Book
Report:
The Routledge Companion To The
Christian Church
Book report dalam tulisan ini membahas beberapa
artikel tentang eklesiologi yang terdapat dalam buku ”The Routledge Companion to The Christian
Church” yang dieditori oleh Gerard
Mannion dan Lewis S. Mudge (memuat 38 artikel). Dalam tulisan ini secara khusus
akan membahas beberapa artikel: Eklesiologi-eklesiologi
Postmodern/Postmodern Ecclesiologies, Eklesiologi dalam Tradisi Ortodoks/Ecclesiology
in The Orthodox Tradition, Eklesiologi Lutheran/Lutheran Ecclesiology, Eklesiologi Reformasi/Reformed Ecclesiologyi dan Eklesiologi Anglikan/Anglican Ecclesiology.
1. Eklesiologi-eklesiologi Postmodern/Postmodern Ecclesiologies
(hal. 127)
GERARD MANNION
Apa yang terjadi
setelah modern? Pertanyaan itu merupakan sebuah persoalan yang sering menggugah
pikiran untuk menjawabannya. Kehidupan dunia modern merupakan sebuah realita
yang harus dihadapi oleh komunitas manusia di dunia. Alur kehidupan terus
berubah hingga pada posisi ke-modern-an yang menuntut adanya transformasi
perubahan pula, bahkan sampai setelahnya. Sebagai komunitas yang terdiri dari
umat manusia, Gereja pun tidak dapat mengelakkan diri dari posisi modern dan
keadaan setelahnya. Dalam arti lain dapat dikatakan bahwa Gereja harus
“berdamai” dalam peziarahannya dengan dunia yang modern dan juga setelah (post)
keadaan modern itu sendiri.
Berhadapan dengan
situasi postmodern, Gereja tertantang untuk mengembangkan ranah
eklesiologisnya. Hal itu mulai tampak dengan memperhatikan adanya fakta bahwa
eklesiologi di era postmodern terikat dengan perkembangan dunia: perkembangan
paralel dalam filsafat, ilmu-ilmu sosial, linguistik dan teori budaya. Demikian
juga dalam beberapa dekade ini, dengan adanya realita perubahan besar dalam
pola dan bentuk pelayanan, tata Gereja dan liturgi, adanya implikasi dari
pelbagai perselisihan era Gereja (perkembangan skismatik dan skandal),
dipandang sebagai sebuah tantangan di era postmodern yang harus dihadapi Gereja
dalam penghayatan hidup injilinya.
Jika J. Lyotard (salah
satu filsuf yang gencar menyuarakan postmodern) benar bahwa postmodern sebagai
“ke-tidak-percaya-an” terhadap meta naratif (narasi-narasi besar), maka Gereja
berarti menghadapi tantangan yang tidak mudah. Meta narasi atau narasi-narasi
besar yang diagungkan oleh Gereja/Kristen – eklesiologi khususnya – perlu untuk
lebih dipromosikan karena menghadapi gejolak yang sangat spesifik di era
tersebut. Bahkan yang menjadi ketakutan besar adalah teologi, Gereja dan iman
menjadi terlalu “terinfeksi” oleh arus pikiran, sosial serta kecenderungan budaya-budaya
sehingga dapat mengganggu misi Gereja yang otentik.
“Gereja dan dunia”
merupakan salah satu pokok pembahasan tentang eklesiologi dalam era postmodern,
yakni pemahaman tentang hubungan Gereja untuk “dunia” yang lebih luas: Thus one of the most pertinent questions for
postmodern ecclesiology, which has nonetheless been with the church as a real
dilemma and topic of debate from its very beginnings, is the relationship
between the church and the world, and the ecclesial attitudes and practices which
relate to, shape and reflect this[1].
Bisa jadi bahwa permasalahan yang muncul ketika Gereja harus menjalin sebuah
hubungan damai dengan dunia dapat menimbulkan sikap tertutup dari pihak Gereja.
Hal itu tentu saja dapat muncul bila Gereja terlalu memandang diri sebagai
sesuatu yang ideal dan normatif sehingga lebih memilih untuk menjauhkan diri
dari dunia-ciptaan Allah sendiri.
Pembicaraan tentang
dunia eklesiologi dalam era postmodern ternyata mengundang banyak ahli-teolog
terkemuka. Salah satu dari sekian banyak itu adalah Ratzinger
(yang sekarang adalah Benediktus XVI). Baginya, era postmodern yang dihadapi
oleh Gereja merupakan sebuah tantangan yang harus dihadapai dalam memberikan
pemahaman tentang teologi dan peran para teolog pada khususnya. Seluruh
pemahaman teologi dan peran para teolog itu penting namun harus tetap mengacu
pada kesetiaan mereka terhadap Gereja Katolik Roma. Ia melihat bahwa posisi
Gereja – seperti sebuah “perusahaan” – dalam menghadapi kejayaan postmodern yang
harus berusaha untuk mengimbanginya dengan usaha pembaharuan terus menerus: “...,
that the church is a company
always in need of constant renewal”[2].
Usaha pembaharuan yang ditawarkan oleh Ratzinger dan juga beberapa teolog
lainnya dapat dipandang sebagai tawaran bagi Gereja untuk semakin “terbuka,
berdamai dan merangkul” perkembangan
dunia, terlebih dalam era postmodern serta sesudahnya, sehingga misi otentik
dalam pewartaan dapat tercapai.
PART II
Ecclesiological
‘Traditions’ (hal. 153)
2. Eklesiologi dalam Tradisi Ortodoks/Ecclesiology in The Orthodox Tradition
(hal. 155)
KONDOTHRA M. GEORGE
Literatur teologi
Ortodoks dalam eklesiologi tidaklah sangat produktif dibandingkan dengan
tradisi-tradisi yang lain. Hal ini dikarenakan tema tentang eklesiologi dalam
tradisi Ortodoks meliputi semua aspek refleksi teologis Ortodoks dan orientasi
liturgis-spiritualis sehingga sulitlah – muncul keengganan – untuk memperlakukannya sebagai subyek yang
terisolasi (an isolated
subject). Namun
dalam kerangka zaman modern, terlebih pada abad keduapuluhan, para teolog
Ortodoks berupaya untuk mengartikulasikan “eklesiologi” mereka dalam ranah
akademis-ekumenis. Langkah ini menjadi gerakan para teolog Ortodoks karena
berhadapan dengan usaha ekumenisme dan situasi diaspora, di mana gereja-gereja
Ortodoks berhadapan dekat dengan tradisi-tradisi Kristen Barat (Katolik Roma,
Anglikan dan Protestan).
Dalam Dewan Gereja Dunia (World
Council of Churches/WCC), Gereja-gereja Ortodoks dikelompokkan menjadi dua
keluarga, yakni: Timur dan Oriental. Dalam beberapa dialog, kedua belah pihak
itu dapat menegaskan secara bersama-sama tentang tradisi umum dari gereja yang
satu dan penting meliputi: liturgi dan spiritualitas, doktrin dan praktek
kanonik, pemahaman tentang Tritunggal Mahakudus, inkarnasi, pribadi dan karya
Roh Kudus, sifat Gereja sebagai persekutuan orang kudus dengan pelayanan dan
sakramen-sakramen, kehidupan dunia pada saat kedatangan Tuhan dan Juruselamat dalam
segala kemuliaan-Nya (Jenewa, 1970). Bahkan dalam sebuah dialog resmi
menegaskan: Kami telah mewarisi iman apostolik dan tradisi dalam Kristus dari
nenek moyang kami, meskipun sebagai gereja telah terpisah satu sama lain selama
berabad-abad; sebagai dua keluarga dari Gereja-gereja Ortodoks, kami sekarang
berdoa dan percaya pada Tuhan untuk memulihkan persekutuan yang berdasarkan
iman apostolik Gereja yang tak terbagi dari abad pertama yang kami akui bersama
dalam kredo kami (Mesir, 1989).
Sumber eklesiologi dalam Gereja Ortodoks adalah Kitab Suci, teks
dan praktek liturgi, tulisan-tulisan para Bapa gereja serta keputusan dewan
ekumenis (yang berpengaruh terhadap unsur-unsur doktrinal-kanonik Gereja).
Dalam teks-teks liturgi Ortodoks penuh dengan gambar puitis dan kiasan yang kesemuanya
berasal (secara langsung atau tidak langsung) dari Alkitab. Gereja dipersonifikasikan
sebagai ibu yang setia dan mempelai Kristus. Bahkan dalam ikonografi Ortodoks, Perawan
Suci Maria berdiri sebagai simbol Gereja (Wahyu 12.1) dan ada juga gambar tentang organik tubuh yang melambangkan jemaat yang
percaya (bdk. Rom 12.4-5; 1 Kor 12).
Untuk tradisi Ortodoks, kredo
Nicea-Konstantinopel yang dirumuskan pertama oleh Dewan Ekumenis Kedua, yaitu
Nicaea pada tahun 325 dan Konstantinopel pada tahun 381, adalah kredo ringkasan
pernyataan yang unik terhadap iman Kristen. Tradisi Ortodoks menitikberatkan
kredo itu pada empat sifat Gereja: satu, kudus, katolik dan apostolik. Semua eklesiologi
Ortodoks dapat dipahami sebagai komentar pada empat tanda ini: kesatuan, terlihat dalam tubuh Kristus yang
ditegakkan oleh tradisi Ortodoks sebagai dasar prinsip iman Kristen yang terus
mendoakan “kesatuan semua orang Kristen”; kekudusan
Gereja memiliki makna eklesiologis dalam pemahaman fundamental tradisi Ortodoks,
Gereja adalah kudus karena sebagai tubuh dan mempelai Kristus serta juga sebagai
bait Roh; makna katolik menekankan
adanya unsur universalitas dari Gereja – pemahaman diri Gereja Katolik Roma
sebagai Gereja universal sejak ekspansi kolonial dari Barat – yang kemudian digunakan
oleh beberapa teolog Ortodoks dalam rangka membedakannya dari Gereja Katolik
(Roma); apostolik memiliki makna pelanjutan
tugas untuk bersaksi (seperti para rasul) dari Yesus Kristus yang disalibkan
dan bangkit.
The ultimate ecclesiological goal of the ecumenical movement for the
Orthodox is precisely this communion in one body in one faith in the one Lord[3].
Dari pernyataan itu dapat diambil sebuah benang merah bahwa eklesiologi dalam
tradisi Ortodoks bermuara pada gerakan ekumenis
menuju persekutuan satu tubuh dan satu iman kepada/dalam satu Tuhan. Untuk
mencapai itu, tradisi Ortodoks memberi tempat terhadap persekutuan Ekaristis –
yang terlihat dalam iman yang sama dan dalam tubuh satu – sebagai puncak dan
doa pencarian Ortodoks untuk kesatuan semua orang Kristen.
3. Eklesiologi Lutheran/Lutheran Ecclesiology (hal. 170)
RISTO SAARINEN
Selama dalam masa fase awal Reformasi Lutheran
(1517-1530), Martin Luther dan para pengikutnya mengkritik pengikut Gereja
Katolik Roma dengan tajam. Tidak hanya permasalahan mengenai hal-hal praktis (seperti
indulgensi dan adat istiadat monastik) tetapi juga mengarah pada persepsi
kesalahan teologis: doktrin inti mengenai Firman Tuhan, pembenaran dan
sakramen-sakramen. Secara singkat, eklesiologi Lutheran menegaskan bahwa hanya
Kitab Suci yang mengatur iman, keterpurukan moral martabat manusia dan
ketidakmampuan manusia untuk menyenangkan hati Allah, prakarsa kasih karunia
Allah yang memberikan keselamatan kepada seluruh umat manusia dan jawaban iman
sebagai alat yang menjamin keselamatan[4].
Dalam Diet Worms (1521), Luther membela
pandangannya itu (kritiknya) tapi dalam sebuah maklumat apa yang disebut “Worms”
menyatakan dia bersalah karena melakukan pengkhianatan tingkat tinggi dan bidaah.
Namun, dengan dilindungi oleh keadaan politik yang mendukung[5],
Luther bisa melanjutkan karirnya untuk mengajar di Universitas Wittenberg;
sedangkan Reformasi tersebar di seluruh Eropa. Di Eropa Utara, Raja Denmark
dan Swedia telah memerintahkan negara mereka (termasuk Norwegia, Islandia dan Finlandia)
untuk menjadi Lutheran. Lutheranisme juga menyebar ke negara-negara Baltik
serta Moravia, Hongaria dan Transylvania.
Pada awalnya, Luther dan Lutheranisme menentang
otoritas kelembagaan Paus dan memperjuangkan hak orang Kristen (individu) untuk
melakukan suatu penilaian bebas atas bimbingan Firman Allah. Dalam pengertian
ini, Reformasi merupakan sebuah konflik antara eklesiologi wewenang dan
kebebasan hati nurani di mana otoritas tertinggi Roma diganti dengan otoritas
Alkitab.
Pengakuan-pengakuan Augsburg dan
eklesiologinya
Dalam rangka memahami profil khas eklesiologi Lutheran secara lebih
dekat, pentinglah untuk melihat dokumen pengakuannya yang paling signifikan. Dokumen
itu termuat dalam artikel ketujuh dari Pengakuan Augsburg (The Augsburg
Confession/CA) yang menggambarkan Gereja sebagai berikut: “…satu gereja
kudus dan akan tetap selamanya. Gereja adalah persekutuan orang-orang kudus
yang dalam Injil diajarkan secara murni dan sakramen-sakramen yang diberikan adalah
benar. Dan itu sudah cukup bagi kesatuan sejati dari Gereja untuk menyetujui ajaran
Injil dan pelayanan sakramen-sakramen. Tidak perlulah bahwa tradisi manusia,
ritual atau upacara dilembagakan oleh manusia sehingga menjadi sama di
mana-mana”[6].
Pengakuan Lutheran itu sangat jelas mencakup kredo Nicea, sehingga empat tanda
klasik (apostolisitas, kesatuan, kekudusan dan katolisitas) juga hadir dalam
eklesiologinya. Lutheran memahami Firman Allah (Injil) dan dua sakramen (baptisan
dan Perjamuan Tuhan) menjadi tanda penting atau bahkan konstitutif bagi Gereja.
Injil menempati tempat sentral dalam teologi Lutheran karena di dalamnya
terdapat ajaran tentang pembenaran: “ Manusia tidak dapat dibenarkan di hadapan
Tuhan dengan kekuatan, jasa atau kerja mereka sendiri. Tetapi mereka dibenarkan
sebagai hadiah (gratis) karena Kristus melalui iman ketika mereka percaya bahwa
mereka diterima ke dalam rahmat dan bahwa dosa-dosa mereka diampuni karena
Kristus, yang oleh kematiannya dibuatlah pelunasan bagi dosa-dosa” (CA IV).
Perkembangan-perkembangan
besar setelah Reformasi
Lutheranisme Eropa dibentuk oleh the
Catholic Counter-Reformation dan terutama oleh Perang
Tiga Puluh Tahun (1618-1648). Dalam perkembangan selanjutnya, Lutheranisme ini
terus menyebar menjadi gerakan-gerakan diaspora. Pertama adalah Pietisme. Para
Pietisme muncul dari abad kedelapan belas yang menyebabkan adanya kontroversi
eklesiologis dan perkembangan yang lebih baru. Pietistme menentang struktur yang kaku, institusi
teritorial dan “negara gereja” yang sekarang berlaku di Lutheran Jerman dan
juga di negara-negara Skandinavia. Di lain pihak, perkembangan yang besar juga
terjadi di Amerika dengan apa yang disebut sebagai American
Lutheranism. American
Lutheranism dalam perkembangannya – karena adanya kompleksitas budaya dan
eklesiologis berbeda – berkembang menjadi Gereja Lutheran Injili di Amerika (The Evangelical Lutheran Church in
America/ELCA).
Perkembangan selanjutnya, Pengembangan
eklesiologis Jerman telah menyebar ke Protestantisme Eropa yang disebut
Pengikut Gereja Leuenberg (The
Leuenberg Church Fellowship). Dasar dokumennya adalah Perjanjian Leuenberg
(1975) yang menyebabkan pembentukan persekutuan Gereja (Kirchengemeinschaft) di antara sebagian besar Protestanisme Eropa.
Pengikut Gereja Leuenberg kemudian berkomitmen untuk melakukan studi
eklesiologis. Buah yang paling penting dari studi ini adalah Dokumen Gereja
Yesus Kristus (1995), sebuah teks yang saat ini merupakan opinion communis dari eklesiologi Protestan
benua Eropa. Dalam dokumen eklesiologis itu dinyatakan bahwa sifat gereja
adalah untuk menjadi “komunitas dari orang-orang kudus” sebagai pengakuan iman
para Rasul. Asal-usul dan fondasi gereja ditandai dengan empat aspek: pertama, membenarkan tindakan dari Allah
Tritunggal yang merupakan isi dari Injil; kedua,
saksi hidup Injil sebagai instrumen Roh Kudus; ketiga, persekutuan yang muncul dari saksi hidup Injil; dan keempat, kebebasan Kristen yang
mempunyai asal dalam fondasi gereja.
Perkembangan dunia Lutheran, selanjutnya mengarah pada
ranah dialog: dialog Federasi
Dunia Lutheran (Lutheran World Federation/LWF sebagai persekutuan global Gereja-gereja Lutheran) dan Lutheran – Katolik Roma. Dalam dialog
itu menghasilkan pelbagai dokumen yang intinya menyangkut permasalahan tentang
eklesiologi (Malta Report, 1972; Church and Justification,
1994; Joint Declaration on the Doctrine of Justification/JD, 1999).
Eklesiologi Lutheran juga memiliki kaitan
dengan etika. Tantangan dari dunia sekular pasca-Kristen
memiliki konsekuensi eklesiologis yang signifikan bagi pemahaman etika
Lutheran. Salah satu diskusi eklesiologis pada ranah ini telah menghasilkan
sebuah pergeseran dan keprihatinan mengenai teologi perkawinan dan seksualitas.
Bahkan baru-baru ini, beberapa teolog Lutheran yang terkemuka mulai berpendapat bahwa perkawinan
monogami tradisional di dunia (pasca-Kristen) yang menyiratkan kesetiaan antara
pasangan dan memiliki tanggung jawab bagi anak-anak merupakan “tanda” dari
realita-realita teologis serta eklesiologis yang lebih dalam.
Dari perjalanan dan perkembangan Lutheranisme, ada banyak
pula kerangka eklesiologis yang juga ikut berkembang di dalamnya, di antaranya
tentang pandangan kebenaran iman dalam Injil hingga sampai pada pembahasan
eklesologi dalam etika. Secara umum, eklesiologi Lutheran ingin menyoroti
keunggulan dari pesan Injil dalam pembenaran oleh karena iman. Mereka juga
ingin menentukan sifat dan tujuan Gereja dengan cara yang tidak reduksionis. Di
lain pihak, benarlah bahwa Lutheran
Confessions berkonsentrasi pada kritik terhadap posisi (Gereja) lain
sekalipun kritiknya tidak berisi eklesiologi yang cukup rumit. Maka dapat
dikatakan bahwa eklesiologi Lutheran lebih lambat bila dibandingkan dengan
teologi Barat secara keseluruhan: “...it is also true that ecclesiology is a latecomer in Western theology as
a whole”[7].
4. Eklesiologi Reformasi/Reformed Ecclesiology (hal. 187)
EDDY VAN DER BORGHT
“Reformasi” mengacu pada gereja-gereja dan
tradisi teologis, sebagai ungkapan iman Kristen dari semua waktu dan tempat,
yang dimulai dengan Reformasi pada abad ke-XVI di Zurich, Strasbourg dan
Jenewa. Teologi dalam Reformasi diilhami oleh teologi Luther dan reformasinya dalam
Gereja di Jerman, tetapi perbedaan yang muncul berada dalam kaitannya dengan
pemahaman tentang Perjamuan Tuhan yang terpecah belah (dalam kebanyakan kasus).
Moto Latin dari banyak Gereja Reformasi adalah “Ecclesia reformata, quia semper reformanda” dengan penekanan pada
sebutan “Gereja yang direformasi” karena selalu mereformasi diri.
Adapun unsur-unsur warisan yang terdapat dalam
Gereja Reformasi menurut Lukas Vischer adalah: 1) Christus
solus: Yesus Kristus adalah
satu-satunya sumber keselamatan dan eksklusif; 2) Allah dimuliakan dalam segala
hal: mengungkapkan keyakinan bahwa keselamatan bergantung sepenuhnya pada
inisiatif Allah; 3) pengajaran Reformasi menegaskan ajaran trinitarian dari
kredo Gereja awal; 4) Gereja: dalam sepanjang sejarah, Tuhan selalu memanggil
manusia untuk menjadi Gereja; 5) doa dan pujian/ibadah: tanggapan pertama atas
karunia keselamatan Allah dalam Yesus Kristus; 6) pemuridan dan kedisiplinan:
panggilan untuk menjalani hidup menggereja yang terinspirasi oleh rasa syukur
dan yang mengarah kepada pengudusan; 7) tata jabatan (ministries) dan ketertiban Gereja; 8) lokal dan universal:
pengajaran yang meliputi wilayah setempat hingga ke tingkat global; 9)
memanggil para misionaris sebagai pewarta Sabda; 10) kebenaran dan persatuan:
Gereja-gereja Reformasi tumbuh dari panggilan untuk kembali kepada Kitab Suci dan
untuk Kristus; 11) hubungan antara Gereja dan Negara; 12) menjadi saksi gereja
dalam masyarakat sebagai panggilan pembaruan ke semua aspek kehidupan, termasuk
seluruh masyarakat.
Secara alami, tradisi Reformasi ditantang untuk
menggambarkan pemahaman dan relevansi Injil di setiap waktu dan setiap tempat.
Sebagai tradisi yang hidup, tradisi itu banyak dihasilkan oleh pengakuan
kontekstual dan juga oleh teolog Kristen yang beredar - seperti Friedrich
Schleiermacher pada awal abad kesembilan belas di Jerman dan Karl Barth dalam
abad kedua puluh di Swiss dan Jerman. Untuk menjaga keberadaan tradisi itu,
Gereja Reformasi memiliki Peraturan-peraturan Eklesiastikal (The
Ecclesiastical Ordinances) yang berperan dalam re-organisasi gereja, di mana
peraturan itu dipakai untuk melindungi hak prerogatif gerejawi. Dalam peraturan
itu mengakui empat kementerian dengan akar dalam Perjanjian Baru: pastor, yang sebagai menteri Firman dan
sakramen-sakramen bertugas
untuk melanjutkan perawatan menteri dari awam yang dilaksanakan oleh abad
pertengahan imam paroki dan uskup; doktor,
bertanggung jawab untuk mengajar pada semua tingkatan - hingga pada penyelidikan
yang paling ilmiah dari Alkitab; tua-tua
yang dipilih di antara para anggota dewan berbagai kota dan bertanggung jawab
untuk menegakkan disiplin dalam gereja; dan diaken
(deacons) yang bertugas mengurusi bagian pekerjaan sosial.
Dalam doktrin eklesiologisnya, Gereja Reformasi
memandang pentingnya kehadiran Gereja sebagai sarana keselamatan bagi manusia.
Gereja Reformasi setuju dengan wawasan Cyprianus bahwa di luar Gereja tidak ada
pengampunan dan keselamatan: Gereja merupakan “pintu masuk” yang sangat
diperlukan dalam persekutuan dengan Kristus (Calvin[8]).
Bahkan para reformator dalam Gereja Reformasi memiliki sikap kritis terhadap
para gembala jemaat (Paus dan bawahannya) dalam cara pelayanannya: mereka
menamakan diri sebagai pastor Kristus dan menyatakan diri untuk menjadi kepala
Gereja; dan bukannya melaksanakan pelayanan mereka secara kolegial melainkan
hanya menjadi diktator! Dalam diskusi tentang sakramen, perumusan Calvin mengenai
Ekaristi sangatlah penting. Dengan memahami sakramen dalam cara Augustinian
sebagai tanda-tanda yang terlihat dari anugerah yang tak terlihat, ia mencoba
jalan tengah antara pemahaman simbolis Zwingli[9]
(cenderung untuk memisahkan tanda dari realitas) dan doktrin Lutheran dari
kehadiran nyata (tidak memberi perhatian yang lebih pada fakta bahwa tanda
berbeda dari realitas).
Dalam perkembangan selanjutnya, ada beberapa hal
penting yang patut untuk diperhatikan mengenai perjalanan Gereja Reformasi. Pertama, sekalipun menyatakan diri
berbeda dengan Gereja Katolik-Roma, Gereja Reformasi memiliki komitmen tinggi
terhadap gerakan ekumenis yang mendukung berdirinya Dewan Gereja-Gereja Sedunia
(The World Council of
Churches)
di tahun 1948. Kedua, ada dua masalah
hangat yang diperdebatkan di dalam dan di antara Gereja-gereja dari tradisi
Reformasi sejak Perang Dunia II. Kedua masalah itu adalah: yang pertama
menyangkut tempat perempuan dalam Gereja, partisipasi perempuan dalam
pengambilan keputusan dan pentahbisan perempuan untuk pelayanan; yang kedua
mengenai keyakinan mempertahankan posisi dengan argumen Alkitab (isu yang kedua
ini berkaitan dengan homoseksualitas, khususnya pertanyaan tentang tempat kaum
homoseksual di Gereja). Dua hal penting itu, patutlah bila disebut sebagai
“tantangan” bagi Gereja Reformasi sebab dengan itu Gereja Reformasi semakin
tertantang untuk selalu mereformasi diri agar dapat menghasilkan iman yang
kontekstual: “Ecclesia reformata, quia
semper reformanda”!
5. Eklesiologi
Anglikan/Anglican Ecclesiology (hal.
202)
PAUL AVIS
Pada awal abad ke-21, Anglikanisme disiksa
dengan argumen internal dan konflik atas isu-isu etika seksual, peran gender
dan otoritas. Anglikan menghabiskan banyak waktu dan energi untuk berdebat di
antara mereka sendiri tentang “apakah wanita bisa menjadi imam dan apakah
homoseksualitas dapat diterima”! Perdebatan itu didasari dalam Perjanjian Baru yang menunjukkan bahwa tidak ada imam
atau kependetaan dan
homoseksualitas. Dalam hal ini, eklesiologi Anglikan adalah sederhana –
sekalipun mengklaim diri memiliki eklesiologi yang megah untuk dirinya sendiri
– dalam arti bahwa tidak memiliki pretensi intelektual yang hebat. Anglikanisme
tidak memiliki kombinasi khas skolastik dan magisterium yang tidak dapat
dibandingkan dengan magisterium yang dimiliki oleh Gereja Katolik Roma. Di lain
sisi, Anglikanisme mengandaikan tradisi umum dari Gereja-gereja sampai abad
ke-16 dan terbuka serta menerima apa yang bisa dipelajari dari tradisi-tradisi
lain: terutama ia menarik wawasan dan sumber daya dari Katolik Roma, Ortodoks serta Lutheran.
Karena Anglikanisme tidak memiliki magisterium
yang kuat (Kantor Pengajaran/ Teaching
Office),
maka teks-teks berwibawa yang dihasilkan dituntut untuk memiliki kualitas. Hal
ini melahirkan suatu masalah untuk mengklaim bahwa teks-teks atau penulis
tertentu adalah “tipikal” atau “wakil” dari Anglikanisme. Ada masalah metodologis yang serius di sini;
masalah yang timbul dari beberapa faktor
empiris, berhubungan dengan kekayaan intelektual, ruang lingkup sejarah dan
luasnya geografis dari Anglikanisme.
Eklesiologi Anglikan bercita-cita untuk
mewujudkan empat dimensi syahadat Gereja: satu, kudus, katolik dan apostolik
yang kesemuanya sudah berada dalam kehidupan Gereja. Gereja memiliki kesatuan riil melalui iman dan baptisan
–yang saling diakui – serta kesatuan
parsial melalui kolegialitas dari pastornya. Kekudusan dari dimensi gereja ini menunjuk pada panggilan jemaat untuk
kehidupan amal dan kesucian; dan Gereja sebagai institusi religius menjadi
sarana untuk mengarah ke tujuan itu. Katolisitas
Gereja sudah tampak dalam keutuhan kehidupan dan mengajar Gereja. Setiap
ekspresi tertentu dari Gereja harus berhubungan dengan keseluruhan: menjawab kebutuhan
dan aspirasi masyarakat manusia yang beragam. Apostolisitas
Gereja memiliki makna intrinsik: ia didirikan pada misi dan pesan para Rasul. Apostolisitas
ini mengandung suatu keharusan: Gereja dipanggil untuk menjadi setia terhadap
pengajaran para rasul (Kis 2: 42) dan untuk meneruskan misi mereka dalam budaya
kontemporer saat ini.
Walaupun Gereja Anglikan merupakan bagian dari
Gereja Reformasi, Gereja Anglikan pada umumnya lebih memberikan tekanan besar
pada perayaan sakramen daripada khotbah Alkitab. Apabila titik pusat di
sebagian besar Gereja Reformasi adalah mimbar khotbah, maka titik pusat di
dalam Gereja Anglikan adalah altar[10].
Untuk menunjukkan bahwa ia tetap bagian dari Gereja Reformasi, beberapa Gereja
Anglikan mempunyai Alkitab yang dibuka dan yang diletakkan di mimbar lektor.
Daftar
Pustaka
Mannion, G.,
2008
“Postmodern Ecclesiologies”,
dalam G. Mannion (eds.), The Routledge Companion To The Christian
Church, Routledge, Madison Ave, 132-132.
George, K. M.,
2008 ”Ecclesiology in The Orthodox Tradition”, dalam G.
Mannion (eds.), The Routledge Companion To The Christian Church, Routledge, Madison Ave , 167.
2006
Kristianitas,
Kanisius, Yogyakarta .
Saarinen, R.,
2008 “Lutheran
Ecclesiology”, dalam G. Mannion (eds.), The Routledge Companion To The Christian
Church, Routledge, Madison Ave, 171.
Van Den End, DR. Th.,
Harta Dalam Bejana: Sejarah Gereja
Ringkas, BPK Gunung Mulia, Jakarta Pusat.
Embuiru, DR. H. SVD.,
Gereja Sepandjang Masa, Nusa Indah, Ende.
[1]
G. Mannion, “Postmodern
Ecclesiologies”, dalam G. Mannion (eds.), The Routledge
Companion To The Christian Church,
Routledge, Madison Ave 2008, 132-132.
[2] G. Mannion, “Postmodern Ecclesiologies”, 142.
[3]
K. M.
George, ”Ecclesiology in The Orthodox Tradition”, dalam
G. Mannion (eds.), The Routledge Companion to The Christian Church, Routledge, Madison Ave 2008, 167.
[4] M. Keene , Kristianitas, Kanisius, Yogyakarta 2006,
71.
[5] Keadaan
politik di Jerman menolong Luther, terlebih dari Kerajaan Saksen – wilayah
tempat tinggalnya – yang dipimpin oleh Raja Friedrich, memberi perlindungan
kepada Luther.
[6] R. Saarinen, “Lutheran
Ecclesiology”, dalam G. Mannion (eds.), The Routledge Companion To The Christian Church, Routledge, Madison Ave 2008, 171.
[7] R. Saarinen, “Lutheran
Ecclesiology”, 184.
[8] Pada
tahun 1533, John Calvin mengalami kebangunan rohani dengan memutuskan
hubungannya dengan Gereja Katolik dan menjadi media berdirinya Gereja Reformasi
di Switzerland.
[9] Ulrich Zwingli
(1484-1531) mempertahankan keunggulan Kitab Suci dalam banyak hal. Ia
menegaskan bahwa praktik-praktik agama Katolik (penghormatan kepada para kudus,
selibat, hidup membiara, indulgensi dan absolusi) merupakan daya cipta manusia
belaka.
[10] M.
Keene, Kristianitas, 70-71.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar