Selasa, 21 Maret 2017

TENTANG TRITUNGGAL


Dalam pemahaman iman orang Kristen (Katolik), keberadaan Allah Tritunggal merupakan sebuah keyakinan iman yang sangat mendasar. Dalam “tiga cara berada-Nya”, Allah diimani sebagai Allah Bapa, sebagai Yesus Kristus dan sebagai Roh Kudus (Rohul Kudus). Jikalau ingin membedakannya (bukan memisahkan dan memang tidak terpisahkan) adalah sebagai berikut: Allah, yang dengan kata lain disebut Bapa, yaitu Allah Khalik, Pencipta langit dan bumi (Kej 2:3, Mat 11:25, Kis 4:24); Firman-Nya yang disebut sebagai Anak dalam Diri Yesus Kristus (Yoh 1:1-3.14, Kol 1:15); dan Roh-Nya yang juga disebut Roh Allah, ialah Roh Pembimbing (Al Hidayat) bagi setiap orang yang bertaqwa di jalan kebenaran Allah menurut Firman-Nya (Kis 9:31, 1 Kor 3:16). Inilah Realitas misteri: yaitu Allah, Firman-Nya dan Roh-Nya yang adalah Satu dalam Zat Allah Yang Maha Esa serta tak terpisahkan; inilah Tritunggal atau Trinitas. Pengertian Allah Tritunggal, tanpa mengambil perumpamaan, sebenarnya sudah jelas tergambar dalam rangkaian: Allah, Firman dan Roh Kudus. Dari ketiga nama ini tidak dapat dipisahkan dari Satu Zat Allah yang Esa, tetapi satu sama lain memang harus dibedakan. Allah yang disebut Bapa adalah Al Khalik, Pencipta atas semesta alam. Dengan Firman-Nya, Allah melaksanakan kehendak-Nya melalui lidah para nabi dan kemudian menjadi wujud dalam kelahiran-Nya pada Diri manusia Yesus Kristus, Anak, sebagai Firman Allah yang hidup. Dengan Roh-Nya, Allah memberikan pimpinan (hidayat) kepada setiap orang yang bertaqwa kepada-Nya sampai pada kesudahan alam. Pengertian ini dapat dibandingkan dengan ayat Al Quran: “[…] namanya Al Masih Isa putera Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah)” (Ali Imran 45) dan “Sesungguhnya Al Masih, Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya” (An Nisaa 171).


Daftar Pustaka:
H. Ambrie,
            1983    Dialog Tertulis Islam-Kristen, Sinar Kasih, Jakarta.

            1983    Pandangan Kiblat: Keyakinan Trinitas di dalam Dunia Kristen, Sinar Kasih, Jakarta.
Rama sebagai Konselor

Rama sebagai Konselor adalah sebuah tulisan yang bagi saya adalah sebuah pengalaman dan hasil pendidikan selama kuliah konseling. Dalam tulisan ini saya berusaha untuk menyampaikan beberapa hal penting yang diterima selama proses perkuliahan konseling. Beberapa hal itu dikatakan penting tidak hanya sebatas pada ranah pemenuhan nilai saja melainkan yang lebih utama adalah saya dapat men-share-kan sebuah pemahaman yang sangat berguna bagi tugas pelayanan saya sebagai pribadi yang akan menjadi imam-religius. Dengan kata lain, materi yang akan saya sampaikan ini merupakan suatu hal yang relefan bagi perjalanan panggilan imamat saya kelak!

1.      Latar Belakang
Romo …, bisakah saya berbicara dengan Romo sebentar. Soalnya, saya  sedang mengalami masalah dengan isteri saya”! Keluhan pengalaman seperti itu sepertinya telah menjadi hal yang sangat familiar bila mengaitkannya dengan keberadaan seorang romo/pastor yang berkarya di mana pun, terlebih yang berkarya di paroki. Seorang semanaris/frater yang telah ditahbiskan menjadi seorang romo adalah sebuah anugerah yang menjadikan pribadi itu menjadi pribadi yang memiliki nilai lebih di mata umat Gereja. Romo menjadi pribadi yang lebih di mata umat karena ia menjadi pribadi yang dinomor satukan; seorang pribadi yang sesuai dengan tugas perutusan menjadi gembala bagi umat Allah.
Romo adalah figur utama Gereja yang menjadi orang kepercayaan bagi umat. Maka menjadi hal yang lumrah dan biasa bila menemukan sebuah keluhan seperti pada paragraf awal tadi yang menceritakan kedatangan seorang umat kepada romonya. Umat yang sedang mengalami masalah (dengan istrinya itu) berharap bahwa pastornya dapat membantu dan mengatasi masalah yang sedang dihadapi. Romo telah mendapatkan nilai kepercayaan di mata umat! Mungkin, pengalaman atau kasus seperti pada bagian awal tadi adalah satu di antara banyak kasus yang dihadapai oleh seorang romo dalam karyanya. Berhadapan dengan situasi familiar - bahwa romo adalah seorang figur kepercayaan - yang sering dijumpai dalam pengalaman pastoral, maka bagi saya secara pribadi menilai bahwa seorang romo harus membekali dirinya tidak hanya dengan pengetahuan filsafat-teologi saja! Seorang romo haruslah juga membekali dirinya dengan pengetahuan tentang dunia konseling karena ia akan berhadapan dengan situasi Gereja yang kompleks, di antaranya adalah menghadapi umat yang sedang mengalami permasalahan dengan kehidupan duniawi-dengan sesama, seperti pada contoh kasus di atas. Situasi demikianlah yang menuntut seorang romo untuk harus juga menjadi seorang konselor!
Situas di lapangan pastoral memanglah situasi yang tak terduga. Seorang romo tidak dapat secara eksplisit memperkirakan permasalahan umat yang akan dihadapinya. Dengan memiliki potensi sebagai konselor, seorang romo diharapkan mampu untuk dapat menghadapi situasi insidental yang dialami oleh umat. Pengetahuan yang cukup tentang dunia konseling setidaknya memberikan sumbangan lebih bagi seorang romo untuk memberikan pelayanan “insidental” kepada umat (klien) yang mengalami masalah bila meminta bantuan. Lantas, manuver apa yang seharusnya dapat diberikan oleh seorang romo-konselor dalam “kamar tamu”-nya bila berhadapan dengan umat yang memiliki masalah cukup kompleks? Langkah apa yang secara tepat dapat dilakukan bila umat yang datang kepada romo (dengan masalahnya) dalam keadaan insidental? Pada bagian selanjutnya akan ditampilkan beberapa poin yang bagi saya memberikan sumbangan pengatahuan konseling untuk membantu dalam tugas pelayanan-pastoral ke depan, terutama bagi saya!

2.      Rama sebagai Konselor
Ketika seorang romo berkecimpung dalam dunia karya, entah yang bertugas di dunia pendidikan, karya kategorial, formasio (masa pembentukan bagi para calon), hingga sampai pada pelayanan pastoral-parokial, akan tidak luput dari perjumpaan dengan umat Gereja. Perjumpaan dengan umat inilah yang tidak menutup kemungkinan atas pandangan bahwa sosok seorang romo adalah sosok yang diutamakan dalam kehidupan umat. Maka, akan menjadi hal yang dapat diterima bila umat melihat romonya adalah seorang pribadi yang diharapkan mampu untuk membimbing dan mengarahkan perjalanan domba gembalaannya. Bahkan, tidak dapat disangkal pula bila umat yang sedang mengalami permasalahan datang kepada seorang romo. Kepercayaan inilah yang sebenarnya memberi entry point untuk memiliki kepercayaan dari umat yang digembalakannya. Namun permasalahannya, mampukan seorang romo memiliki potensi untuk menghadapai umat dengan pelbagai keperluan dan permasalahannya? Atas dasar inilah menjadi hal yang sangat relevan bila sang romo dengan pelayanan “kamar tamu”-nya memberikan sumbangan positif bagi domba yang datang kepadanya. Atas dasar itu pula yang menuntut seorang romo untuk menyediakan diri untuk menjadi seorang konselor. Tuntutan inilah yang mendasari sebab di jaman yang terus berkembang, umat tidak hanya berhadapan dengan permasalahan iman melainkan juga dengan permasalahan yang bersinggungan langsung dengan kehidupan duniawi (permasalahan dengan keluarga, tetangga, ekonomi, pendidikan, mentalitas pribadi, emosional dan lain sebagainya).
Yang perlu dihindari
Waah …, Romo …, saya sangat kecewa dengan kedua orang tua saya karena mereka tidak mengerti betapa saya sedih tatkala mereka tidak merestui hubungan saya dengan Hana!”, begitulah salah satu dari sekian contoh-contoh permasalahan/kasus yang dimiliki oleh umat yang datang kepada romo. Kasus itu adalah salah satu dari antara mudika yang sedang mengalami masalah dalam praksis kehidupan. Permasalahan yang dimiliki umat semakin kompleks dan beraneka ragam sesuai dengan umur serta status sosialnya dalam masyarakat. Maka yang datang untuk meminta bimbingan kepada romo sangatlah sulit untuk diprediksikan. Oleh karena itu, romo pun harus siap untuk menghadapi umat yang datang kepadanya!
Menghadapai situasi yang menuntut romo untuk memberikan bantuan kepada uamt yang sedang mengalami sebuah masalah bukanlah hal yang mudah. Romo tidak hanya dituntut untuk memberikan sesuatu dan umat pasti puas! Figur romo diharapkan dapat menjadi lebih dari sekadar romo; romo yang mampu menjadi seorang konselor sehingga siap dalam menghadapi umat (klien). Namun sayangnya, bila umat yang bermasalah datang kepada romo dengan pelbagai permasalahannya malah ditanggapi dengan tanggapan yang tidak berbobot! Artinya, umat hanya mendapatkan peneguhan saja sehingga masalah yang seharusnya diselesaikan tidak tersentuh. Begitulah kiranya bila figur seorang romo dalam tugas pelayanannya hanya mengandalkan kemampuan pengetahuan rasio-reflektif saja! Umat yang datang sebenarnya membutuhkan tanggapan empatik akan tetapi dijamu dengan tanggapan non-empatik dari romo. Tanggapan non-empatik itu dapat menghalangi komunikasi yang lebih dalam (the roadblocks to communication) sehingga mengakibatkan terhalangnya umat (sebagai mitra komunikasi-MK/konseli) untuk mengungkapkan perasaan dan persoalannya kepada romo (pembimbing/P). Oleh karena itu, menjadi hal yang penting untuk mengenali tanggapan non-empatik itu sehingga romo tidak mengecewakan umat yang datang kepadanya. Beberapa tanggapan non-empatik itu adalah:
a)      Mempersamakan persoalan MK dengan P sendiri atau dengan persoalan orang lain.
Apabila P berkata: “Saya dulu juga pernah demikian!”, maka MK akan mendapat kesan bahwa persoalannya dianggap tidak istimewa. Demikian pula jika P berkata tentang persamaan pengalaman MK dengan pengalaman orang lain: “Ibu saya dulu juga memiliki pengalaman yang sama denganmu!”, maka yang akan terjadi adalah yang menjadi pusat dalam bimbingan bukan lagi MK melainkan P. Situasi demikian “mematikan” MK untuk mengungkapkan semua perasaan atau persoalaan yang dimiliki.
b)      Menganggap persoalan MK sebagai persoalan umum dan biasa.
Kalau P menanggap dan menilai bahwa permasalahan MK sebagai permasalahan yang umum serta biasa dengan berkata, “Ah …, itu biasa”, maka MK tidak akan melanjutkan pembicaraannya. Tanggapan, “Ah …, itu biasa” tidak akan menghapus perasaan atau persoalan yang dihadapi MK. Tanggapan demikian hanya menghentikan percakapan dalam bimbingan sehingga komunikasi yang diharapkan pun tidak terjadi.
c)      Menyebutkan suatu kebenaran.
Apabila dalam suatu saat umat mengungkapkan kesedihannya karena adiknya meninggal dunia mendengar P berkata: “Allah telah menerima adikmu di surga”! Tanggapan seperti itu rasanya hanyalah nasihat pada tarap pikiran-akal saja dan bukan untuk mengobati perasaan-permasalahan. Tanggapan seperti itu sebenarnya benar namun tidak tepat dengan situasi yang sedang dihadapi oleh umat sebab umat itu tidak membutuhkan nasihat surgawi saja melainkan sebuah perhatian penuh dari sang gembalanya!
d)     Mengadili.
Apabila P memberi tanggapan “Itu benar”, “Saya sangat setuju dan sependapat denganmu”, “Itu sangat bijaksana”, sebenarnya P sudah mengadili MK. Walaupun tanggapan itu sepertinya memberikan pujian terhadap persoalan yang dihadapi MK namun akan berakibat bahwa MK berfikir kembali untuk melanjutkan sharing persoalannya. MK khawatir bahwa apabila dalam pembicaraan selanjutnya ia menungkapkan perasaan/pernyataan negatif, P juga akan mengadilinya dengan pernyataan yang negatif pula. Dalam hal demikian, P seringkali dianggap sebagai romo yang menghakimi atau mengadili orang yang mencurahkan perasaan/persoalan kepadanya.
e)      Memberikan pertolongan rohani sebelum waktunya.
Sebuah kalimat atau pernyataan yang dapat menghentikan pembicaran dalam bimbingan kamar tamu romo adalah kalimat rohani: ayat Kitab Suci, kebenaran Kitab Suci, renungan pendek dan doa. Itu semua adalah baik namun kurang tepatlah bila diungkapkan dalam situasi bimbingan dengan uamt yang sedang mengalami permasalahan. Maka langkah yang lebih baik dalam bimbingan adalah tidak langsung memberikan pertolongan rohani kepada MK melainkan terlebih dahulu perasaan dan pergolakan batin MK ditangkap, dipahami dan dipantulkan dalam bantuan yang tepat. 
f)       Menasihati.
Salah satu yang sering dijumpai dalam kegiatan bimbingan adalah menasihati. P langsung memberikan nasihat kepada MP pada bagian awal pembicaraan tanpa memahami lebih lanjut permasalahan yang dihadapi. Padahal, dalam keadaan seperti itu MK sebenarnya lebih membutuhkan pengertian dan pemahaman dari P (romo) sehingga ia dengan leluasa dapat mengungkapkan perasaan/persoalan yang dihadapinya.
Dengan mengetahu beberapa tanggapan non-empatik dalam bimbingan yang harus dihindari, seorang romo diharapkan mampu untuk memberikan yang terbaik bagi umat yang dibimbingnya. Seorang romo yang berhadapan dengan klien/umatnya sendiri diharapkan tahu akan situasi umat sehingga ia bersedia untuk menjadi pendengar setia untuk memahami apa yang sedang dikeluhkan oleh umat. Oleh karena itu, kecenderungan yang biasa terjadi dalam praktik kamar tamu dengan memberikan tanggapan-tanggapan non-empatik dapat dihindari sehingga umat dengan rela hati untuk mengungkapkan seluruh perasaan akibat permasalahan yang sedang dihadapi. Mengindari beberapa tanggapan non-empatik adalah sebuah manuver tepat bagi seorang romo untuk melangkah maju menjadi konselor bila berhadapan dengan umat-klien yang sedang mengalami permasalahan yang sedang dihadapi.
Menjadi konselor
Adapun langkah selanjutnya (setelah menghindari beberapa tanggapan non-empatik), seorang romo dimampukan untuk memiliki potensi menjadi seorang konselor dengan memperhatikan beberapa aspek pelancar komunikasi. Aspek-aspek itulah yang menjadi sebuah modal untuk membangun komunikasi yang efektif dengan umat yang meminta bimbingan dengannya. Dengan kata lain, selain memperhatikan beberapa tanggapan yang harus dihindari, seorang romo dalam kegiatan bimbingannya juga harus memperhatikan beberapa tanggapan yang konstruktif untuk membangun penerimaan dan pemahaman umat yang dibimbing.
Ketika umat datang kepada romonya dengan meminta agar mendapat bantuan atau setidaknya mendapat perhatian, maka langkah pertama yang seharusnya dilakukan adalah dengan mendengar pasif/diam. Ada pepatah yang mengatakan “silence is golden”. Dengan sikap diam yang dimiliki, seorang romo memberikan kesempatan kepada umat yang sedang mengalami masalah itu untuk mengungkapkan masalahnya, memberi kesempatan untuk mengalami proses katarsis dan meluapkan/mengungkapkan perasaan/emosinya dan yang lebih penting ialah bahwa ia diterima dengan hangat. Selanjutnya, romo berusaha untuk memberikan tanggapan pengakuan-penerimaan (acknowledgment respons) dengan isyarat non-verbal (mengangguk, tersenyum, dan menunduk ke arah depan) maupun verbal (dengan berkata, “Ya …, saya mengerti”, “Oo …, begitu…”). Ketika umat tadi telah merasa nyaman dengan tanggapan penerimaan yang diberikan maka romo kemudian mengajaknya untuk membuka pintu atau mengundang/mengajaknya untuk bicara lebih banyak.
Ketiga langkah di atas adalah cara mendengarkan pengungkapan perasaan/persoalan umat dalam bimbingan yang masih memiliki keterbatasannya. Ketiga langkah dasar dalam bimbingan tadi kurang memperlihatkan interaksi. Bila diperhatikan ternyata konseli yang lebih aktif sehingga ia hanya tahu bahwa ia didengarkan. Namun di lain pihak, ia mungkin belum mengetahui apakah romo/konselor menerima dirinya dengan persoalannya sebab persoalan yang lebih mendalam dan penyebab dari persoalannya belum tergali. Ketiga cara awal itu kiranya masih relatif dan termasuk pasif serta tidak menunjukkan bahwa umat sudah dipahami. Oleh karena itu, akan menjadi tidak lengkaplah bila seorang romo dalam kegiatan bimbingannya hanya mempraktikkan ketiga cara tadi. Seorang romo bila telah mempraktikkan aspek-aspek tanggapan konstruktif - seperti dalam ketiga langkah tadi - sebenarnya telah membangun sebuah komunikasi yang baik dengan konseli. Hanya saja masih dibutuhkan satu hal lagi yang kiranya menjadi senjata utama untuk menghadapi umat yang bermasalah, yakni: mendengarkan aktif (acktve listening)!
Mendengarkan aktif (acktve listening) merupakan sebuah langkah yang sangat diperlukan dalam proses bimbingan yang diberikan romo kepada umat yang datang kepadanya dengan aneka permasalahan. Sekalipun bagi seorang romo, kegiatan bimbingan adalah sebuah kegiatan yang tidak dapat diprediksikan/insidental maka setidaknya mendengarkan aktif harus dimilikinya. Langkah ini sangat penting karena dalam mendengarkan aktif, penerima/ pendengar berusaha mengerti perasaan pembicara serta arti pesan yang dikirimkannya. Kemudian pengertian yang ditangkap itu dirumuskan dalam kalimat dan dikirimkan kembali kepada pengirim. Hal yang perlu diperhatikan adalah penerima (romo) tidak mengirimkan pesannya sendiri (misal: penilaian, nasihat, analisa dan pertanyaan). Yang mejadi tanggapan balik hanyalah apa yang dianggapnya sebagai arti pesan dari si pengirim. Bagian yang menjadi umpan balik adalah untuk menyesuaikan ketepatan si penerima dalam mendengarkan sharing si pengirim. Hal ini yang yang dapat meyakinkan pengirim (umat) bahwa ia dimengerti oleh romo pada saat ia mendengar pesannya ”diumpan balikkan” dengan tepat. Dengan kata lain bahwa umat yang mengungkapkan perasaan atas permasalahan yang dihadapi menyadari ”dipahami” oleh romonya.
Mendengarkan aktif (acktve listening) membantu romo sebagai konselor untuk mengembangkan hubungan hangat dengan umat (klien); mendorong terjadinya katarsis (perasaan negatif berkurang/hilang dengan jalan mengungkapkannya secara terbuka); menolong umat untuk tidak terlalu takut terhadap permasalahan yang dihadapi; dan pada akhirnya melatih umat itu sendiri untuk mengarahkan dirinya, bertanggung jawab dan berdiri sendiri. Dengan demikian, memudahkan umat yang bermasalah untuk memecahkan masalahnya sendiri!
Berikut ini adalah sebuah contoh konkrit yang menunjukkan bagaimana seorang romo yang menolong mudikanya dengan jalan mendengarkan aktif:
Budi   : “Romo ..., Hana tidak bersedia untuk menemani saya pergi ke Gamping untuk                pertemuan mudika!”
Romo  : “Kamu sepertinya marah ya dengan Hana?”
Budi   : “Ya Romo ..., saya tidak ingin berteman lagi dengan dia. Saya tidak sudi untuk                                  menemuinya!” 
Romo  : “Kamu begitu marah sehingga tidak mau untuk berteman dan melihatnya lagi?”
Budi   : ”Em ..., saya kira saya harus tetap berteman dengan dia tapi ..., sulit Romo untuk                menahan emosi marah saya ini!”
Romo  : ”Kamu ingin tetap berteman dengannya tapi merasa sulit untuk tidak marah terhadap                 Hana!”
Budi   : ”Sebenarnya saya tidak perlu untuk marah, kalau dia bersedia untuk menemani saya!”
Romo  : ”Hana tidak mudah untuk diperintah sesuai dengan kehendakmu sekarang!”
Budi   : ”Benar. Ia sekarang bukan anak kecil lagi sebab ia sudah menjadi remaja dewasa dan                        sepertinya dia adalah pribadi yang menyenangkan!”
Romo  : ”Kamu lebih menyukainya?”
Budi   : ”Ya ..., tapi saya merasa sulit untuk mengajaknya. Saya sudah terbiasa untuk selalu                mengajaknya pergi. Em ..., mungkin kami akan tidak saling bermusuhan bila saya                membiarkannya untuk tidak harus menemani saya. Bukankah begitu Romo ...?”
Romo  : ”Ya ..., bila kamu mencoba untuk mengalah kiranya situasi ini akan menjadi lebih                            baik.”
Budi   : ”Ya ..., mungkin saja hal itu dapat terjadi. Saya akan mencobanya!”
Pada bagian percakapan itu terlihat bagaimana romo terus menerus menggunakan mendengarkan aktif sehingga masalah yang dihadapi tetaplah menjadi masalah Budi. Dengan mendengarkan aktif, romo membantu Budi untuk mengurangi/menghilangkan rasa marah dan mengajaknya untuk mulai mengadakan pemecahan persoalan dengan melihat dirinya secara lebih mendalam. Keadaan itulah yang pada akhirnya menghantarkan Budi untuk sampai pada penyelesaian masalah dan berkembang menjadi seorang yang bertanggung jawab serta mengarahkan pemecahan persoalan sendiri. Inilah letak manfaat dalam mendengarkan aktif bila seorang romo menerapkannya dalam kegiatan bimbingan dengan umat yang sedang mengalami sebuah permasalahan.

3.      Siap Menjadi Konselor!
Jaman semakin berkembang dan peradaban komunitas umat Gereja pun tidak akan terlepas dari pengaruhnya. Saya menyadari bahwa kehidupan saya kelak - tatkala setelah ditahbiskan menjadi seorang imam/romo - harus berhadapan dengan situasi umat yang beraneka ragam dengan perlbagai permasalahan hidup yang dihadapi. Memang benar bila seorang romo memiliki kepercayaan di mata umat sehingga tidak dapat disangkal jika suatu saat umat yang digembalakan mengalami permasalahan akan datang kepada gembala, yakni romonya. Situasi demikianlah yang menunjukkan bahwa tidaklah cukup bagi saya (bila telah menjadi imam nanti) hanya mendasarkan pelayanan pada ranah filosofis-teologis saja; hanya berkarya di sekitar altar! Umat tidak hanya membutuhkan siraman rohani saja. Seorang imam pun dalam tugas pelayanannya juga harus memperhatikan seluruh aspek kehidupan umat secara holistik, termasuk bersinggungan dengan kehidupan awam yang berhadapan pada permasalahan hidup (mental, sosial, ekonomi dan lainnya).
Dengan melihat situasi umat ke depan yang demikian dan juga didukung dengan pengetahuan yang telah saya peroleh dalam mata kuliah koseling, secara pribadi saya menyadari betapa pentingnya diri saya untuk juga menerapkan materi ini dalam tugas pelayanan kelak. Saya menyadari pentingnya hal itu karena sudah menjadi hal familiar bila ada umat yang sedang mengalami permasalahan akan datang kepada romonya. Berbekalkan anugerah panggilan dan disertai dengan pengetahuan dasar tentang konseling (seperti beberapa poin yang saya tuliskan dalam bagian atas) menjadikan saya siap untuk memberikan pelayanan kepada umat Allah yang dipercayakan kepada saya kelak. Di samping menjadi seorang imam-religius, saya pun siap untuk menjadi konselor!


*  *  *
Daftar Pustaka
Prayitno, H., - Erman Amti
            1999               Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, Pusat Pembukuan Departemen                              Pendidikan dan Kebudayaan dengan PT Rineka Cipta, Jakarta.
Sinurat, R. H. Dj.,
            2010               Konseling-Hand Out, Fakultas Teologi – Universitas Sanata Dharma,                                   Yogyakarta.


Rangkuman:
Al-Qur’an Sebagai Sabda Allah
Studi Kristiani Mengenai Doktrin Islam tentang Pewahyuan


Membaca buku “Al-Qur’an Sebagai Sabda Allah” adalah sebuah kerangka dari usaha untuk membuka mata secara lebar dalam melihat praksis pluralitas Indonesia. Buku ini memberikan sebuah insight yang cukup mendalam terlebih bagi saya untuk dapat memahami paham Islam (terlebih dalam pemahaman pewahyuannya) karena buku ini merupakan sebuah studi doktrin Islam tentang pewahyaun secara Kristiani. Pendalaman studi Kristiani terhadap pewahyuan Al-Qur’an sebagai Sabda Allah di dalam buku ini didukung dengan penjelasan dari beberapa pokok pemikiran yang meliputi: teks Al-Qur’an ( yang berbicara tentang asal mula hingga terbentuknya Al-Qur’an menjadi sebuah Kanon), isi pokok Al-Qur’an (yang memberi penjelasan tentang eksistensia Allah, panggilan manusia dan dunia akhirat) dan peran sentral Al-Qur’an dalam kehidupan kaum muslim.
Dengan membaca dan memahami seluruh pokok pembahasan yang ada di dalam buku, secara pribadi saya dapat mengetahui satu hal pokok yang ingin disodorkan oleh sang penulis. Hal yang pokok itu adalah inti pemahaman Islam tentang pewahyuan. Islam meyakini bahwa Allah telah mewahyukan Diri kepada manusia di dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah revelasi (wahyu) dan yang juga menjadi sebuah kitab yang memuat petunjuk Allah kepada manusia. Bahkan, penekanan terhadap revelasi dan petunjuk Allah yang termuat di dalam Al-Qur’an itu dengan jelas ditunjukkan oleh Charles J. Adam sebagai “komunikasi Allah dan manusia”, yaitu “melalui sejumlah tanda dari Allah dalam penciptaan dan melalui para nabi yang sudah diutus-Nya dengan petunjuk”. Oleh karena itu, bagi kaum muslim, Al-Qur’an yang telah diwahyukan ke dalam bahasa Arab adalah Sabda Allah yang tidak terciptakan. Sabda Allah itulah yang menjadikan Al-Qur’an memiliki peran sentral dalam kehidupan kaum muslim.
Pemahaman itu kemudian membuat saya menjadi lebih tahu tentang pemahaman Islam tentang pewahyuan. Pewahyuan ternyata juga menjadi sebuah titik awal bagi landasan agama Islam sebagaimana dengan pemahaman pewahyuan dalam agama Kristen (Katolik). Bagaiamana paham pewahyuan menurut pandangan Kristiani (Katolik)? Secara jelas dalam “Konstitusi Dogmatik tentang Wahyu Ilahi” (Dei Verbum/DV) memberikan penjelasan yang mendasar tentang pewahyuan. Dalam DV 2 dijelaskan bahwa dalam kebaikan dan kebijaksanaan-Nya, Allah berkenan mewahyukan diri-Nya dan memaklumkan rahasia kehendak-Nya; berkat rahasia itu manusia dapat menghadap Bapa melalui Kristus, Sabda yang menjadi daging, dalam Roh Kudus, dan ikut serta dalam kodrat Ilahi. Selanjutnya, DV 2 menambahkan bahwa pewahyuan Allah dan keselamatan bagi mansusia nampak dalam Kristus yang menjadi pengantara dan kepenuhan seluruh wahyu. Maka, orang-orang Kristiani percaya kepada Yesus Kristus sebagai Sabda Allah yang telah menjadi manusia dan memberikan keselamatan kepada manusia atas dosa dengan kematian dan kebangkitan-Nya serta pencurahan Roh Kudus kepada seluruh umat manusia. Pewahyuan dalam Diri Yesus dari Nazareth inilah yang pada akhirnya menjadi landasan iman Kristiani dan sekaligus menjadi titik awal serta sumber kekuatan dari misi Krisrtiani ke seluruh penjuru dunia.
Dari kedua pemahaman tentang pewahyuan (menurut Islam dan Kristen) maka dapat dipahami bahwa keduanya memiliki penekanan yang sangat jelas terhadap arti Sabda Allah. Sabda Allah menurut Islam dan Kristen secara doktrinal memiliki perbedaan: Sabda Allah dalam Islam termuat pada Al-Qur’an yang diyakini sebagai Sabda Allah yang tidak terciptakan; Sabda Allah dalam Kristen secara penuh terwahyukan dalam Yesus Kristus yang diyakini sebagai Sabda Allah yang kekal. Akan tetapi dalam perbedaan itu, ternyata memiliki sebuah sisi yang menarik bahwa Sabda Allah menurut doktrin dari keduanya memiliki sebuah “fungsi yang serupa, yakni sebagai simbolisme doktrinal tentang kehadiran Allah”. Maka, menjadi semakin spesifik bila dikatakan: Al-Qur’an bagi kaum muslim dan Yesus Kristus bagi kaum Kristen adalah “mediator” antara Allah dan manusia, realitas yang sentral dalam kehidupan dari masing-masing komunitas serta sumber dari misinya!
Akhirnya, dengan membaca “Al-Qur’an Sebagai Sabda Allah: Studi Kristiani Mengenai Doktrin Islam tentang Pewahyuan” semakin membantu saya dan setiap orang yang membacanya (terlebih kaum Kristen). Bantuan itu secara nyata dapat membuka pemahaman dengan bersemangatkan aggiornamento (dari semangat Konsili Vatikan II) untuk mencoba dan berani menggali pemahaman tentang Al-Qur’an sebagaimana yang dipahami oleh umat Islam di seluruh penjuru dunia.


*  *  *  *


DOSA ASAL
Dalam Perjalanan Sejarah Gereja


1.      Pendahuluan
Pembicaraan mengenai doktrin Gereja, terkhusus tentang dosa asal, merupakan sebuah pembicaraan teologis yang menarik. Pembicaraan tentang doktrin ini kadang menjadi sebuah pembicaraan hangat di tengah umat Katolik karena – tak jarang – mereka harus mempertahankan pandangan iman tersebut di hadapan pertanyatan-pertanyaan umat beriman lain.
Berhubung dengan praksis tersebut, dalam tulisan ini akan disampaikan uraian mengenai dosa asal dengan judul: Dosa Asal – Dalam Perjalanan Sejarah Gereja. Dalam pembahasannya, penulis akan menjawab dua pertanyaan utama: bagaimana usaha Augustinus dalam mengajarkan dosa asal ketika berhadapan dengan Pelagius?; dan bagaimana pandangan teologis Gereja (mengenai dosal asal) dalam perjalanan sejarah selanjutnya? Untuk itu, sistematika tulisan untuk menjawab dua pertanyaan tersebut akan disajikan ke dalam beberapa bagian, yakni: dosa asal: diskusi antara Augustinus dan Pelagius, pandangan Gereja (mengenai dosa asal) dalam perjalanan sejarah (dalam Konsili Kartago, Orange II, Trente dan teologi sekarang) dan diakhir dengan sebuah penutup (refleksi).

2.      Dosa asal: Diskusi antara Augustinus dan Pelagius
Selama dalam empat abad pertama Masehi, Bapa-bapa Gereja (membicarakan dosa asal secara implisit) menerima tanpa ragu historisitas dari kisah narasi dalam Kitab Kejadian (Kej 2-3) dan hubungannya antara jatuhnya Adam dan kondisi umat manusia[1]. Walaupun mereka sependapat bahwa manusia berada dalam kondisi kejatuhan dari rahmat, namun mereka memiliki analisis yang berbeda antara satu dengan yang lain. Bagi Ireneus dari Lyon (140-200), kejatuhan manusia pertama ke dalam dosa sebagai ketidaktaatan, namun yang lain mengidentifikasikannya dengan kelemahan dan ketidaktahuan dari kondisi yang mematikan (manusia) serta tidak mempertimbangkan partisipasi nyata dalam dosa Adam[2]. Yohanes Krisostomus (350–407) mendasarkan pandangannya mengenai kejatuhan Adam dengan menatapkannya pada Surat Paulus kepada Jemaat di Roma (Rom 5). Ia berpendapat bahwa bagian surat itu tidak dimaksudkan untuk menunjuk bahwa umat manusia adalah berdosa, tapi untuk menegaskan bahwa umat manusia dihukum untuk menderita dan mati oleh karena dosa yang berada di dunia.
Setelah mengalami pelbagai argumen dan pendapat yang terus berkembang, pembicaraan ini semakin hangat ketika terjadi perdebatan antara Augustinus (354–430) dan Pelagius, terlebih mengenai dosa asal. Augustinus ingin mempertahankan ajaran Gereja tersebut dengan menekankan perlunya rahmat Allah bagi keselamatan manusia. Hal itu terjadi karena baginya dari dirinya sendiri manusia tidak mampu untuk menyelamatkan diri sehingga rahmat Allah sangatlah mutlak diperlukan. Sejalan dengan pemikirannya itu, Augustinus memandang bahwa kedosaan manusia yang diterima dari Adam itulah yang kemudian dirumuskan sebagai dosa asal. Namun, Pelagius mengatakan bahwa dosa itu sesuatu yang personal dan pribadi, maka dosa Adam tidak mempunyai akibat bagi manusia yang lain, tetapi hanya berakibat bagi dirinya sendiri[3].
Augustinus menerangkan dan membela ajaran imannya mengenai dosa asal atas dasar beberapa argumen[4]. Pertama, Augustinus mendasarkan pandangannya itu pada dua tulisan Paulus, yakni: “Karena sama seperti semua orang mati dalam persekutuan dengan Adam, demikian pula semua orang akan dihidupkan kembali dalam persekutuan dengan Kristus” (1 Kor 15:22) dan “Jadi sama seperti oleh ketidaktaatan satu orang semua orang telah menjadi orang berdosa, demikian pula oleh ketaatan satu orang semua orang menjadi orang benar” (Rm 5:19). Bagi Augustinus, Paulus membandingkan peran Adam dan Kristus bagi semua orang. Kristus membawa keselamatan bagi semua orang, sedangkan Adam membawa dosa pada semua orang. Atas dasar itu, Augustinus berpendapat bahwa orang-orang sesudah Adam menerima dosa dari Adam karena di dalam Adam semua orang berdosa; itulah dosa asal. Kedua, Augustinus mendasarkan ajarannya pada Bapa-bapa Gereja sebelumnya untuk menunjukkan bahwa dirinya bukan orang pertama yang mengajarkan mengenai dosa asal. Ketiga, Augustinus juga menggunakan praktik Gereja yang membaptis bayi demi pengampunan dosa sebagai argumen untuk membela ajaran dosa asal. Baginya, kalau Gereja membaptis bayi demi pengampunan dosa, berarti ada dosa yang dihapuskan dari bayi. Itulah dosa asal. Keempat, Augustinus melihat bahwa secara rasional adanya realitas kejahatan di dunia ini hanya dapat diterangkan dengan gagasan mengenai dosa asal.
Sebenarnya pada bagian awal, Augustinus belum berbicara mengenai dosa asal dalam pemikiran teologisnya. Dengan mengikuti tradisi yang hidup pada waktu itu, ia berpendapat bahwa akibat dosa Adam adalah maut dan konkupisensi (kecenderungan ke arah dosa). Maut dan konkupisensi ini belum berupa dosa, namun situasi itu berada tidak jauh dari dosa. Maka, tubuh manusia yang terkena maut dan konkupisensi dipandang sebagai penghalang rohani bagi perkembangan jiwa. Tubuh yang terkena maut dan konkupisensi sudah mengarah ke dosa, kendati belum dapat dikatakan sebagai dosa nyata. Dalam situasi ini, Augustinus menggunakan istilah massa lutti (gumpalan lumpur). Ia sadar bahwa walaupun manusia yang berada dalam situasi massa lutti belum dapat dikatakan (ber-)dosa, situasi itu sendiri sudah membawa manusia ke arah dosa, memaksa ke arah dosa. Perkembangan selanjutnya, Augustinus menyebut situasi itu sebagai massa peccati (gumpalan dosa) untuk menerangkan keadaan di mana manusia yang berada dalam situasi tersebut tidak dapat lepas dari situasi (kecenderungan dosa) yang mengungkungnya. Oleh karena itu, dalam situasi itu manusia seolah-olah “dipaksa untuk berbuat dosa”, tetapi situasi itu belum dapat disebut dosa[5].
Dalam perjalanan waktu, Augustinus lebih memberi perhatian pada situasi itu sebagai kecenderungan manusia yang mengarahkannya kepada dosa. Ia menyebutnya sebagai libido yang ada dalam jiwa manusia, tetapi memiliki hubungan erat dengan badan. Situasi ini diwariskan karena berasal dari manusia pertama, yakni Adam. Walau demikian, Augustinus tetap belum memandang situasi itu sebagai dosa, tetapi lebih ambil bagian dalam akibat dan hukuman dosa Adam.
Dalam diskusi dengan Pelagius mengenai dosa asal sungguh mengembangkan pemikiran Augustinus, “sang doktor rahmat”. Pada awal mula dalam perjumpaan mereka memang terlihat bahwa Augustinus tidak menolak Pelagius. Tetapi dalam De Natura et Gratia/Nature and Grace, Augustinus menegaskan perlawanan terhadap Pelagius. Perlawanan Augustinus dalam karyanya itu diperlihatkan dengan tegas menolak pandangan Pelagius yang menekankan dosa sebagai tindakan pribadi. Pelagius tidak mengenal situasi dosa, maka rahmat pun dipahami secara lain. Baginya, rahmat dipahami sebagai bantuan dari Allah untuk mempermudah manusia. Augustinus melihat bahwa hal ini tidak cukup karena rahmat dari Allah sangat mutlak dan perlu bagi manusia. Augustinus melihat bahwa dosa adalah daya kekuatan dan lawan yang sepadan dengannya adalah kekuatan juga. Dengan demikian, Augustinus mengajarkan bahwa adanya realitas dosa (asal) dalam diri manusia memerlukan campur tangan Allah yang mampu untuk membebaskan. Dengan menekankan adanya rahmat, ia kemudian menambahkan bahwa campur tangan Allah itu dapat terjadi hanya melalui penebusan Kristus.
Berdasarkan paham perlunya penebusan Yesus Kristus dan paralelisme negatif antara Kristus dengan Adam, Augustinus menyimpulkan kesatuan manusia dengan Adam dalam hal dosa. Atas dasar itu, Augustinus sebenarnya ingin menandaskan hal utama mengenai pentingnya Kristus bagi keselamatan manusia. Paham dosa asal menegaskan bahwa semua orang memerlukan penebusan. Di sini, dosa asal dipandang sebagai keadaan pra-pribadi, sosio-historis dan tidak terbatas pada baptisan bayi[6]. Augustinus sendiri menjalankan praktik baptisan bayi untuk membela ajarannya tentang dosa asal. Hal itu dilakukan karena dosa asal merupakan kedosaan asasi yang membutuhkan penebusan Kristus; sebuah pemahaman tentang dosa sebagai kesatuan teologis dengan Adam dalam rangka kesatuan teologis dengan Kristus.
Apabila merunut gagasan Augustinus, sebenarnya ia mendasarkan dan mengembangkannya dari Paulus. Paulus sudah berbicara mengenai dosa sebagai “kuasa”, namun tidak membedakan antara sebelum dan sesudah permandian (Rm 7:13-24). Akan tetapi di lain tempat Paulus berbicara mengenai perbedaan radikal antara dalam dosa dan rahmat (Rm 5). Untuk itu, Paulus memandang bahwa dosa itu sebagai suatu kuasa dan dosa pribadi dipahami sebagai perwujudan kuasa dosa itu dalam diri manusia (Rm 6). Atas dasar itu dapat dikatakan bahwa Paulus memang tidak berbicara mengenai dosa asal, tetapi berbicara tentang kuasa dosa, yang dibedakan dengan dosa pribadi. sedangkan Augustinus berbicara mengenai dosa asal yang dibedakan dengan konkupisensi yang mengarahkan manusia pada dosa pribadi. Dalam pemahaman Augustinus, dosa asal ini dihilangkan pada saat permandian/baptis, tapi konkupisensi tidak!

3.      Dalam perjalanan sejarah
Dalam diskusi antara Augustinus dan Pelagius mengenai dosa asal dapat dilihat adanya usaha Gereja dalam mempertahankan ajaran iman, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Augustinus. Setelah perdebatan hangat antara kedua tokoh itu, Gereja selanjutnya menanggapi permasalahan tersebut dengan menjadikan ajaran tentang dosa asal sebagai ajaran resmi. Hal itu diungkapkan dalam beberapa konsili yang diadakan, di antaranya: Konsili Kartago (418), Konsili Orange II (529) dan Konsili Trente (1546).
3.1         Konsili Kartago (418)
Ajaran mengenai dosa asal dirumuskan dalam Konsili Kartago dengan menolak pandangan Pelagianisme. Poin ajarannya adalah semua orang lahir dengan dosa asal, yaitu sesuatu yang diwariskan kepada semua orang dari Adam dan yang seharunya diampuni melalui permandian[7]. Mengenai dosa asal dapat ditemukan pada kanon 1 dan 2.
Kanon 1: “Barang siapa mengatakan bahwa Adam, manusia pertama, diciptakan fana dalam arti bahwa ia harus mati dalam tubuh entah melakukan dosa atau tidak, yang berarti bahwa (ia) meninggalkan tubuh bukan sebagai upah dosa tetapi karena nasib kodrat, terkutuklah dia”[8]. Kanon tersebut dengan jelas melawan Pelagius yang mengatakan bahwa Adam mati karena diciptakan dapat mati. Maka, dari kodratnya akan mati dan kematian bukanlah hukuman atas dosa. Konsili mengajarkan bahwa kematian merupakan akibat dari dosa; kematian dan kemalangan dipahami sebagai akibat dari dosa Adam.
Kanon 2: “Demikian juga telah diputuskan, bahwa setiap orang yang menyangkal bahwa bayi-bayi yang baru lahir harus dipermandikan, atau berkata bahwa mereka memang dipermandikan demi pengampunan dosa tetapi sedikitpun tidak mendapat dosa asal dari Adam, yang harus dihapuskan dengan penyucian kelahiran kembali, dengan akibat bahwa pada anak-anak itu rumus permandian ‘demi pengampunan dosa’ tidak dimengerti secara benar tetapi salah, terkutuklah dia. Sebab tak lain artinya sabda sang rasul: ‘oleh satu orang dosa masuk ke dalam dunia, dan oleh dosa maut, demikianlah menjalar kepada semua orang, yang di dalamnya semua berbuat dosa’, dari pada apa yang selalu dimengerti oleh Gereja Katolik yang tersebar ke mana-mana. Karena ketetapan iman ini juga anak kecil, yang belum mampu melakukan dosa apapun dalam diri sendiri, sungguh dipermandikan demi pengampunan dosa, agar mereka dibersihkan dalam kelahiran kembali dari apa yang didapati dalam kelahiran”[9]. Dari kanon ini, arti tepat dari dosa asal tidak diterangkan, tetapi dapat disimpulkan definisi yang implisit: dosa asal adalah sesuatu yang diwariskan kepada semua orang dari Adam dan yang seharusnya diampuni melalui permandian (baptis)[10]. Hal ini untuk menyangkal pandangan Pelagius yang menolak permandian anak atau kalaupun anak-anak dipermandikan, mereka dipermandikan bukan demi pengampunan dosa.
3.2         Konsili Orange II (529)
Konsili Orange – yang bersumber dari gagasan Augustinus – menegaskan kembali ajaran Gereja mengenai dosa asal dengan melawan semi-pelagianisme[11]. Dalam Konsili ini, dokumen mengenai dosa asal dapat ditemukan pada kanon 1 dan 2.
Kanon 1: “Barang siapa mengatakan bahwa karena pelanggaran dosa Adam, manusia, badan dan jiwa, tidak berubah menjadi kurang baik, tetapi percaya bahwa hanya badan yang menderita pembinasaan sementara kebebasan jiwa tetaplah utuh, dia disesatkan oleh kesalahan Pelagius dan melawan Kitab Suci yang mengatakan: ‘jiwa yang berdosa akan mati’ (Yeh 18:20), dan: ‘tidak tahukan kamu bila kamu menyerahkan diri kepada seorang sebagai budak yang taat, kamu adalah budak dari dia yang kamu taati?’ (Rm 6:16), dan lagi: ‘siapa yang mengalahkan orang, orang itu dijadikan budaknya’ (2 Pet 2:19)”[12]. Pernyataan tegas kanon ini menekankan perlawanan terhadap pandangan pelagian yang mengatakan bahwa pengaruh Adam kepada manusia hanya pada kematian badan saja dan tidak mengakibatkan kematian jiwa; maka jiwa tetap baik dan hanya badan saja yang menderita pembinasaan. Konsili menegaskan bahwa karena dosa Adam, keseluruhuan manusia (badan dan jiwa) menjadi kurang baik. Dengan demikian tidak ada lagi kebebasan jiwa karena seluruh manusia dipengaruhi oleh dosa.
Kanon 2: “Barang siapa mempertahankan bahwa pelanggaran Adam telah merugikan hanya bagi dirinya sendiri dan tidak bagi keturunannya, atau menyatakan bahwa hanya kematian badaniah yang adalah hukuman dari dosa, tapi bukan dosa itu sendiri yang adalah kematian dari jiwa, telah disampaikan kepada seluruh bangsa manusia karena (dosa dari) satu orang, dia dipandang bersalah kepada Allah dan bertentangan dengan kata-kata rasul: ‘Dosa datang ke dunia melalui satu orang dan kematian melalui dosa dan demikian kematian menjalar kepada semua orang karena semua berdosa di dalam dia’ (Rm 5:12)”[13]. Dalam kanon ini sekali lagi ditekankan akibat dosa Adam bagi semua manusia/keturunannya. Hukuman atas dosa Adam sebagai dosa asal bukan hanya kematian badaniah saja, melainkan juga kematian jiwa, tidak memperoleh hidup yang kekal. Keadaan kedosaan manusia setelah Adam ini juga dipahami melemahkan kehendak bebas manusia, sehingga manusia dari dirinya sendiri tidak mampu mencintai Allah atau berbuat baik tanpa rahmat Allah[14].
3.3         Konsili Trente (1546)
Ajaran mengenai dosa asal kembali ditegaskan dalam Konsili Trente sehingga ajaran itu mendapat arti yang lebih resmi dan universal. Latar belakang situasi konsili ini adalah berhadapan dengan Gereja Reformasi. Maka, persoalan yang dibahas dalam konsili ini sebenarnya adalah justificatio (pembenaran), terutama berkaitan dengan apa arti pembenaran dan bagaimana manusia menerima pembenaran. Tetapi untuk berbicara soal pembenaran, diperlukan pemahaman mengenai dosa asal yang merupakan sebab perlunya manusia menerima pembenaran dari Allah.
Untuk menggambarkan ajaran tentang dosa asal, Trente mengulangi beberapa keputusan dari Konsili Kartago dan Orange II dengan beberapa perubahan. Ajaran utama Trente mengenai dosa asal adalah bahwa semua orang – kecuali Maria – sebagai anak Adam (anggota dari bangsa manusiawi ini) lahir bernoda dosa yang benar; dosa asal itu adalah tidak adanya kebenaran dan kekudusan asli, yang tidak dimiliki oleh Adam[15]. Selain itu, dengan merumuskan ajaran mengenai dosa asal, Konsili Trente ingin menegaskan ajaran iman Katolik sehingga dapat diketahui bagian mana yang berlawanan dengan ajaran iman dan bagaimana yang menyesatkan. Dengan demikian dapat dihasilkan rumusan iman yang tegas dan jelas serta tidak terjadi kekaburan. Kanon-kanon konsili yang mengajarkan dosa asal secara khusus terdapat dalam kanon 1 – 5.
Kanon 1: “Kalau ada yang tidak mengakui bahwa Adam, manusia pertama, dengan melanggar perintah Allah di Taman Firdaus, langsung kehilangan kesucian dan kebenaran yang di dalamnya ia diadakan; dan karena penghinaan kepada Allah oleh karena pelanggaran itu mendatangkan murka dan kemarahan Allah dan oleh karena itu, maut, yang Allah telah ancamkan kepadanya, dan bersama dengan itu juga ia ditahan di dalam kekuatan dia, yang karenanya ‘berkuasa atas maut’ (Ibr 2:14), yakni setan; dan bahwa ‘seluruh Adam, badan dan jiwa, diubah menjadi lebih buruk melalui pelanggaran atas dosanya’, terkutuklah dia”[16]. Dalam kanon ini nampaklah bahwa Trente merumuskan kembali apa yang dirumuskan oleh Konsili Kartago dan Orange II yang menyatakan bahwa dengan dosa Adam, manusia seluruhnya diubah menjadi lebih buruk.
Kanon 2: “Kalau ada yang menyatakan bahwa dosa Adam hanya merugikan dirinya sendiri dan bukan keturunannya dan bahwa kesucian serta kebenaran yang diterima dari Allah yang ia hilangkan hanya bagi dirinya sendiri dan bukan bagi kita juga; atau bahwa (dia), setelah dinodai oleh dosa ketidaktaatan, ia meneruskan kepada semua manusia hanya kematian dan penderitaan badan tapi bukan dosa yang merupakan kematian jiwa, terkutuklah dia. Sebab, ia melawan kata-kata rasul: ‘Oleh satu orang masuk ke dalam dunia, dan oleh dosa maut, demikianlah maut menjalar kepada semua orang, karena (di dalam dia) semua orang telah berbuat dosa’ (Rm 5:12)”[17]. Kanon ini sebenarnya mengulangi pernyataan Konsili Orange II mengenai dosa Adam yang diteruskan kepada semua orang sehingga membuat semua orang juga berdosa. Trente menegaskan bahwa “kesucian dan kebenaran” yang hilang dari Adam juga hilang bagi bangsa manusia setelahnya. Dengan demikian, seluruh keturunan Adam kehilangan “kesucian dan kebenaran” sehingga berada dalam situasi dosa.
Kanon 3: “Jika ada yang menyatakan bahwa dosa Adam itu, yang adalah satu dosa menurut asal-usulnya dan diteruskan dengan pembiakan, bukan dengan peniruan, dan yang ada dalam masing-masing orang sebagai dosanya sendiri, dapat diambil dengan daya kodrat manusia atau dengan sarana apapun yang lain dari pada kebaikan satu-satunya Pengantara Tuhan kita Yesus Kristus yang mendamaikan kita dengan Allah dalam darah-Nya, ‘menjadi kebenaran, kesucian dan penebusan kita’ (1 Kor 1:30); atau kalau ada yang menyangkal bahwa kebaikan Kristus Yesus yang diterapkan bagi orang dewasa dan anak-anak dalam sakramen baptis yang dipakai oleh Gereja, terkutuklah dia. […]”[18]. Inti pokok dalam kanon 3 adalah sebuah penegasan bahwa dosa Adam itu hanya dapat diambil oleh karena pahala Kristus dalam berkat sakramen baptis dan bukan oleh sarana-sarana yang lain. Nampak dengan jelas di sini bahwa konsili mengulang pernyataan Konsili Kartago (kanon 2) bahwa anak kecil sungguh dipermandikan demi pengampunan dosa.
Penegasan mengenai perlunya baptisan bagi bayi dalam Trente kembali diulang dalam kanon 4: “Kalau ada yang menyangkal bahwa bayi-bayi segera sesudah lahir harus dibaptis, juga ketika kalau lahir dari orang tua yang telah dibaptis; atau berkata bahwa mereka memang dipermandikan demi pengampunan dosa, tetapi tidak mendapatkan sesuatu dari dosa asal Adam yang perlu dibersihkan dengan pembasuhan kelahiran kembali supaya memperoleh hidup kekal, sehingga dalam perkara mereka rumusan baptis ‘untuk pengampunan dosa’ tidak dimengerti dengan benar tetapi menjadi salah, terkutuklah dia. […]”[19]. Kanon ini dengan jelas menunjukkan bahwa bayi-bayi perlu untuk menerima baptisan demi pengampunan dosa karena mereka mendapat sesuatu dari Adam. Dalam ranah ini, konsili sebenarnya menunjuk pada tradisi para rasul. Memang tidak jelas apakah zaman para rasul sudah ada kebiasaan untuk membaptis bayi, tetapi sejak abad III, permandian anak sudah menjadi praktik umum dalam Gereja[20].
Dalam kanon selanjutnya, kanon 5, konsili berusaha untuk menanggapi pandangan kaum Reformasi. Konsili menegaskan akibat rahmat Kristus yang diberikan dalam permandian, yakni pengampunan dosa dan tidak adanya dosa lagi dalam diri manusia: “Kalau ada yang menyangkal bahwa kesalahan akan dosa asal diampuni oleh karena rahmat dari Tuhan kita Yesus Kristus yang diberikan dalam permandian, atau juga kalau menyatakan bahwa tidak diambil seluruhnya apa yang dalam arti yang sebenarnya dan sesungguhnya bersifat dosa, tetapi bahwa itu hanya dicukur atau tidak dipersalahkan lagi, terkutuklah dia. […]”[21]. Atas pandangan itu, ditolaklah pandangan Luther yang menyatakan bahwa dalam pembenaran, dosa manusia tetap ada tapi tidak diperhitungkan Allah, sehingga manusia sungguh benar tetapi tetap berdosa (simul iustus et peccator). Kanon ini juga menegaskan bahwa yang tinggal dalam diri manusia adalah “keinginan” (concupiscentia) yang merupakan akibat dari dosa Adam: “[…]. Konsili suci ini mengakui dan berpendapat bahwa konkupisensi atau perangsang tetap tinggal dalam diri orang yang telah dibaptis. […]”[22]
Dari kelima kanon itu, dogma konsili Trente mengenai dosa asal dapat dirumuskan ke dalam lima tesis[23]: Manusia pertama berdosa, karena dosanya, kehilangan iustitia originalis, yakni kebenaran dan kesucian, dan segala akibat dari iustitia itu dalam kodrat manusia, khsususnya kebebasan dari maut dan dari konkupisensi; Keadaan ini merugikan seluruh keturunan Adam sebab dosanya “diteruskan” kepada semua orang, demikian pula akibat dari dosa itu; Karena itu, masing-masing orang mempunyai dosa asal sebagai dosanya sendiri (propirum), bukan karena kesalahannya sendiri (personale) atau meniru Adam; Dosa asal dihapuskan dengan permandian, tetapi konkupisensi tetap; Adanya konkupisensi tidak berarti bahwa kodrat manusia dirusak sama sekali, kodrat memang dilemahkan tetapi tetap utuh.

4        Teologi sekarang
Dari perjalanan sejarah konsili-konsili, pembicaran tentang dosa asal memang menjadi salah satu pusat pembicaraan. Akan tetapi, sebenarnya ada dua hal yang tidak dikatakan, yakni apa sebenarnya dosa Adam itu dan bagaimana dosa itu diturunkan. Berhadapan dengan pertanyaan itu, teologi sekarang berusaha merumuskan ajaran tradisi mengenai dosa asal secara baru: “Setiap manusia lahir (1) dalam keadaan dosa, (2) tidak berdasarkan kesalahan sendiri, (3) melainkan karena lahir dalam keadaan konkrit umat manusia yang berupa keadaan dosa, (4) dan yang berdasarkan kesalahan pada awal mula[24].
Penjelasan mengenai manusia yang lahir berada dalam keadaan dosa merupakan keadaan di luar Tuhan di mana hidup terpisah dari Tuhan. Kitab Suci dengen jelas menggambarkan situasi itu, seperti “menentang Tuhan” (Ul 28:15; 1 Sam 12:14), “menghina Tuhan” (2 Sam 12:10; Yes 1:4), “meninggalkan Tuhan” (Yer 3:20). Paulus menyebut dosa sebagai “hidup menurut daging” (Rm 8:4) yang berarti bahwa hidup menurut ukuran manusia dan cinta diri. Dengan demikian, situasi dosa dapat disebut “manusia menutup diri dari Allah”.
Ciri dosa asal adalah bahwa dosa itu bukan/tidak karena kesalahan sendiri. Ini disebut sebagai dosa “pra-pribadi”. Ciri “pra-pribadi” ini bukan hanya temporal tetapi eksistensial, dalam arti bahwa bukan hanya sebelum orang itu mampu melakukan dosa sendiri, tetapi merupakan dasar dari dosa-dosa pribadi. Manusia memang dapat menentukan masa depannya, tetapi ia tidak dapat menentukan titik dasar/pangkal; dan titik dasar itu ialah keadaan berdosa, keadaan tanpa rahmat. Maka, keadaan “pra-pribadi” manusia adalah keadaan dosa.
Keadaan “pra-pribadi” juga dapat dirumuskan sebagai solidaritas masing-masing orang dengan seluruh manusia dalam situasi dosa[25]. Keadaan ini merupakan kesatuan umat manusia dalam dosa: kesatuan dalam keadaan konkrit manusia yang berupa keadaan dosa atau keadaan yang tidak berahmat. Sebenarnya, kesatuan manusia pertama-tama adalah dalam situasi berahmat. Sejak semula manusia diarahkan kepada Kristus dan sejak semula manusia diarahkan kepada kesatuan penuh dengan Allah. Namun dalam kenyataannya, manusia mencari keselamatan dalam dirinya sendiri dan mencoba membangun hidup tanpa Tuhan (Kej 11).
Unsur terakhir dari dosa asal adalah bahwa dosa itu berdasarkan pada kesalahan awal mula. Persoalan kesalahan pada awal mula itulah yang menjadikan seluruh manusia berada dalam keadaan berdosa. Teologi klasik berpendapat bahwa karena dosa Adam mengakibatkan seluruh manusia berdosa. Namun dalam perkembangan selanjutnya, pemikiran teologis mengenai dosa asal ini mulai diterangkan dari kesatuan manusia dengan Kristus. Teologi sekarang kembali menegaskan pentingnya peran Kristus dalam rangka kesatuan manusia dengan Allah karena semua manusia dalam keadaan terhambat, dalam keadaan tidak mampu berhubungan dengan Allah. Ketidakmampuan ini telah mengenai manusia sejak awal mula dalam sejarah hidup sehingga semua orang yang lahir sebagai manusia terkena situasi kedosaan itu dan memerlukan rahmat penebusan Yesus Kristus. Dengan demikian pandangan mengenai dosa asal menegaskan perlunya Kristus bagi semua orang[26].

5        Penutup
Pembicaran teologis mengenai doktrin dosa asal sudah dimulai ketika Augustinus dan Pelagius mempertahankan pandangannya masing-masing dalam suatu perdebatan. Selanjutnya, Gereja melanjutkan dan mengembangkan gagasan Augustinus dalam perjalanan sejarahnya (dalam Konsili Kartago, Orange II, Trente dan sampai pada pemahaman teologis sekarang).
Di atas perdebatan dan usaha Gereja untuk mempertahankan ajaran imannya mengenai dosa asal, penulis menangkap poin utamanya, yakni: perlunya penebusan Kristus Yesus untuk menghapuskan dosa, termasuk dosa asal. Penulis menyadari bahwa untuk melawan kuasa dosa (asal), hanya kuasa yang datang dari Allah-lah yang dapat mematahkannya. Kuasa itu kini nyata dalam Diri Kristus yang telah mengurbankan Diri bagi keselamatan seluruh manusia, keturunan-keturunan Adam: “Sebab itu, sama seperti oleh satu pelanggaran semua orang beroleh penghukuman, demikian pula oleh satu perbuatan kebenaran semua orang beroleh pembenaran untuk hidup” (Rm 5:18). Atas dasar pemahaman ini, diperlukan pula iman yang teguh akan Yesus Kristus sebagai usaha untuk memaknai Jati Dirinya sehingga pengharapan akan penghapusan dosa sungguh didasarkan pada pemahaman iman yang memadai: “Sebab jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan” (Rm 10:9).

*    *    *


Daftar Pustaka

Embuiru, Herman,
            1995    Katekismus Gereja Katolik, Propinsi Gerejani Ende, Ende.
Neuner,  J. – J. Dupuis (eds.),
            1982    The Christian Faith In The Doctrinal Documents Of The Catholic Church, V, St.  
                        Peter’s Seminary, Bangalore.
Purwatma, M.,
2010        Diktat Kuliah – Tradisi Gereja Mengenai Keselamatan, Fakultas Teologi – Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Sentis, L.,
            2005    “Original Sin”, dalam Jean – Yves Lacoste (ed.), Encyclopedia Of Christian                                   Theology, I, Routladge, New York.
Van der Heidjen, Bert,
                        Dosa dan Rahmat.




[1] L. Sentis, “Original Sin”, dalam Jean – Yves Lacoste (ed.), Encyclopedia Of Christian Theology, I, Routladge, New York 2005, 1479.
[2] L. Sentis, “Original Sin”, 1479.
[3] M. Purwatma, Diktat Kuliah – Tradisi Gereja Mengenai Keselamatan, Fakultas Teologi – Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta 2010, 7.
[4] M. Purwatma, Diktat Kuliah – Tradisi Gereja Mengenai Keselamatan, 7-8.
[5] M. Purwatma, Diktat Kuliah – Tradisi Gereja Mengenai Keselamatan, 8.
[6] M. Purwatma, Diktat Kuliah – Tradisi Gereja Mengenai Keselamatan, 9.
[7] Bert van der Heidjen, Dosa dan Rahmat, 100.
[8] J. Neuner – J. Dupuis (eds.), The Christian Faith In The Doctrinal Documents Of The Catholic Church, V, St. Peter’s Seminary, Bangalore 1982, 135.
[9] M. Purwatma, Diktat Kuliah – Tradisi Gereja Mengenai Keselamatan, 10.
[10] Bert van der Heidjen, Dosa dan Rahmat, 101.
[11] Semi-pelagianisme adalah nama untuk oposisi yang bertentangan dengan Augustinus, tetapi yang tidak pelagian. Mereka mencoba memecahkan persoalan tentang bagaimana mengkombinasikan inisiatif Allah dengan pentingnya keputusan manusiawi, yaitu ketika mereka mengatakan bahwa “permulaan iman” adalah prestasi manusiawi dan bukan pemberian rahmat.
[12] J. Neuner – J. Dupuis (eds.), The Christian Faith In The Doctrinal Documents Of The Catholic Church, 136.
[13] J. Neuner – J. Dupuis (eds.), The Christian Faith In The Doctrinal Documents Of The Catholic Church, 136.
[14] M. Purwatma, Diktat Kuliah – Tradisi Gereja Mengenai Keselamatan, 11.
[15] Bert van der Heidjen, Dosa dan Rahmat, 129.
[16] J. Neuner – J. Dupuis (eds.), The Christian Faith In The Doctrinal Documents Of The Catholic Church, 137-138.
[17] J. Neuner – J. Dupuis (eds.), The Christian Faith In The Doctrinal Documents Of The Catholic Church, 138.
[18] J. Neuner – J. Dupuis (eds.), The Christian Faith In The Doctrinal Documents Of The Catholic Church, 138.
[19] J. Neuner – J. Dupuis (eds.), The Christian Faith In The Doctrinal Documents Of The Catholic Church, 138.
[20] M. Purwatma, Diktat Kuliah – Tradisi Gereja Mengenai Keselamatan, 14.
[21] J. Neuner – J. Dupuis (eds.), The Christian Faith In The Doctrinal Documents Of The Catholic Church, 139.
[22] J. Neuner – J. Dupuis (eds.), The Christian Faith In The Doctrinal Documents Of The Catholic Church, 139.
[23] M. Purwatma, Diktat Kuliah – Tradisi Gereja Mengenai Keselamatan, 15.
[24] M. Purwatma, Diktat Kuliah – Tradisi Gereja Mengenai Keselamatan, 16.
[25] M. Purwatma, Diktat Kuliah – Tradisi Gereja Mengenai Keselamatan, 16.
[26] M. Purwatma, Diktat Kuliah – Tradisi Gereja Mengenai Keselamatan, 18.

La présence de Dieu qui accompagne toujours nos vies est un mystère. Sa présence réelle qu'Il soit là ou ici, nous ne pourrons peut-être...