Rama sebagai
Konselor
Rama sebagai Konselor adalah sebuah tulisan yang bagi saya adalah sebuah pengalaman dan hasil pendidikan
selama kuliah konseling. Dalam tulisan ini saya berusaha untuk menyampaikan beberapa
hal penting yang diterima selama proses perkuliahan konseling. Beberapa hal itu
dikatakan penting tidak hanya sebatas pada ranah pemenuhan nilai saja melainkan
yang lebih utama adalah saya dapat men-share-kan
sebuah pemahaman yang sangat berguna bagi tugas pelayanan saya sebagai pribadi yang
akan menjadi imam-religius. Dengan kata lain, materi yang akan saya sampaikan
ini merupakan suatu hal yang relefan bagi perjalanan panggilan imamat saya
kelak!
1.
Latar
Belakang
“Romo …,
bisakah saya berbicara dengan Romo sebentar. Soalnya, saya sedang mengalami masalah dengan isteri saya”!
Keluhan pengalaman seperti itu sepertinya telah menjadi hal yang sangat
familiar bila mengaitkannya dengan keberadaan seorang romo/pastor yang berkarya
di mana pun, terlebih yang berkarya di paroki. Seorang semanaris/frater yang
telah ditahbiskan menjadi seorang romo adalah sebuah anugerah yang menjadikan
pribadi itu menjadi pribadi yang memiliki nilai lebih di mata umat Gereja. Romo
menjadi pribadi yang lebih di mata umat karena ia menjadi pribadi yang dinomor
satukan; seorang pribadi yang sesuai dengan tugas perutusan menjadi gembala
bagi umat Allah.
Romo adalah figur utama Gereja yang menjadi orang
kepercayaan bagi umat. Maka menjadi hal yang lumrah dan biasa bila menemukan
sebuah keluhan seperti pada paragraf awal tadi yang menceritakan kedatangan
seorang umat kepada romonya. Umat yang sedang mengalami masalah (dengan istrinya
itu) berharap bahwa pastornya dapat membantu dan mengatasi masalah yang sedang
dihadapi. Romo telah mendapatkan nilai kepercayaan di mata umat! Mungkin,
pengalaman atau kasus seperti pada bagian awal tadi adalah satu di antara
banyak kasus yang dihadapai oleh seorang romo dalam karyanya. Berhadapan dengan
situasi familiar - bahwa romo adalah seorang figur kepercayaan - yang sering
dijumpai dalam pengalaman pastoral, maka bagi saya secara pribadi menilai bahwa
seorang romo harus membekali dirinya tidak hanya dengan pengetahuan
filsafat-teologi saja! Seorang romo haruslah juga membekali dirinya dengan
pengetahuan tentang dunia konseling karena ia akan berhadapan dengan situasi
Gereja yang kompleks, di antaranya adalah menghadapi umat yang sedang mengalami
permasalahan dengan kehidupan duniawi-dengan sesama, seperti pada contoh kasus
di atas. Situasi demikianlah yang
menuntut seorang romo untuk harus juga menjadi seorang konselor!
Situas di
lapangan pastoral memanglah situasi yang tak terduga. Seorang romo tidak dapat
secara eksplisit memperkirakan permasalahan umat yang akan dihadapinya. Dengan
memiliki potensi sebagai konselor, seorang romo diharapkan mampu untuk dapat
menghadapi situasi insidental yang dialami oleh umat. Pengetahuan yang cukup
tentang dunia konseling setidaknya memberikan sumbangan lebih bagi seorang romo
untuk memberikan pelayanan “insidental” kepada umat (klien) yang mengalami
masalah bila meminta bantuan. Lantas, manuver apa yang seharusnya dapat
diberikan oleh seorang romo-konselor dalam “kamar tamu”-nya bila berhadapan
dengan umat yang memiliki masalah cukup kompleks? Langkah apa yang secara tepat
dapat dilakukan bila umat yang datang kepada romo (dengan masalahnya) dalam
keadaan insidental? Pada bagian selanjutnya akan ditampilkan beberapa poin yang
bagi saya memberikan sumbangan pengatahuan konseling untuk membantu dalam tugas
pelayanan-pastoral ke depan, terutama bagi saya!
2.
Rama sebagai
Konselor
Ketika seorang romo berkecimpung dalam dunia karya,
entah yang bertugas di dunia pendidikan, karya kategorial, formasio (masa
pembentukan bagi para calon), hingga sampai pada pelayanan pastoral-parokial,
akan tidak luput dari perjumpaan dengan umat Gereja. Perjumpaan dengan umat
inilah yang tidak menutup kemungkinan atas pandangan bahwa sosok seorang romo
adalah sosok yang diutamakan dalam kehidupan umat. Maka, akan menjadi hal yang
dapat diterima bila umat melihat romonya adalah seorang pribadi yang diharapkan
mampu untuk membimbing dan mengarahkan perjalanan domba gembalaannya. Bahkan, tidak dapat disangkal pula bila
umat yang sedang mengalami permasalahan datang kepada seorang romo. Kepercayaan
inilah yang sebenarnya memberi entry
point untuk memiliki kepercayaan dari umat yang digembalakannya. Namun
permasalahannya, mampukan seorang romo memiliki potensi untuk menghadapai umat
dengan pelbagai keperluan dan permasalahannya? Atas dasar inilah menjadi hal
yang sangat relevan bila sang romo dengan pelayanan “kamar tamu”-nya memberikan
sumbangan positif bagi domba yang datang kepadanya. Atas dasar itu pula yang
menuntut seorang romo untuk menyediakan diri untuk menjadi seorang konselor.
Tuntutan inilah yang mendasari sebab di jaman yang terus berkembang, umat tidak
hanya berhadapan dengan permasalahan iman melainkan juga dengan permasalahan
yang bersinggungan langsung dengan kehidupan duniawi (permasalahan dengan
keluarga, tetangga, ekonomi, pendidikan, mentalitas pribadi, emosional dan lain
sebagainya).
Yang perlu dihindari
“Waah …, Romo …, saya sangat kecewa dengan
kedua orang tua saya karena mereka tidak mengerti betapa saya sedih tatkala
mereka tidak merestui hubungan saya dengan Hana!”, begitulah salah satu
dari sekian contoh-contoh permasalahan/kasus yang dimiliki oleh umat yang
datang kepada romo. Kasus itu adalah salah satu dari antara mudika yang sedang
mengalami masalah dalam praksis kehidupan. Permasalahan yang dimiliki umat
semakin kompleks dan beraneka ragam sesuai dengan umur serta status sosialnya
dalam masyarakat. Maka yang datang untuk meminta bimbingan kepada romo
sangatlah sulit untuk diprediksikan. Oleh karena itu, romo pun harus siap untuk
menghadapi umat yang datang kepadanya!
Menghadapai situasi yang menuntut romo untuk
memberikan bantuan kepada uamt yang sedang mengalami sebuah masalah bukanlah
hal yang mudah. Romo tidak hanya
dituntut untuk memberikan sesuatu dan umat pasti puas! Figur romo diharapkan
dapat menjadi lebih dari sekadar romo; romo yang mampu menjadi seorang konselor
sehingga siap dalam menghadapi umat (klien). Namun sayangnya, bila umat yang
bermasalah datang kepada romo dengan pelbagai permasalahannya malah ditanggapi
dengan tanggapan yang tidak berbobot! Artinya, umat hanya mendapatkan peneguhan
saja sehingga masalah yang seharusnya diselesaikan tidak tersentuh. Begitulah
kiranya bila figur seorang romo dalam tugas pelayanannya hanya mengandalkan
kemampuan pengetahuan rasio-reflektif saja! Umat yang datang sebenarnya
membutuhkan tanggapan empatik akan tetapi dijamu dengan tanggapan non-empatik
dari romo. Tanggapan non-empatik itu dapat menghalangi komunikasi yang lebih
dalam (the roadblocks to communication)
sehingga mengakibatkan terhalangnya umat (sebagai mitra komunikasi-MK/konseli)
untuk mengungkapkan perasaan dan persoalannya kepada romo (pembimbing/P). Oleh
karena itu, menjadi hal yang penting untuk mengenali tanggapan non-empatik itu
sehingga romo tidak mengecewakan umat yang datang kepadanya. Beberapa
tanggapan non-empatik itu adalah:
a) Mempersamakan persoalan MK dengan P
sendiri atau dengan persoalan orang lain.
Apabila P berkata: “Saya dulu
juga pernah demikian!”, maka MK akan mendapat kesan bahwa persoalannya dianggap
tidak istimewa. Demikian pula jika P berkata tentang persamaan pengalaman MK
dengan pengalaman orang lain: “Ibu saya dulu juga memiliki pengalaman yang sama
denganmu!”, maka yang akan terjadi adalah yang menjadi pusat dalam bimbingan
bukan lagi MK melainkan P. Situasi demikian “mematikan” MK untuk mengungkapkan
semua perasaan atau persoalaan yang dimiliki.
b) Menganggap persoalan MK sebagai persoalan
umum dan biasa.
Kalau P menanggap dan menilai
bahwa permasalahan MK sebagai permasalahan yang umum serta biasa dengan
berkata, “Ah …, itu biasa”, maka MK
tidak akan melanjutkan pembicaraannya. Tanggapan, “Ah …, itu biasa” tidak akan menghapus perasaan atau persoalan yang
dihadapi MK. Tanggapan demikian hanya menghentikan percakapan dalam bimbingan
sehingga komunikasi yang diharapkan pun tidak terjadi.
c)
Menyebutkan suatu kebenaran.
Apabila dalam suatu saat umat mengungkapkan kesedihannya karena adiknya
meninggal dunia mendengar P berkata: “Allah telah menerima adikmu di surga”! Tanggapan
seperti itu rasanya hanyalah nasihat pada tarap pikiran-akal saja dan bukan
untuk mengobati perasaan-permasalahan. Tanggapan seperti itu sebenarnya benar
namun tidak tepat dengan situasi yang sedang dihadapi oleh umat sebab umat itu
tidak membutuhkan nasihat surgawi saja melainkan sebuah perhatian penuh dari
sang gembalanya!
d)
Mengadili.
Apabila P memberi tanggapan “Itu benar”, “Saya sangat setuju dan
sependapat denganmu”, “Itu sangat bijaksana”, sebenarnya P sudah mengadili MK.
Walaupun tanggapan itu sepertinya memberikan pujian terhadap persoalan yang
dihadapi MK namun akan berakibat bahwa MK berfikir kembali untuk melanjutkan sharing persoalannya. MK khawatir bahwa
apabila dalam pembicaraan selanjutnya ia menungkapkan perasaan/pernyataan
negatif, P juga akan mengadilinya dengan pernyataan yang negatif pula. Dalam
hal demikian, P seringkali dianggap sebagai romo yang menghakimi atau mengadili
orang yang mencurahkan perasaan/persoalan kepadanya.
e) Memberikan pertolongan rohani sebelum
waktunya.
Sebuah kalimat atau pernyataan
yang dapat menghentikan pembicaran dalam bimbingan kamar tamu romo adalah
kalimat rohani: ayat Kitab Suci, kebenaran Kitab Suci, renungan pendek dan doa.
Itu semua adalah baik namun kurang tepatlah bila diungkapkan dalam situasi
bimbingan dengan uamt yang sedang mengalami permasalahan. Maka langkah yang
lebih baik dalam bimbingan adalah tidak langsung memberikan pertolongan rohani
kepada MK melainkan terlebih dahulu perasaan dan pergolakan batin MK ditangkap,
dipahami dan dipantulkan dalam bantuan yang tepat.
f)
Menasihati.
Salah satu yang sering dijumpai dalam kegiatan bimbingan adalah
menasihati. P langsung memberikan nasihat kepada MP pada bagian awal pembicaraan
tanpa memahami lebih lanjut permasalahan yang dihadapi. Padahal, dalam keadaan
seperti itu MK sebenarnya lebih membutuhkan pengertian dan pemahaman dari P
(romo) sehingga ia dengan leluasa dapat mengungkapkan perasaan/persoalan yang
dihadapinya.
Dengan mengetahu beberapa tanggapan non-empatik dalam
bimbingan yang harus dihindari, seorang romo diharapkan mampu untuk memberikan
yang terbaik bagi umat yang dibimbingnya. Seorang romo yang berhadapan dengan
klien/umatnya sendiri diharapkan tahu akan situasi umat sehingga ia bersedia
untuk menjadi pendengar setia untuk memahami apa yang sedang dikeluhkan oleh
umat. Oleh karena itu, kecenderungan yang biasa terjadi dalam praktik kamar
tamu dengan memberikan tanggapan-tanggapan non-empatik dapat dihindari sehingga
umat dengan rela hati untuk mengungkapkan seluruh perasaan akibat permasalahan
yang sedang dihadapi. Mengindari beberapa tanggapan non-empatik adalah sebuah
manuver tepat bagi seorang romo untuk melangkah maju menjadi konselor bila
berhadapan dengan umat-klien yang sedang mengalami permasalahan yang sedang
dihadapi.
Menjadi konselor
Adapun langkah selanjutnya (setelah menghindari
beberapa tanggapan non-empatik), seorang romo dimampukan untuk memiliki potensi
menjadi seorang konselor dengan memperhatikan beberapa aspek pelancar
komunikasi. Aspek-aspek itulah yang menjadi sebuah modal untuk membangun
komunikasi yang efektif dengan umat yang meminta bimbingan dengannya. Dengan
kata lain, selain memperhatikan beberapa tanggapan yang harus dihindari,
seorang romo dalam kegiatan bimbingannya juga harus memperhatikan beberapa
tanggapan yang konstruktif untuk membangun penerimaan dan pemahaman umat yang
dibimbing.
Ketika umat datang kepada romonya dengan meminta agar
mendapat bantuan atau setidaknya mendapat perhatian, maka langkah pertama yang
seharusnya dilakukan adalah dengan mendengar pasif/diam. Ada pepatah yang mengatakan “silence is golden”. Dengan sikap diam
yang dimiliki, seorang romo memberikan kesempatan kepada umat yang sedang
mengalami masalah itu untuk mengungkapkan masalahnya, memberi kesempatan untuk
mengalami proses katarsis dan meluapkan/mengungkapkan perasaan/emosinya dan
yang lebih penting ialah bahwa ia diterima dengan hangat. Selanjutnya, romo
berusaha untuk memberikan tanggapan pengakuan-penerimaan (acknowledgment respons) dengan isyarat non-verbal (mengangguk,
tersenyum, dan menunduk ke arah depan) maupun verbal (dengan berkata, “Ya …,
saya mengerti”, “Oo …, begitu…”). Ketika
umat tadi telah merasa nyaman dengan tanggapan penerimaan yang diberikan maka
romo kemudian mengajaknya untuk membuka pintu atau mengundang/mengajaknya untuk
bicara lebih banyak.
Ketiga langkah di atas adalah cara mendengarkan
pengungkapan perasaan/persoalan umat dalam bimbingan yang masih memiliki
keterbatasannya. Ketiga langkah
dasar dalam bimbingan tadi kurang memperlihatkan interaksi. Bila diperhatikan
ternyata konseli yang lebih aktif sehingga ia hanya tahu bahwa ia didengarkan.
Namun di lain pihak, ia mungkin belum mengetahui apakah romo/konselor menerima
dirinya dengan persoalannya sebab persoalan yang lebih mendalam dan penyebab
dari persoalannya belum tergali. Ketiga cara awal itu kiranya masih relatif dan
termasuk pasif serta tidak menunjukkan bahwa umat sudah dipahami. Oleh karena
itu, akan menjadi tidak lengkaplah bila seorang romo dalam kegiatan bimbingannya
hanya mempraktikkan ketiga cara tadi. Seorang romo bila telah mempraktikkan
aspek-aspek tanggapan konstruktif - seperti dalam ketiga langkah tadi -
sebenarnya telah membangun sebuah komunikasi yang baik dengan konseli. Hanya
saja masih dibutuhkan satu hal lagi yang kiranya menjadi senjata utama untuk menghadapi
umat yang bermasalah, yakni: mendengarkan aktif (acktve listening)!
Mendengarkan
aktif (acktve listening) merupakan
sebuah langkah yang sangat diperlukan dalam proses bimbingan yang diberikan
romo kepada umat yang datang kepadanya dengan aneka permasalahan. Sekalipun
bagi seorang romo, kegiatan bimbingan adalah sebuah kegiatan yang tidak dapat
diprediksikan/insidental maka setidaknya mendengarkan aktif harus dimilikinya. Langkah
ini sangat penting karena dalam mendengarkan aktif, penerima/ pendengar
berusaha mengerti perasaan pembicara serta arti pesan yang dikirimkannya. Kemudian
pengertian yang ditangkap itu dirumuskan dalam kalimat dan dikirimkan kembali
kepada pengirim. Hal yang perlu diperhatikan adalah penerima (romo) tidak
mengirimkan pesannya sendiri (misal: penilaian, nasihat, analisa dan
pertanyaan). Yang mejadi tanggapan balik hanyalah apa yang dianggapnya sebagai
arti pesan dari si pengirim. Bagian yang menjadi umpan balik adalah untuk
menyesuaikan ketepatan si penerima dalam mendengarkan sharing si pengirim. Hal ini yang yang dapat meyakinkan pengirim
(umat) bahwa ia dimengerti oleh romo pada saat ia mendengar pesannya ”diumpan
balikkan” dengan tepat. Dengan kata lain bahwa umat yang mengungkapkan perasaan
atas permasalahan yang dihadapi menyadari ”dipahami” oleh romonya.
Mendengarkan
aktif (acktve listening) membantu
romo sebagai konselor untuk mengembangkan hubungan hangat dengan umat (klien);
mendorong terjadinya katarsis (perasaan negatif berkurang/hilang dengan jalan
mengungkapkannya secara terbuka); menolong umat untuk tidak terlalu takut
terhadap permasalahan yang dihadapi; dan pada akhirnya melatih umat itu sendiri
untuk mengarahkan dirinya, bertanggung jawab dan berdiri sendiri. Dengan
demikian, memudahkan umat yang bermasalah untuk memecahkan masalahnya sendiri!
Berikut ini
adalah sebuah contoh konkrit yang menunjukkan bagaimana seorang romo yang
menolong mudikanya dengan jalan mendengarkan aktif:
Budi : “Romo ..., Hana tidak bersedia untuk
menemani saya pergi ke Gamping untuk pertemuan mudika!”
Romo : “Kamu sepertinya marah ya dengan Hana?”
Budi : “Ya Romo ..., saya tidak ingin berteman
lagi dengan dia. Saya tidak sudi untuk menemuinya!”
Romo : “Kamu begitu marah sehingga tidak mau untuk
berteman dan melihatnya lagi?”
Budi : ”Em
..., saya kira saya harus tetap berteman dengan dia tapi ..., sulit Romo untuk menahan emosi marah saya ini!”
Romo : ”Kamu ingin tetap berteman dengannya tapi
merasa sulit untuk tidak marah terhadap Hana!”
Budi : ”Sebenarnya saya tidak perlu untuk marah,
kalau dia bersedia untuk menemani saya!”
Romo : ”Hana tidak mudah untuk diperintah sesuai
dengan kehendakmu sekarang!”
Budi : ”Benar. Ia sekarang bukan anak kecil lagi
sebab ia sudah menjadi remaja dewasa dan sepertinya
dia adalah pribadi yang menyenangkan!”
Romo : ”Kamu lebih menyukainya?”
Budi : ”Ya ..., tapi saya merasa sulit untuk
mengajaknya. Saya sudah terbiasa untuk selalu mengajaknya pergi. Em ..., mungkin kami akan tidak saling
bermusuhan bila saya membiarkannya untuk tidak harus
menemani saya. Bukankah begitu Romo ...?”
Romo : ”Ya ..., bila kamu mencoba untuk mengalah
kiranya situasi ini akan menjadi lebih baik.”
Budi : ”Ya ..., mungkin saja hal itu dapat
terjadi. Saya akan mencobanya!”
Pada bagian percakapan itu terlihat bagaimana romo terus menerus
menggunakan mendengarkan aktif sehingga masalah yang dihadapi tetaplah menjadi
masalah Budi. Dengan mendengarkan aktif, romo membantu Budi untuk mengurangi/menghilangkan
rasa marah dan mengajaknya untuk mulai mengadakan pemecahan persoalan dengan
melihat dirinya secara lebih mendalam. Keadaan itulah yang pada akhirnya
menghantarkan Budi untuk sampai pada penyelesaian masalah dan berkembang
menjadi seorang yang bertanggung jawab serta mengarahkan pemecahan persoalan
sendiri. Inilah letak manfaat dalam mendengarkan aktif bila seorang romo
menerapkannya dalam kegiatan bimbingan dengan umat yang sedang mengalami sebuah
permasalahan.
3. Siap Menjadi Konselor!
Jaman semakin
berkembang dan peradaban komunitas umat Gereja pun tidak akan terlepas dari
pengaruhnya. Saya menyadari bahwa kehidupan saya kelak - tatkala setelah
ditahbiskan menjadi seorang imam/romo - harus berhadapan dengan situasi umat
yang beraneka ragam dengan perlbagai permasalahan hidup yang dihadapi. Memang
benar bila seorang romo memiliki kepercayaan di mata umat sehingga tidak dapat
disangkal jika suatu saat umat yang digembalakan mengalami permasalahan akan
datang kepada gembala, yakni romonya. Situasi demikianlah yang menunjukkan
bahwa tidaklah cukup bagi saya (bila telah menjadi imam nanti) hanya
mendasarkan pelayanan pada ranah filosofis-teologis saja; hanya berkarya di
sekitar altar! Umat tidak hanya membutuhkan siraman rohani saja. Seorang imam
pun dalam tugas pelayanannya juga harus memperhatikan seluruh aspek kehidupan
umat secara holistik, termasuk bersinggungan dengan kehidupan awam yang
berhadapan pada permasalahan hidup (mental, sosial, ekonomi dan lainnya).
Dengan melihat
situasi umat ke depan yang demikian dan juga didukung dengan pengetahuan yang
telah saya peroleh dalam mata kuliah koseling, secara pribadi saya menyadari
betapa pentingnya diri saya untuk juga menerapkan materi ini dalam tugas
pelayanan kelak. Saya menyadari pentingnya hal itu karena sudah menjadi hal
familiar bila ada umat yang sedang mengalami permasalahan akan datang kepada
romonya. Berbekalkan anugerah panggilan dan disertai dengan pengetahuan dasar
tentang konseling (seperti beberapa poin yang saya tuliskan dalam bagian atas)
menjadikan saya siap untuk memberikan pelayanan kepada umat Allah yang
dipercayakan kepada saya kelak. Di samping menjadi seorang imam-religius, saya
pun siap untuk menjadi konselor!
* * *
Daftar Pustaka
Prayitno, H., - Erman Amti
1999
Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, Pusat Pembukuan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan PT Rineka Cipta,
Jakarta.
Sinurat,
R. H. Dj.,
2010
Konseling-Hand Out, Fakultas Teologi – Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.