebagai komunitas yang terdiri dari umat manusia, Gereja pun tidak dapat mengelakkan diri dari posisi modern dan keadaan setelahnya. Dalam arti lain dapat dikatakan bahwa Gereja harus “berdamai” dalam peziarahannya dengan dunia yang modern dan juga setelah (post) keadaan modern itu sendiri.
Berhadapan dengan situasi postmodern, Gereja tertantang untuk mengembangkan ranah eklesiologisnya. Hal itu mulai tampak dengan memperhatikan adanya fakta bahwa eklesiologi di era postmodern terikat dengan perkembangan dunia: perkembangan paralel dalam filsafat, ilmu-ilmu sosial, linguistik dan teori budaya. Demikian juga dalam beberapa dekade ini, dengan adanya realita perubahan besar dalam pola dan bentuk pelayanan, tata Gereja dan liturgi, adanya implikasi dari pelbagai perselisihan era Gereja (perkembangan skismatik dan skandal), dipandang sebagai sebuah tantangan di era postmodern yang harus dihadapi Gereja dalam penghayatan hidup injilinya.
Jika J. Lyotard (salah satu filsuf yang gencar menyuarakan postmodern) benar bahwa postmodern sebagai “ke-tidak-percaya-an” terhadap meta naratif (narasi-narasi besar), maka Gereja berarti menghadapi tantangan yang tidak mudah. Meta narasi atau narasi-narasi besar yang diagungkan oleh Gereja/Kristen – eklesiologi khususnya – perlu untuk lebih dipromosikan karena menghadapi gejolak yang sangat spesifik di era tersebut. Bahkan yang menjadi ketakutan besar adalah teologi, Gereja dan iman menjadi terlalu “terinfeksi” oleh arus pikiran, sosial serta kecenderungan budaya-budaya sehingga dapat mengganggu misi Gereja yang otentik.  
“Gereja dan dunia” merupakan salah satu pokok pembahasan tentang eklesiologi dalam era postmodern, yakni pemahaman tentang hubungan Gereja untuk “dunia” yang lebih luas: Thus one of the most pertinent questions for postmodern ecclesiology, which has nonetheless been with the church as a real dilemma and topic of debate from its very beginnings, is the relationship between the church and the world, and the ecclesial attitudes and practices which relate to, shape and reflect this[1]. Bisa jadi bahwa permasalahan yang muncul ketika Gereja harus menjalin sebuah hubungan damai dengan dunia dapat menimbulkan sikap tertutup dari pihak Gereja. Hal itu tentu saja dapat muncul bila Gereja terlalu memandang diri sebagai sesuatu yang ideal dan normatif sehingga lebih memilih untuk menjauhkan diri dari dunia-ciptaan Allah sendiri.
Pembicaraan tentang dunia eklesiologi dalam era postmodern ternyata mengundang banyak ahli-teolog terkemuka. Salah satu dari sekian banyak itu adalah Ratzinger (yang sekarang adalah Benediktus XVI). Baginya, era postmodern yang dihadapi oleh Gereja merupakan sebuah tantangan yang harus dihadapai dalam memberikan pemahaman tentang teologi dan peran para teolog pada khususnya. Seluruh pemahaman teologi dan peran para teolog itu penting namun harus tetap mengacu pada kesetiaan mereka terhadap Gereja Katolik Roma. Ia melihat bahwa posisi Gereja – seperti sebuah “perusahaan” – dalam menghadapi kejayaan postmodern yang harus berusaha untuk mengimbanginya dengan usaha pembaharuan terus menerus: “..., that the church is a company always in need of constant renewal[2]. Usaha pembaharuan yang ditawarkan oleh Ratzinger dan juga beberapa teolog lainnya dapat dipandang sebagai tawaran bagi Gereja untuk semakin “terbuka, berdamai dan  merangkul” perkembangan dunia, terlebih dalam era postmodern serta sesudahnya, sehingga misi otentik dalam pewartaan dapat tercapai. 

PART II
Ecclesiological ‘Traditions’ (hal. 153)
2.   Eklesiologi dalam Tradisi Ortodoks/Ecclesiology in The Orthodox Tradition (hal. 155)
      KONDOTHRA M. GEORGE
Literatur teologi Ortodoks dalam eklesiologi tidaklah sangat produktif dibandingkan dengan tradisi-tradisi yang lain. Hal ini dikarenakan tema tentang eklesiologi dalam tradisi Ortodoks meliputi semua aspek refleksi teologis Ortodoks dan orientasi liturgis-spiritualis sehingga sulitlah – muncul keengganan – untuk memperlakukannya sebagai subyek yang terisolasi (an isolated subject). Namun dalam kerangka zaman modern, terlebih pada abad keduapuluhan, para teolog Ortodoks berupaya untuk mengartikulasikan “eklesiologi” mereka dalam ranah akademis-ekumenis. Langkah ini menjadi gerakan para teolog Ortodoks karena berhadapan dengan usaha ekumenisme dan situasi diaspora, di mana gereja-gereja Ortodoks berhadapan dekat dengan tradisi-tradisi Kristen Barat (Katolik Roma, Anglikan dan Protestan).
Dalam Dewan Gereja Dunia (World Council of Churches/WCC), Gereja-gereja Ortodoks dikelompokkan menjadi dua keluarga, yakni: Timur dan Oriental. Dalam beberapa dialog, kedua belah pihak itu dapat menegaskan secara bersama-sama tentang tradisi umum dari gereja yang satu dan penting meliputi: liturgi dan spiritualitas, doktrin dan praktek kanonik, pemahaman tentang Tritunggal Mahakudus, inkarnasi, pribadi dan karya Roh Kudus, sifat Gereja sebagai persekutuan orang kudus dengan pelayanan dan sakramen-sakramen, kehidupan dunia pada saat kedatangan Tuhan dan Juruselamat dalam segala kemuliaan-Nya (Jenewa, 1970). Bahkan dalam sebuah dialog resmi menegaskan: Kami telah mewarisi iman apostolik dan tradisi dalam Kristus dari nenek moyang kami, meskipun sebagai gereja telah terpisah satu sama lain selama berabad-abad; sebagai dua keluarga dari Gereja-gereja Ortodoks, kami sekarang berdoa dan percaya pada Tuhan untuk memulihkan persekutuan yang berdasarkan iman apostolik Gereja yang tak terbagi dari abad pertama yang kami akui bersama dalam kredo kami (Mesir, 1989).
Sumber eklesiologi dalam Gereja Ortodoks adalah Kitab Suci, teks dan praktek liturgi, tulisan-tulisan para Bapa gereja serta keputusan dewan ekumenis (yang berpengaruh terhadap unsur-unsur doktrinal-kanonik Gereja). Dalam teks-teks liturgi Ortodoks penuh dengan gambar puitis dan kiasan yang kesemuanya berasal (secara langsung atau tidak langsung) dari Alkitab. Gereja dipersonifikasikan sebagai ibu yang setia dan mempelai Kristus. Bahkan dalam ikonografi Ortodoks, Perawan Suci Maria berdiri sebagai simbol Gereja (Wahyu 12.1) dan ada juga gambar tentang organik tubuh yang melambangkan jemaat yang percaya (bdk. Rom 12.4-5; 1 Kor 12).
Untuk tradisi Ortodoks, kredo Nicea-Konstantinopel yang dirumuskan pertama oleh Dewan Ekumenis Kedua, yaitu Nicaea pada tahun 325 dan Konstantinopel pada tahun 381, adalah kredo ringkasan pernyataan yang unik terhadap iman Kristen. Tradisi Ortodoks menitikberatkan kredo itu pada empat sifat Gereja: satu, kudus, katolik dan apostolik. Semua eklesiologi Ortodoks dapat dipahami sebagai komentar pada empat tanda ini: kesatuan, terlihat dalam tubuh Kristus yang ditegakkan oleh tradisi Ortodoks sebagai dasar prinsip iman Kristen yang terus mendoakan “kesatuan semua orang Kristen”; kekudusan Gereja memiliki makna eklesiologis dalam pemahaman fundamental tradisi Ortodoks, Gereja adalah kudus karena sebagai tubuh dan mempelai Kristus serta juga sebagai bait Roh; makna katolik menekankan adanya unsur universalitas dari Gereja – pemahaman diri Gereja Katolik Roma sebagai Gereja universal sejak ekspansi kolonial dari Barat – yang kemudian digunakan oleh beberapa teolog Ortodoks dalam rangka membedakannya dari Gereja Katolik (Roma); apostolik memiliki makna pelanjutan tugas untuk bersaksi (seperti para rasul) dari Yesus Kristus yang disalibkan dan bangkit.
The ultimate ecclesiological goal of the ecumenical movement for the Orthodox is precisely this communion in one body in one faith in the one Lord[3]. Dari pernyataan itu dapat diambil sebuah benang merah bahwa eklesiologi dalam tradisi Ortodoks bermuara pada gerakan ekumenis menuju persekutuan satu tubuh dan satu iman kepada/dalam satu Tuhan. Untuk mencapai itu, tradisi Ortodoks memberi tempat terhadap persekutuan Ekaristis – yang terlihat dalam iman yang sama dan dalam tubuh satu – sebagai puncak dan doa pencarian Ortodoks untuk kesatuan semua orang Kristen.

3.   Eklesiologi Lutheran/Lutheran Ecclesiology (hal. 170)
      RISTO SAARINEN
Selama dalam masa fase awal Reformasi Lutheran (1517-1530), Martin Luther dan para pengikutnya mengkritik pengikut Gereja Katolik Roma dengan tajam. Tidak hanya permasalahan mengenai hal-hal praktis (seperti indulgensi dan adat istiadat monastik) tetapi juga mengarah pada persepsi kesalahan teologis: doktrin inti mengenai Firman Tuhan, pembenaran dan sakramen-sakramen. Secara singkat, eklesiologi Lutheran menegaskan bahwa hanya Kitab Suci yang mengatur iman, keterpurukan moral martabat manusia dan ketidakmampuan manusia untuk menyenangkan hati Allah, prakarsa kasih karunia Allah yang memberikan keselamatan kepada seluruh umat manusia dan jawaban iman sebagai alat yang menjamin keselamatan[4].
Dalam Diet Worms (1521), Luther membela pandangannya itu (kritiknya) tapi dalam sebuah maklumat apa yang disebut “Worms” menyatakan dia bersalah karena melakukan pengkhianatan tingkat tinggi dan bidaah. Namun, dengan dilindungi oleh keadaan politik yang mendukung[5], Luther bisa melanjutkan karirnya untuk mengajar di Universitas Wittenberg; sedangkan Reformasi tersebar di seluruh Eropa. Di Eropa Utara, Raja Denmark dan Swedia telah memerintahkan negara mereka (termasuk Norwegia, Islandia dan Finlandia) untuk menjadi Lutheran. Lutheranisme juga menyebar ke negara-negara Baltik serta Moravia, Hongaria dan Transylvania.
Pada awalnya, Luther dan Lutheranisme menentang otoritas kelembagaan Paus dan memperjuangkan hak orang Kristen (individu) untuk melakukan suatu penilaian bebas atas bimbingan Firman Allah. Dalam pengertian ini, Reformasi merupakan sebuah konflik antara eklesiologi wewenang dan kebebasan hati nurani di mana otoritas tertinggi Roma diganti dengan otoritas Alkitab.
Pengakuan-pengakuan Augsburg dan eklesiologinya
Dalam rangka memahami profil khas eklesiologi Lutheran secara lebih dekat, pentinglah untuk melihat dokumen pengakuannya yang paling signifikan. Dokumen itu termuat dalam artikel ketujuh dari Pengakuan Augsburg (The Augsburg Confession/CA) yang menggambarkan Gereja sebagai berikut: “…satu gereja kudus dan akan tetap selamanya. Gereja adalah persekutuan orang-orang kudus yang dalam Injil diajarkan secara murni dan sakramen-sakramen yang diberikan adalah benar. Dan itu sudah cukup bagi kesatuan sejati dari Gereja untuk menyetujui ajaran Injil dan pelayanan sakramen-sakramen. Tidak perlulah bahwa tradisi manusia, ritual atau upacara dilembagakan oleh manusia sehingga menjadi sama di mana-mana”[6]. Pengakuan Lutheran itu sangat jelas mencakup kredo Nicea, sehingga empat tanda klasik (apostolisitas, kesatuan, kekudusan dan katolisitas) juga hadir dalam eklesiologinya. Lutheran memahami Firman Allah (Injil) dan dua sakramen (baptisan dan Perjamuan Tuhan) menjadi tanda penting atau bahkan konstitutif bagi Gereja. Injil menempati tempat sentral dalam teologi Lutheran karena di dalamnya terdapat ajaran tentang pembenaran: “ Manusia tidak dapat dibenarkan di hadapan Tuhan dengan kekuatan, jasa atau kerja mereka sendiri. Tetapi mereka dibenarkan sebagai hadiah (gratis) karena Kristus melalui iman ketika mereka percaya bahwa mereka diterima ke dalam rahmat dan bahwa dosa-dosa mereka diampuni karena Kristus, yang oleh kematiannya dibuatlah pelunasan  bagi dosa-dosa” (CA IV).
Perkembangan-perkembangan  besar setelah Reformasi
Lutheranisme Eropa dibentuk oleh the Catholic Counter-Reformation dan terutama oleh Perang Tiga Puluh Tahun (1618-1648). Dalam perkembangan selanjutnya, Lutheranisme ini terus menyebar menjadi gerakan-gerakan diaspora. Pertama adalah Pietisme. Para Pietisme muncul dari abad kedelapan belas yang menyebabkan adanya kontroversi eklesiologis dan perkembangan yang lebih baru. Pietistme  menentang struktur yang kaku, institusi teritorial dan “negara gereja” yang sekarang berlaku di Lutheran Jerman dan juga di negara-negara Skandinavia. Di lain pihak, perkembangan yang besar juga terjadi di Amerika dengan apa yang disebut sebagai American Lutheranism. American Lutheranism dalam perkembangannya – karena adanya kompleksitas budaya dan eklesiologis berbeda – berkembang menjadi Gereja Lutheran Injili di Amerika (The Evangelical Lutheran Church in America/ELCA).
Perkembangan selanjutnya, Pengembangan eklesiologis Jerman telah menyebar ke Protestantisme Eropa yang disebut Pengikut Gereja Leuenberg (The Leuenberg Church Fellowship). Dasar dokumennya adalah Perjanjian Leuenberg (1975) yang menyebabkan pembentukan persekutuan Gereja (Kirchengemeinschaft) di antara sebagian besar Protestanisme Eropa. Pengikut Gereja Leuenberg kemudian berkomitmen untuk melakukan studi eklesiologis. Buah yang paling penting dari studi ini adalah Dokumen Gereja Yesus Kristus (1995), sebuah teks yang saat ini merupakan opinion communis dari eklesiologi Protestan benua Eropa. Dalam dokumen eklesiologis itu dinyatakan bahwa sifat gereja adalah untuk menjadi “komunitas dari orang-orang kudus” sebagai pengakuan iman para Rasul. Asal-usul dan fondasi gereja ditandai dengan empat aspek: pertama, membenarkan tindakan dari Allah Tritunggal yang merupakan isi dari Injil; kedua, saksi hidup Injil sebagai instrumen Roh Kudus; ketiga, persekutuan yang muncul dari saksi hidup Injil; dan keempat, kebebasan Kristen yang mempunyai asal dalam fondasi gereja.
Perkembangan dunia Lutheran, selanjutnya mengarah pada ranah dialog: dialog Federasi Dunia Lutheran (Lutheran World Federation/LWF sebagai persekutuan global Gereja-gereja Lutheran) dan Lutheran – Katolik Roma. Dalam dialog itu menghasilkan pelbagai dokumen yang intinya menyangkut permasalahan tentang eklesiologi (Malta Report, 1972; Church and Justification, 1994; Joint Declaration on the Doctrine of Justification/JD, 1999).
Eklesiologi Lutheran juga memiliki kaitan dengan etika. Tantangan dari dunia sekular pasca-Kristen memiliki konsekuensi eklesiologis yang signifikan bagi pemahaman etika Lutheran. Salah satu diskusi eklesiologis pada ranah ini telah menghasilkan sebuah pergeseran dan keprihatinan mengenai teologi perkawinan dan seksualitas. Bahkan baru-baru ini, beberapa teolog Lutheran yang  terkemuka mulai berpendapat bahwa perkawinan monogami tradisional di dunia (pasca-Kristen) yang menyiratkan kesetiaan antara pasangan dan memiliki tanggung jawab bagi anak-anak merupakan “tanda” dari realita-realita teologis serta eklesiologis yang lebih dalam.
Dari perjalanan dan perkembangan Lutheranisme, ada banyak pula kerangka eklesiologis yang juga ikut berkembang di dalamnya, di antaranya tentang pandangan kebenaran iman dalam Injil hingga sampai pada pembahasan eklesologi dalam etika. Secara umum, eklesiologi Lutheran ingin menyoroti keunggulan dari pesan Injil dalam pembenaran oleh karena iman. Mereka juga ingin menentukan sifat dan tujuan Gereja dengan cara yang tidak reduksionis. Di lain pihak, benarlah bahwa Lutheran Confessions berkonsentrasi pada kritik terhadap posisi (Gereja) lain sekalipun kritiknya tidak berisi eklesiologi yang cukup rumit. Maka dapat dikatakan bahwa eklesiologi Lutheran lebih lambat bila dibandingkan dengan teologi Barat secara keseluruhan: “...it is also true that ecclesiology is a latecomer in Western theology as a whole[7].

4.   Eklesiologi Reformasi/Reformed Ecclesiology (hal. 187)
      EDDY VAN DER BORGHT
“Reformasi” mengacu pada gereja-gereja dan tradisi teologis, sebagai ungkapan iman Kristen dari semua waktu dan tempat, yang dimulai dengan Reformasi pada abad ke-XVI di Zurich, Strasbourg dan Jenewa. Teologi dalam Reformasi diilhami oleh teologi Luther dan reformasinya dalam Gereja di Jerman, tetapi perbedaan yang muncul berada dalam kaitannya dengan pemahaman tentang Perjamuan Tuhan yang terpecah belah (dalam kebanyakan kasus). Moto Latin dari banyak Gereja Reformasi adalah “Ecclesia reformata, quia semper reformanda” dengan penekanan pada sebutan “Gereja yang direformasi” karena selalu mereformasi diri.
Adapun unsur-unsur warisan yang terdapat dalam Gereja Reformasi menurut Lukas Vischer adalah: 1) Christus solus: Yesus Kristus adalah satu-satunya sumber keselamatan dan eksklusif; 2) Allah dimuliakan dalam segala hal: mengungkapkan keyakinan bahwa keselamatan bergantung sepenuhnya pada inisiatif Allah; 3) pengajaran Reformasi menegaskan ajaran trinitarian dari kredo Gereja awal; 4) Gereja: dalam sepanjang sejarah, Tuhan selalu memanggil manusia untuk menjadi Gereja; 5) doa dan pujian/ibadah: tanggapan pertama atas karunia keselamatan Allah dalam Yesus Kristus; 6) pemuridan dan kedisiplinan: panggilan untuk menjalani hidup menggereja yang terinspirasi oleh rasa syukur dan yang mengarah kepada pengudusan; 7) tata jabatan (ministries) dan ketertiban Gereja; 8) lokal dan universal: pengajaran yang meliputi wilayah setempat hingga ke tingkat global; 9) memanggil para misionaris sebagai pewarta Sabda; 10) kebenaran dan persatuan: Gereja-gereja Reformasi tumbuh dari panggilan untuk kembali kepada Kitab Suci dan untuk Kristus; 11) hubungan antara Gereja dan Negara; 12) menjadi saksi gereja dalam masyarakat sebagai panggilan pembaruan ke semua aspek kehidupan, termasuk seluruh masyarakat.
Secara alami, tradisi Reformasi ditantang untuk menggambarkan pemahaman dan relevansi Injil di setiap waktu dan setiap tempat. Sebagai tradisi yang hidup, tradisi itu banyak dihasilkan oleh pengakuan kontekstual dan juga oleh teolog Kristen yang beredar - seperti Friedrich Schleiermacher pada awal abad kesembilan belas di Jerman dan Karl Barth dalam abad kedua puluh di Swiss dan Jerman. Untuk menjaga keberadaan tradisi itu, Gereja Reformasi memiliki Peraturan-peraturan Eklesiastikal (The Ecclesiastical Ordinances) yang berperan dalam re-organisasi gereja, di mana peraturan itu dipakai untuk melindungi hak prerogatif gerejawi. Dalam peraturan itu mengakui empat kementerian dengan akar dalam Perjanjian Baru: pastor, yang sebagai menteri Firman dan sakramen-sakramen bertugas untuk melanjutkan perawatan menteri dari awam yang dilaksanakan oleh abad pertengahan imam paroki dan uskup; doktor, bertanggung jawab untuk mengajar pada semua tingkatan - hingga pada penyelidikan yang paling ilmiah dari Alkitab; tua-tua yang dipilih di antara para anggota dewan berbagai kota dan bertanggung jawab untuk menegakkan disiplin dalam gereja; dan diaken (deacons) yang bertugas mengurusi bagian pekerjaan sosial.
Dalam doktrin eklesiologisnya, Gereja Reformasi memandang pentingnya kehadiran Gereja sebagai sarana keselamatan bagi manusia. Gereja Reformasi setuju dengan wawasan Cyprianus bahwa di luar Gereja tidak ada pengampunan dan keselamatan: Gereja merupakan “pintu masuk” yang sangat diperlukan dalam persekutuan dengan Kristus (Calvin[8]). Bahkan para reformator dalam Gereja Reformasi memiliki sikap kritis terhadap para gembala jemaat (Paus dan bawahannya) dalam cara pelayanannya: mereka menamakan diri sebagai pastor Kristus dan menyatakan diri untuk menjadi kepala Gereja; dan bukannya melaksanakan pelayanan mereka secara kolegial melainkan hanya menjadi diktator! Dalam diskusi tentang sakramen, perumusan Calvin mengenai Ekaristi sangatlah penting. Dengan memahami sakramen dalam cara Augustinian sebagai tanda-tanda yang terlihat dari anugerah yang tak terlihat, ia mencoba jalan tengah antara pemahaman simbolis Zwingli[9] (cenderung untuk memisahkan tanda dari realitas) dan doktrin Lutheran dari kehadiran nyata (tidak memberi perhatian yang lebih pada fakta bahwa tanda berbeda dari realitas).
Dalam perkembangan selanjutnya, ada beberapa hal penting yang patut untuk diperhatikan mengenai perjalanan Gereja Reformasi. Pertama, sekalipun menyatakan diri berbeda dengan Gereja Katolik-Roma, Gereja Reformasi memiliki komitmen tinggi terhadap gerakan ekumenis yang mendukung berdirinya Dewan Gereja-Gereja Sedunia (The World Council of Churches) di tahun 1948. Kedua, ada dua masalah hangat yang diperdebatkan di dalam dan di antara Gereja-gereja dari tradisi Reformasi sejak Perang Dunia II. Kedua masalah itu adalah: yang pertama menyangkut tempat perempuan dalam Gereja, partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan dan pentahbisan perempuan untuk pelayanan; yang kedua mengenai keyakinan mempertahankan posisi dengan argumen Alkitab (isu yang kedua ini berkaitan dengan homoseksualitas, khususnya pertanyaan tentang tempat kaum homoseksual di Gereja). Dua hal penting itu, patutlah bila disebut sebagai “tantangan” bagi Gereja Reformasi sebab dengan itu Gereja Reformasi semakin tertantang untuk selalu mereformasi diri agar dapat menghasilkan iman yang kontekstual: “Ecclesia reformata, quia semper reformanda”!

5.   Eklesiologi Anglikan/Anglican Ecclesiology (hal. 202)
      PAUL AVIS
Pada awal abad ke-21, Anglikanisme disiksa dengan argumen internal dan konflik atas isu-isu etika seksual, peran gender dan otoritas. Anglikan menghabiskan banyak waktu dan energi untuk berdebat di antara mereka sendiri tentang “apakah wanita bisa menjadi imam dan apakah homoseksualitas dapat diterima”! Perdebatan itu didasari dalam Perjanjian Baru yang menunjukkan bahwa tidak ada imam atau kependetaan dan homoseksualitas. Dalam hal ini, eklesiologi Anglikan adalah sederhana – sekalipun mengklaim diri memiliki eklesiologi yang megah untuk dirinya sendiri – dalam arti bahwa tidak memiliki pretensi intelektual yang hebat. Anglikanisme tidak memiliki kombinasi khas skolastik dan magisterium yang tidak dapat dibandingkan dengan magisterium yang dimiliki oleh Gereja Katolik Roma. Di lain sisi, Anglikanisme mengandaikan tradisi umum dari Gereja-gereja sampai abad ke-16 dan terbuka serta menerima apa yang bisa dipelajari dari tradisi-tradisi lain: terutama ia menarik wawasan dan sumber daya dari Katolik Roma, Ortodoks serta Lutheran.
Karena Anglikanisme tidak memiliki magisterium yang kuat (Kantor Pengajaran/ Teaching Office), maka teks-teks berwibawa yang dihasilkan dituntut untuk memiliki kualitas. Hal ini melahirkan suatu masalah untuk mengklaim bahwa teks-teks atau penulis tertentu adalah “tipikal” atau “wakil” dari Anglikanisme. Ada masalah metodologis yang serius di sini; masalah  yang timbul dari beberapa faktor empiris, berhubungan dengan kekayaan intelektual, ruang lingkup sejarah dan luasnya geografis dari Anglikanisme.
Eklesiologi Anglikan bercita-cita untuk mewujudkan empat dimensi syahadat Gereja: satu, kudus, katolik dan apostolik yang kesemuanya sudah berada dalam kehidupan Gereja. Gereja memiliki kesatuan riil melalui iman dan baptisan –yang  saling diakui – serta kesatuan parsial melalui kolegialitas dari pastornya. Kekudusan dari dimensi gereja ini menunjuk pada panggilan jemaat untuk kehidupan amal dan kesucian; dan Gereja sebagai institusi religius menjadi sarana untuk mengarah ke tujuan itu. Katolisitas Gereja sudah tampak dalam keutuhan kehidupan dan mengajar Gereja. Setiap ekspresi tertentu dari Gereja harus berhubungan dengan keseluruhan: menjawab kebutuhan dan aspirasi masyarakat manusia yang beragam.  Apostolisitas Gereja memiliki makna intrinsik: ia didirikan pada misi dan pesan para Rasul. Apostolisitas ini mengandung suatu keharusan: Gereja dipanggil untuk menjadi setia terhadap pengajaran para rasul (Kis 2: 42) dan untuk meneruskan misi mereka dalam budaya kontemporer saat ini.
Walaupun Gereja Anglikan merupakan bagian dari Gereja Reformasi, Gereja Anglikan pada umumnya lebih memberikan tekanan besar pada perayaan sakramen daripada khotbah Alkitab. Apabila titik pusat di sebagian besar Gereja Reformasi adalah mimbar khotbah, maka titik pusat di dalam Gereja Anglikan adalah altar[10]. Untuk menunjukkan bahwa ia tetap bagian dari Gereja Reformasi, beberapa Gereja Anglikan mempunyai Alkitab yang dibuka dan yang diletakkan di mimbar lektor.


Daftar Pustaka
Mannion, G.,
2008        “Postmodern Ecclesiologies”, dalam G. Mannion (eds.), The Routledge Companion To The Christian Church, Routledge, Madison Ave, 132-132.
      George, K. M.,
               2008    ”Ecclesiology in The Orthodox Tradition”, dalam G. Mannion (eds.), The Routledge Companion To The Christian Church, Routledge, Madison Ave, 167.
      Keene, M.,  
2006        Kristianitas, Kanisius, Yogyakarta.
      Saarinen, R.,
               2008    “Lutheran Ecclesiology”, dalam G. Mannion (eds.), The Routledge Companion To The Christian Church, Routledge, Madison Ave, 171.
      Van Den End, DR. Th.,
Harta Dalam Bejana: Sejarah Gereja Ringkas, BPK Gunung Mulia, Jakarta Pusat.
      Embuiru, DR. H. SVD.,
                           Gereja Sepandjang Masa, Nusa Indah, Ende.







[1] G. Mannion, “Postmodern Ecclesiologies”, dalam G. Mannion (eds.), The Routledge Companion To The Christian Church, Routledge, Madison Ave 2008, 132-132.
[2] G. Mannion, “Postmodern Ecclesiologies”, 142.
[3] K. M. George, ”Ecclesiology in The Orthodox Tradition”, dalam G. Mannion (eds.), The Routledge Companion to The Christian Church, Routledge, Madison Ave 2008, 167.
[4] M. Keene, Kristianitas, Kanisius, Yogyakarta 2006, 71.
[5] Keadaan politik di Jerman menolong Luther, terlebih dari Kerajaan Saksen – wilayah tempat tinggalnya – yang dipimpin oleh Raja Friedrich, memberi perlindungan kepada Luther.
[6] R. Saarinen, “Lutheran Ecclesiology”, dalam G. Mannion (eds.), The Routledge Companion To The Christian Church, Routledge, Madison Ave 2008, 171.
[7] R. Saarinen, “Lutheran Ecclesiology”, 184.
[8] Pada tahun 1533, John Calvin mengalami kebangunan rohani dengan memutuskan hubungannya dengan Gereja Katolik dan menjadi media berdirinya Gereja Reformasi di Switzerland.
[9] Ulrich Zwingli (1484-1531) mempertahankan keunggulan Kitab Suci dalam banyak hal. Ia menegaskan bahwa praktik-praktik agama Katolik (penghormatan kepada para kudus, selibat, hidup membiara, indulgensi dan absolusi) merupakan daya cipta manusia belaka.
[10] M. Keene, Kristianitas, 70-71.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

La présence de Dieu qui accompagne toujours nos vies est un mystère. Sa présence réelle qu'Il soit là ou ici, nous ne pourrons peut-être...